Jumat, 18 Januari 2019

Memaknai [Lagi] Kemerdekaan (Refleksi HUT Proklamasi Kemerdekaan RI ke-71)


Segenap rakyat Indonesia telah merayakan HUT Proklamasi Kemerdekaan yang ke-71. Sebuah usia yang tidak lagi muda. Berbagai acara dan kegiatan sudah mulai dilakukan oleh lapisan masyarakat dalam rangka menyambut hajatan hari kemerdekaan tersebut. Semangat patriotisme dan nasionalisme cukup terlihat, meskipun mayoritasnya masih sebatas simbolik. Karena itulah kita perlu memaknai kemerdekaan ini, dalam tataran yang lebih substansial. Lewat tulisan sederhana ini, penulis ingin merefleksikan makna kemerdekaan paling tidak dalam dua hal, yaitu :
Pertama, Para Founding Fathers negara kita sadar betul bahwa kemerdekaan yang telah diraih oleh Bangsa Indonesia adalah merupakan anugerah dari Tuhan. Sebab itulah, mereka menegaskan dalam Mukaddimah UUD 1945 dengan kalimat, “Atas berkat rahmat Allah SWT….” Hal ini menunjukkan bahwa para pahlawan, pejuang kemerdekaan serta pendiri negara ini memiliki kesadaran teologis yang tinggi dengan menempatkan aspek ketuhanan, sebagai faktor utama yang sangat menentukan dalam meraih kemerdekaan.
Oleh karenanya, sebagai wujud rasa syukur akan anugerah dan rahmat Tuhan tersebut, maka sebagai sebuah bangsa, kita harus bersungguh-sungguh merawat dan menjaga kemerdekaan ini. Indonesia harus melepaskan diri dari keterjajahan bangsa lain, baik secara ekonomi, politik ataupun pada aspek yang lainnya. Agar kita betul-betul memiliki kedaulatan dan memiliki harga diri. Indonesia sebagai bangsa yang besar dan dikarunia Tuhan sumber daya alam yang melimpah, mesti mensejajarkan diri dan tidak minder terhadap negara-negara besar lainnya.
Berkenaan hal ini, Yudi Latif dalam “Hegemoni Budaya” mengajak kita untuk sekali-kali mungkin ada baiknya mendengarkan Soekarno. Pada Amanat Proklamasi-nya, Soekarno menghimbau, “…..Betapa perlunya kita harus berani memerangi diri kita sendiri. Semula kita mencita-citakan, bahwa di alam kebebasan dan kemerdekaan, kita akan dapat mengembangkan segala daya cipta kita untuk membangun sehebat-hebatnya: …membangun satu industri modern yang sanggup mempertinggi taraf hidup rakyat kita, membangun satu pertanian modern guna mempertinggi hasil bumi, membangun satu kebudayaan nasional yang menunjukkan kepribadian bangsa Indonesia. Tetapi puluhan tahun kemudian, kita mengalami… bukan industrialisasi yang tepat, tetapi industrialisasi tambal sulam; mengalami bukan membubung tingginya kebudayaan nasional yang patut dibanggakan tetapi gila-gilanya rock and roll,… mengalami bukan daya cipta sastra Indonesia yang bernilai, tetapi banjirnya literatur komik.”
Selanjutnya Soekarno mengingatkan, “Contoh-contoh tersebut adalah cermin daripada menurunnya kesadaran nasional kita dan menurunnya kekuatan jiwa nasional kita. Apakah kelemahan jiwa kita? Kelemahan jiwa kita ialah, bahwa kita kurang percaya kepada diri kita sendiri, sebagai bangsa sehingga kita menjadi bangsa penjiplak luar negeri, kurang percaya mempercayai satu sama lain, padahal kita ini, pada asalnya ialah rakyat gotong royong. Kurang berjiwa gigih melainkan terlalu lekas mau enak dan ‘cari gampangnya saja’. Dan itu semua, karena makin menipisnya ‘rasa harkat nasional’ – makin menipisnya rasa ‘national dignity’ – makin menipisnya rasa bangga dan rasa hormat terhadap kemampuan dan kepribadian bangsa sendiri dan rakyat sendiri.”
Kedua, Bahwa persatuan dan kesatuan bangsa adalah merupakan hal yang fundamental, sekaligus buah dari perjuangan yang dilakukan oleh para pahlawan kita. Mereka dengan latar belakang yang berbeda berjuang merebut kemerdekaan tanpa batas agama, suku, maupun daerah. Oleh karenanya, kita semua sebagai komponen bangsa ini, harus berkomitmen menjaga keutuhan NKRI. Untuk itu, seluruh anasir yang bermaksud merongrong dan mencabik-cabik persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia harus dilawan. Kelompok-kelompok radikal dan intoleran tidak boleh dibiarkan berkembang, jika tidak ingin menyimpang ‘bom waktu’ terjadinya perpecahan antar anak bangsa. Demikian halnya mereka yang mengklaim diri sebagai pejuang HAM, pejuang kemanusiaan, tetapi didanai dan bekerja atas nama negara-negara donor/asing dalam melakukan pengkhianatan secara terselubung terhadap bangsanya sendiri.
Kemerdekaan yang diperoleh oleh NKRI, memang sangat kental dengan perpaduan antara nilai-nilai spiritualitas, religiusitas, dengan nilai kejuangan dan patriotisme. Karenanya, sebagai rasa syukur atas karunia Tuhan serta jerih payah, pengorbanan para pejuang dan pahlawan kemerdekaan, maka sudah semestinya para pemimpin di negeri ini pada berbagai levelnya, menjadikan nilai-nilai Ilahiah/ketuhanan dan kejuangan sebagai inspirasi dalam menata negeri dan daerahnya masing-masing.
Rasulullah SAW saja sebagai utusan Tuhan, manusia sempurna (Insan Kamil), yang juga merupakan pemimpin teladan sejagat raya, tidak pernah melepaskan diri dari tuntunan Ilahiah dalam menjalankan tugasnya serta menata pemerintahannya kala itu. Lisan suci beliau mengajarkan kepada kita agar selalu terpaut dengan Sang Maha Pencipta, “Allahumma la takilni ila nafsi tharfata ‘ainin wa ashlih li sya’ni kullahu”, Ya Allah jangan sekejap pun Engkau biarkan aku mengurusi masalahku sendiri dan sukseskanlah urusanku seluruhnya.
Sayyidina Ali bin Abi Thalib Kw mencontohkannya saat mengingatkan Malik Asytar An-Nakha’iy, menjelang pengangkatannya menjadi Gubernur Mesir. Berikut cuplikan dari pesannya yang panjang : “Insafkanlah hatimu agar selalu memperlakukan semua rakyatmu dengan kasih sayang, cinta dan kelembutan hati. Mereka sesungguhnya hanya satu di antara dua: saudaramu dalam agama atau makhluk Tuhan seperti dirimu sendiri. Dan jangan menganggap dirimu sebagai seorang diktator yang harus ditaati segala perintahnya. Sebab, yang demikian itu adalah penyebab rusaknya jiwa, melemahnya agama dan hilangnya kekuasaan. Awas! Jangan coba-coba berpacu dengan Allah dalam keagungan-Nya, atau ingin menyerupai-Nya dalam kekuasaan-Nya. Sebab, Allah SWT akan merendahkan siapa saja yang mengagungkan dirinya dan menghinakan siapa saja yang membanggakannya. Jadikanlah kesukaanmu yang sangat pada segala sesuatu yang paling dekat dengan kebenaran, paling luas dalam keadilan, dan paling meliputi kepuasan rakyat banyak. Sebab, kemarahan rakyat banyak mampu mengalahkan kepuasan kaum elit. Adapun kemarahan kaum elit dapat diabaikan dengan adanya kepuasan rakyat banyak.”
Pada akhirnya, kemerdekaan tidak hanya membutuhkan sekadar kemeriahan dan kenangan indah, akan tetapi kemerdekaan juga membutuhkan dukungan, semangat, pikiran, kemampuan yang maksimal, keikhlasan dan pengorbanan untuk mewujudkan realitas-realitas baru yang bisa membuat bangsa Indonesia merasakan kesejahteraan dan kebahagiaan lahir-batin, baldatun thayyibatun wa Rabbun ghafur. Wallahu a’lam bisshawab.
Makassar, Agustus 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Rezim Yang Ambigu dan Problem Lingkungan di Indonesia

Permasalahan lingkungan hidup, telah mendapat perhatian besar di hampir semua negara. Ini terutama terjadi sejak dasawarsa 1970-an setelah d...