Jumat, 18 Januari 2019

Tujuan Kehidupan

Di zaman modern sekarang ini, kita sering menemukan manusia yang kehilangan jati dirinya. Mereka sama sekali tidak memahami tujuan serta asal muasal dirinya, alhasil menjadikannya terombang ambing dalam setiap pilihan aktivitasnya.
Berbeda dengan orang yang berakal dan bijaksana, tentu saja tidak akan mungkin melakukan sebuah pekerjaan tanpa tujuan. Terlebih lagi Allah SWT sebagai Zat Yang Maha Bijaksana, pastilah menciptakan sesuatu tidak sia-sia atau tanpa tujuan, melainkan memiliki tujuan. Oleh sebab itu, segala sesuatu tentu memiliki tujuan. Lalu, tujuan seperti apakah itu? Dan apakah tujuan itu bersifat mendasar dalam diri manusia?
Ada beberapa makna dari tujuan penciptaan manusia yang saya pahami, yang saling terkait satu dengan yang lainnya. Dalam Al-Quran surah Az-Dzariyat : 56, Allah SWT berfirman, “Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah.” Jadi salah satu tujuan penciptaan manusia adalah beribadah kepada Allah. Dengan ibadah, seorang manusia bisa mencapai derajat kedekatan Ilahi (Maqam Qurb).
Semakin dekat manusia dengan Tuhan maka semakin banyak pula sifat kesempurnaan Tuhan yang terjelma dan bertajalli dalam dirinya. Karena dibandingkan dengan makhluk yang lain, hanya manusia yang mampu menyerap asma/sifat Tuhan, baik asma jalaliyah maupun asma jamaliyah secara sempurna. Hal ini disebabkan, manusia memiliki kelebihan sebagai makhluk hidup yang rasional dimana ruhnya yang dinisbatkan  kepada Tuhan (QS. Shad: 72), menjadikan kesempurnaan yang diraihnya lebih tinggi dari ciptaan lainnya. Dengan demikian, tujuan penciptaan manusia untuk menggapai kesempurnaan dapat terealisasi.
Kesempurnaan di sini dapat diartikan dengan teraktualisasinya segala potensi yang ada pada diri manusia atau setiap makhluk. Bila hal ini bisa dilakukan, maka tujuan penciptaan lainnya dapat diraih yaitu agar manusia menjadi Khalifatullah atau wakil Allah di bumi melalui maqam insaniahnya atau maqam kemanusiaannya. Yang dengan maqam inilah manusia ditempatkan Tuhan pada derajat yang tinggi, sehingga karenanya para malaikat diperintahkan sujud pada manusia.(QS. Al-Hijr : 29)
Allah SWT menciptakan manusia dalam sebaik-baik bentuk. Selanjutnya Tuhan memberikan karunia serta menanamkan kecenderungan kesempurnaan pada dirinya, dan juga kemampuan manusia bergerak menuju kesempurnaan. Artinya, tujuan penciptaan tersebut bersifat fitrawi dan mendasar pada diri manusia. Dan karena itu, setiap manusia pastilah ingin meraih kesempurnaan dan juga ingin menggapai sumber kesempurnaan. Sebagaimana halnya, seluruh makhluk ciptaan akan bergerak kembali menuju sumber segala keberadaan.
Seperti diketahui, manusia mempunyai dua kehidupan; Pertama, kehidupan duniawi yang berkaitan dengan tubuhnya atau badannya. Kedua, kehidupan spiritual dan batiniah yang terkait dengan jiwanya. Dari tiap-tiap kehidupan tersebut akan mengalami kesempurnaan dan kebahagiaan atau kesengsaraan dan kemerosotan.
Saat manusia terbuai dalam kesenangan duniawi, maka ia bisa saja lalai dari kehidupan ruhani dan batinnya. Tuhan sudah memperingatkan dalam surah Ar-Rum ayat 7, “Mereka mengetahui yang lahir (tampak) dari kehidupan dunia, sedangkan terhadap (kehidupan) akhirat mereka lalai.” Jadi, manusia bergeser dari tujuan penciptaannya, manakala manusia tidak lagi merujuk pada fitrahnya yang suci, kesempurnaan dirinya dan memperturutkan hawa nafsunya.
Dalam konteks inilah, manusia perlu mengenali dirinya. Imam Ali Kw berkata, “Barangsiapa yang memuliakan dirinya maka dia akan memandang rendah keinginan-keinginan hawa nafsunya.” Atau dalam redaksi yang lain Imam Ali Zainal Abidin mengatakan, “Manusia yang paling tinggi dan paling mulia adalah manusia yang tidak memandang dunia sebanding dengan kemuliaan dirinya.” Para Nabi as berkata kepada manusia, “Janganlah kamu melupakan dirimu. Yaitu diri kemanusiaanmu. Karena jika kamu korbankan diri kemanusiaan demi kecenderungan-kecenderungan hewani, niscaya bahaya amat besar akan menimpamu.”
Allah yang menciptakan manusia dengan keagungan, meletakkan berbagai rahasia dan aturan dalam penciptaan jasad dan ruhnya. Tuhan menyediakan alam materi untuk diambil manfaatnya oleh manusia, maka tidak mungkin Dia lalai dari kesempurnaan hakiki, dan tujuan eksistensial manusia serta tidak menyediakan jalan menuju pada tujuan.
Untuk sampai pada tujuan yang ingin dicapai, manusia sudah pasti memerlukan jalan dan petunjuk. Tanpa itu, manusia tidak akan mampu mencapai kesempurnaan hakiki. Kalau manusia hanya mengandalkan dirinya sendiri, ia tidak akan mampu mengenal aturan hidup dan jalan kebahagiaan, apalagi menjalankannya. Oleh karena itu, manusia membutuhkan Tuhan semesta alam dan para utusan-Nya.
Allah SWT memberikan sarana berupa hidayah takwini yang ada pada semua makhluk dan hidayah tasyri’i yang khusus diberikan untuk manusia. “Tuhan kami adalah (Tuhan) yang telah memberikan kepada tiap-tiap sesuatu bentuk kejadiannya, kemudian memberinya petunjuk.” (QS. Thaha: 50) Hidayah takwini pada manusia berupa akal dan fitrah, sedangkan hidayah tasyri’i ialah pengutusan para nabi dan rasul.
Makassar, Mei 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Rezim Yang Ambigu dan Problem Lingkungan di Indonesia

Permasalahan lingkungan hidup, telah mendapat perhatian besar di hampir semua negara. Ini terutama terjadi sejak dasawarsa 1970-an setelah d...