Jumat, 15 November 2019

Me-MUHAMMAD-kan Diri (Sebuah Refleksi Kerinduan pada Sang nabi

Sungguh, hati muslim dipatri cinta Nabi
Dialah pangkal kemuliaan, sumber bangga kita semua
Dia tidur di atas tikar kasar, sedangkan umatnya tidur di ranjang raja-raja
Inilah pemimpin bermalam-malam terjaga, sedangkan umatnya mengguncang tahta Kisra
Di gua Hira’ ia bermalam sehingga tegak bangsa, hukum, dan negara
Kala shalat, pelupuk matanya tergenang air mata
Di medan perang, pedangnya bersimbah darah
Dibukanya pintu dunia dengan kunci agama
Duhai ……., belum pernah insan melahirkan putra semacam dia.
(Jalaluddin Rakhmat)

Di antara sosok manusia agung dan suci yang pernah hidup dalam sejarah manusia adalah Nabi Muhammad SAW. Keagungannya terbentuk karena perpaduan harmonis antara nilai rububiyah Ilahi dengan semangat pembelaan terhadap kemanusiaan. Namun tokoh besar ini sering dipahami secara keliru. Oleh karena itu, sejarah kelahirannya, di antaranya yang diterima oleh masyarakat telah mengalami reduksi yang sedemikian rupa.
Banyak tokoh di dunia ini yang dikagumi, namun tak ada yang seperti Nabi Muhammad SAW. Yang namanya selalu disebut kaum muslimin dalam setiap jejak sajadah terbentang. Tanpa menyebut namanya, ibadah tersebut menjadi sia-sia, dan hanya sekedar gerakan-gerakan lahir tanpa makna ruhani. Menurut Qadhi ‘Iyad, Muhammad SAW adalah manusia yang Allah telah meninggikan derajatnya dan memberinya kebajikan-kebajikan, sifat-sifat terpuji dan hak-hak istimewa tertentu. Dia telah meninggikan derajat dengan cara begitu mengagumkan, sehingga tak sepotong lidah atau pena pun yang cukup memadai untuk menuliskannya.
Apa yang ditulis Qadhi ‘Iyad adalah suatu ungkapan yang merupakan wujud demi cintanya kepada Nabi SAW. Ia mengetahui bahwa kehadiran Muhammad SAW ini merupakan rahmat bagi semesta alam, dan tanpa kehadirannya alam ini akan terus berada di dalam kegelapan peradaban. Dengan kehadirannya alam ini menjadi tercerahkan baik secara spiritual maupun intelektual. 
Lantas bagaimana kita memaknai peringatan Maulid Nabi dan siapakah Nabi Muhammad SAW? Apakah pantas kita mengatakan bahwa Nabi SAW, sama dengan kita hanya karena beliau seorang manusia? Kemudian bagaimana kita bisa meneladani akhlak mulia beliau? Kita akan mencoba menguraikannya dalam ruang terbatas ini, meskipun hanya secara singkat dengan kemampuan yang terbatas pula.
Memasyarakatkan Akhlak Muhammadi
Jika kita kaum Muslimin meyakini Muhammad sebagai Rasulullah tentu kita menghadapi konsekuensi dalam mempertanggungjawabkan keyakinan itu. Ini berarti kita harus mengikuti suri teladan beliau dalam seluruh dimensi kehidupan. Karena nabi adalah uswatun hasanah, seperti yang digambarkan dalam Al-Quran, “Sesungguhnya dalam diri Rasulullah terdapat teladan yang baik bagi kamu.” (QS.Al-Ahzab:21), maka kepatuhan kepadanya merupakan wujud kepatuhan kepada Allah. Nabi adalah representasi dari ajaran Allah itu sendiri, seperti pula yang terdapat dalam sebuah hadis, bahwa akhlak Nabi SAW adalah Al-Quran.
Namun, untuk menjalani hidup seperti Muhammad SAW memang tidaklah mudah. Sebab kita masih terbuai dengan simbol dan aspek lahiriah dari keberagamaan kita. Kita masih terpaku melaksanakan ritual-ritual, hanya sekadar untuk melaksanakan kewajiban. Belum mewujud sampai mencapai derajat kebutuhan, di mana jika meninggalkannya maka akan terasa ada yang hilang dalam diri kita. Kita masih belum beranjak dari pemahaman bahwa beragama itu hanyalah aspek lahir dan belum sampai pada kedalaman batin. Kita masih menganggap bahwa beragama itu sekedar pelengkap kartu identitas, tapi tidak menjadi identitas diri.
Padahal, jika kita ingin beragama yang benar, kita harus memahami, menghayati dan melakoni kehidupan beragama itu. Contoh sejati bagaimana kita beragama adalah dengan melihat pembawa risalah itu sendiri. Bagaimana pembawa risalah Islam, Muhammad SAW, berjuang dengan penuh kesabaran, ketawakkalan, keikhlasan dan kesungguhan dalam menegakkan menara Islam yang mau dibangunnya.
Sayangnya, pribadi agung ini termentahkan dalam kubang sekularisme. Muhammad hanya hadir dalam ruang privat, jalur vertikal Tuhan dan manusia. Kesuciannya ditempatkan pada langit-langit kosong, tidak membumi, dan akhirnya jatuh pada mistifikasi. Perlahan tapi pasti, terjadilah pembunuhan karakter Muhammad yang bidimensional. Matilah Muhammad yang di bumi berbaur dengan masyarakat, sederhana, teladan bijak dan pembela kaum mustadh’afin.
Tidak heran, banyaknya peringatan atas kelahiran Nabi, maulid demi maulid kita lewati setiap tahunnya, tapi seolah tidak memiliki implikasi dan pengaruh yang positif dalam kehidupan kemanusiaan kita. Ritual pengkhidmatan kepada Nabi, hampa dari nilai-nilai spiritualitas. Sebab yang dipuji adalah Muhammad yang di langit, yang tidak mengenal masalah dunia, bahkan tidak bertanggung jawab dengan segala urusan manusia.
Terkadang justru ada juga pihak yang menolak mengakui kebesaran Nabi Muhammad dan menolak memujanya, bahkan menganggap pelakunya sebagai bertindak berlebih-lebihan dan terjebak pada kultus yang diharamkan. Hal itu terjadi karena mereka melihat Nabi Muhammad SAW dengan kacamata materi. Mereka hanya melihat Nabi SAW sebagai makhluk biologis. Mereka lupa bahwa manusia memiliki dimensi yang jauh lebih tinggi dari sekadar dimensi biologis atau fisik. Bahkan dimensi ruhani merupakan jati diri manusia yang sesungguhnya.
Terlepas dari berbagai penilaian yang keliru tersebut, Muhammad SAW memang sebuah pribadi yang istimewa. Dalam dirinya terdapat perpaduan yang menakjubkan, sufi dan negarawan, spiritualis dan aktivis sosial. Ia tidak dapat dibandingkan dengan tokoh-tokoh besar yang pernah hadir di atlas peradaban manusia. Pribadinya telah dicatat dalam segala persoalan. Penulisan perihidup Nabi, hakikatnya adalah upaya peneladanan dan manual pokok perjalanan menuju Tuhan. Maka, penampilan, ucapan dan tindakan Nabi menjadi fokus gerak umatnya. Hidup Nabi adalah refleksi total penghambaan yang darinya alam semesta mendapat rahmat. Ia mewakili seluruh nama Tuhan, penampakan langsung dari “Al-Quran yang berjalan.” Dialah lambang Islam sesungguhnya. Dialah wujud Islam yang sebenarnya, dan dari dialah mengalir sumber kebenaran sejati. Dengan kebenaran yang dibawanya dan juga dengan keteladanannya, maka sesungguhnya umat Islam sudah memiliki sumber semangat dalam menegakkan nilai-nilai yang diyakininya.  
Setelah kita mengetahui kedudukan serta bagaimana  akhlak dan kepribadian Rasulullah SAW, lantas bagaimana sikap kita selanjutnya? Apakah sejarah kehidupan Rasulullah tersebut hanya kita simpan sebatas lembaran-lembaran yang tak bermakna? Padahal, esensi ajaran Islam terletak pada bagaimana dan seberapa jauh pengenalan kita pada Tuhan (makrifat Allah) dan Rasul-Nya (makrifat ar-Rasul). Sebagai pecinta Muhammad, kita perlu secara terus menerus meningkatkan pengenalan dan hubungan kita dengan Muhammad SAW. Sehingga, pada gilirannya nanti membuat kita sudah sepantasnya bertekad menjadikan diri kita sebagaimana Muhammad. Mari me-MUHAMMAD-kan diri kita.  
                                                                                                                   Makassar, Februari 2009

Rezim Yang Ambigu dan Problem Lingkungan di Indonesia

Permasalahan lingkungan hidup, telah mendapat perhatian besar di hampir semua negara. Ini terutama terjadi sejak dasawarsa 1970-an setelah d...