Senin, 27 Juni 2022

Menyorot Pembangunan Kota Makassar

Kesinambungan pembangunan, tampaknya memang masih sebatas retorika. Berbagai program yang dirancang pemerintah dengan label “berkelanjutan” terus saja diproduksi, namun nihil dalam implementasinya. Ganti Kepala Daerah, berganti pula  kebijakan, rencana serta program pembangunan daerah bersangkutan. Itulah yang berlangsung di berbagai daerah, termasuk di Kota Makassar. Tulisan ini lebih difokuskan untuk mencermati dan menyorot bidang tata ruang yang seringkali terabaikan.

Disorientasi Penataan Ruang 

Salah satu misi yang dijanjikan Wali Kota Makassar Mohammad Ramdhan Pomanto, sebagai perwujudan visinya ketika itu, “Makassar Kota Dunia Nyaman untuk Semua” tertuang dalam RPJMD Kota Makassar 2014-2019, yaitu “Merestorasi tata ruang kota menjadi kota nyaman berstandar dunia.” Turunan misi tersebut terdiri delapan program strategis yaitu; penyelesaian masalah banjir, pembentukan badan pengendali pembangunan kota, pembangunan waterfront city, penataan transportasi publik, pengembangan infrastruktur kota, pengembangan pinggiran kota, pengembangan taman tematik serta penataan lorong. 

Sementara, pada RPJMD 2021-2026, misinya menjadi “Restorasi ruang kota yang inklusif menuju kota nyaman kelas dunia yang sombere’ dan smart city untuk semua.” Penjabaran programnya berupa; 1).Penataan total sistem persampahan, 2).Pembenahan total sistem penanganan banjir dan pencegahan kemacetan, 3).Pembangunan infrastruktur dan kawasan “waterfront city” berbasis mitigasi dan adaptasi lingkungan, 4).Peningkatan jejaring smart pedestrian dan koridor hijau kota, 5).Peningkatan lorong garden dan pembentukan 5000 lorong wisata, 6).Percepatan pembangunan sistem dan infrastruktur “Sombere’ & Smart City” yang inklusif, 7).Percepatan Makassar menjadi Liveable City dan Resilient City, 8).Pembangunan gedung “Sombere & Smart” New Balai Kota dan New DPRD. 

Bila diperhatikan secara cermat, hampir semua program strategis pada periode lalu diakomodasi ulang dalam program dan kegiatan RPJMD yang baru. Kecuali, program pembentukan badan pengendali pembangunan kota dan pengembangan pinggiran kota yang tidak disinggung lagi. Hal ini menegaskan, bahwa sebagian besar janji Wali Kota yang tertuang dalam program strategis pada periode pertama tidak berjalan efektif dan optimal. Sebagai contoh, persoalan banjir yang alih-alih diselesaikan, justru makin rentan terjadi setiap kali turun hujan. Wilayah pinggiran kota yang seolah tidak pernah dijadikan prioritas, menjadi bukti bahwa keseimbangan pembangunan antar wilayah belum terwujud sebagaimana diamanatkan dalam Perda No.4/2015 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Makassar. Begitu pula, semrawutnya pengelolaan sampah di kawasan TPA, padahal sudah dijanjikan jauh sebelumnya akan dibangun TPA Bintang 5, yang hingga kini belum jelas bentuknya seperti apa.

Tadinya saya menduga, dengan memiliki Wali Kota yang sama, dari periode sebelumnya (2014-2019) ke periode saat ini (2021-2026), akan membuat arah pembangunan Kota Makassar semakin nyata dan berkelanjutan. Namun harapan jadi pupus, setelah membaca laporan media tentang beberapa proyek yang dilaunching saat puncak peringatan Hari Jadi Kota Makassar ke-414 pada 9 November 2021. Di antara proyek tersebut; Pedestrian Melayang dari Rotterdam hingga Mall PiPo (Japparate) yakni koridor di atas pesisir losari, Smart Incubator Center-yang menjadi pembina sekaligus offtaker produk UMKM, Makassar Virtual Economic Center (Marvec)-pusat monitoring semua komoditi lewat aplikasi, Makassar Government Service Center-pusat pelayanan publik terintegrasi, Tettere’ (smart electric smart enterprises)-pedagang keliling dari lorong ke lorong dengan sepeda motor listrik, Commo’ (commuter metro moda) moda transportasi yang berfungsi sebagai feeder minibus electric, Untia International Eco-Circuit-arena balap internasional berbasis konservasi,  Macca atau multisport recreations & convention hall serta 5000 lorong wisata.  

Lalu pada 15 Maret 2022, warga Makassar kembali dihebohkan dengan jargon baru yang disampaikan Wali Kota dari Rakorsus Pemerintah Kota Makassar, Yaitu “Makassar menuju Kota Metaverse” (Makaverse). Segera setelah itu, berbagai SKPD yang ada dalam lingkup Pemkot Makassar, bekerja untuk meyakinkan sembari menyatakan kesiapan menjalankan konsep tersebut. Namun, pada diskusi publik yang diadakan Forum Dosen bertajuk “Metaverse VS Pendidikan Berkualitas” pada 14 Juni 2022, membuktikan sebaliknya. Tak lama berselang, muncul lagi keinginan Wali Kota membangun New Balai Kota ke kawasan reklamasi CPI. Yang jika ini dilakukan, maka pemerintah sesungguhnya tengah membangun jarak dari masyarakatnya dengan menempatkan institusi pemerintahan pada episentrum kapital yang kontroversial. Pembangunan kota secara sporadis dengan mengandalkan branding, slogan, jargon, tanpa menjawab problem mendasar terkait ruang hidup rakyat, pada akhirnya menyebabkan disorientasi penataan ruang di Kota Makassar. Semua itu akan terus terjadi bila pembangunan tidak berbasiskan perencanaan yang matang serta tidak berdasarkan pada kebutuhan masyarakat, tapi hanya mengikuti selera elit pemegang kuasa.    

Dengan problematika pembangunan Kota Makassar seperti diuraikan, mengingatkan saya pada fenomena Urban Suicide atau “bunuh diri perkotaan” yang pernah dikumandangkan para pakar perkotaan puluhan tahun silam. Implikasinya, muncullah apa yang diistilahkan oleh Prof.Jhon Rennie Short sebagai Wounded Cities alias kota-kota yang terluka. Mengapa itu terjadi? Karena, mereka para tokoh dan penguasa yang dipercaya oleh rakyat untuk mengelola kota, justru mereka yang “melukai” dan “merusak” kotanya dengan berbagai kebijakan yang kurang tepat. Wallahu a’lam bisshawab.

Harian FAJAR, Juni 2022


Sabtu, 11 Juni 2022

SATUPENA Sulsel: Ikhtiar untuk Kebangkitan Kembali Gerakan Literasi Sulawesi Selatan

“Membaca untuk mengenal dunia dan menulislah agar dikenal dunia.”

 “Sesungguhnya tulisan itu abadi. Tulislah sesuatu yang akan

  membahagiakanmu di akhirat kelak.”

 (Sayyidina Ali bin Abi Thalib Kw)

  

Kutipan di atas adalah ungkapan Sang Pintu Kota Ilmu Nabi, Penghulu para Sufi dan Kaum Arif, yang secara implisit nan lugas menggambarkan betapa aktivitas literasi, begitu sangat penting dalam memajukan serta mengembangkan sebuah peradaban. Literasi, pada dasarnya merupakan cara manusia membaca peradaban. Maka wajarlah kemudian, jika tingkat literasi akan sangat menentukan kemajuan peradaban sebuah negeri.  Sayangnya, kebijakan di negeri ini, masih sangat minim dalam memfasilitasi terciptanya ruang-ruang publik untuk tumbuhnya tradisi literasi yang dinamis. Komunitas literasi dan para pegiatnya sudah saatnya berpikir lebih strategis untuk berkontribusi mengambil bagian dalam memajukan bangsa ini.

Sekaitan itu, Ketua Umum Perkumpulan Penulis Indonesia-SATUPENA Denny JA, saat berbincang dengan Pegiat Literasi, Jurnalis dan Mantan Ketua Ikapi Sulsel Andi Wanua Tangke, menyampaikan pemikiran dan obsesinya dengan mengatakan bahwa, “SATUPENA harus berperan menjadikan Indonesia sebagai Negara Literasi. Ruang publik negeri ini tidak boleh hanya didominasi isu politik dan ekonomi, tapi juga harus diwarnai dengan konten-konten karya sastra dan kegiatan yang berdimensi kebudayaan.”  Ini hal menarik, sebab kendatipun dimaknai semacam harapan yang ingin beliau wujudkan selaku pimpinan organisasi penulis. Namun, saya menafsir dan membacanya sebagai visi dan gagasan besar yang ingin ia letakkan bagi organisasi SatuPena, sekaligus bagi seluruh komunitas dan pegiat literasi yang berkomitmen sama.

“Berperan Menjadikan Indonesia Sebagai Negara Literasi” merupakan sebuah ide dan gagasan yang tentu tak mudah untuk merealisasikannya. Dibutuhkan pendekatan yang sistemik dan komprehensif dengan memakai perspektif jangka panjang (long-term perspective). Diperlukan pula desain perencanaan beserta tahapannya, yang dengan konsisten harus dijalankan oleh anggota SatuPena dan lebih khusus bagi para pengurusnya.

Agar visi besar tadi memiliki pijakan serta tidak kehilangan spirit lokalitasnya, maka langkah awal yang akan dilakukan SatuPena menurut Denny JA, adalah menginisiasi lahirnya forum komunikasi penulis, terciptanya jejaring di antara penulis serta terbangunnya kota-kota dan desa-desa literasi. Dengan begitu, kehadiran SatuPena pada 34 Provinsi di Tanah Air, seyogyanya menjadi motor penggerak literasi di daerahnya, yang tak pernah berhenti bekerja untuk memajukan peradaban Bangsa melalui daerah masing-masing.

Lalu, bagaimana dengan tradisi literasi di Sulawesi Selatan serta respon SatuPena Sulsel? Pasca Deklarasi dan Pengukuhan pada 1 Juni 2022 lalu, SatuPena Sulsel tentu sudah harus bergerak proaktif menjalankan peran secara optimal dan strategis, dalam upaya menggelorakan dan membangkitkan kembali gerakan literasi Sulsel. Meski tantangan pasti ada, namun usaha ini mungkin saja tidak begitu sulit, bila dilakukan secara bersama dan sungguh-sungguh. Karena sebetulnya, Sulawesi Selatan sudah memiliki modal sosial literasi yang sangat baik, jika menilik pada sejarah leluhur Sulawesi Selatan. Prof. Andi Zainal Abidin Farid dalam “Capita Selecta Sejarah Sulawesi Selatan”, menyebutkan adanya beragam lontarak Bugis-Makassar, yang memuat berbagai bidang ilmu pengetahuan, seperti: sejarah, filsafat dan pandangan hidup, pertanian, kebudayaan, obat-obatan, hukum adat, dan lain sebagainya. Hal tersebut menunjukkan, betapa majunya tradisi literasi sekaligus peradaban leluhur kita kala itu. 

Bukankah mereka telah melahirkan atau memiliki Surek I La Galigo? Sebuah hasil karya monumental orang-orang Bugis pada masa pra-Islam, yang telah mendapat pengakuan dunia sebagai karya sastra terpanjang. Belum lagi, karya-karya literasi dari sejumlah ulama dan pemuka agama, yang merupakan perintis awal penyebaran Islam di Sulawesi Selatan. Sebut saja di antaranya, Sayyid Jamaluddin al-Akbar al-Husaini di Tosora Wajo, Sayyid Jalaluddin al-Aidid di Cikoang Takalar, Sayyid Alwi bin Sahl Jamalullail di Mandar, yang juga adalah salah satu guru Imam Lapeo (KH. Muhammad Thahir). Dan mungkin yang paling masyhur di masyarakat Sulawesi Selatan ialah Syekh Yusuf al-Makassari, yang pernah menorehkan karya semisal Fusushul Hikam atau Futuhat al-Makkiyah-nya Ibn ‘Arabi. Ulama Pejuang sekaligus Pahlawan Nasional di dua negara – Indonesia dan Afrika Selatan - ini, oleh Guru Besar Sejarah Islam UIN Alauddin Makassar, Prof. Ahmad Sewang menyebutnya sebagai Bapak Literasi Nusantara, karena telah menghabiskan sebagian besar hidupnya menjelajah dunia untuk mendalami ilmu pengetahuan serta meninggalkan sejumlah 23 kitab/buku sebagai warisan literasi.

Pertanyaannya, akankah kita sebagai generasi penerus hanya sebatas menunjukkan kekaguman, ketakjuban, kebanggaan, dengan romantisme historis dari tradisi literasi leluhur kita itu? Tentu saja tidak! Dan pada konteks inilah, tantangan bagi SatuPena Sulsel serta berbagai komunitas literasi, akan sangat dinantikan bagaimana pemetaan dan perumusan langkah yang akan diambil dan dijalankan, sebagai upaya dan ikhtiarnya dalam membangkitkan kembali gerakan literasi di daerah ini. Karena, untuk mewujudkan sebuah gerakan literasi yang progresif dan massif di masa mendatang, selain pendekatan kultural yang tengah berjalan selama ini, maka diperlukan pula pendekatan struktural melalui “interupsi” dari SatuPena Sulsel, untuk mendorong upaya intervensi kebijakan dalam menciptakan ruang-ruang produktif bagi kemajuan literasi di daerah kita ini. Gerakan literasi progresif dan massif tadi adalah kerja besar yang hanya bisa dilakukan melalui sistem kerja yang bersifat kolektif, kolaboratif dan sinergis, terutama dalam menjaga dan merawat kesinambungan dan keberlangsungannya.

Sejatinya memang, gerakan literasi mesti terakomodasi dalam sistem dan kebijakan perencanaan kita. Baik pada perencanaan pembangunan maupun perencanaan ruang (spasial). Karena, melalui gerakan literasi, kebutuhan manusia akan perolehan dan perluasan pengetahuan menjadi terpenuhi. Yang dengan pengetahuan tersebut, akan mengantarkan manusia pada makrifat hakiki dan peradaban yang lebih tinggi. Semoga kehadiran SatuPena di Sulawesi Selatan mampu memberi makna serta kontribusi positif bagi perkembangan gerakan literasi Sulsel pada masa kini dan waktu-waktu mendatang.

satupenariau.com, nusantarachannel.co, tribunpost.com, Juni 2022

 

 


Rezim Yang Ambigu dan Problem Lingkungan di Indonesia

Permasalahan lingkungan hidup, telah mendapat perhatian besar di hampir semua negara. Ini terutama terjadi sejak dasawarsa 1970-an setelah d...