Tahun 2018
ini, Indonesia memasuki tahun politik, di mana 171 daerah akan melaksanakan
Pilkada secara serentak. Provinsi Sulawesi Selatan sendiri, akan melangsungkan
pemilihan gubernur/wakil gubernur serta kepala daerah di 12 kabupaten/kota.
Masyarakat pada daerah bersangkutan, tentu saja berharap munculnya
pemimpin-pemimpin daerah yang dapat membawa perbaikan berarti dalam upaya
pembangunan di daerah. Salah satu aspek yang sangat penting ditelaah dan
dicermati pada upaya perbaikan dalam proses pembangunan, adalah persoalan
menyangkut penataaan ruang.
Masalah
penataan ruang, yang mencakup perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang serta
pengendalian pemanfaatan ruang, memang terkadang masih terabaikan dalam
penyelenggaran pemerintahan di berbagai daerah, kendati pun penataan ruang
merupakan bagian dari isu strategis pada tingkat nasional. Di tingkat daerah
pun, semisal Perda No.7 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Perda No.10 Tahun
2008 mengenai Rencana pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) Provinsi
Sulawesi Selatan, tata ruang juga menjadi isu strategis daerah di Sulawesi
Selatan. Selain itu, di dalamnya juga tercantum bahwa penataan ruang adalah
salah satu permasalahan pembangunan yang bersifat pelayanan dasar wajib dan
perlu menjadi perhatian.
Sebagaimana
lazimnya, pembangunan yang tidak disertai perencanaan akan berdampak kepada
permasalahan lebih kompleks yang dapat berimplikasi terhadap keberlangsungan
kehidupan di sebuah daerah. Oleh karenanya, rencana penataan ruang mesti
disusun dan dijadikan acuan dalam menjalankan roda pembangunan. Ironisnya, di
setiap perhelatan pilkada, tidak banyak calon kepala daerah, saat merumuskan
visi, misi dan programnya, berupaya melakukan penyelarasan atau sinkronisasi
dengan dokumen perencanaan pembangunan dan perencanaan spasial yang ada. Baik
terhadap RPJPD, terlebih lagi dengan RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah).
Padahal, di tahap awal inilah, masyarakat bisa menilai komitmennya pada
penataan ruang serta pembangunan berkelanjutan di daerah yang akan dipimpinnya.
Menanti Komitmen
Jika kita
menengok UU No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, telah disebutkan dalam
Pasal 7 poin 2, bahwa negara memberikan kewenangan dalam penyelenggaraan
penataan ruang kepada pemerintah atau pemerintah daerah. Wewenang dimaksud
meliputi pengaturan, pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan penataan
ruang di wilayahnya masing-masing. Jadi sejatinya, kepala daerahlah yang
memiliki tanggung jawab besar dalam mewujudkan penataan ruang yang lebih baik.
Namun pada kenyataannya, masih terkadang kita temukan ada kepala daerah yang
belum menjalankannya. Itu disebabkan karena tidak semua kepala daerah memiliki
pemahaman yang baik soal tata ruang. Seperti diketahui, masih banyak kepala
daerah yang belum mengenal konsep pembangunan yang berlandaskan pada
perencanaan tata ruang. Akibatnya, tidak mengherankan bila kita temukan, ada
kepala daerah menuding RTRW menghambat pembangunan atau menghambat mega proyek
yang akan dilakukannya.
Dalam
konteks seperti ini, komitmen dari kepala daerah dengan kedudukan serta
posisinya yang begitu penting, diharapkan mampu menjalankan kebijakan
strategisnya yang sejalan dengan aturan, untuk perbaikan dan penyelenggaraan
pembangunan serta pemerintahan yang baik. Demikian yang pernah dinyatakan oleh
Filosof Muslim Al-Farabi saat menawarkan konsep “Kota Utama-nya” (Al-Madinah Al-Fadhilah) dengan
mengatakan bahwa, “Kota utama adalah kota yang diperintah oleh pemimpin
tertinggi yang “… benar-benar memiliki
berbagai ilmu dan setiap jenis pengetahuan … Ia mampu memahami dengan baik
segala yang harus dilakukannya. Ia mampu membimbing dengan baik sehingga orang
melakukan apa yang diperintahkannya. Ia mampu memanfaatkan orang-orang yang
memiliki kemampuan. Ia mampu menentukan, mendefinisikan dan mengarahkan
tindakan-tindakan ke arah kebahagiaan.”
Ungkapan
Al-Farabi di atas, menunjukkan betapa urgennya posisi dan komitmen seorang
kepala daerah. Dr. Karlina Supelli berujar, “Ciri
kematangan seseorang adalah saat dia sanggup menjalankan suatu pekerjaan bukan
karena dia suka, tetapi karena dia berkomitmen.” Komitmen dari kepala
daerah terkait penataan ruang begitu diharapkan, karena tantangan saat ini
begitu besar. Sebagai contoh, dengan adanya undang-undang otonomi yang
memberikan kewenangan kepada daerah untuk mengelola sumber daya alamnya
sendiri, menjadikan daerah seringkali mengeksploitasi SDA secara berlebihan
tanpa pertimbangan serta mengabaikan keseimbangan maupun keberlangsungan
pembangunan. Hal seperti ini, berpotensi menyebabkan terjadinya konflik
kepentingan dalam hal pemanfaatan dan penggunaan ruang.
Pada
akhirnya, komitmen kepala daerah sangat menentukan dalam mewujudkan tata ruang
yang baik, berkeadilan dan manusiawi, yang diawali dengan keberanian menegakkan
regulasi dan aturan secara benar, terkait dengan tata ruang. Pertanyaannya,
akankah hasil dari pilkada serentak nanti, melahirkan kepala daerah yang
berkomitmen, menjadikan tata ruang sebagai ‘panglima’ dalam pembangunan di
daerahnya masing-masing? Wallahu a’lam
bisshawab.
FAJAR Makassar, Februari 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar