Di zaman
modern sekarang ini, kita sering menemukan manusia yang kehilangan jati
dirinya. Mereka sama sekali tidak memahami tujuan serta asal muasal dirinya,
alhasil menjadikannya terombang ambing dalam setiap pilihan aktivitasnya.
Berbeda
dengan orang yang berakal dan bijaksana, tentu saja tidak akan mungkin
melakukan sebuah pekerjaan tanpa tujuan. Terlebih lagi Allah SWT sebagai Zat
Yang Maha Bijaksana, pastilah menciptakan sesuatu tidak sia-sia atau tanpa
tujuan, melainkan memiliki tujuan. Oleh sebab itu, segala sesuatu tentu
memiliki tujuan. Lalu, tujuan seperti apakah itu? Dan apakah tujuan itu
bersifat mendasar dalam diri manusia?
Ada beberapa
makna dari tujuan penciptaan manusia yang saya pahami, yang saling terkait satu
dengan yang lainnya. Dalam Al-Quran surah Az-Dzariyat : 56, Allah SWT
berfirman, “Dan tidaklah Aku ciptakan jin
dan manusia melainkan untuk beribadah.” Jadi salah satu tujuan penciptaan
manusia adalah beribadah kepada Allah. Dengan ibadah, seorang manusia bisa
mencapai derajat kedekatan Ilahi (Maqam
Qurb).
Semakin
dekat manusia dengan Tuhan maka semakin banyak pula sifat kesempurnaan Tuhan
yang terjelma dan bertajalli dalam dirinya. Karena dibandingkan dengan makhluk
yang lain, hanya manusia yang mampu menyerap asma/sifat Tuhan, baik asma
jalaliyah maupun asma jamaliyah secara sempurna. Hal ini disebabkan, manusia
memiliki kelebihan sebagai makhluk hidup yang rasional dimana ruhnya yang
dinisbatkan kepada Tuhan (QS. Shad: 72),
menjadikan kesempurnaan yang diraihnya lebih tinggi dari ciptaan lainnya.
Dengan demikian, tujuan penciptaan manusia untuk menggapai kesempurnaan dapat
terealisasi.
Kesempurnaan
di sini dapat diartikan dengan teraktualisasinya segala potensi yang ada pada
diri manusia atau setiap makhluk. Bila hal ini bisa dilakukan, maka tujuan
penciptaan lainnya dapat diraih yaitu agar manusia menjadi Khalifatullah atau
wakil Allah di bumi melalui maqam
insaniahnya atau maqam kemanusiaannya. Yang dengan maqam inilah manusia
ditempatkan Tuhan pada derajat yang tinggi, sehingga karenanya para malaikat
diperintahkan sujud pada manusia.(QS. Al-Hijr : 29)
Allah SWT
menciptakan manusia dalam sebaik-baik bentuk. Selanjutnya Tuhan memberikan
karunia serta menanamkan kecenderungan kesempurnaan pada dirinya, dan juga
kemampuan manusia bergerak menuju kesempurnaan. Artinya, tujuan penciptaan
tersebut bersifat fitrawi dan mendasar pada diri manusia. Dan karena itu,
setiap manusia pastilah ingin meraih kesempurnaan dan juga ingin menggapai
sumber kesempurnaan. Sebagaimana halnya, seluruh makhluk ciptaan akan bergerak
kembali menuju sumber segala keberadaan.
Seperti
diketahui, manusia mempunyai dua kehidupan; Pertama,
kehidupan duniawi yang berkaitan dengan tubuhnya atau badannya. Kedua, kehidupan spiritual dan batiniah
yang terkait dengan jiwanya. Dari tiap-tiap kehidupan tersebut akan mengalami
kesempurnaan dan kebahagiaan atau kesengsaraan dan kemerosotan.
Saat manusia
terbuai dalam kesenangan duniawi, maka ia bisa saja lalai dari kehidupan ruhani
dan batinnya. Tuhan sudah memperingatkan dalam surah Ar-Rum ayat 7, “Mereka mengetahui yang lahir (tampak) dari
kehidupan dunia, sedangkan terhadap (kehidupan) akhirat mereka lalai.”
Jadi, manusia bergeser dari tujuan penciptaannya, manakala manusia tidak lagi
merujuk pada fitrahnya yang suci, kesempurnaan dirinya dan memperturutkan hawa
nafsunya.
Dalam
konteks inilah, manusia perlu mengenali dirinya. Imam Ali Kw berkata, “Barangsiapa yang memuliakan dirinya maka
dia akan memandang rendah keinginan-keinginan hawa nafsunya.” Atau dalam
redaksi yang lain Imam Ali Zainal Abidin mengatakan, “Manusia yang paling tinggi dan paling mulia adalah manusia yang tidak
memandang dunia sebanding dengan kemuliaan dirinya.” Para Nabi as berkata
kepada manusia, “Janganlah kamu melupakan
dirimu. Yaitu diri kemanusiaanmu. Karena jika kamu korbankan diri kemanusiaan
demi kecenderungan-kecenderungan hewani, niscaya bahaya amat besar akan
menimpamu.”
Allah yang
menciptakan manusia dengan keagungan, meletakkan berbagai rahasia dan aturan dalam
penciptaan jasad dan ruhnya. Tuhan menyediakan alam materi untuk diambil
manfaatnya oleh manusia, maka tidak mungkin Dia lalai dari kesempurnaan hakiki,
dan tujuan eksistensial manusia serta tidak menyediakan jalan menuju pada
tujuan.
Untuk sampai
pada tujuan yang ingin dicapai, manusia sudah pasti memerlukan jalan dan
petunjuk. Tanpa itu, manusia tidak akan mampu mencapai kesempurnaan hakiki.
Kalau manusia hanya mengandalkan dirinya sendiri, ia tidak akan mampu mengenal
aturan hidup dan jalan kebahagiaan, apalagi menjalankannya. Oleh karena itu,
manusia membutuhkan Tuhan semesta alam dan para utusan-Nya.
Allah SWT
memberikan sarana berupa hidayah takwini
yang ada pada semua makhluk dan hidayah
tasyri’i yang khusus diberikan untuk manusia. “Tuhan kami adalah (Tuhan)
yang telah memberikan kepada tiap-tiap sesuatu bentuk kejadiannya, kemudian
memberinya petunjuk.” (QS. Thaha: 50) Hidayah
takwini pada manusia berupa akal dan fitrah, sedangkan hidayah tasyri’i ialah pengutusan para nabi dan rasul.
Makassar, Mei 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar