Kamis, 30 Mei 2019

Madrasah Ramadhan untuk Perbaikan Bangsa


Berbagai persoalan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara telah mengiringi perjalanan kita selama ini. Meski sebagian sudah dapat teratasi, namun masih menyisakan sejumlah persoalan yang belum terselesaikan, kendatipun era reformasi telah lewat dua puluh tahun. Salah satu ‘penyakit’ yang masih jadi momok dalam penyelenggaraan pemerintahan, adalah perlakuan pejabat publik yang terkait masalah korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan lainnya. Hal ini tentu sangat erat kaitannya dengan minusnya pembentukan karakter (character building) dan budaya, sebagai sebuah bangsa.
Lantas, apa sesungguhnya yang keliru di negeri ini? Boleh jadi benar, yang diujarkan oleh budayawan Radhar Panca Dahana dalam karyanya “Kebudayaan dalam Politik - Kritik Pada Demokrasi” yang menyatakan bahwa, begitu minornya posisi kebudayaan dalam semua jargon pembangunan modern saat ini, telah membuat bangsa ini jatuh pada titik terdalam jurang rusaknya karakter atau kepribadian. Standar atau acuan moral dan mental bangsa kita yang selama ini membuat bangsa lain di dunia – selama lebih dari dua millennium – menaruh respek bahkan menjadikannya contoh, kini justru berbalik menjadi rasa malu, cemoohan atau bahan lelucon di kalangan masyarakat Internasional.
Pada sisi lain, secara statistik, negeri kita merupakan Negara Muslim terbesar di dunia. Idealnya, jumlah mayoritas tersebut, sejatinya memberikan dampak dan pengaruh yang luas terhadap berbagai upaya perubahan serta perbaikan. Namun kenyataannya tidak demikian. Pada bukunya, “Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan”, Prof.Dr.Ahmad Syafii Maarif,MA mengatakan, sudah sejak lama kita merisaukan kesenjangan yang parah antara jumlah mayoritas umat Islam Indonesia dan kualitas kehidupan mereka yang tertinggal jauh di buritan pada hampir semua bidang.
Oleh sebab itu, untuk melangkah ke depan, masalah kualitas ini harus mendapatkan perhatian yang sungguh-sungguh  dari para pemimpin Islam Indonesia, agar kesenjangan itu secara berangsur dan sadar dapat dipertautkan. Memang saja, penganut Islam kuantitatif telah bertahan sekian lama hingga hari ini. Bertahun-tahun setelah Indonesia merdeka sampai era reformasi saat ini, namun tidak banyak mengalami perubahan mendasar. Pertanyaannya, apakah Islam tidak memiliki upaya-upaya transformatif dalam sistem nilainya? Ataukah umat Islam sendiri yang berjarak dengan sistem nilainya?
Terkait hal tersebut, maka salah satu yang perlu dibaca ulang, adalah bagaimana pengaruh Madrasah Ramadhan terhadap perubahan individual dan sosial masyarakat. Bagi kaum Muslimin, Madrasah Ramadhan sejatinya, dijadikan sebagai momentum untuk melakukan penempaan dan perbaikan diri. Sebab, di dalamnya, sarat dengan berbagai unsur yang berdimensi spiritual dan ruhaniah, yang sangat dibutuhkan oleh manusia.
Bila manusia terpisah dengan dimensi ruhaniahnya, maka kemanusiaannya menjadi kemanusiaan yang berpenyakit. Jean Jaques Rousseau pernah berujar, “Semakin banyak orang pandai, semakin sulit dicari orang jujur.” Ia beranggapan, semua penyakit kemanusiaan timbul karena manusia hanya mempertajam akalnya saja dan mengesampingkan panggilan hati nuraninya atau sisi ruhaninya. Demikian kutipan dalam “Renungan-Renungan Sufistik”-nya Dr.Jalaluddin Rakhmat.
Di dalam Al-Quran dan banyak hadis, disebutkan bahwa Ramadhan adalah bulan yang agung dan mulia di sisi Allah SWT. Meski begitu, dalam prakteknya, Ramadhan yang kita jalani hanya terkesan semarak dalam aspek lahiriahnya. Tentu hal itu disebabkan pemaknaan kita terhadap Ramadhan.
Karena itu, Allamah Syaikh Asad Muhammad Qashir mengatakan, “Seringkali yang menyebabkan orang tidak menghargai sesuatu dengan sepantasnya, adalah karena dia tidak memiliki pengenalan yang baik terhadap sesuatu tersebut. Banyak manusia yang saat bulan Ramadhan menghampirinya, saat dia berada di dalam bulan suci Ramadhan, dan saat dia akan meninggalkannya, maka perasaan, pikiran serta sikapnya tidak berbeda dengan bulan-bulan lainnya. Penyebab utama keadaan seperti itu, adalah karena dia tidak mengenal Ramadhan dengan sebaik-baik pengenalan.”
Beberapa hal yang penting dicermati kembali dalam Madrasah Ramadhan, untuk menambah pengenalan dan pengetahuan kita tentangnya, agar kita mampu mencerap energi positif dalam melakukan perubahan dan perbaikan, baik secara individual maupun komunal, antara lain:
Pertama, Ramadhan bulan Al-Quran. Keagungan dan kemuliaan Ramadhan, tidak terletak pada puasanya, melainkan karena di dalamnya diturunkan Al-Quran sebagai pedoman bagi umat manusia. Sekiranya manusia dan khususnya kaum Muslimin, konsisten menjadikan Quran sebagai sistem nilai serta jalan hidupnya, maka pastilah akan memberikan kebahagiaan dalam kehidupan individu dan masyarakatnya. Sebab, Al-Quran merupakan panduan sempurna untuk sepanjang zaman, yang berlaku secara universal.
Kedua, Rasulullah SAW manifestasi Al-Quran. Terkait Quran, tentu tidak dapat dipisahkan dengan Sang Pembawa kitab suci tersebut. Islam sebagai risalah terakhir di akhir zaman yang diturunkan Tuhan kepada Nabi-Nya yang mulia, tidak hanya sebatas konsepsi idealita yang sempurna, namun sekaligus menggambarkan realita sesungguhnya yang terungkap dalam diri Rasulullah SAW. Itu sebabnya, beliau menjadi teladan sempurna dari keseluruhan nilai dari kandungan Al-Quran. Surah Al-Ahzab 21 menyebutkan, “Sungguh, telah ada pada diri Rasulullah, suri teladan yang baik bagimu…” Tuhan juga berfirman, “Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan menjadi rahmat bagi seluruh alam.” (QS.Al-Anbiya:107)
Ketiga, Malam Lailatul Qadr. Malam ini digambarkan sebagai malam yang lebih mulia dari seribu bulan. Di dalamnya, terdapat banyak keagungan, keberkahan dan keutamaan. Direktur Rumi Institute, Muhammad Nur Jabir, menyebut Lailatul Qadr sebagai fenomena yang terjadi di dalam diri, di batin kita. Bukan fenomena pada realitas eksternal. Karenanya, mencari Lailatul Qadr bukan di luar diri, tapi di dalam diri, di alam malakut diri sendiri. Dengan begitu, bila ada orang yang mendapatkan anugerah Lailatul Qadr, berarti ia telah mendapatkan kadar eksistensi dirinya melalui ibadah-ibadah yang ia lakukan di bulan Ramadhan.
Keempat, Kedudukan Takwa. Tujuan utama pelaksanaan ibadah puasa di bulan suci Ramadhan, adalah meraih derajat takwa. Takwa adalah suatu kekuatan batin dan daya spiritual yang kokoh, yang terbit pada jiwa manusia dari pengamalan dan latihan yang berkesinambungan. Imam Ali bin Abi Thalib Kw berkata, “Takwa adalah pangkal akhlak.” Dan karenanya, ia tidak berjarak dengan realitas sosialnya. Itu sebabnya, Nabi SAW sebagai manifestasi manusia takwa, diutus ke bumi untuk menyempurnakan akhlak manusia.
Dari uraian di atas, maka Madrasah Ramadhan, sejatinya menawarkan optimisme serta harapan akan perubahan dan perbaikan. Jika saja setiap individu Muslim di negeri ini, memiliki pengenalan yang tepat terhadap posisi Madrasah Ramadhan dalam pembentukan diri, maka tentu akan melahirkan, manusia-manusia suci nan fitrawi, yang akan melakukan proses transformasi nilai-nilai, dalam rangka memperbaiki kondisi bangsa ini, yang notabene dihuni oleh mayoritas kaum Muslimin.

Ramadhan : Bulan Quran untuk Kesempurnaan Insaniah


Bulan Ramadhan adalah bulan Allah SWT, satu-satunya bulan yang namanya diabadikan dalam Al-Quran. Allah menyebutnya dengan bulan nuzul Al-Quran (turunnya Al-Quran). Allah SWT berfirman, “(Beberapa hari yang ditentukan itu adalah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Quran.” (Al-Baqarah:185). Bulan ini menjadi agung bukan dikarenakan  puasanya, melainkan karena di dalamnya diturunkan Al-Quran yang merupakan mukjizat Abadi dari Nabi kita Muhammad SAW. Al-Quran memiliki hukum dan hikmah, di antaranya ialah hukum puasa. Inilah hikmah yang utama di bulan Ramadhan. Pada bulan ini manusia menjadi tamu-tamu Allah SWT. Dan Allah menyajikan hidangan bagi para tamu-Nya berupa Al-Quran al-Karim.
Syaikh Jawadi Amuli menerangkan bahwa bagi para ahli suluk dan penempuh jalan ruhani, bulan Ramadhan merupakan bulan perhitungan. Karena bagi mereka, pergantian awal tahun dimulai dari bulan Ramadhan yang mulia. Mereka menghitung amal perbuatan dan perjalanan mereka sejak bulan Ramadhan yang lalu hingga bulan Ramadhan yang akan datang. Mereka mempertanyakan, bagaimanakah keadaan diri mereka pada bulan Ramadhan yang lalu? Pada derajat manakah mereka sekarang berada? Kedudukan apakah yang mereka dapatkan pada bulan ini? Sejauh manakah mereka bisa menguasai diri di hadapan berbagai kekeliruan? Dan sejauh manakah mereka mampu bertahan di hadapan musuh?
Hal yang sangat penting dalam Madrasah Ramadhan adalah muhasabah (introspeksi), dengan melakukan taubat dan penyucian diri. Langkah dan upaya ini menjadi sangat mendasar bila kita ingin meraih capaian-capaian yang bersifat maknawi di bulan Ramadhan. Seperti disebutkan sebelumnya, bahwa Al-Quran adalah jamuan Ilahi yang diberikan bagi hamba-hamba-Nya. Namun, tidak semua orang bisa menyantap dan menikmati jamuan tersebut. Syaikh Abdullah Jawadi menyebutkan bahwa Al-Quran bukanlah jamuan yang diperuntukkan bagi setiap orang. Ia merupakan pemberian khusus yang diperuntukkan bagi insan yang haus dan lapar akan makrifat Al-Quran. Perlu diketahui bahwa memahami Al-Quran tanpa bimbingan ruhani dan tazkiyah nafs, tanpa iman yang hakiki, tanpa hidayah dan takwa, adalah mustahil.
Karena itu, jangan dikira manusia mampu memahami Al-Quran tanpa harakah takamuli dengan ilmu dan amal. Jika orang ingin mengenal Al-Quran dan kandungannya, maka ia membutuhkan takamul (kesempurnaan). Sehingga mesti disadari, bahwa tingkatan manusia dalam memahami Al-Quran sesuai dengan tingkatan takamul-nya. Artinya, seberapa sempurna yang ia capai dalam perjalanannya kepada Allah, maka sampai pada tingkatan itu pulalah manusia memahami ayat-ayat Al-Quran.
Al-Quran yang merupakan faidh (manifestasi) Ilahi hanya diturunkan Allah SWT untuk orang-orang yang suci. “Sesungguhnya Al-Quran ini adalah bacaan yang sangat mulia, pada kitab yang terpelihara (Lauh al-Mahfuz). Tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan.” (QS.Al-Waqiah:77-79). Dengan demikian, hanya mereka yang disucikanlah yang akan memperoleh pengetahuan Al-Quran. Tidak seorang pun dapat memahami Al-Quran hingga ke dasarnya kecuali mereka yang telah dibersihkan. Al-Quran menganggap kesucian sebagai rahasia setiap ibadah. Pada konteks ini, masalah taubat dan penyucian diri menjadi hal yang sangat penting dan mendasar.
Takwa adalah Tingkatan Kesempurnaan Manusia
Sudah mafhum bagi kita semua, bahwa tujuan dari puasa ialah untuk mencapai derajat takwa (QS.Al-Baqarah:183). Takwa adalah sebuah tingkatan kesempurnaan insaniah. Takwa adalah sifat maknawi yang jika dimiliki, maka manusia akan terjaga dari perbuatan-perbuatan dosa. Syaikh Ibrahim Amini mengibaratkan takwa itu seperti sebuah rem yang berada di tangan seorang supir. Ketika melihat mobilnya akan menabrak sesuatu, maka seorang supir akan mengendalikan mobilnya dengan rem. Sebuah mobil yang tidak mempunyai rem akan menabrak segala sesuatu. Rem adalah sesuatu yang sangat diperlukan sebuah mobil.
Demikian juga sifat takwa, yang perlu ada pada setiap manusia. Seorang manusia yang mempunyai sifat takwa, akan dijaga dan ditahan oleh sifat takwa, dari perbuatan-perbuatan dosa manakala perbuatan-perbuatan itu menghampirinya. Akan tetapi, jika tidak memiliki sifat takwa, maka bila perbuatan haram menghampirinya, ia tidak mampu menahan diri untuk tidak melakukannya. Takwa adalah bekal terbaik untuk menuju akhirat. Allah berfirman, “Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal.”(QS. Al-Baqarah: 197).
Hikmah lainnya dari Ramadhan berkenaan dengan puasa ialah melatih dan menjaga kemantapan iman kita. Menjadi manusia bertakwa yang merupakan tujuan dari pelaksanaan ibadah puasa, akan sulit dicapai tanpa iman yang kuat. Oleh sebab itu, orang yang berpuasa bersedia menanggung rasa lapar dan haus sebagai bukti kepatuhannya terhadap kewajiban yang diperintahkan Ilahi tersebut. Coba  dibandingkan dengan ibadah lainnya, umumnya bisa disaksikan dan diketahui oleh orang lain, sedangkan puasa, yang tahu hanyalah pelaku puasa itu sendiri dan Tuhan.
Di sinilah salah satu rahasia puasa yang biasa disinggung dalam sebuah riwayat, bahwa puasa dimaksudkan agar tercipta kelembutan dan hilangnya aktivitas hewani, yang dilakukan seseorang di luar bulan puasa, karena itu semua merupakan aktivitas kebohongan. Ketika seseorang berpuasa sehingga terjalin hubungan antara dirinya dengan ibadah puasa, secara perlahan ia akan sampai pada rahasia ibadah. Nah, aspek batin puasa adalah mendekatkan diri kepada Allah SWT. Karenanya Nabi SAW bersabda bahwa Allah berfirman, “Puasa itu untuk-Ku dan Aku sendirilah yang memberikan pahala.”
Akhirnya, sifat takwa akan muncul pada diri seseorang jika pada bulan Ramadhan, ia melakukan puasa persis sebagaimana yang telah dituntunkan oleh Islam. Yang dimaksud dengan puasa, di samping seseorang tidak makan dan minum di siang hari, serta tidak melakukan hal-hal yang membatalkan puasa, hendaknya seluruh anggota tubuhnya ikut berpuasa. Berpuasanya seluruh anggota tubuh adalah dengan tidak melakukan perbuatan-perbuatan dosa.
Dari sini dapat diambil kesimpulan, bahwa jika kita melaksanakan puasa Ramadhan dengan sesungguhnya, maka seseorang telah melatih dirinya untuk meninggalkan perbuatan-perbuatan dosa. Seorang yang sebulan penuh telah menjaga mata, telinga, tangan, dan lain-lainnya, maka berarti telah membiasakan anggota tubuhnya untuk tidak melakukan perbuatan yang haram, sehingga terbiasa dengan sifat takwa. Sehingga setelah Ramadhan, ia pun akan dengan mudah meninggalkan perbuatan-perbuatan yang haram tersebut. Demikianlah cara  meningkatkan ketakwaan kita, untuk meraih kesempurnaan insaniah di bulan Al-Quran ini.

PERLAWANAN RAKYAT PALESTINA : SEBUAH PILIHAN DAN KEMESTIAN (2)


“Apa yang sedang terjadi di Palestina?
Tragedi, pembunuhan massal, keterusiran, ketidakamanan,
dan upaya menghalangi sebuah bangsa untuk tumbuh dan berkembang.
Holocaust yang nyata sedang terjadi selama 60 tahun di Palestina.
Kita telah menyaksikan apa yang menimpa penduduk Gaza,
sebuah negeri  yang sedang diblokade total dan diserang oleh tentara-tentara Zionis,
ratusan orang hancur menjadi debu dan darah dalam waktu singkat.
Lantas, apa mereka harus berunding dan berdamai untuk semua kezaliman itu?”
 (Mahmoud Ahmadinejad)


Perdamaian, Mungkinkah?
Dengan memperhatikan sejumlah fakta yang ada, maka selanjutnya tentu saja memunculkan pertanyaan dalam benak kita, masih mungkinkah ada jalan keluar lewat perdamaian dari konflik berkepanjangan tersebut? Dalam buku “Ahmadinejad on Palestine”, dijelaskan dengan cukup terperinci bahwa selama ini, Amerika Serikat sebagai pendukung utama Israel, berkali-kali telah memediasi perundingan perdamaian antara Palestina-Israel. Setidaknya ada dua perjanjian penting yang pernah ditandatangani kedua pihak, yaitu Perjanjain Oslo I dan Perjanjian Oslo II. Namun, kedua perjanjian ini tidak membawa perbaikan apa pun bagi Palestina karena satu alasan : Ketidakadilan. Menurut Ahmadinejad, ‘keadilan’ adalah syarat utama untuk mewujudkan perdamaian di Palestina.
Dalam Perjanjian Oslo I atau disebut juga Perjanjian Gaza-Jericho, poin utamanya adalah Israel menyetujui pembentukan pemerintahan  otonomi (otoritas Palestina). Wilayah ‘pemerintahan’ yang diberikan hanya Gaza dan Jericho, dan secara bertahap dalam lima tahun Israel akan menarik mundur tentaranya dari Tepi Barat. Sebagai imbalannya, Otoritas Palestina bersedia; mengakui kedaulatan Israel dan menjaga keamanan orang-orang Israel dari serangan teroris. Tetapi yang terjadi melalui perjanjian ini, PLO yang menempatkan diri sebagai wakil bangsa Palestina seolah-olah telah ‘membeli’ posisi Otoritas Palestina dengan sepotong wilayah. Bahkan, dalam perjanjian ini, Otoritas Palestina telah dijadikan perpanjangan tangan Israel dalam menekan kelompok-kelompok pejuang Palestina seperti -  Hamas, Jihad Islam, dll – yang dalam perjanjian itu disebut sebagai ‘teroris’. Janji Israel untuk menarik mundur tentaranya juga tidak ditepati, bahkan aksi-aksi kekerasan dan pembangunan pemukiman Israel terus dilanjutkan di wilayah Palestina.
Sementara pada Perjanjian Oslo II atau Perjanjian Taba-Mesir 24 September 1995, berisikan: pembagian wilayah Tepi Barat ke dalam 3 Zona. Zona A yang hanya 3% dari wilayah Tepi Barat, secara penuh di bawah kontrol Otoritas Palestina, Zona C seluas 70% wilayah Tepi Barat berada di bawah kontrol militer Israel, dan sisanya, Zona B dikontrol bersama antara Palestina dan Israel. Perjanjian ini juga tidak membawa perbaikan apa pun, karena inti dari perjuangan rakyat Palestina, yaitu mengembalikan para pengungsi ke tanah/rumah mereka masing-masing, sama sekali tidak diakomodasi.
Mari kita tengok tanah air Palestina. Apakah manusia yang berakal sanggup menerima bahwa pembunuhan terhadap orang Yahudi di Barat, dijadikan alasan untuk menduduki tanah air yang dimiliki orang lain dan mendirikan sebuah negara baru di sana, dengan penduduk baru? Apakah tebusan bagi sebuah tragedi di Eropa – kalaupun itu memang terjadi – harus dilakukan di sebuah kawasan di Timur Tengah yang berjarak ribuan kilometer? Pertanyaan-pertanyaan seperti ini tentu saja mengusik kita bila upaya-upaya ke arah perundingan dan perdamaian akan ditempuh. Sebab, rakyat Palestina tidak melakukan kejahatan apapun. Mereka tidak punya andil dalam Perang Dunia II. Mereka hidup bersama masyarakat Yahudi dan Kristen secara damai pada masa tersebut. Mereka tidak mempunyai permasalahan. Dan hari ini pun, umat Yahudi, Kristen dan Muslim hidup bersaudara di seluruh dunia, di banyak benua. Mereka tidak memiliki permasalahan yang serius. Akan tetapi, apa sebabnya rakyat Palestina harus membayar semua ini, dengan terbunuhnya ribuan penduduk asli Palestina, dengan terusirnya jutaan orang dan menjadi pengungsi-pengungsi selama 60 tahun lamanya, bukankah ini sebuah kejahatan?
Pada konteks lain, perdamaian hanya akan diterima para pemimpin Zionis di Tel Aviv jika tidak berujung pada terbentuknya negara Palestina yang berdaulat, meskipun negara itu hanya memiliki wilayah yang kecil. Judea-Samaria (Tepi Barat) adalah “sakral” bagi Israel, terlebih Yerusalem Timur. Selain itu, hak kembali pengungsi Palestina merupakan bencana demografis bagi Israel, sekaligus dipandang sebagai upaya menghancurkan hak istimewa sebuah negara Yahudi. “Negara” Palestina hanya akan eksis sebatas sebuah pemerintahan kotapraja yang mengelola urusan administrasi orang-orang Arab saja di wilayahnya. Jadi, selama lebih dari enam dekade, dunia hanya menyaksikan kompromi besar berikut pengorbanan darah dan nyawa dari pihak Palestina. Sementara itu, Israel tidak pernah bergerak seujung kuku pun dari “ambisi-ambisi” fasisnya.
Dengan realitas seperti itu, mungkinkah perdamaian bisa diwujudkan? Oleh karenanya, sekali lagi Ahmadinejad menegaskan bahwa, “Perdamaian yang dicanangkan di atas kezaliman dan tidak didasarkan pada keimanan dan keadilan tidak akan abadi.”  Kalimat yang hampir senada juga disampaikan oleh Pemimpin Spiritual Islam Iran Sayyed Ali Khamenei, “Perdamaian adalah kata yang indah, namun keadilan lebih penting dan indah.”
Muqawamah dan Perlawanan : Sebuah Pilihan dan Kemestian
Melihat situasi yang berkembang tersebut, lantas bagaimana sikap dari mayoritas rakyat Palestina, khususnya para pejuang Palestina berkaitan dengan upaya penyelesaian konflik? Bagi mereka, masa depan Palestina harus diperjuangkan sendiri oleh rakyat sipil Palestina melalui gerakan intifadah dan muqawamah. Karena sebagian besar para elit politik formal Palestina terbukti sangat permisif, enggan menjadikan semangat Islam sebagai basis dan bahkan berkolusi dengan Israel. Rezim Zionis ini tidak layak dijadikan lawan dalam dialog dan perundingan. Sebagai biang krisis, rezim ini harus dimusnahkan untuk kemudian ditampilkan pemerintahan yang dikehendaki rakyat Palestina sendiri.
Suara Palestina untuk Hamas, bisa diinterpretasikan sebagai pesan kepada Israel dan komunitas internasional bahwa inilah pilihan rakyat untuk melawan upaya-upaya eksternal yang ingin mengendalikan situasi Palestina. Sebuah sinyal protes melawan intervensi besar dalam proses pemilihan oleh pemerintah-pemerintah Barat dan Uni Eropa, yang berulang kali mengancam untuk membekukan bantuan ekonomi dan menolak dukungan politik apabila Hamas masuk ke dalam pemerintahan Otorita Palestina. Pilihan ini juga adalah pesan secara khusus kepada “kuartet perdamaian”, yang terdiri dari PBB, Amerika Serikat, Rusia dan Uni Eropa, bahwa bangsa Palestina tidak lagi ingin menerima pertunjukan-pertunjukan “perdamaian” yang menghambat reformasi internal Palestina, yang pada akhirnya tidak dapat mengakhiri pendudukan dan kolonisasi Israel. Seruan ini juga ditujukan kepada dunia untuk menghentikan kekebalan hukum Israel, yang sekaligus untuk menghormati dan melaksanakan hak-hak bangsa Palestina di bawah hukum internasional. 
Rezim Zionis di tanah pendudukan Palestina adalah rezin rasialis. Ini adalah rezim yang diciptakan oleh kekuatan-kekauatan politik dan ekonomi dunia. Pada prinsipnya, rezim ini diciptakan untuk membendung persatuan dan kejayaan Dunia Islam. Mereka tidak menghendaki umat Islam membentuk kesatuan besar yang bakal membahayakan mereka. Untuk inilah rezim Zionis diciptakan. Karena itu, mana mungkin rezim ini bisa diharapkan berlaku adil. Polos sekali orang-orang yang beranggapan bisa berunding dengan rezim Zionis, karena bagi Israel setiap perundingan tak ubahnya dengan terbukanya satu kesempatan untuk melangkah maju. Bagi Sayyed Ali Khamenei, bagaimana mungkin sebuah bangsa telah diusir dari rumah, tanah air dan negeri mereka, sedangkan mereka yang tersisa di negeri tersebut dianggap asing. Namun perlu diketahui bahwa seandainya tidak ada satupun bangsa dan negara di dunia yang membantu bangsa Palestina, maka tetap merupakan ilusi kosong jika mereka berangan-angan menggantikan Palestina dengan satu bangsa buatan. Bangsa Palestina adalah bangsa yang berbudaya, bersejarah, memiliki latar belakang dan berperadaban. Sudah ribuan tahun mereka tinggal di Palestina, lalu kemudian terusir dari rumah, kampung halaman dan lembaran sejarah mereka, dan para agresor mendatangkan kaum imigran, orang-orang gelandangan dengan aneka ragam bangsa, dan orang-orang yang cuma mencari keuntungan untuk kemudian dijadikan sebuah bangsa.
Dan berkenaan dengan Palestina, tidak ada satupun kekuatan di dunia ini yang sanggup memadamkan cita-cita kebebasan dan kembalinya Palestina kepada para pemiliknya di hati umat bangsa-bangsa muslim, khususnya bangsa Palestina. Sebagian orang melihat masalah Timur Tengah sebagai krisis dunia dan mengatakan bahwa kita harus berusaha mengendalikan krisis tersebut. Tapi pertanyaannya, cara apakah yang dapat memadamkan krisis Timur Tengah? Hanya ada satu cara, dan itu adalah mematikan akar krisis. Apakah itu akarnya? Akarnya adalah rezim Zionis yang keberadaannya dipaksakan di Timur Tengah. Krisis tetap akan menyala selagi akarnya masih berwujud. Pada konteks ini, mungkin ada benarnya ungkapan Pemimpin Revolusi sekaligus Pendiri Republik Islam Iran, Ayatullah Ruhullah Khomeini yang pernah mengatakan bahwa, “Rezim penjajah Al-Quds harus lenyap dari lembaran waktu.” Atau dalam kalimat terjemahan secara bebas, “Israel must wiped off the map” Israel harus dihapuskan dari peta. Seorang aktivis Neturei-Karta – sebuah kelompok Yahudi Ortodoks yang menentang pendirian negara Israel – sekaligus Rabbi Yahudi  Yisroel D. Weiss, dalam Konferensi Holocaust di Teheran mengatakan, “Sangatlah jelas bahwa kaum Yahudi yang patuh kepada Taurat selalu menentang pembentukan negara Israel. Kami diperintahkan oleh Tuhan untuk tidak menciptakan eksistensi kami sendiri. Kami dalam pengasingan oleh Tuhan sampai penyelamatan terakhir, ketika semua manusia berdiri dengan damai serta melayani dan mengakui Tuhan Yang Esa.” Dan pada kesempatan yang lain beliau pun mengatakan, “Sebelum kami mengenal negara Israel, kami hidup bersama di tanah kaum Arab dan muslim selama ratusan tahun dalam damai.” Karena itu menurut Weiss, pendirian Israel adalah illegal, cacat dan salah.
Rezim yang menjajah Palestina pada beberapa waktu lalu kembali memperlihatkan kebejatan dan tiraninya dengan menyerang dan membunuhi puluhan relawan kemanusiaan yang tak bersenjata. Rezim ini mungkin berangan-angan bahwa mereka akan bisa memadamkan kobaran jihad untuk memperjuangkan kemerdekaan dan kebenaran yang tak kenal lelah, dan sekaligus mereka berpikir akan dapat melicinkan proses perdamaian serta memaksakan ambisinya secara lebih keras terhadap pihak yang pro-perdamaian. Namun, sebagaimana dahulu, kejahatan inipun tidak akan dibiarkan begitu saja. Praktik-praktik kotor dan khayalan-khayalan dalam benak rezim Zionis pasti akan sia-sia. Aksi-aksi tak berprikemanusiaan dan penuh kebencian ini sudah disusul dengan gelora protes warga muslim Palestina dan para pejuang serta demonstrasi masyarakat dan mahasiswa di pelbagai negara Islam sehingga gerakan intifadah  dan muqawamah menemukan spirit baru.
Umat Islam yang sadar dan waspada, menggelar demonstrasi besar-besaran yang penuh dengan gelora semangat untuk meneriakkan slogan-slogan kebenaran, dan mendesak pemerintah negara-negara Islam agar membuka jalan jihad dan mengizinkan warga muslim untuk menunaikan tugas ini sebagai satu-satunya jalan demi mengusir para penjajah dari tanah-tanah pendudukan serta memulangkan warga Palestina ke tanah air dan kampung halaman mereka. Gelombang kutukan terhadap rezim penjajah Palestina, sekarang kian merebak dan meredupkan proses perdamaian serta semakin memperjelas kesia-siaan proses tersebut di depan mata semua orang. Dukungan materi, spirit dan politik semakin tercurah kepada gerakan-gerakan jihad, intifadah dan muqawamah. Gembar-gembor mereka yang mengaku pembela hak asasi manusia sekarang sia-sia. Deru genderang skandal para penyokong Israel sudah terdengar sehingga sebagian besar dari mereka bahkan terpaksa turut mengutuk kejahatan rezim Zionis. Tragedi terkutuk ini dilakukan dengan tujuan memaksakan ambisi-ambisi kotor para penguasa Zionis terhadap pihak yang pro-perdamaian. Namun, bangsa Palestina yang pemberani mengecam perundingan damai. Bangsa ini akan menyempitkan ruang dari pihak-pihak yang pro-perdamaian. Perjuangan dengan janji-janji kemenangan dari Allah ini suatu hari pasti akan berhasil. Tanah-tanah yang terampas akan bebas dan modal harta kekayaan yang terjarah akan kembali kepada yang berhak. Semangat ini terus bergelora sebagai lanjutan atas perjuangan rakyat Palestina sebelumnya, dan sekarang dikobarkan oleh generasi muda yang tergodok oleh revolusi dan jihad dengan mengandalkan berbagai pengalaman berharga mereka. Ini menandakan bahwa generasi sekarang telah menemukan jalan yang benar untuk merebut kemenangan dan akan menempuhnya dengan tekad yang bulat.
Satu hal yang penting bahwa Palestina tidak boleh takluk kepada konspirasi musuh, karena yang ditargetkan rezim penjajah sekarang ini ialah perselisihan di tengah barisan bangsa Palestina, dan ini bahkan juga yang diinginkan oleh unsur-unsur pengkhianat Palestina yang berkolusi dengan musuh. Segenap elemen bangsa Palestina harus bersatu-padu dalam orientasi semua kalangan yang ikhlas, mukmin dan siap berkorban. Hati umat Islam saat ini menyanjung bangsa Palestina yang kini menjadi pusat perhatian Dunia Islam. Umat Islam berdoa untuk mereka, dan jika pintu bantuan sudah terbuka, maka sekarang juga bantuan itu akan mengalir, baik di saat pemerintahnya menghendaki bantuan itu atau tidak. Umat Islam tidak akan membiarkan bangsa Palestina begitu saja. Umat Islam tidak akan memandang para pemuda Palestina dengan sebelah mata.
Sedemikian agungnya gerakan ini sehingga pengorbanan-pengorbanan ini tidak terlihat begitu besar di mata mereka sendiri. Pengorbanan tidaklah tampak di mata mereka sendiri, namun dunia takjub menyaksikannya. Satu syahadah, seperti syahidnya seorang bocah dalam pelukan ayahnya, adalah badai yang menerjang hati bangsa-bangsa dunia dan ini semua sangat bernilai. Kita ucapkan selamat kepada seluruh bangsa Palestina yang teraniaya, khususnya yang menempuh jalan jihad, intifadah dan muqawamah, karena kebangkitan mereka kian hari kian mendapat sambutan dari umat Islam dan kaum revolusioner. Dan adapun para penjajah akan kembali ke tempat asal mereka, Insya Allah.  
“Dan Barang siapa menjadikan Allah, Rasul-Nya
dan orang-orang yang beriman sebagai penolongnya,
maka sungguh, pengikut (agama) Allah itulah yang menang.”
(QS. Al-Maidah [5] : 56)

Makassar, Juli 2010

PERLAWANAN RAKYAT PALESTINA : SEBUAH PILIHAN DAN KEMESTIAN (1)


Selama 60 tahun, orang-orang Palestina diusir
selama 60 tahun , mereka terus dibunuhi
selama 60 tahun, setiap hari mengalami konflik dan teror
selama 60 tahun, perempuan dan anak-anak tak berdosa
dihancurkan dan dibunuh oleh helikopter-helikopter
dan pesawat-pesawat tempur yang menghancurkan rumah-rumah mereka
selama 60 tahun, anak-anak sekolah dipenjarakan dan disiksa
selama 60 tahun, keamanan Timur tengah berada dalam bahaya
selama 60 tahun, slogan ekspansionisme “Dari Nil hingga Eufrat”
terus digemakan kelompok-kelompok tertentu.
(Mahmoud Ahmadinejad)

Beberapa waktu lalu, perhatian dan sorotan dunia kembali tertuju ke Jalur Gaza Palestina, disebabkan karena ulah tentara zionis Israel yang melakukan penyergapan serta penyerangan terhadap kapal-kapal sipil yang mengangkut bantuan dan relawan kemanusiaan. Peristiwa tersebut menyulut aksi protes dan unjuk rasa di berbagai negara atas tindakan brutal yang diperlihatkan untuk kesekian kalinya oleh rezim zionis Israel. Gerakan misi kemanusiaan yang dilakukan oleh para aktivis dari berbagai negara tersebut, adalah sebagai bentuk kampanye untuk menembus blokade Israel atas rakyat Palestina, yang bertujuan menentang segala bentuk penjajahan dan kolonialisasi serta ketidakadilan dan kezaliman yang tengah dialami oleh Palestina. Pertanyaannya, apa yang menyebabkan konflik berkepanjangan yang terjadi di Palestina tersebut seolah tak pernah bisa berkesudahan? Persoalan inilah yang akan kita coba lihat lewat tulisan sederhana ini.
Ada Apa di Palestina?
Dalam memahami apa yang sedang terjadi di Palestina, maka ada baiknya kita telaah sebagian dari pidato Ahmadinejad, “Sekitar 60 tahun yang lalu, dengan program rumit (yang melibatkan) propaganda, politik dan militer, dan dengan persiapan pendahuluan, sebuah kelompok tanpa jati diri bernama Zionisme dipaksakan (untuk berdiri) di jantung kawasan Timur Tengah. Alasan pemaksaan ini ada dua : pertama, penderitaan yang dialami kelompok ini pada Perang Dunia II. Dikatakan bahwa kelompok ini (kaum Yahudi) dulu mengalami penjajahan dan sebagian dari mereka tewas. Untuk menghibur para korban yang masih hidup, mereka harus diberi tempat dan harus dilindungi sampai mereka nyaman (di tempat itu). Alasan yang kedua yang (baru) kemudian dikemukakan adalah bahwa nenek moyang mereka (Zionis) adalah orang-orang yang lebih dari 2500 tahun lalu pernah hidup di tanah itu (Palestina), karenanya mereka berhak untuk hidup di kawasan itu dan memiliki pemerintahan sendiri di sana. Kepada mereka (yang menyampaikan alasan ini) kami mengatakan dan telah kami katakan : jika kezaliman itu terjadi di Eropa, mengapa tebusannya harus diberikan oleh sebuah bangsa di Timur Tengah? Misalkan memang benar ada pihak yang melakukan kejahatan, mengapa bangsa-bangsa yang tidak ada urusan dengan Perang Dunia II harus mengganti kerugiannya? Selain itu, kalian mengatakan berniat memberikan tanah untuk para korban perang, lalu mengapa setelah itu, orang-orang tanpa jati diri dari berbagai penjuru dunia dikumpulkan dan diberikan tempat tinggal di Palestina? Mereka mengatakan bahwa nenek moyang kaum Zionis 2500 tahun yang lalu hidup di Palestina (dan karena itu Zionis berhak pula hidup di sana), namun, jika hukum seperti ini diamalkan di tempat lain, bukankah semua perbatasan (wilayah) politik hari ini juga akan musnah? Pertanyaan kami siapa yang hidup di Amerika Utara 250-300 tahun lalu? Klaim tentang (kehidupan) 2500 tahun lalu belum terbukti, tapi di Amerika Utara, orang-orang yang (dulu) hidup di sana, sampai sekarang pun masih ada.”
Tampaknya Ahmadinejad dalam pidatonya tersebut berusaha menjawab berbagai klaim yang dilakukan oleh pemerintahan Zionis Israel selama ini atas pendudukannya terhadap tanah Palestina. Klaim dalam bentuk yang lain, lewat pendekatan teologis atau religius misalnya pernah diutarakan oleh Moshe Dayan, mantan Menteri Perang Israel, seperti : “Jika seseorang memiliki Bible, jika seseorang menyatakan dirinya pengikut Bible, dia harus memilki tanah suci ini, yaitu tanah yang dimiliki Judge dan Patriarch, Jerusalem dan Hebron, Jericho dan yang lainnya.” Namun pernyataan tersebut dikomentari oleh Roger Garaudy dalam bukunya “The Founding Myths of Modern Israel” dengan menulis, “Ideologi Zionis berlandaskan satu postulat yang sederhana, yang tertulis di Kitab Genesis (XV, 18-21), “Tuhan telah membuat persekutuan dengan Abraham dalam hal ini: Aku akan memberikan negeri ini dari sungai di Mesir hingga ke sungai besar, sungai Eufrat.” Berdasarkan ayat ini, tanpa bertanya kepada diri sendiri siapa saja yang termasuk ke dalam ‘persekutuan’ itu, kepada siapa janji itu diberikan, atau apakah janji itu bersyarat atau tidak, para pemimpin Zionis – termasuk mereka yang agnostik dan atheis – memproklamasikan: Palestina telah diberikan kepada kami oleh Tuhan. Padahal statistik dari pemerintah Israel menunjukkan bahwa hanya 15% orang Israel yang religius, namun anehnya 90% dari mereka mengklaim bahwa tanah Palestina adalah hadiah dari Tuhan, Tuhan yang tidak mereka percayai.”
Mungkin kita akan bertanya, ada apa sehingga Israel begitu ngotot menginginkan Palestina? Mahmoud Ahmadinejad, Presiden Republik Islam Iran ini, kembali melontarkan jawaban atas pertanyaan mendasar tersebut dengan mengatakan bahwa, “Kawasan Palestina adalah kawasan yang sangat penting, kawasan yang strategis dari sisi politik, budaya, ekonomi, kawasan yang memiliki keistimewaan yang tiada duanya. Menguasai Palestina artinya menguasai semua jalur utama politik dan ekonomi dunia. Penguasaan atas Palestina berarti menguasai seluruh kawasan (Timur Tengah) dan kawasan Islami. Menguasai Palestina berarti menguasai bridge-head di jantung dunia untuk menguasai semua bangsa. Dan tentu saja, penguasaan Palestina adalah cita-cita historis sebagian kekuatan-kekuatan Barat.” 
Dalam kondisi seperti itulah, maka tidak begitu mengherankan kalau kemudian Israel sangat berkeinginan merebut dan menduduki Palestina, dengan mengerahkan segala kekuatan yang dimiliki dan melalui cara apapun agar tujuan mereka bisa tercapai.
Setelah melakukan berbagai manuver politik maupun militer ke wilayah Palestina sekian puluh tahun lamanya, maka sejak Juni 2007, Israel telah menutup gerbang-gerbang perbatasan yang menjadi tempat lalu-lalang orang-orang dan barang dari dan ke Jalur Gaza. Di beberapa gerbang, distribusi pangan dan bahan bakar masih dibolehkan keluar masuk. Tapi sejak Januari 2008, PM Israel Ehud Barak memerintahkan penutupan semua gerbang dan tidak membolehkan apa pun dan siapa pun untuk melewatinya, termasuk suplai bahan-bahan penting seperti makanan,obat-obatan dan bahan bakar. Akibat dari blokade ini, mayoritas penduduk di Jalur Gaza bergantung pada bantuan kemanusiaan, sehingga menyebabkan Gaza menjadi “penjara terbesar di dunia” (the biggest prison in the world). Situasi terakhir inilah yang kemudian memicu ketegangan di Gaza Palestina, mengakibatkan para aktivis kemanusiaan terpanggil untuk bergerak dan berupaya membuka blokade dan isolasi yang dilakukan oleh Israel terhadap rakyat Palestina.
Deretan Nestapa Rakyat Palestina
Berikut ini kami tuliskan sebagian dari rangkaian berbagai peristiwa yang menjadikan derita dan nestapa bagi rakyat Palestina, yang dirangkum dari berbagai sumber:
1882 : Dimulailah aliya raya pertama atau imigrasi besar-besaran orang-orang yahudi ke Tanah Suci. Gelombang pertama imigran Zionis ini datang dari Eropa Timur sebanyak 25.000 orang.
1896 : Wartawan Austria Theodor Herzl, pendiri gerakan Zionisme, menerbitkan pamflet berjudul Der Judenstaat yang menyebutkan bahwa masalah Yahudi hanya dapat dipecahkan dengan mendirikan negara Yahudi di Palestina atau di tempat lain.
1897 : Kongres I Zionis di Basle, Swiss. Para peserta kongres sepakat perlu ada negeri sendiri, tetapi mereka belum tahu di mana negeri sendiri itu dan bagaimana mendapatkannya.
1904-1914 : Gelombang kedua Zionis datang sebanyak 40.000 orang, sehingga populasi Yahudi di Palestina meningkat jadi 6% dari total penduduk.
1917 : Menlu Inggris Arthur J Balfour mengeluarkan sebuah deklarasi yang disebut Deklarasi Balfour yang mendukung perlunya ada negeri sendiri bagi bangsa Yahudi di Palestina.
1919-1923 : Gelombang ketiga imigran Zionis datang sebanyak lebih dari 35.000 orang, sehingga populasi Yahudi di Palestina meningkat jadi 12% dengan kepemilikan tanah 3% dari luas total tanah.
1922 : Keluar apa yang disebut “buku putih” Inggris mengenai Palestina tentang pembagian wilayah. Bagian timur disebut Transjordania yang diserahkan penguasaannya pada Emir Hashemite Abdullah dan bagian barat boleh ditempati orang-orang Yahudi tetapi hanya di sebelah barat Lembah Yordan.
1924-1928 : Gelombang keempat imigran Zionis datang sebanyak 67.000 orang, lebih 50% datang dari polandia. Sehingga populasi Yahudi di Palestina meningkat menjadi 16% dengan kepemilikan tanah 4,2% dari total wilayah.
1929-1939 : Gelombang kelima imigran Zionis datang sebanyak 250.000 orang, sehingga populasi Yahudi di Palestina meningkat jadi 30% dengan kepemilikan tanah 5,7% dari total wilayah.
1935 : November, Syeikh ‘Izz Al-Din Al-Qassam, ulama dari kota Haifa, memimpin perjuangan bersenjata pertama bangsa Palestina melawan pasukan Inggris dan Zionis. Beliau gugur syahid tanggal 19 November.
1936-1939 : Pecah pemberontakan rakyat Palestina untuk menentang perluasan pemukiman dan pendirian Negara Yahudi. Pemberontakan ini sudah mulai terjadi sejak tahun 1929. Di tengah terjadinya pemberontakan itu (1937) Komisi Peel mengusulkan pembagian Tanah Suci menjadi wilayah untuk orang Yahudi dan Arab.
1940-1945 : Kedatangan lebih dari 60.000 imigran Zionis, sehingga populasi Zionis menjadi 31% dan kepemilikan tanah menjadi 6,0%.
1947 : 18 Februari, Menlu Inggris Ernest Bevin, mengumumkan penyerahan masalah Palestina kepada PBB. 26 September, Inggris mengumumkan keputusan untuk mengakhiri masa Mandat Inggris. Pada bulan November, Majelis Umum PBB memutuskan membagi Palestina menjadi dua bagian; Yahudi dan Palestina. Orang-orang Yahudi menerima keputusan itu, tetapi Palestina dan Negara-negara Arab menolaknya.
1948 : David Ben Gurion memproklamasikan negara Israel disusul pecah perang. Yordania menduduki Tepi Barat dan Mesir menguasai Jalur Gaza.
1949 : Perang berakhir dimenangkan Israel dan dicapai gencatan senjata dengan Mesir, Lebanon, Yordania dan Suriah. Sedikitnya 700.000 orang Palestina menjadi pengungsi.
1967 : Israel menyerang Mesir, Suriah dan Yordania. Dan pecahlah Perang Enam Hari yang dimenangkan oleh Israel dengan menduduki Semenanjung Sinai, Dataran Tinggi Golan, Jalur Gaza dan Tepi Barat.
1969 : Yasser Arafat terpilih sebagai pemimpin PLO.
1973 : Mesir dan Suriah melancarkan serangan mendadak terhadap Israel yang menduduki Semenanjung Sinai dan Dataran Tinggi Golan. Perang ini disebut perang Yom Kippur, karena terjadi persis pada hari suci menurut kalender Yahudi, Hari Yom Kippur. Inilah kekalahan pertama Israel.
1977 : Presiden Mesir Anwar Sadat terbang ke Yerusalem dan berpidato di depan parlemen Israel, Knesset. Ia menawarkan perdamaian penuh jika Israel bersedia mundur sepenuhnya dari Sinai.
1978 : Pada tanggal 17 September, tercapai kesepakatan damai antara Israel dan Mesir. Kesepakatan damai yang disponsori Presiden AS Jimmy Carter itu ditandatangani PM Anwar Sadat di Camp David AS, pada bulan Maret 1979.
1981 : Pada tanggal 6 Oktober, Presiden Anwar Sadat dibunuh saat menghadiri parade militer untuk memperingati perang 1973 melawan Israel.
1987 : Pecah Intifadah pertama di wilayah penduduk Israel.
1991 : 30 Oktober, Konferensi Perdamaian Timur Tengah di Madrid dengan kehadiran wakil Israel, Suriah, Yordania, Lebanon dan PLO. Konferensi ini disponsori Presiden Uni Sovyet Mikhail Gorbachev dan Presiden AS George Bush, pertemuan ini tidak membawa banyak hasil. Konferensi Internasional untuk mendukung Intifadah Palestina digelar di Teheran, sebagai tandingan atas Konferensi Madrid.
1993 : Tercapai kesepakatan antara Israel dan PLO di Oslo, Norwegia. Perdana Menteri Israel Yitzhak Rabin dan Pemimpin Palestina Yasser Arafat menandatangani “Deklarasi Prinsip-Prinsip” di Washington. Kesepakatan ini menggarisbawahi rencana otonomi Palestina di wilayah pendudukan.
1994 : 4 Mei, Israel dan PLO menandatangani kesepakatan yang memberikan otonomi pertama kepada Palestina di Tepi Barat dan Jalur Gaza yang diduduki Israel sejak 1967. 11 Mei, Israel mulai mengalihkan kekuasaan ke PLO, menyerahkan pangkalan militer Jalur Gaza. 13 Mei, Israel menyerahkan Jericho ke polisi Palestina. 1 Juli, Arafat memasuki Gaza dalam rangka mendirikan otorita Palestina (Palestinian National Authority disingkat PNA).
1995 : 28 September, PLO dan Israel mencapai kesepakatan perluasan otonomi Palestina ke sebagian besar Tepi Barat. 5 November, Yitzhak Rabin ditembak mati dalam sebuah kampanye perdamaian di Tel Aviv oleh Yigal Amir, seorang pemuda Yahudi fanatik yang anti perdamaian.
1996 : 29 Januari, warga Palestina mengadakan pemilu pertama kali untuk memilih presiden dan anggota parlemen di Tepi Barat dan Jalur Gaza. Yasser Arafat terpilih sebagai presiden. 29 Mei, Partai Likud pimpinan Benyamin Netanyahu memenangkan pemilu dengan program memperlambat proses otonomi untuk memperbaiki keamanan, memperluas pemukiman dan menolak pembentukan negara Palestina.
1997 : 15 Januari, Netanyahu dan Arafat mencapai kesepakatan selama KTT di Erez mengenai perluasan otonomi Hebron dan Tepi Barat. 17 Januari, Perjanjian Al-Khalil ditandatangani Israel-PNA. Isinya: 20% wilayah Al-Khalil tetap dikuasai Israel dan sisanya diserahkan kepada Palestinian National Authority atau PNA.
1998 : 23 Oktober, Perjanjian Maryland ditandatangani Israel-PNA. Isinya: Israel menyerahkan sebagian wilayah di Tepi Barat kepada PNA, dan sebagai imbalan PNA berjanji mengatasi masalah kekerasan. 12 Desember, Pertemuan Majelis Nasional Palestina digelar di Gaza. Pertemuan ini sudah didesain AS dan Israel, sehingga keputusannya: menghapus salah satu isi deklarasi nasional Palestina yang menyebut “penghapusan Israel”.
2000 : 22 Maret, Untuk pertama kalinya Paus Yohanes Paulus II mengunjungi Tanah Suci. Paus dengan berapi-api membela perlunya tanah air bagi para pengungsi Palestina. 11 Juli, Presiden AS Bill Clinton ingin mengulangi keberhasilan pendahulunya Presiden Jimmy Carter dengan mengadakan KTT Camp David II, namun upaya ini gagal. 28 September, Intifadah II dimulai dengan pimpinan HAMAS. 29 September, Pecah kerusuhan brutal di Yerusalem setelah Ariel Sharon, pemimpin oposisi selama 45 menit masuk kompleks Haram al-Syarif, tempat di mana berdiri Masjid al-Aqsha. Tindakan ini memicu kerusuhan dan pertumpahan darah.
2001 : 6 Februari, Ariel Sharon, otak pembantaian Sabra Satilla, menjadi Perdana Menteri baru Israel. 17 Juli, Israel mengirim tank dan unit infanteri ke Tepi Barat sehari setelah seorang tentara Israel tewas dibunuh. 14 Agustus, Tank-tank Israel masuk kota Jenin tepi Barat dan menembaki kantor polisi. Ini aksi militer terbesar Israel di tepi Barat dan Jalur Gaza sejak 1994. 28 September, Ribuan orang Palestina memperingati ulang tahun Intifadah dengan pawai, berdoa serta mengheningkan cipta. 19 Oktober, Tank-tank dan tentara Israel masuk ke wilayah Tepi Barat. Tentera Israel merebut sebagian besar wilayah Bethlehem, Ramallah, Nablus dan Jenin. Aksi kerusuhan meningkat. 8 November, Tentara Israel menyerbu kamp pengungsi di Jalur Gaza dan Tepi Barat. 3 Desember, Helikopter tempur AS merudal wilayah dekat markas besar Yasser Arafat di kota Gaza disusul ancaman Ariel Sharon. Yasser Arafat menangkap lebih dari 110 anggota kelompok garis keras untuk memuaskan tuntutan Washington.
2002 : 15 Januari, Israel membunuh Raed al-Karmi pemimpin Brigade Al-Aqsha yang dituding bertanggung jawab atas 10 pembunuhan. 25 Januari, Israel mengerahkan pesawat tempur menggempur Tepi Barat dan Jalur Gaza. 8 Maret, Tentara Israel mengamuk di Tepi Barat dan Jalur Gaza sehingga menewaskan 40 orang Palestina. Ini merupakan pertempuran terburuk setelah Intifadah 18 bulan silam. 10 Maret, Israel menghancurkan markas besar Palestina di Jalur Gaza. 12 Maret, Untuk pertama kalinya PBB menyebut Negara Palestina Merdeka, dan Sekjen PBB Kofi Annan menuduh Israel melakukan “pendudukan tidak sah” atas tanah Palestina. 28 Maret, KTT Liga Arab sepakat untuk: menjanjikan perdamaian dengan Israel dan menjalin hubungan normal dan keamanan. Sebagai gantinya Israel harus menarik mundur pasukannya dari tanah pendudukan, penetapan negara Palestina dengan ibukota Yerusalem Timur, “penyelesaian yang adil” terhadap jutaan pengungsi Palestina. 29 Maret, Tank-tank dan buldoser Israel menggempur kompleks Ramallah tempat Yasser Arafat berkantor dan kemudian mengepungnya. Sejak itu situasi Timur Tengah makin panas. 1 April, Tank-tank Israel masuk Turkarem dan Bethlehem dan bahkan menembaki Gereja Kelahiran Kristus dan mengepung kota tua itu. Dunia mengecam aksi militer Israel itu, namun negara Yahudi sama sekali tidak mempedulikannya bahkan meningkatkan serangannya atas Bethlehem dan kota-kota di Tepi Barat lainnya. Hingga kini ratusan orang Palestina Syahid.
2004 : 22 Maret, Pemimpin Hamas, Syeikh Ahmad Yassin, gugur akibat serangan Israel. 17 April, Abdul Aziz Rantissi pemimpin Hamas (pengganti Syeikh Ahmad Yassin) gugur akibat serangan Israel. 9 Juli, Mahkamah Internasional menetapkan pembangunan Tembok Pemisah Israel adalah illegal, namun ketetapan ini tidak dihiraukan Israel. Pembangunan tembok terus dilanjutkan sehingga membentuk sebuah penjara raksasa bagi banyak perkampungan Palestina. 26 Oktober, Gigihnya perjuangan Intifadah II membuat Israel kewalahan dan mengesahkan program penarikan mundur dari Jalur Gaza, sambil merancang konspirasi lain. 11 November, Yasser Arafat meninggal dunia karena sebab yang tidak jelas.
2005 : September, Dimulainya penarikan mundur tentara Israel dari Jalur Gaza. Inilah kemenangan para pejuang Palestina setelah 38 tahun. Namun Israel terus memblokade, melancarkan serangan dan teror ke jalur Gaza.
2008-2009 : Desember-Januari, Israel melancarkan agresi di bawah panji “Operation Cast Lead” yang menewaskan lebih dari 1400 warga Palestina dan melukai lebih dari 5000 lainnya. 
(Bersambung….)
 Makassar, Juni 2010

Kamis, 09 Mei 2019

Quo Vadis Mamminasata?

Suatu ketika di akhir Maret 2007, digelar Diskusi Panel yang bertajuk “Menyorot Pengembangan Kawasan Metropolitan Mamminasata”,  yang diselenggarakan oleh Jurusan Teknik Planologi/Perencanaan Wilayah dan Kota Universitas “45” Makassar, saat itu. Mamminasata diangkat menjadi topik pembahasan kala itu, karena konsep perencanaan dan pengembangan Mamminasata, dipandang sebagai sebuah usaha dan upaya dalam mengurai berbagai problematika perkotaan yang dialami oleh Kota Makassar dan daerah-daerah sekitarnya.
Namun sekarang, rasanya kita perlu menyorot kembali, seperti apa progres dan kemajuan dari perencanaan kawasan Mamminasata tersebut. Mengapa kita perlu pertanyakan? Karena, konsep ini dari segi waktu, sesungguhnya sudah cukup lama digulirkan. Begitu pula, sudah sekian banyak proyek perencanaan dikerjakan dengan atas nama Mamminasata. Namun, masyarakat belum sepenuhnya mengerti apa yang menjadi hambatan dan kendala yang dihadapi, sehingga implementasi dari perencanaan dan pengembangan kawasan Mamminasata ini, belum begitu terlihat adanya kemajuan yang signifikan dan maksimal.
Seperti diketahui, Mamminasata adalah merupakan pengembangan kawasan terpadu, yang meliputi; Makassar, Maros, Gowa dan Takalar, yang diorientasikan pada terwujudnya interkoneksitas yang kuat antar daerah tersebut dalam suatu sistem metropolitan, agar tercipta sinergitas serta keterkaitan fungsional, yang dapat menghasilkan dampak positif dalam berbagai kegiatan pembangunan.
Dari diskusi pada tahun 2007 di atas, terdapat beberapa catatan dari makalah yang disampaikan oleh Kepala Dinas Tata Ruang dan Permukiman Provinsi Sulawesi Selatan ketika itu, yang dikomparasikan dengan salah satu tulisan saya dalam buku “Menjadi Seorang PLANOLOG”, di mana disebutkan bahwa penyusunan RTRW kawasan terpadu ini untuk pertama kalinya dengan nama ‘Minasamaupa’ (Sungguminasa-Maros-Ujungpandang) dilakukan pada tahun 1980-an. Kemudian dibuat revisi RTRW Minasamaupa di tahun 1992. Lalu, muncul pemikiran untuk memasukkan Kabupaten Takalar dalam sistem keterpaduan tersebut, maka disusunlah selanjutnya RTRW ‘Minasamaupata’ pada tahun 2000. Setelah nama Kota Ujungpandang dikembalikan menjadi Kota Makassar, ditempuh upaya adaptasi dengan perubahan nama menjadi RTRW Minasamamata. Tahun 2001, dilakukan peninjauan ulang untuk kemudian merubah nama dari konsep pengembangan kawasan terpadu ini menjadi RTRW Mamminasata.
Pada awal tahun 2003, digelar Launching “Konsep Pengembangan Kawasan Mamminasata”. Dan Selanjutnya, proses legislasi ditempuh untuk memperkuat dalam hal pelaksanaannya. Maka, pada tanggal 20 Agustus 2003, ditetapkanlah Perda No. 10 Tahun 2003 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Metropolitan Mamminasata. Lalu, 19 Oktober 2003, kemudian ditindak lanjuti dengan penandatanganan Nota Kesepahaman (MOU) oleh Walikota/Bupati dan Ketua DPRD Kabupaten/Kota se-Wilayah Mamminasata, untuk Kerjasama Pembangunan Prasarana dan Sarana Terpadu dalam Wilayah Metropolitan Mamminasata. Setelah itu, dibentuklah wadah Pengelola Metropolitan Mamminasata lewat SK Gubernur Sulawesi Selatan Nomor 860/XII/2003 yang bernama Badan Kerjasama Pembangunan Metropolitan Mamminasata (BKSPMM). Badan ini berfungsi melaksanakan pengendalian dan pengawasan pemanfaatan ruang di wilayah Metropolitan Mamminasata. Dan terakhir, dalam rangka memperkuat pelaksanaan pembangunan Mamminasata, diterbitkanlah Peraturan Presiden RI Nomor. 55 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Mamminasata (Makassar-Maros-Sungguminasa-Takalar).
Dari perjalanan panjang konsep perencanaan dan pengembangan Mamminasata ini, yang sudah melewati kurun waktu tiga puluh tahun lebih, menjadi wajar jika kemudian memunculkan pertanyaan terkait berbagai hal, di antaranya :
Pertama, Sudah seberapa jauh kemajuan dari pelaksanaan pengembangan kawasan terpadu Mamminasata tersebut. Informasi terkait hal ini perlu dipublish ke publik atau masyarakat luas, karena menyangkut akuntabilitas penggunaan anggaran negara yang tidak kecil.
Kedua, Masihkah nota kesepahaman yang ditandatangani pada 2003 itu, berjalan efektif hingga sekarang. Pasalnya, infrastruktur yang berada di wilayah pinggiran  atau perbatasan daerah antara Makassar-Maros serta antara Makassar-Gowa, masih terlihat kurang memadai.
Ketiga, Apakah BKSP Metropolitan Mamminasata yang pernah dibentuk itu, masih eksis dan terus menjalankan peran dan fungsinya sampai saat ini, ataukah lembaga tersebut sudah tidak ada lagi.
Keempat, Apakah koordinasi antar kepala daerah dalam wilayah Mamminasata, masih berjalan secara berkala dan efektif, terutama saat dilakukan sinkronisasi rumusan kebijakan pembangunan dan kebijakan spasial di daerahnya masing-masing.   
Dalam konteks perencanaan tata ruang, seperti diketahui, kawasan Mamminasata sudah ditetapkan sebagai Kawasan Strategis Nasional (KSN), yang mana wilayah penataan ruangnya diprioritaskan, karena mempunyai pengaruh yang sangat penting secara nasional terhadap berbagai aspek. Oleh sebab itu, maka secara hirarkis, keempat daerah dalam wilayah Mamminasata, mesti menyelaraskan perencanaan pembangunan dan tata ruang daerahnya dengan konsep  pengembangan Mamminasata. Karenanya, sebuah paradoks terjadi, ketika contoh paling mutakhir tersaji di depan kita. Yakni, pembangunan tol layang dalam kota, yang sekarang ini lagi dikerjakan. Sesungguhnya megaproyek ini, memunculkan banyak pertanyaan. Satu di antaranya, adalah mengapa proyek ini muncul tiba-tiba, sementara pekerjaan Bypass/jalan lingkar luar dan lingkar tengah dalam Mamminasata tak kunjung diselesaikan/dirampungkan, hingga saat ini.
Akhirnya, mau kemana sebetulnya konsep Mamminasata ini? Sejumlah pertanyaan di atas, perlu mendapatkan respon serta penjelasan dari instansi terkait yang berkompeten, agar menjadi jelas dan tidak menimbulkan spekulasi di tengah-tengah masyarakat. Dan lebih penting dari itu, berdasarkan  UU.26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, bahwa merupakan hak setiap orang untuk  mengetahui informasi yang terkait dengan penataan ruang, termasuk dalam hal ini mengenai perencanaan dan pengembangan kawasan Mamminasata.

Rezim Yang Ambigu dan Problem Lingkungan di Indonesia

Permasalahan lingkungan hidup, telah mendapat perhatian besar di hampir semua negara. Ini terutama terjadi sejak dasawarsa 1970-an setelah d...