Segenap
rakyat Indonesia telah merayakan HUT Proklamasi Kemerdekaan yang ke-71. Sebuah
usia yang tidak lagi muda. Berbagai acara dan kegiatan sudah mulai dilakukan
oleh lapisan masyarakat dalam rangka menyambut hajatan hari kemerdekaan
tersebut. Semangat patriotisme dan nasionalisme cukup terlihat, meskipun
mayoritasnya masih sebatas simbolik. Karena itulah kita perlu memaknai
kemerdekaan ini, dalam tataran yang lebih substansial. Lewat tulisan sederhana
ini, penulis ingin merefleksikan makna kemerdekaan paling tidak dalam dua hal,
yaitu :
Pertama, Para Founding Fathers negara kita sadar betul
bahwa kemerdekaan yang telah diraih oleh Bangsa Indonesia adalah merupakan
anugerah dari Tuhan. Sebab itulah, mereka menegaskan dalam Mukaddimah UUD 1945
dengan kalimat, “Atas berkat rahmat Allah
SWT….” Hal ini menunjukkan bahwa para pahlawan, pejuang kemerdekaan serta
pendiri negara ini memiliki kesadaran teologis yang tinggi dengan menempatkan
aspek ketuhanan, sebagai faktor utama yang sangat menentukan dalam meraih
kemerdekaan.
Oleh
karenanya, sebagai wujud rasa syukur akan anugerah dan rahmat Tuhan tersebut,
maka sebagai sebuah bangsa, kita harus bersungguh-sungguh merawat dan menjaga
kemerdekaan ini. Indonesia harus melepaskan diri dari keterjajahan bangsa lain,
baik secara ekonomi, politik ataupun pada aspek yang lainnya. Agar kita
betul-betul memiliki kedaulatan dan memiliki harga diri. Indonesia sebagai
bangsa yang besar dan dikarunia Tuhan sumber daya alam yang melimpah, mesti
mensejajarkan diri dan tidak minder terhadap negara-negara besar lainnya.
Berkenaan
hal ini, Yudi Latif dalam “Hegemoni Budaya” mengajak kita untuk sekali-kali
mungkin ada baiknya mendengarkan Soekarno. Pada Amanat Proklamasi-nya, Soekarno menghimbau, “…..Betapa perlunya
kita harus berani memerangi diri kita sendiri. Semula kita mencita-citakan,
bahwa di alam kebebasan dan kemerdekaan, kita akan dapat mengembangkan segala
daya cipta kita untuk membangun sehebat-hebatnya: …membangun satu industri
modern yang sanggup mempertinggi taraf hidup rakyat kita, membangun satu
pertanian modern guna mempertinggi hasil bumi, membangun satu kebudayaan
nasional yang menunjukkan kepribadian bangsa Indonesia. Tetapi puluhan tahun
kemudian, kita mengalami… bukan industrialisasi yang tepat, tetapi
industrialisasi tambal sulam; mengalami bukan membubung tingginya kebudayaan
nasional yang patut dibanggakan tetapi gila-gilanya rock and roll,… mengalami bukan daya cipta sastra Indonesia yang
bernilai, tetapi banjirnya literatur komik.”
Selanjutnya
Soekarno mengingatkan, “Contoh-contoh tersebut adalah cermin daripada
menurunnya kesadaran nasional kita dan menurunnya kekuatan jiwa nasional kita.
Apakah kelemahan jiwa kita? Kelemahan jiwa kita ialah, bahwa kita kurang
percaya kepada diri kita sendiri, sebagai bangsa sehingga kita menjadi bangsa
penjiplak luar negeri, kurang percaya mempercayai satu sama lain, padahal kita
ini, pada asalnya ialah rakyat gotong royong. Kurang berjiwa gigih melainkan
terlalu lekas mau enak dan ‘cari gampangnya saja’. Dan itu semua, karena makin
menipisnya ‘rasa harkat nasional’ – makin menipisnya rasa ‘national dignity’ – makin menipisnya rasa bangga dan rasa hormat
terhadap kemampuan dan kepribadian bangsa sendiri dan rakyat sendiri.”
Kedua, Bahwa
persatuan dan kesatuan bangsa adalah merupakan hal yang fundamental, sekaligus
buah dari perjuangan yang dilakukan oleh para pahlawan kita. Mereka dengan
latar belakang yang berbeda berjuang merebut kemerdekaan tanpa batas agama,
suku, maupun daerah. Oleh karenanya, kita semua sebagai komponen bangsa ini,
harus berkomitmen menjaga keutuhan NKRI. Untuk itu, seluruh anasir yang
bermaksud merongrong dan mencabik-cabik persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia
harus dilawan. Kelompok-kelompok radikal dan intoleran tidak boleh dibiarkan
berkembang, jika tidak ingin menyimpang ‘bom waktu’ terjadinya perpecahan antar
anak bangsa. Demikian halnya mereka yang mengklaim diri sebagai pejuang HAM,
pejuang kemanusiaan, tetapi didanai dan bekerja atas nama negara-negara
donor/asing dalam melakukan pengkhianatan secara terselubung terhadap bangsanya
sendiri.
Kemerdekaan
yang diperoleh oleh NKRI, memang sangat kental dengan perpaduan antara
nilai-nilai spiritualitas, religiusitas, dengan nilai kejuangan dan
patriotisme. Karenanya, sebagai rasa syukur atas karunia Tuhan serta jerih
payah, pengorbanan para pejuang dan pahlawan kemerdekaan, maka sudah semestinya
para pemimpin di negeri ini pada berbagai levelnya, menjadikan nilai-nilai Ilahiah/ketuhanan
dan kejuangan sebagai inspirasi dalam menata negeri dan daerahnya
masing-masing.
Rasulullah
SAW saja sebagai utusan Tuhan, manusia sempurna (Insan Kamil), yang juga merupakan pemimpin teladan sejagat raya,
tidak pernah melepaskan diri dari tuntunan Ilahiah dalam menjalankan tugasnya
serta menata pemerintahannya kala itu. Lisan suci beliau mengajarkan kepada
kita agar selalu terpaut dengan Sang Maha Pencipta, “Allahumma la takilni ila nafsi tharfata ‘ainin wa ashlih li sya’ni
kullahu”, Ya Allah jangan sekejap pun Engkau biarkan aku mengurusi
masalahku sendiri dan sukseskanlah urusanku seluruhnya.
Sayyidina
Ali bin Abi Thalib Kw mencontohkannya saat mengingatkan Malik Asytar
An-Nakha’iy, menjelang pengangkatannya menjadi Gubernur Mesir. Berikut cuplikan
dari pesannya yang panjang : “Insafkanlah
hatimu agar selalu memperlakukan semua rakyatmu dengan kasih sayang, cinta dan
kelembutan hati. Mereka sesungguhnya hanya satu di antara dua: saudaramu dalam
agama atau makhluk Tuhan seperti dirimu sendiri. Dan jangan menganggap dirimu
sebagai seorang diktator yang harus ditaati segala perintahnya. Sebab, yang
demikian itu adalah penyebab rusaknya jiwa, melemahnya agama dan hilangnya
kekuasaan. Awas! Jangan coba-coba berpacu dengan Allah dalam keagungan-Nya,
atau ingin menyerupai-Nya dalam kekuasaan-Nya. Sebab, Allah SWT akan
merendahkan siapa saja yang mengagungkan dirinya dan menghinakan siapa saja
yang membanggakannya. Jadikanlah kesukaanmu yang sangat pada segala sesuatu
yang paling dekat dengan kebenaran, paling luas dalam keadilan, dan paling
meliputi kepuasan rakyat banyak. Sebab, kemarahan rakyat banyak mampu
mengalahkan kepuasan kaum elit. Adapun kemarahan kaum elit dapat diabaikan
dengan adanya kepuasan rakyat banyak.”
Pada
akhirnya, kemerdekaan tidak hanya membutuhkan sekadar kemeriahan dan kenangan
indah, akan tetapi kemerdekaan juga membutuhkan dukungan, semangat, pikiran,
kemampuan yang maksimal, keikhlasan dan pengorbanan untuk mewujudkan
realitas-realitas baru yang bisa membuat bangsa Indonesia merasakan
kesejahteraan dan kebahagiaan lahir-batin, baldatun
thayyibatun wa Rabbun ghafur. Wallahu a’lam bisshawab.
Makassar, Agustus 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar