Hari Tata
Ruang Nasional, kembali diperingati pada 8 November 2018 yang lalu. Momentum
ini menjadi penting, untuk digunakan melakukan evaluasi serta refleksi dari
berbagai stakeholder, khususnya pemerintah
dan pemerintah daerah yang diamanatkan oleh Undang-Undang dalam penyelenggaraan
penataan ruang.
Dewasa ini,
istilah tata ruang sudah mulai sering disebut-sebut dalam berbagai kesempatan,
oleh berbagai lapisan masyarakat, mulai dari pejabat tinggi sampai masyarakat
umum. Fenomena ini merupakan penanda dimulainya era baru pemahaman dan
pengakuan tentang arti penting tata ruang, dalam berbagai bidang pembangunan
yang menyangkut aspek kehidupan masyarakat. Sebab, tata ruang terkait dengan
suatu penataan segala sesuatu yang berada di dalam ruang sebagai wadah
penyelenggaran kehidupan.
Persepsi
keruangan (spatial) sebenarnya sudah
dikenal sejak zaman prasejarah. Bagaimana manusia membutuhkan ruang dan menata
ruang sesuai dengan kebutuhan kehidupannya, yang telah dibuktikan dalam
rangkaian perkembangan peradaban manusia.
Jika pada zaman dahulu, manusia berusaha untuk menempatkan dirinya dalam
ruang-ruang fisik secara sederhana. Di zaman kemudian, telah mendorong manusia
untuk menata kebutuhan ruang secara lebih maju serta lebih massif.
Seiring
dengan modernisasi dan perkembangan peradaban manusia, permasalahan tata ruang
pun sudah mulai timbul. Salah satunya adalah keadilan dalam tata ruang. Padahal, keadilan merupakan salah
satu asas dalam penyelenggaraan penataan ruang, seperti tertuang pada UU. No.26
tahun 2007. Bahwa penataan ruang dilaksanakan dengan mempertimbangkan rasa
keadilan masyarakat serta melindungi hak dan kewajiban semua pihak secara adil.
PP No. 15 tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang, juga menyebut
kalau pengaturan penataan ruang dilakukan untuk mewujudkan keadilan bagi
seluruh pemangku kepentingan dalam seluruh aspek penyelenggaran penataan ruang.
Ironisnya,
dalam fakta dan kenyataan yang ada, keadilan ruang sepertinya masih jauh dari
harapan. Amati saja apa yang terjadi pada kota-kota besar di tanah air. Maka
kita akan disuguhi berbagai paradoks dan ketidakadilan di dalamnya.
Pembangunan
apartemen dan perumahan elit berskala besar, merebak dengan gegap gempita,
mewadahi kepentingan mereka yang justru kebanyakan sudah memiliki rumah
pribadi. Sedangkan, pembangunan rumah sederhana(RS), rumah sangat
sederhana(RSS) serta rumah susun murah, terkesan dikerjakan seadanya yang
terkadang menghadapi berbagai kendala. Hambatan yang paling utama adalah bahwa
masyarakat kecil/bawah, makin tak mampu memperoleh lahan perkotaan. Sementara
itu, para pemodal/kapitalis dengan mudah menguasai ratusan hektar lahan,
kemudian dijadikan perumahan mewah dengan lokasi strategis yang sarana-prasarananya
serba lengkap.
Dalam sistem
transportasi, situasi yang tidak jauh berbeda juga sering terjadi. Di mana, ada
kesan kuat bahwa kendaraan pribadi lebih dimanjakan ketimbang kendaraan umum
massal. Jalan tol, jalan layang, dan semacamnya, terus dibangun, sedangkan
infrastruktur transportasi massal dikerjakan dan dikelola ‘setengah hati’. Pada
sektor perdagangan, perbelanjaan dan pertokoan, kita saksikan menjamurnya
pusat-pusat pertokoan, mall, shopping
centre, yang diikuti dengan lenyapnya pasar rakyat/lokal, toko-toko kecil
dan warung kaki lima. Dominasi sektor formal terhadap sektor informal saat ini,
sungguh sangat terasa. Sehingga kadang memunculkan tanya, tidak bisakah pasar
‘modern’ itu hidup berdampingan dengan pasar rakyat/pasar lokal?
Tidak jarang
juga kita temukan, semisal alih fungsi ruang dan alih tata guna lahan, dari
ruang terbuka hijau/RTH (public)
berubah menjadi hotel (privat), pusat
perbelanjaan, dan yang lainnya. Padahal, menurut Ali Madanipour dalam “Design of Urban Space”, yang dikutip di
buku “Merebut Ruang Kota”, bahwa keberadaan ruang publik perkotaan (public urban space) memungkinkan dan membiarkan masyarakat yang berbeda kelas,
etnik, gender dan usia, saling bercampur baur.
Hanya saja, ruang publik yang diartikan
sebagai kawasan yang bisa diakses
oleh siapapun, terkadang banyak pihak yang mencoba mengubah ruang publik,
menjadi ruang privat dengan cara
mengambil alih secara paksa. Hal seperti ini, jelas menunjukkan sikap serta
kebijakan anti rakyat yang tidak adil. Karena dengan begitu, kepentingan
investor swasta menzalimi kepentingan rakyat kebanyakan. Privatisasi
mengalahkan partisipasi.
Prof. Eko
Budihardjo menukil Peter Lang, yang sudah mengingatkan kita dalam bukunya, “Mortal City”, bahwa kota-kota besar
di dunia sekarang dapat diibaratkan sebagai ajang peperangan bisnis dan
ekonomi. Yang diuntungkan dalam peperangan ini adalah para penguasa kelas
kakap. Merekalah yang berkesempatan memanipulasi dan mengeksploitasi berbagai
paradoks perkotaan demi keuntungan mereka sendiri.
Lantas,
mengapa keadilan begitu sulit ditegakkan? Padahal, secara fitriah setiap
manusia pasti menyukai keadilan. Dalam perspektif teologis, Islam telah
menekankan pentingnya setiap orang berlaku adil. Tuhan berfirman, “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku
adil dan berbuat kebajikan….” (QS. An-Nahl : 90)
Terealisasinya
keadilan di tengah-tengah masyarakat, merupakan cita ideal dari sebuah sistem
dan tatanan. Karena itu, salah satu tujuan penting dari pengutusan para Nabi
adalah menegakkan keadilan dalam masyarakat manusia, atau membentuk masyarakat
yang diliputi keadilan. “Sungguh Kami
telah mengutus rasul-rasul Kami dengan bukti-bukti yang nyata dan Kami turunkan
bersama mereka Kitab dan Mizan agar manusia dapat menegakkan keadilan.”
(QS. Al-Hadid : 25)
Pada konteks
penataan ruang, berlaku adil bisa dimaknai, tidak menggunakan standar ganda
serta konsisten menjalankan aturan tata ruang, dan terhadap siapapun yang
melakukan pelanggaran. Sesungguhnya, masalah terpenting dalam konsep dan
kesadaran akan ‘ruang’ tersebut, yakni apa yang saya maknai sebagai ‘eskatologi
tata ruang’- meminjam istilah salah seorang guru saya - yaitu bagian
fundamental dalam keyakinan dan kesadaran
orang-orang yang ber-Tuhan. Karena itu, mungkin sudah selayaknya para
penyelenggara tata ruang, mengetuk kesadarannya akan penataan ruang
berkeadilan, bahwa ada kekuasaan/kewenangan, ada aturan/regulasi, serta ada
pertanggungjawaban akhirat di hadapan Tuhan Yang Maha Adil, tentang sikap dan
perilaku manusia terhadap ruang. Semoga saja penyelenggara tata ruang,
sungguh-sungguh berkomitmen dalam ikhtiarnya mewujudkan tata ruang yang
berkeadilan. Wallahu a’lam bisshawab.
RADAR Makassar, Desember 2018