Sungguh, hati muslim
dipatri cinta Nabi
Dialah pangkal
kemuliaan, sumber bangga kita semua
Dia tidur di atas tikar
kasar, sedangkan umatnya tidur di ranjang raja-raja
Inilah pemimpin bermalam-malam
terjaga, sedangkan umatnya mengguncang tahta Kisra
Di gua Hira’ ia
bermalam sehingga tegak bangsa, hukum, dan negara
Kala shalat, pelupuk
matanya tergenang air mata
Di medan perang,
pedangnya bersimbah darah
Dibukanya pintu dunia
dengan kunci agama
Duhai ……., belum pernah
insan melahirkan putra semacam dia.
(Jalaluddin Rakhmat)
Di antara
sosok manusia agung dan suci yang pernah hidup dalam sejarah manusia adalah
Nabi Muhammad SAW. Keagungannya terbentuk karena perpaduan harmonis antara
nilai rububiyah Ilahi dengan semangat
pembelaan terhadap kemanusiaan. Namun tokoh besar ini sering dipahami secara
keliru. Oleh karena itu, sejarah kelahirannya, di antaranya yang diterima oleh
masyarakat telah mengalami reduksi yang sedemikian rupa.
Banyak tokoh
di dunia ini yang dikagumi, namun tak ada yang seperti Nabi Muhammad SAW. Yang
namanya selalu disebut kaum muslimin dalam setiap jejak sajadah terbentang.
Tanpa menyebut namanya, ibadah tersebut menjadi sia-sia, dan hanya sekedar
gerakan-gerakan lahir tanpa makna ruhani. Menurut Qadhi ‘Iyad, Muhammad SAW
adalah manusia yang Allah telah meninggikan derajatnya dan memberinya
kebajikan-kebajikan, sifat-sifat terpuji dan hak-hak istimewa tertentu. Dia
telah meninggikan derajat dengan cara begitu mengagumkan, sehingga tak sepotong
lidah atau pena pun yang cukup memadai untuk menuliskannya.
Apa yang
ditulis Qadhi ‘Iyad adalah suatu ungkapan yang merupakan wujud demi cintanya
kepada Nabi SAW. Ia mengetahui bahwa kehadiran Muhammad SAW ini merupakan
rahmat bagi semesta alam, dan tanpa kehadirannya alam ini akan terus berada di
dalam kegelapan peradaban. Dengan kehadirannya alam ini menjadi tercerahkan
baik secara spiritual maupun intelektual.
Lantas
bagaimana kita memaknai peringatan Maulid Nabi dan siapakah Nabi Muhammad SAW?
Apakah pantas kita mengatakan bahwa Nabi SAW, sama dengan kita hanya karena
beliau seorang manusia? Kemudian bagaimana kita bisa meneladani akhlak mulia
beliau? Kita akan mencoba menguraikannya dalam ruang terbatas ini, meskipun
hanya secara singkat dengan kemampuan yang terbatas pula.
Memasyarakatkan Akhlak Muhammadi
Jika kita
kaum Muslimin meyakini Muhammad sebagai Rasulullah tentu kita menghadapi
konsekuensi dalam mempertanggungjawabkan keyakinan itu. Ini berarti kita harus
mengikuti suri teladan beliau dalam seluruh dimensi kehidupan. Karena nabi
adalah uswatun hasanah, seperti yang
digambarkan dalam Al-Quran, “Sesungguhnya
dalam diri Rasulullah terdapat teladan yang baik bagi kamu.” (QS.Al-Ahzab:21),
maka kepatuhan kepadanya merupakan wujud kepatuhan kepada Allah. Nabi adalah
representasi dari ajaran Allah itu sendiri, seperti pula yang terdapat dalam
sebuah hadis, bahwa akhlak Nabi SAW adalah Al-Quran.
Namun, untuk
menjalani hidup seperti Muhammad SAW memang tidaklah mudah. Sebab kita masih
terbuai dengan simbol dan aspek lahiriah dari keberagamaan kita. Kita masih
terpaku melaksanakan ritual-ritual, hanya sekadar untuk melaksanakan kewajiban.
Belum mewujud sampai mencapai derajat kebutuhan, di mana jika meninggalkannya
maka akan terasa ada yang hilang dalam diri kita. Kita masih belum beranjak
dari pemahaman bahwa beragama itu hanyalah aspek lahir dan belum sampai pada
kedalaman batin. Kita masih menganggap bahwa beragama itu sekedar pelengkap
kartu identitas, tapi tidak menjadi identitas diri.
Padahal,
jika kita ingin beragama yang benar, kita harus memahami, menghayati dan
melakoni kehidupan beragama itu. Contoh sejati bagaimana kita beragama adalah
dengan melihat pembawa risalah itu sendiri. Bagaimana pembawa risalah Islam,
Muhammad SAW, berjuang dengan penuh kesabaran, ketawakkalan, keikhlasan dan
kesungguhan dalam menegakkan menara Islam yang mau dibangunnya.
Sayangnya,
pribadi agung ini termentahkan dalam kubang sekularisme. Muhammad hanya hadir
dalam ruang privat, jalur vertikal Tuhan dan manusia. Kesuciannya ditempatkan
pada langit-langit kosong, tidak membumi, dan akhirnya jatuh pada mistifikasi.
Perlahan tapi pasti, terjadilah pembunuhan karakter Muhammad yang
bidimensional. Matilah Muhammad yang di bumi berbaur dengan masyarakat,
sederhana, teladan bijak dan pembela kaum mustadh’afin.
Tidak heran,
banyaknya peringatan atas kelahiran Nabi, maulid demi maulid kita lewati setiap
tahunnya, tapi seolah tidak memiliki implikasi dan pengaruh yang positif dalam
kehidupan kemanusiaan kita. Ritual pengkhidmatan kepada Nabi, hampa dari
nilai-nilai spiritualitas. Sebab yang dipuji adalah Muhammad yang di langit,
yang tidak mengenal masalah dunia, bahkan tidak bertanggung jawab dengan segala
urusan manusia.
Terkadang
justru ada juga pihak yang menolak mengakui kebesaran Nabi Muhammad dan menolak
memujanya, bahkan menganggap pelakunya sebagai bertindak berlebih-lebihan dan
terjebak pada kultus yang diharamkan. Hal itu terjadi karena mereka melihat
Nabi Muhammad SAW dengan kacamata materi. Mereka hanya melihat Nabi SAW sebagai
makhluk biologis. Mereka lupa bahwa manusia memiliki dimensi yang jauh lebih
tinggi dari sekadar dimensi biologis atau fisik. Bahkan dimensi ruhani
merupakan jati diri manusia yang sesungguhnya.
Terlepas
dari berbagai penilaian yang keliru tersebut, Muhammad SAW memang sebuah
pribadi yang istimewa. Dalam dirinya terdapat perpaduan yang menakjubkan, sufi
dan negarawan, spiritualis dan aktivis sosial. Ia tidak dapat dibandingkan
dengan tokoh-tokoh besar yang pernah hadir di atlas peradaban manusia.
Pribadinya telah dicatat dalam segala persoalan. Penulisan perihidup Nabi,
hakikatnya adalah upaya peneladanan dan manual pokok perjalanan menuju Tuhan.
Maka, penampilan, ucapan dan tindakan Nabi menjadi fokus gerak umatnya. Hidup
Nabi adalah refleksi total penghambaan yang darinya alam semesta mendapat
rahmat. Ia mewakili seluruh nama Tuhan, penampakan langsung dari “Al-Quran yang berjalan.” Dialah lambang
Islam sesungguhnya. Dialah wujud Islam yang sebenarnya, dan dari dialah mengalir
sumber kebenaran sejati. Dengan kebenaran yang dibawanya dan juga dengan
keteladanannya, maka sesungguhnya umat Islam sudah memiliki sumber semangat
dalam menegakkan nilai-nilai yang diyakininya.
Setelah kita
mengetahui kedudukan serta bagaimana
akhlak dan kepribadian Rasulullah SAW, lantas bagaimana sikap kita
selanjutnya? Apakah sejarah kehidupan Rasulullah tersebut hanya kita simpan
sebatas lembaran-lembaran yang tak bermakna? Padahal, esensi ajaran Islam
terletak pada bagaimana dan seberapa jauh pengenalan kita pada Tuhan (makrifat Allah) dan Rasul-Nya (makrifat ar-Rasul). Sebagai pecinta
Muhammad, kita perlu secara terus menerus meningkatkan pengenalan dan hubungan
kita dengan Muhammad SAW. Sehingga, pada gilirannya nanti membuat kita sudah
sepantasnya bertekad menjadikan diri kita sebagaimana Muhammad. Mari
me-MUHAMMAD-kan diri kita.
Makassar, Februari 2009