Sabtu, 23 Maret 2019

Tata Ruang yang Berkeadilan, Akankah Jadi Kenyataan?


Hari Tata Ruang Nasional, kembali diperingati pada 8 November 2018 yang lalu. Momentum ini menjadi penting, untuk digunakan melakukan evaluasi serta refleksi dari berbagai stakeholder, khususnya pemerintah dan pemerintah daerah yang diamanatkan oleh Undang-Undang dalam penyelenggaraan penataan ruang.   
Dewasa ini, istilah tata ruang sudah mulai sering disebut-sebut dalam berbagai kesempatan, oleh berbagai lapisan masyarakat, mulai dari pejabat tinggi sampai masyarakat umum. Fenomena ini merupakan penanda dimulainya era baru pemahaman dan pengakuan tentang arti penting tata ruang, dalam berbagai bidang pembangunan yang menyangkut aspek kehidupan masyarakat. Sebab, tata ruang terkait dengan suatu penataan segala sesuatu yang berada di dalam ruang sebagai wadah penyelenggaran kehidupan.
Persepsi keruangan (spatial) sebenarnya sudah dikenal sejak zaman prasejarah. Bagaimana manusia membutuhkan ruang dan menata ruang sesuai dengan kebutuhan kehidupannya, yang telah dibuktikan dalam rangkaian perkembangan peradaban manusia.  Jika pada zaman dahulu, manusia berusaha untuk menempatkan dirinya dalam ruang-ruang fisik secara sederhana. Di zaman kemudian, telah mendorong manusia untuk menata kebutuhan ruang secara lebih maju serta lebih massif.
Seiring dengan modernisasi dan perkembangan peradaban manusia, permasalahan tata ruang pun sudah mulai timbul. Salah satunya adalah keadilan dalam  tata ruang. Padahal, keadilan merupakan salah satu asas dalam penyelenggaraan penataan ruang, seperti tertuang pada UU. No.26 tahun 2007. Bahwa penataan ruang dilaksanakan dengan mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat serta melindungi hak dan kewajiban semua pihak secara adil. PP No. 15 tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang, juga menyebut kalau pengaturan penataan ruang dilakukan untuk mewujudkan keadilan bagi seluruh pemangku kepentingan dalam seluruh aspek penyelenggaran penataan ruang.
Ironisnya, dalam fakta dan kenyataan yang ada, keadilan ruang sepertinya masih jauh dari harapan. Amati saja apa yang terjadi pada kota-kota besar di tanah air. Maka kita akan disuguhi berbagai paradoks dan ketidakadilan di dalamnya.
Pembangunan apartemen dan perumahan elit berskala besar, merebak dengan gegap gempita, mewadahi kepentingan mereka yang justru kebanyakan sudah memiliki rumah pribadi. Sedangkan, pembangunan rumah sederhana(RS), rumah sangat sederhana(RSS) serta rumah susun murah, terkesan dikerjakan seadanya yang terkadang menghadapi berbagai kendala. Hambatan yang paling utama adalah bahwa masyarakat kecil/bawah, makin tak mampu memperoleh lahan perkotaan. Sementara itu, para pemodal/kapitalis dengan mudah menguasai ratusan hektar lahan, kemudian dijadikan perumahan mewah dengan lokasi strategis yang sarana-prasarananya serba lengkap.
Dalam sistem transportasi, situasi yang tidak jauh berbeda juga sering terjadi. Di mana, ada kesan kuat bahwa kendaraan pribadi lebih dimanjakan ketimbang kendaraan umum massal. Jalan tol, jalan layang, dan semacamnya, terus dibangun, sedangkan infrastruktur transportasi massal dikerjakan dan dikelola ‘setengah hati’. Pada sektor perdagangan, perbelanjaan dan pertokoan, kita saksikan menjamurnya pusat-pusat pertokoan, mall, shopping centre, yang diikuti dengan lenyapnya pasar rakyat/lokal, toko-toko kecil dan warung kaki lima. Dominasi sektor formal terhadap sektor informal saat ini, sungguh sangat terasa. Sehingga kadang memunculkan tanya, tidak bisakah pasar ‘modern’ itu hidup berdampingan dengan pasar rakyat/pasar lokal?
Tidak jarang juga kita temukan, semisal alih fungsi ruang dan alih tata guna lahan, dari ruang terbuka hijau/RTH (public) berubah menjadi hotel (privat), pusat perbelanjaan, dan yang lainnya. Padahal, menurut Ali Madanipour dalam “Design of Urban Space”, yang dikutip di buku “Merebut Ruang Kota”, bahwa keberadaan ruang publik perkotaan (public urban space) memungkinkan  dan membiarkan masyarakat yang berbeda kelas, etnik, gender dan usia, saling bercampur baur.  Hanya saja, ruang publik yang diartikan  sebagai kawasan  yang bisa diakses oleh siapapun, terkadang banyak pihak yang mencoba mengubah ruang publik, menjadi  ruang privat dengan cara mengambil alih secara paksa. Hal seperti ini, jelas menunjukkan sikap serta kebijakan anti rakyat yang tidak adil. Karena dengan begitu, kepentingan investor swasta menzalimi kepentingan rakyat kebanyakan. Privatisasi mengalahkan partisipasi.
Prof. Eko Budihardjo menukil Peter Lang, yang sudah mengingatkan kita dalam bukunya, “Mortal City”, bahwa kota-kota besar di dunia sekarang dapat diibaratkan sebagai ajang peperangan bisnis dan ekonomi. Yang diuntungkan dalam peperangan ini adalah para penguasa kelas kakap. Merekalah yang berkesempatan memanipulasi dan mengeksploitasi berbagai paradoks perkotaan demi keuntungan mereka sendiri.
Lantas, mengapa keadilan begitu sulit ditegakkan? Padahal, secara fitriah setiap manusia pasti menyukai keadilan. Dalam perspektif teologis, Islam telah menekankan pentingnya setiap orang berlaku adil. Tuhan berfirman, “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan….” (QS. An-Nahl : 90) 
Terealisasinya keadilan di tengah-tengah masyarakat, merupakan cita ideal dari sebuah sistem dan tatanan. Karena itu, salah satu tujuan penting dari pengutusan para Nabi adalah menegakkan keadilan dalam masyarakat manusia, atau membentuk masyarakat yang diliputi keadilan. “Sungguh Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan bukti-bukti yang nyata dan Kami turunkan bersama mereka Kitab dan Mizan agar manusia dapat menegakkan keadilan.” (QS. Al-Hadid : 25)
Pada konteks penataan ruang, berlaku adil bisa dimaknai, tidak menggunakan standar ganda serta konsisten menjalankan aturan tata ruang, dan terhadap siapapun yang melakukan pelanggaran. Sesungguhnya, masalah terpenting dalam konsep dan kesadaran akan ‘ruang’ tersebut, yakni apa yang saya maknai sebagai ‘eskatologi tata ruang’- meminjam istilah salah seorang guru saya - yaitu bagian fundamental dalam keyakinan dan kesadaran  orang-orang yang ber-Tuhan. Karena itu, mungkin sudah selayaknya para penyelenggara tata ruang, mengetuk kesadarannya akan penataan ruang berkeadilan, bahwa ada kekuasaan/kewenangan, ada aturan/regulasi, serta ada pertanggungjawaban akhirat di hadapan Tuhan Yang Maha Adil, tentang sikap dan perilaku manusia terhadap ruang. Semoga saja penyelenggara tata ruang, sungguh-sungguh berkomitmen dalam ikhtiarnya mewujudkan tata ruang yang berkeadilan. Wallahu a’lam bisshawab.
RADAR Makassar, Desember 2018

Belajar Sikap Keberagamaan Dari Shohibul Mandar


Beberapa tahun terakhir ini, kondisi keberagamaan kaum Muslimin di negeri tercinta Indonesia, sedikit terusik dengan munculnya sejumlah kelompok dari kalangan umat Islam sendiri, yang dengan massif menyebarkan ajaran intoleran dan kebencian. Seketika wajah Islam nusantara yang teduh, damai, toleran serta menghargai keragaman menjadi ternodai.
Padahal, bila kita melacak sejarah masuknya Islam di tanah air, maka dapat dikatakan bahwa tidak akan pernah dapat kita temukan adanya jejak Islam yang radikal, Islam yang menebarkan kebencian. Sebab ajaran seperti itu, tidak diajarkan dalam Islam, tidak dicontohkan oleh Rasulullah SAW, keluarganya maupun sahabat-sahabatnya serta tidak pula dilakukan oleh pemuka-pemuka agama terdahulu. 
Para penyebar Islam dahulu, melakukan tugas dakwahnya betul-betul  menggunakan prinsip-prinsip nilai Al-Quran, sehingga mewujudkan Islam sebagai rahmat bagi alam semesta. Karena itu, tulisan ini bermaksud mengenalkan sosok yang cukup berpengaruh dalam perkembangan Islam, khususnya pada wilayah Tanah Mandar Sulawesi Barat, yang beberapa waktu lalu diperingati haulnya yang ke-83 pada 8 April 2017.
Riwayat Singkat
Habib Alwi bin Abdullah dilahirkan di Lasem, sebuah daerah di Jawa Tengah, tahun 1835. Ayahnya bernama Habib Abdullah bin Husein bin Sahl dan ibunya bernama  Raden Ayu Habibah al-Munawwar, putri dari Pati Lasem. Ia lebih dikenal dengan sebutan Puang Towa (orang yang dituakan/panutan). Datuk dan leluhurnya berasal dari Kota Tarim Hadhramaut. Seperti diketahui, Kota Tarim merupakan tanah kelahiran Sadah Bani Alawi, keturunan Ahlul Bait atau keluarga besar Rasulullah SAW.
Awal mula pendidikan agamanya, berada dalam tempaan sang ayah di daerah kelahirannya. Lalu kemudian berangkat ke Hadhramaut dan Mekah untuk mendalami ajaran Islam. Setelah kembali dari Hadhramaut, selanjutnya Habib Alwi bin Sahl memulai perjalanan dakwahnya ke berbagai daerah, di antaranya daerah Sumbawa (Nusa Tenggara Barat) dan daerah Mandar (Sulawesi Barat).
Pertama kali tiba di tanah Mandar sekitar tahun 1859 di daerah Manjopai dan Pambusuang. Daerah lainnya yang didatangi oleh Sayyid Alwi adalah Campalagian pada sekitar tahun 1898. Beliau berhasil mencetak penerus dakwahnya seperti Imam Lapeo (KH. Muhammad Thohir) yang sangat populer sebagai ulama tasawuf dan tarekat di Tanah Mandar serta juga lewat putranya sendiri; Sayyid Hasan bin Alwi bin Sahl, Sayyid Husein bin Alwi bin Sahl dan Sayyid Muhsen bin Alwi bin Sahl.   
Dakwah dan Sikap Keberagamaan
Saat menjalankan tugas dakwahnya, Habib Alwi sepertinya lebih banyak melakukan penyebaran ajaran Islam kepada masyarakat melalui pemahaman tasawuf dan tarekat, khususnya thoriqoh Ba’alawi. Karena melalui metode keduanya, Habib Alwi dapat menyampaikan ajaran Islam yang substantif, sejuk dan damai, yang kesemuanya memanifestasikan Islam sebagai Rahmatan lil Alamin. Ini sangat berbeda sikapnya dengan mereka yang memahami ajaran Islam secara skripturalis. Yang memahami agama lewat teks-teks yang sifatnya lahiriah. Sehingga sulit sampai pada pemahaman tentang nilai-nilai ajaran Islam yang substantif.
Dengan latar pemahaman seperti disebutkan, maka dengan sendirinya  membentuk dan mempengaruhi kepribadian Habib Alwi, selanjutnya tercermin pada corak dan sikap keberagamaan yang ditampilkan saat menjalankan tugas tabligh dan dakwahnya kepada masyarakat.
Yang dipraktekkan adalah cara beragama yang sifatnya intrinsik, demikian Jalaluddin Rakhmat menyebut dalam “Islam Alternatif”-nya. Sebuah model beragama yang dianggap dapat menunjang kesehatan jiwa dan kedamaian pada masyarakat. Di mana nilai-nilai ajaran agama terhunjam ke dalam diri penganutnya. Melalui cara seperti itu, seseorang akan mampu menciptakan lingkungan yang penuh kasih sayang.
Jadi, agama dipandang sebagai comprehensive commitment, yang mengatur seluruh hidup seseorang. Sebaliknya, keberagamaan yang ekstrinsik,   ialah saat agama digunakan untuk menunjang motif-motif lain serta melaksanakan bentuk-bentuk luar dari agama tetapi tidak pada bagian dalamnya. Sehingga, menurut Psikolog Gordon W.Allport, cara beragama seperti ini memang erat kaitannya dengan penyakit mental. Dengan begitu, dapat dikatakan bahwa cara beragama semacam ini, tidak akan melahirkan masyarakat yang penuh kasih sayang. Namun sebaliknya, yang akan muncul adalah kebencian, dengki dan fitnah yang akan terus berlangsung.
Jika memperhatikan perjalanan kehidupan Sang Habib, maka hal semacam itu tidak terjadi, karena proses pematangan telah berlangsung pada diri beliau, baik dari sisi keilmuan, ruhani dan akhlak. Di usia yang masih relatif muda ketika itu, Habib Alwi bin Sahl sudah melakukan tugas dakwah ke berbagai daerah. Beliau tiba di Tanah Mandar pada usia 24 tahun dan berdakwah selama kurang lebih 75 tahun hingga wafat di usia 99 tahun.
Dalam menjalankan tugas dakwahnya, ia  berpijak pada prinsip dan metode yang diajarkan oleh Al-Quran, sebagaimana tercantum dalam Surah An-Nahl ayat 125. Khususnya, pada dua terma yang sangat penting, yaitu; al-Hikmah dan al-Mau’izhah al-Hasanah. Menurut Az-Zamakhsyari dalam al-Kasysyaf-nya menyebutkan, “Al-Hikmah adalah perkataan yang pasti benar. Ia adalah dalil yang menjelaskan kebenaran dan menghilangkan keraguan atau kesamaran.”  Sedangkan al-Mau’izhah al-Hasanah adalah sesuatu yang dapat masuk ke dalam kalbu dengan penuh kasih sayang dan ke dalam perasaan dengan penuh kelembutan. Sebab, kelemahlembutan dalam menasihati seringkali dapat meluluhkan hati yang keras dan menjinakkan kalbu yang liar.
Lebih daripada itu, sesungguhnya lemah lembut dan sikap penuh kasih dan sayang – dalam konteks dakwah – dapat membuat seseorang merasa dihargai kemanusiaannya sehingga membangkitkan perasaan seperti itu pula dalam dirinya. Dengan nilai itu, beliau membangun hubungan dengan umat menjadi lebih dekat, lewat sistem pengajaran dalam bentuk halaqah, baik di masjid, rumah ke rumah, maupun masyarakat yang datang langsung kepada Habib Alwi untuk bertanya seputar ajaran Islam.
Lalu, seperti apa teladan dari peran Nabi Muhammad SAW sebagai juru dakwah? Al-Quran menyebutkan, “Katakan (olehmu Muhammad), inilah jalan hidupku. Aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) menuju Allah dengan penglihatan yang terang. Maha suci Allah, dan aku tidak termasuk orang-orang yang musyrik.” (QS.Yusuf:108). Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Turmudzi, Rasulullah SAW berkata, “Sesungguhnya Allah mengutusku sebagai muballigh”, redaksi yang lain dari Ibnu Majah menyebutkan, “Sesungguhnya, aku diutus sebagai pendidik.”
Merujuk nash-nash tersebut, maka sejatinya para pendakwah mesti mengikuti dan meneladani Rasulullah sebagai pendakwah sejati dan paling paripurna. Beliau berhasil merealisasikan seluruh idealita ajaran Islam, sehingga disebut sebagai Al-Quran yang berjalan. Artinya semua nilai-nilai kemuliaan dan akhlak agung sudah menjelma dalam dirinya. Dan karena itulah, sebagai model untuk orang yang sudah mencapai tingkat kesempurnaan, Allah menjadikannya sebagai Uswatun Hasanah (QS.Al-Ahzab:21).
Dakwah merupakan tugas Nabi dan pengikut para Nabi. Berkiprah dalam dakwah adalah sebuah usaha besar dalam rangka membentuk peradaban manusia. Dan sepertinya, Habib Alwi bin Abdullah bin Sahl Jamalullail telah membuktikan kalau ia telah mengikuti jejak-jejak leluhurnya dan terutama datuknya Rasulullah SAW, dalam membangun peradaban di Tanah Mandar. Sebagai generasi muda Islam, kita perlu banyak mengenal sosok sepeti Habib Alwi ini, agar bisa mencontoh serta mengikuti jejaknya dalam menyampaikan pesan-pesan Islam yang substansial, dengan cara damai dan menyejukkan.
Makassar, April 2017

Peran Cendekiawan Muslim Di Era Informasi

Dalam era seperti sekarang ini, di mana kemajuan teknologi informasi begitu pesat, maka peran kaum intelektual atau cendekiawan Muslim sangatlah penting, khususnya dalam kaitannya dengan upaya transformasi nilai-nilai di tengah-tengah masyarakat. Struktur dalam masyarakat bagi Ali Syariati, sosiolog dari Iran, diibaratkan  seperti sebuah kerucut. Pada bagian paling bawah ada massa rakyat yang banyak, sementara di atas ada kelompok elit. Kaum ‘intelektual’ menghuni wilayah kerucut paling atas, bergabung dengan kelompok elit lainnya dari kaum yang berbeda. Mereka tidak pernah bergabung dengan masa rakyat, akan tetapi selalu berada bersama kelompok elit, bahu-membahu memelihara stabilitas status quo. Di luar kelompok tadi, pada setiap zaman ada sekelompok orang yang tidak dapat dimasukkan pada kelompok massa karena pengetahuannya yang tinggi, akan tetapi, tidak bisa juga digabungkan kepada kelompok elit karena sikapnya yang kritis dalam menampilkan gagasan-gagasan. Mereka menyimpang dari mainstream, melenceng dari Zeitgeist dari nada zamannya. Inilah kaum cendekiawan yang tercerahkan atau intelektual sejati.
Yang menjadi problem dan mengkhawatirkan adalah munculnya belakangan sejumlah lembaga serta individu-individu yang disebut atau mengklaim diri sebagai intelektual, cendekiawan, ulama muda dan sebagainya, akan tetapi tidak berperilaku sebagaimana layaknya sebutan ‘mulia’ tersebut. Kehadirannya, alih-alih memberikan pencerahan, justru berpotensi menimbulkan konflik sosial dan perpecahan di tengah-tengah masyarakat. Mengapa? Karena dalam berbagai kasus serta peristiwa, sering kali mereka yang menjadi sumber penyampaian dan penyebaran informasi yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.
Padahal sebagai cendekiawan atau intelektual Muslim, sudah seharusnya seseorang melakukan konfirmasi dan pengecekan, dengan mencari kejelasan terhadap sesuatu hal sebelum menyampaikannya. Dalam Al-Quran kita diingatkan oleh firman Allah SWT, “Wahai orang-orang yang beriman, apabila datang kepadamu seorang fasik membawa berita, maka selidikilah berita itu, supaya kamu tidak menimpakan kecelakaan kepada suatu kaum karena ketidaktahuan (kebodohan) kamu, yang akhirnya kamu menyesali perbuatanmu itu.”
Dalam bukunya Islam Aktual, Dr.Jalaluddin Rakhmat bercerita tentang sosok Al-Walid bin Uqbah. Nah, ayat ke-6 dari surah Al-Hujurat di atas, turun berkenaan dengan Al-Walid tersebut. Waktu itu Rasulullah SAW menyuruhnya menjadi penagih zakat buat Bani Musthaliq. Setelah sampai, dia melihat orang sudah kumpul untuk zakat. Tapi kemudian, dia buru-buru kembali dan menyampaikan pada Rasulullah bahwa Bani Musthaliq murtad, mereka tidak mau bayar zakat dan sedang mempersiapkan pemberontakan. Sehingga Rasulullah nyaris mengambil keputusan yang keras terhadap Bani Musthaliq untuk mengerahkan kekuatan. Tetapi kemudian turunlah ayat tersebut di atas.
Pada peristiwa lainnya, suatu hari terjadi perdebatan antara Al-Walid dan Sayyidina Ali bin Abi Thalib. Kata Al-Walid: “Ana asyja’u minka janana wa athwalu minka lisana, Aku mempunyai hati yang lebih berani dari kamu dan lidah yang lebih panjang dari kamu.” Sayyidina Ali menukas pendek: “Ana mu’min wa anta fasiq, Saya Mukmin dan engkau fasik!” Peristiwa ini menjadi asbabun nuzul turunnya ayat 18 surah As-Sajadah, “Apakah sama orang Mukmin dan orang fasik? Mereka tidak sama.”
Al-Quran menyebut kebanggaannya memiliki lidah yang paling panjang itu, sebagai salah satu ciri orang fasik. Dan bahwa keberanian orang fasik adalah “menyebarkan informasi paling palsu sekalipun.” Jadi kalau berbohong, panjang sekali bohongnya. Kalau perlu kebohongan itu dimanage dan disebarkan. Al-Walid merupakan personifikasi orang yang menyebarkan informasi yang sudah didistorsi dan bisa menimbulkan kerusakan pada suatu kelompok di kalangan kaum Muslimin.
Sekarang ini yang merisaukan kita, adalah bermunculannya Al-Walid-Al-Walid baru dalam era informasi, di mana mereka menggunakan media-media massa. Karena itulah, dalam konteks ini, intelektual atau cendekiawan Muslim sebagai homes engages, manusia yang terikat dengan kewajiban menerapkan nilai-nilai, memiliki peran strategis yang sangat penting, di antaranya :
·       Mengembangkan sikap untuk selalu tabayyun (meneliti) informasi, mengelola informasi sebaik-baiknya dan tidak cepat-cepat menjatuhkan vonis berdasarkan data yang sangat tidak lengkap. Karena kata Al-Quran, “nanti kamu menyesal, kamu rugi kehilangan sesama kaum Muslimin yang seharusnya kamu jadikan aset, tapi kamu malah jadikan kerugian.”
·       Menyebarkan informasi yang benar. Ajaran Islam mengajarkan kepada kita, bahwa berbicara yang benar, adalah prasyarat untuk kebenaran serta kebaikan amal dan perbuatan kita. Alfred Korzybski menyebutkan bahwa penyakit jiwa timbul karena menggunakan bahasa yang tidak benar. Al-Quran pada surah Al-Ahzab 70-71 menyatakan: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan bicaralah dengan perkataan yang benar, nanti Allah perbaiki seluruh amal-amal kamu dan mengampuni dosa-dosa kamu.” Dalam dimensi lain, pesan dan informasi yang disampaikan, haruslah berupa ucapan yang jujur dan tidak bohong. Nabi Muhammad SAW bersabda, “Jauhilah dusta, karena dusta membawa kamu kepada dosa, dan dosa membawa kamu kepada neraka. Lazimkanlah berkata jujur, karena jujur membawa kamu kepada kebajikan dan membawa kamu kepada surga.” Jadi, seorang cendekiawan harus menyebarkan informasi yang tidak salah dan tidak bohong.
·       Mengembangkan keterbukaan dan sikap kritis. Seorang cendekiawan harus bersikap terbuka (yastamiunal qaul) dan berpikir kritis (fayattabiuna ahsana). Karena tanpa sikap kritis kita akan menjadi peniru-peniru buta. Allah SWT berfirman dalam surah Az-Zumar ayat 18, “(yaitu) mereka yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya.”
Demikianlah sekelumit dari peran yang dapat dilakukan dengan sebaik-baiknya oleh para cendekiawan dan intelektual Muslim, agar mendatangkan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kaum muslimin.
Makassar, September 2015

MEDIA MASSA dan NEOKHAWARIJ


Suatu saat, George Gerbner, pakar komunikasi dan kritikus budaya massa, dengan penuh keyakinan berkomentar, media massa benar-benar telah menjadi “agama resmi” masyarakat industri. Media massa telah turut memberi andil dalam memoles kenyataan sosial, bahkan ikut memengaruhi perubahan bentuk masyarakat. Mengingat betapa luasnya lingkungan pengaruh media, hingga kritikus media Goran Hedebro sampai berujar, “Media adalah pembentuk kesadaran sosial yang pada akhirnya menentukan persepsi orang terhadap dunia dan masyarakat tempat mereka hidup.” Meskipun apa yang disajikan belum tentu merupakan kenyataan yang sesungguhnya.     Demikian dinukil Yudi Latif dalam tulisannya mengenai Media Massa dan Pemiskinan Imajinasi Sosial.
Realitas media sebenarnya semacam realitas buatan mereka yang ada di balik media. Karena itu, dari media mungkin secara tidak sadar kita membangun persepsi tentang realitas, dunia, atau fakta. Secara singkat, media telah berperan dalam mengkonstruk atau membentuk bahkan merekayasa wacana (discourse)-nya sendiri. Media juga berperan dalam melakukan eksploitasi tekstual terhadap krisis (the textual exploitation of crisis).
Kultur atau budaya kemasan media pada akhirnya menjadi kultur yang sepenuhnya baru. Ia lahir dari polesan ideologis yang membangun struktur makna peristiwa dunia, untuk kepentingan hegemoni pemilik dan pengendali media, dalam hal ini tentu saja Barat. Kenyataan ini mengingatkan kita akan kritik yang dilontarkan oleh para pendukung aliran Pascamodernisme (Postmodernist movement) bahwa media merupakan alat kontrol ideologis yang ampuh dalam mengendalikan pikiran khalayak mengenai suatu peristiwa.
Globalisasi yang melanda dunia di era pascamodern, dianggap menjadikan media sebagai wadah hegemoni opini publik yang menanggung beban manipulatif dan distortif terhadap realitas. Lihatlah apa yang digambarkan media Barat terhadap dunia Islam, khususnya sejak peristiwa 11 September di gedung WTC Amerika Serikat. Edward Said dalam buku “Covering Islam” menceritakan bagaimana orang Barat secara berencana melukiskan Islam dengan wajah yang sangat jelek. Yang digambarkan hanyalah seputar; darah, terorisme atau sesuatu yang aneh-aneh. Gambaran negatif ini semakin menguat saat bermunculannya kelompok-kelompok radikal di tubuh umat Islam, seperti al-Qaeda, al-Nusra, Boko Haram, ISIS dan yang lainnya.
Di negeri kita pun, juga tidak luput dengan keberadaan kelompok radikal semacam itu. Dan dengan memanfaatkan media pula, mereka secara proaktif menyebarkan ajaran-ajarannya. Dalam konteks ini, Idi Subandy Ibrahim mengutip Richard M. Restak yang mengatakan, “Media massa telah ikut menciptakan keretakan yang tajam dalam kehidupan emosi kita.” Coba kita perhatikan belakangan ini, betapa kekerasan atas nama agama sudah begitu sering terjadi di sekitar kita.
Keberagamaan kita menjadi terusik, sehingga memunculkan pertanyaan. Mengapa keberagamaan di negeri ini begitu cepat bergeser? Padahal dahulu penyebar ajaran Islam datang dengan bersahaja, menyampaikan nilai-nilai keberagamaan yang luhur, mulia dan damai. Sehingga terjadi persinggungan dengan kultur serta budaya lokal, menjadikan sistem nilai Islam menyatu secara apik dan harmoni.
Namun, dalam satu dasawarsa terakhir, dengan munculnya sebuah entitas baru yang saya sebut sebagai “NeoKhawarij”, tiba-tiba saja merubah corak keberagamaan pada sebagian masyarakat kita. Umat Islam yang tadinya memiliki sifat toleran, damai dan menebarkan rahmat, kini lewat kelompok intoleran dan radikal ini, Islam terkadang muncul dengan wajah yang beringas dan menakutkan. Bahkan, tidak jarang pula mereka melakukan tindakan provokasi serta kekerasan. Provokasi dan kekerasan yang dilakukan bisa jadi dilakukan secara verbal dengan cara menyebarkan tuduhan dan fitnah, melalui media massa - khususnya media sosial – dan terkadang bahkan dengan serangan secara fisik.
Karena itu, mungkin ada betulnya apa yang dikatakan oleh Prof. Azyumardi Azra, mantan Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, bahwa, “Dulu tidak pernah ada konflik mazhab di Indonesia, karena Islam Indonesia adalah Islam yang damai dan toleran. Pasca reformasi, agama kemudian menjadi bagian dari manipulasi politik oleh pihak-pihak yang ingin mencari pengikut sebanyak-banyaknya.”
Lantas, bagaimana ciri dan sifat dari gerakan Neo Khawarij? Ciri utama dari kelompok ini adalah merasa diri paling benar dan sangat mudah menganggap orang atau kelompok lain sebagai pelaku bid’ah, sesat dan kafir. Hal ini boleh jadi disebabkan karena pemahaman mereka yang formalistis dan terlalu kaku dalam hubungan sosial, utamanya kepada sesama kaum Muslimin.
Penulis tafsir Al-Misbah, Prof.Dr.Quraish Shihab mengatakan, “Banyak di antara umat yang terjebak pada sikap yang picik, tanpa wawasan akal yang memadai, tanpa menelaah kitab-kitab secara benar, kemudian merasa dirinya paling benar dan tiba-tiba saja mengkafirkan yang lain.”
Dr.Jalaluddin Rakhmat mengabarkan lewat tulisannya bahwa pada sekitar pertengahan tahun 1990 di sebuah media cetak, Muhammad Maududi menuding Khawarijisme sebagai biang kerok pecahnya ukhuwah Islamiah. Sebagai golongan, kaum Khawarij memang sudah lama punah, tetapi sebagai aliran pemikiran, Khawarijisme masih ada. Maududi menulis, “Khawarij tidak pernah masuk ke Indonesia, karena keburu punah. Tetapi karakteristiknya dijadikan model kefanatikan mazhab yang ada di Indonesia.”
Dengan kondisi begitu, umat Islam akan terperosok dalam kotak-kotak mazhab yang sempit. Perbedaan paham dianggap tabu, yang pahamnya tidak sama dianggap sesat. Umat Islam tidak lagi belajar dari seluruh pelosok bumi, bahkan tidak mau belajar dari saudara mereka sendiri yang bermazhab lain. Yang benar hanyalah mazhabnya. Semua masuk neraka kecuali mazhabnya saja.
Ajaran dengan corak seperti itu memang terasa asing di negeri ini yang begitu menghargai ke-Bhinneka-an, sehingga dalam Undang-Undang Dasar (UUD) dituangkan pasal mengenai kebebasan dalam menjalankan keyakinan dan ajaran agama masing-masing sebagai hak setiap warga negara. Oleh sebab itu, tidak boleh ada orang atau kelompok yang bisa melakukan “razia” terhadap keyakinan seseorang di negeri ini.
Untuk meretas persoalan ini, maka jalan keterbukaan dan saling memahami menjadi pilihannya. Karena sesungguhnya, Islam adalah agama yang mengajarkan keterbukaan. Rasulullah SAW kepada sahabat sekaligus muridnya Sayyidina Ali bin Abi Thalib Kw berkata, “Hikmah itu barang berharga yang hilang dari seorang mukmin. Karena itu di mana pun orang Mukmin menemukan hikmah, maka akan memungutnya. Ambillah hikmah itu, walaupun dari orang munafik!” Atau dalam ungkapan yang lain Nabi yang mulia berkata, “Ambillah hikmah, dan jangan merisaukan kamu dari mana hikmah itu keluar.”
Anjuran inilah yang menyebabkan umat Islam terdahulu tidak ragu-ragu menghirup ilmu dari Yunani, Persia dan India. Lalu, bagaimana dengan kita sekarang ini. Sudikah kita biarkan umat Islam di negeri ini terpuruk oleh kampanye dari kelompok NeoKhawarij itu yang menebarkan ajaran yang asing, yang akan memecah belah kita sebagai sebuah bangsa?
Makassar, September 2015

Rezim Yang Ambigu dan Problem Lingkungan di Indonesia

Permasalahan lingkungan hidup, telah mendapat perhatian besar di hampir semua negara. Ini terutama terjadi sejak dasawarsa 1970-an setelah d...