Selasa, 22 November 2022

Kota Kita: Resolusi Tata Ruang dan Hak Sipil atas Arah Pembangunan

Pada suatu akhir pekan, tepatnya Sabtu 12 November 2022, saya bersama Akademisi dan Sosiolog Unhas (Universitas Hasanuddin) Dr. Sawedi Muhammad diminta menjadi pemantik diskusi dalam rangka Hari Tata Ruang Nasional yang digelar oleh Makassar Research for Advance Transformation (Ma’REFAT Institute) dan Lingkar Mahasiswa Islam untuk Perubahan (LISAN), yang mengangkat topik seperti judul tulisan di atas. Banyak hal yang terungkap dalam forum percakapan tersebut, terutama berkaitan dengan proses pembangunan yang tengah berlangsung di kota Makassar belakangan ini.

Seperti diketahui, Hari Tata Ruang Nasional diperingati setiap tahunnya pada setiap 8 November, untuk meningkatkan kesadaran serta partisipasi masyarakat akan pentingnya penataan ruang. Ironisnya, jangankan di kalangan masyarakat, bahkan pada instansi pemerintah pun – baik Pemprov atau Pemkot - yang terkait langsung dengan penyelenggaraan penataan ruang, juga luput memanfaatkan momentum tersebut melakukan sesuatu untuk mengkampanyekan atau menjalankan sosialisasi kepada masyarakat terhadap berbagai hal yang perlu diketahui terkait tata ruang di kota ini, tempat di mana mereka melangsungkan kehidupannya.

Kota Makassar, terus menggeliat dengan berbagai akselerasi pembangunan dalam rangka mewujudkan berbagai “city branding” yang selama ini digaungkan dan dijargonkan oleh Wali Kota Makassar. Hanya saja, proses pembangunan yang dilakukan tersebut, seringkali mengejutkan karena seakan mengabaikan instrumen-instrumen perencanaan dan penataan ruang yang sudah ada. Sebab itulah, setumpuk problem dan persoalan penataan ruang di kota Makassar, terus saja terjadi.

Pertanyaannya, bagaimana dengan arah pembangunan Kota Makassar di usianya yang ke 415 tahun? Pembangunan Kota Makassar sekarang, sedang tidak baik-baik saja. Orientasi pembangunannya juga tidak jelas. Lantas mau ke mana? Entahlah, hanya Wali Kota yang tahu.  Dr. Sawedi mendaku, semua hal-hal pembangunan mengenai kota seolah-olah merupakan kewenangan Wali Kota saja. Sembari mengutip Henri Lefebvre yang berkata bahwa hegemoni pengetahuan tentang kota pun dikuasai oleh kelompok-kelompok tertentu saja. Apalagi, hanya sedikit kelompok dan komunitas yang membangun literasi soal kota dan tata ruang.

Kota Makassar saat ini, meski publikasi branding “Kota Dunia”-nya begitu gemerlap di berbagai media, namun sayangnya tidak berbanding lurus dengan kenyataan serta realitas yang sesungguhnya. Perhatikan saja persoalan-persoalan mendasar yang dirasakan oleh warga Makassar hari-hari ini. Lihatlah seperti apa pengguna jalan di Kota Makassar berhadapan dengan kemacetan setiap hari, serta berbagai sarana sistem transportasi yang masih semrawut. Problem persampahan di kawasan TPA Tamangapa yang tak tertangani baik, padahal dijanjikan TPA bintang lima. Banjir tahunan yang sudah menjelma menjadi “tragedi” nampaknya juga belum teratasi secara serius. Belum lagi, ketimpangan pembangunan yang terjadi akibat tidak dimplementasikannya kebijakan penataan ruang, Perda No.4 tahun 2015 tentang RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) Kota Makassar 2015-2034,  di mana menyebutkan bahwa RTRW Kota Makassar berperan sebagai alat untuk mewujudkan keseimbangan pembangunan antar wilayah dan kesinambungan pemanfaatan ruang di Kota Makassar.  Faktanya, pembangunan Kota Makassar hanya mengikuti selera penguasa, tidak berbasis perencanaan yang matang dan juga tidak berbasis pada kebutuhan masyarakat. Sebagai contoh saja, apa urgensinya bagi warga Makassar terhadap rencana pembangunan New Balai Kota dan pedestrian layang (Japparate). Padahal, masih banyak hal mendesak yang lebih dibutuhkan masyarakat untuk segera ditangani, apalagi pada situasi sulit seperti sekarang.

Olehnya itu, resolusi warga kota harus diajukan untuk perbaikan arah pembangunan Kota Makassar:

Pertama, Pembangunan Kota Makassar mesti lebih difokuskan pada Visi Daerah yang ingin dituju, sebagaimana tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Kota Makassar. Bukan melulu visi Wali Kota yang hanya merupakan visi antara.

Kedua, Rencana Tata Ruang sudah sepatutnya dikembalikan pada posisi sentralnya sebagai pedoman, panduan atau “panglima” pembangunan.

Ketiga, Sebagai wakil rakyat dan penyambung suara warga kota, DPRD harus lebih memaksimalkan fungsi pengawasannya dalam mengawal berbagai problem perkotaan yang terkait dengan penyelenggaraan penataan ruang.

Keempat, Pemecahan masalah perkotaan tidak boleh hanya dipercayakan dan menjadi monopoli para perencana kota serta penentu kebijakan. Karenanya, hak-hak warga kota serta pelibatannya dalam seluruh proses pelaksanaan penataan ruang mutlak dilakukan, sebab dijamin dalam Undang-Undang Penataan Ruang.

Akhirnya, warga kota harus lebih sering diajak bicara, dan sedapat mungkin dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan, yang langsung atau tidak langsung menyangkut lingkungan dan kehidupan serta masa depan mereka. Dengan demikian mereka tidak hanya sekadar tinggal di kota, tetapi juga ikut merasa memiliki kota, sehingga dapat diharapkan peran sertanya dalam pelaksanaan pembangunan dan penataan ruang perkotaan. Wallahu a’lam bisshawab.


                                                                                        Harian FAJAR, November 2022

Senin, 27 Juni 2022

Menyorot Pembangunan Kota Makassar

Kesinambungan pembangunan, tampaknya memang masih sebatas retorika. Berbagai program yang dirancang pemerintah dengan label “berkelanjutan” terus saja diproduksi, namun nihil dalam implementasinya. Ganti Kepala Daerah, berganti pula  kebijakan, rencana serta program pembangunan daerah bersangkutan. Itulah yang berlangsung di berbagai daerah, termasuk di Kota Makassar. Tulisan ini lebih difokuskan untuk mencermati dan menyorot bidang tata ruang yang seringkali terabaikan.

Disorientasi Penataan Ruang 

Salah satu misi yang dijanjikan Wali Kota Makassar Mohammad Ramdhan Pomanto, sebagai perwujudan visinya ketika itu, “Makassar Kota Dunia Nyaman untuk Semua” tertuang dalam RPJMD Kota Makassar 2014-2019, yaitu “Merestorasi tata ruang kota menjadi kota nyaman berstandar dunia.” Turunan misi tersebut terdiri delapan program strategis yaitu; penyelesaian masalah banjir, pembentukan badan pengendali pembangunan kota, pembangunan waterfront city, penataan transportasi publik, pengembangan infrastruktur kota, pengembangan pinggiran kota, pengembangan taman tematik serta penataan lorong. 

Sementara, pada RPJMD 2021-2026, misinya menjadi “Restorasi ruang kota yang inklusif menuju kota nyaman kelas dunia yang sombere’ dan smart city untuk semua.” Penjabaran programnya berupa; 1).Penataan total sistem persampahan, 2).Pembenahan total sistem penanganan banjir dan pencegahan kemacetan, 3).Pembangunan infrastruktur dan kawasan “waterfront city” berbasis mitigasi dan adaptasi lingkungan, 4).Peningkatan jejaring smart pedestrian dan koridor hijau kota, 5).Peningkatan lorong garden dan pembentukan 5000 lorong wisata, 6).Percepatan pembangunan sistem dan infrastruktur “Sombere’ & Smart City” yang inklusif, 7).Percepatan Makassar menjadi Liveable City dan Resilient City, 8).Pembangunan gedung “Sombere & Smart” New Balai Kota dan New DPRD. 

Bila diperhatikan secara cermat, hampir semua program strategis pada periode lalu diakomodasi ulang dalam program dan kegiatan RPJMD yang baru. Kecuali, program pembentukan badan pengendali pembangunan kota dan pengembangan pinggiran kota yang tidak disinggung lagi. Hal ini menegaskan, bahwa sebagian besar janji Wali Kota yang tertuang dalam program strategis pada periode pertama tidak berjalan efektif dan optimal. Sebagai contoh, persoalan banjir yang alih-alih diselesaikan, justru makin rentan terjadi setiap kali turun hujan. Wilayah pinggiran kota yang seolah tidak pernah dijadikan prioritas, menjadi bukti bahwa keseimbangan pembangunan antar wilayah belum terwujud sebagaimana diamanatkan dalam Perda No.4/2015 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Makassar. Begitu pula, semrawutnya pengelolaan sampah di kawasan TPA, padahal sudah dijanjikan jauh sebelumnya akan dibangun TPA Bintang 5, yang hingga kini belum jelas bentuknya seperti apa.

Tadinya saya menduga, dengan memiliki Wali Kota yang sama, dari periode sebelumnya (2014-2019) ke periode saat ini (2021-2026), akan membuat arah pembangunan Kota Makassar semakin nyata dan berkelanjutan. Namun harapan jadi pupus, setelah membaca laporan media tentang beberapa proyek yang dilaunching saat puncak peringatan Hari Jadi Kota Makassar ke-414 pada 9 November 2021. Di antara proyek tersebut; Pedestrian Melayang dari Rotterdam hingga Mall PiPo (Japparate) yakni koridor di atas pesisir losari, Smart Incubator Center-yang menjadi pembina sekaligus offtaker produk UMKM, Makassar Virtual Economic Center (Marvec)-pusat monitoring semua komoditi lewat aplikasi, Makassar Government Service Center-pusat pelayanan publik terintegrasi, Tettere’ (smart electric smart enterprises)-pedagang keliling dari lorong ke lorong dengan sepeda motor listrik, Commo’ (commuter metro moda) moda transportasi yang berfungsi sebagai feeder minibus electric, Untia International Eco-Circuit-arena balap internasional berbasis konservasi,  Macca atau multisport recreations & convention hall serta 5000 lorong wisata.  

Lalu pada 15 Maret 2022, warga Makassar kembali dihebohkan dengan jargon baru yang disampaikan Wali Kota dari Rakorsus Pemerintah Kota Makassar, Yaitu “Makassar menuju Kota Metaverse” (Makaverse). Segera setelah itu, berbagai SKPD yang ada dalam lingkup Pemkot Makassar, bekerja untuk meyakinkan sembari menyatakan kesiapan menjalankan konsep tersebut. Namun, pada diskusi publik yang diadakan Forum Dosen bertajuk “Metaverse VS Pendidikan Berkualitas” pada 14 Juni 2022, membuktikan sebaliknya. Tak lama berselang, muncul lagi keinginan Wali Kota membangun New Balai Kota ke kawasan reklamasi CPI. Yang jika ini dilakukan, maka pemerintah sesungguhnya tengah membangun jarak dari masyarakatnya dengan menempatkan institusi pemerintahan pada episentrum kapital yang kontroversial. Pembangunan kota secara sporadis dengan mengandalkan branding, slogan, jargon, tanpa menjawab problem mendasar terkait ruang hidup rakyat, pada akhirnya menyebabkan disorientasi penataan ruang di Kota Makassar. Semua itu akan terus terjadi bila pembangunan tidak berbasiskan perencanaan yang matang serta tidak berdasarkan pada kebutuhan masyarakat, tapi hanya mengikuti selera elit pemegang kuasa.    

Dengan problematika pembangunan Kota Makassar seperti diuraikan, mengingatkan saya pada fenomena Urban Suicide atau “bunuh diri perkotaan” yang pernah dikumandangkan para pakar perkotaan puluhan tahun silam. Implikasinya, muncullah apa yang diistilahkan oleh Prof.Jhon Rennie Short sebagai Wounded Cities alias kota-kota yang terluka. Mengapa itu terjadi? Karena, mereka para tokoh dan penguasa yang dipercaya oleh rakyat untuk mengelola kota, justru mereka yang “melukai” dan “merusak” kotanya dengan berbagai kebijakan yang kurang tepat. Wallahu a’lam bisshawab.

Harian FAJAR, Juni 2022


Sabtu, 11 Juni 2022

SATUPENA Sulsel: Ikhtiar untuk Kebangkitan Kembali Gerakan Literasi Sulawesi Selatan

“Membaca untuk mengenal dunia dan menulislah agar dikenal dunia.”

 “Sesungguhnya tulisan itu abadi. Tulislah sesuatu yang akan

  membahagiakanmu di akhirat kelak.”

 (Sayyidina Ali bin Abi Thalib Kw)

  

Kutipan di atas adalah ungkapan Sang Pintu Kota Ilmu Nabi, Penghulu para Sufi dan Kaum Arif, yang secara implisit nan lugas menggambarkan betapa aktivitas literasi, begitu sangat penting dalam memajukan serta mengembangkan sebuah peradaban. Literasi, pada dasarnya merupakan cara manusia membaca peradaban. Maka wajarlah kemudian, jika tingkat literasi akan sangat menentukan kemajuan peradaban sebuah negeri.  Sayangnya, kebijakan di negeri ini, masih sangat minim dalam memfasilitasi terciptanya ruang-ruang publik untuk tumbuhnya tradisi literasi yang dinamis. Komunitas literasi dan para pegiatnya sudah saatnya berpikir lebih strategis untuk berkontribusi mengambil bagian dalam memajukan bangsa ini.

Sekaitan itu, Ketua Umum Perkumpulan Penulis Indonesia-SATUPENA Denny JA, saat berbincang dengan Pegiat Literasi, Jurnalis dan Mantan Ketua Ikapi Sulsel Andi Wanua Tangke, menyampaikan pemikiran dan obsesinya dengan mengatakan bahwa, “SATUPENA harus berperan menjadikan Indonesia sebagai Negara Literasi. Ruang publik negeri ini tidak boleh hanya didominasi isu politik dan ekonomi, tapi juga harus diwarnai dengan konten-konten karya sastra dan kegiatan yang berdimensi kebudayaan.”  Ini hal menarik, sebab kendatipun dimaknai semacam harapan yang ingin beliau wujudkan selaku pimpinan organisasi penulis. Namun, saya menafsir dan membacanya sebagai visi dan gagasan besar yang ingin ia letakkan bagi organisasi SatuPena, sekaligus bagi seluruh komunitas dan pegiat literasi yang berkomitmen sama.

“Berperan Menjadikan Indonesia Sebagai Negara Literasi” merupakan sebuah ide dan gagasan yang tentu tak mudah untuk merealisasikannya. Dibutuhkan pendekatan yang sistemik dan komprehensif dengan memakai perspektif jangka panjang (long-term perspective). Diperlukan pula desain perencanaan beserta tahapannya, yang dengan konsisten harus dijalankan oleh anggota SatuPena dan lebih khusus bagi para pengurusnya.

Agar visi besar tadi memiliki pijakan serta tidak kehilangan spirit lokalitasnya, maka langkah awal yang akan dilakukan SatuPena menurut Denny JA, adalah menginisiasi lahirnya forum komunikasi penulis, terciptanya jejaring di antara penulis serta terbangunnya kota-kota dan desa-desa literasi. Dengan begitu, kehadiran SatuPena pada 34 Provinsi di Tanah Air, seyogyanya menjadi motor penggerak literasi di daerahnya, yang tak pernah berhenti bekerja untuk memajukan peradaban Bangsa melalui daerah masing-masing.

Lalu, bagaimana dengan tradisi literasi di Sulawesi Selatan serta respon SatuPena Sulsel? Pasca Deklarasi dan Pengukuhan pada 1 Juni 2022 lalu, SatuPena Sulsel tentu sudah harus bergerak proaktif menjalankan peran secara optimal dan strategis, dalam upaya menggelorakan dan membangkitkan kembali gerakan literasi Sulsel. Meski tantangan pasti ada, namun usaha ini mungkin saja tidak begitu sulit, bila dilakukan secara bersama dan sungguh-sungguh. Karena sebetulnya, Sulawesi Selatan sudah memiliki modal sosial literasi yang sangat baik, jika menilik pada sejarah leluhur Sulawesi Selatan. Prof. Andi Zainal Abidin Farid dalam “Capita Selecta Sejarah Sulawesi Selatan”, menyebutkan adanya beragam lontarak Bugis-Makassar, yang memuat berbagai bidang ilmu pengetahuan, seperti: sejarah, filsafat dan pandangan hidup, pertanian, kebudayaan, obat-obatan, hukum adat, dan lain sebagainya. Hal tersebut menunjukkan, betapa majunya tradisi literasi sekaligus peradaban leluhur kita kala itu. 

Bukankah mereka telah melahirkan atau memiliki Surek I La Galigo? Sebuah hasil karya monumental orang-orang Bugis pada masa pra-Islam, yang telah mendapat pengakuan dunia sebagai karya sastra terpanjang. Belum lagi, karya-karya literasi dari sejumlah ulama dan pemuka agama, yang merupakan perintis awal penyebaran Islam di Sulawesi Selatan. Sebut saja di antaranya, Sayyid Jamaluddin al-Akbar al-Husaini di Tosora Wajo, Sayyid Jalaluddin al-Aidid di Cikoang Takalar, Sayyid Alwi bin Sahl Jamalullail di Mandar, yang juga adalah salah satu guru Imam Lapeo (KH. Muhammad Thahir). Dan mungkin yang paling masyhur di masyarakat Sulawesi Selatan ialah Syekh Yusuf al-Makassari, yang pernah menorehkan karya semisal Fusushul Hikam atau Futuhat al-Makkiyah-nya Ibn ‘Arabi. Ulama Pejuang sekaligus Pahlawan Nasional di dua negara – Indonesia dan Afrika Selatan - ini, oleh Guru Besar Sejarah Islam UIN Alauddin Makassar, Prof. Ahmad Sewang menyebutnya sebagai Bapak Literasi Nusantara, karena telah menghabiskan sebagian besar hidupnya menjelajah dunia untuk mendalami ilmu pengetahuan serta meninggalkan sejumlah 23 kitab/buku sebagai warisan literasi.

Pertanyaannya, akankah kita sebagai generasi penerus hanya sebatas menunjukkan kekaguman, ketakjuban, kebanggaan, dengan romantisme historis dari tradisi literasi leluhur kita itu? Tentu saja tidak! Dan pada konteks inilah, tantangan bagi SatuPena Sulsel serta berbagai komunitas literasi, akan sangat dinantikan bagaimana pemetaan dan perumusan langkah yang akan diambil dan dijalankan, sebagai upaya dan ikhtiarnya dalam membangkitkan kembali gerakan literasi di daerah ini. Karena, untuk mewujudkan sebuah gerakan literasi yang progresif dan massif di masa mendatang, selain pendekatan kultural yang tengah berjalan selama ini, maka diperlukan pula pendekatan struktural melalui “interupsi” dari SatuPena Sulsel, untuk mendorong upaya intervensi kebijakan dalam menciptakan ruang-ruang produktif bagi kemajuan literasi di daerah kita ini. Gerakan literasi progresif dan massif tadi adalah kerja besar yang hanya bisa dilakukan melalui sistem kerja yang bersifat kolektif, kolaboratif dan sinergis, terutama dalam menjaga dan merawat kesinambungan dan keberlangsungannya.

Sejatinya memang, gerakan literasi mesti terakomodasi dalam sistem dan kebijakan perencanaan kita. Baik pada perencanaan pembangunan maupun perencanaan ruang (spasial). Karena, melalui gerakan literasi, kebutuhan manusia akan perolehan dan perluasan pengetahuan menjadi terpenuhi. Yang dengan pengetahuan tersebut, akan mengantarkan manusia pada makrifat hakiki dan peradaban yang lebih tinggi. Semoga kehadiran SatuPena di Sulawesi Selatan mampu memberi makna serta kontribusi positif bagi perkembangan gerakan literasi Sulsel pada masa kini dan waktu-waktu mendatang.

satupenariau.com, nusantarachannel.co, tribunpost.com, Juni 2022

 

 


Rezim Yang Ambigu dan Problem Lingkungan di Indonesia

Permasalahan lingkungan hidup, telah mendapat perhatian besar di hampir semua negara. Ini terutama terjadi sejak dasawarsa 1970-an setelah d...