Kamis, 10 Oktober 2019

Penataan Ruang dan Tafsir Kemerdekaan

Setiap kali bulan Agustus datang menyapa, sebuah histeria seakan menghinggapi benak warga bangsa. Di sana mewujud nilai, spirit dan gairah yang dapat memberikan makna bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Entah itu bernama patriotisme, heroisme, cinta tanah air, persatuan dan sebagainya. Karenanya, tanggal 17 Agustus 1945 merupakan momentum yang sangat bersejarah bagi bangsa dan negara Indonesia, di mana telah membentuk nation-state Indonesia, yang kini merayakan kemerdekaannya ke-74 tahun.
Lantas, apa arti dan makna kemerdekaan? Kalau dahulu, para pejuang kita meraih kemerdekaan dengan melepaskan diri dari penjajahan. Maka saat ini, kemerdekaan diperoleh dengan menghilangkan penindasan. Kita bisa katakan sudah merdeka penuh, kalau sudah tidak ada lagi penindasan dalam segala cara dan bentuknya. Sebab, perjuangan kita adalah berusaha menegakkan sistem yang adil. Penegakan keadilan adalah penentangan terhadap penindasan, disitulah esensi dari kemerdekaan. Para pejuang kita bangkit, berjuang serta rela berkorban, sebab kemerdekaan menjanjikan kesejahteraan, kebahagiaan, kemakmuran dan kehormatan.
Lalu, bagaimana makna kemerdekaan bila dikaitkan dengan aspek penataan ruang kita? Dalam Pasal 7 UU.26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, menegaskan bahwa tugas negara dalam menyelenggarakan penataan ruang adalah untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Sejalan dengan itu, ajaran Islam mengingatkan bahwa salah satu tugas manusia di dunia adalah memakmurkan bumi, sebagaimana firman Tuhan yang berbunyi: “….Dia telah menciptakan kamu dari bumi(tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya,…”(QS.Hud:61)  Kata Sastrawan D.Zawawi Imron,  Secara substansial, memakmurkan bumi adalah tugas mulia dari Tuhan. Kemakmuran akan melahirkan konsekuensi logis berupa terpenuhinya kebutuhan dasar hidup manusia. Upaya memakmurkan bumi atau tanah air lewat penataan ruang yang adil dan manusiawi, dibarengi kesadaran religius, akan menjadi bagian proses pendekatan antara manusia dengan Tuhannya. Inilah prinsip dasar negara kita yang tegak di atas nilai- nilai Ilahiah. 
Pertanyaannya, sudahkah tugas penataan ruang tersebut telah diwujudkan? Tidakkah yang tertuang dalam perundangan itu masih berupa norma yang belum merealitas? Betulkah tata ruang masih menjadi ‘panglima’ pembangunan? Ataukah ungkapan itu hanya sebatas jargon belaka. Sebab, tidak jarang ditemukan, produk perencanaan yang sejatinya menjadi acuan, namun harus disesuaikan bahkan ‘tunduk’ pada keinginan serta obsesi para penguasa. Makanya, tidak mengherankan jika dalam proses perencanaan dan pemanfaatan ruang, yang nampak lebih diutamakan ialah mengakomodasi kepentingan kalangan elit, baik penguasa maupun pengusaha. Lihat saja apa yang terjadi pada setiap kali reklamasi dilakukan. Adakah masyarakat marginal yang diuntungkan dalam proyek semacam itu? Begitu pula dalam hal penguasaan ruang dan lahan, yang dilakukan secara massif oleh korporasi properti untuk pembangunan kawasan perumahan mewah. Pada aspek pengendalian pemanfaatan ruang, juga tidak jauh berbeda, yang serasa tidak mampu berfungsi efektif, bila menghadapi kekuatan pemilik modal dan pemegang kekuasaan.
Demikian halnya, jika kita menyinggung persoalan pengakuan, perlindungan dan pengembalian hak-hak masyarakat adat. Padahal mereka adalah garda terdepan penyelamatan hutan tropis. Bahkan komunitas internasional pun, selalu mengedepankan peran masyarakat adat sebagai penjaga hutan terbaik, dengan tanpa mereduksi fungsi hutan. Data dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), menyebut telah menyerahkan peta wilayah adat seluas 9.653.437 hektar dari 785 komunitas adat, kepada pemerintah. Yang sudah terealisir, baru sekitar 27.970,61 hektar hutan adat untuk 21 komunitas adat. Itulah secuil gambaran dari problematika ruang di negeri merdeka ini.
Yudi Latif mendakukan, betapa pembangunan pada dimensi-dimensi material, kerapkali melesat jauh mengangkangi nilai-nilai etis, nilai-nilai budaya dan ontologis. Situasi ini jika dibiarkan terus, akan melahirkan apa yang disebut Ogburn dengan cultural lag (kesenjangan budaya), yang pada akhirnya bisa membawa dampak yang serius. Semua realitas ini mengusik rasa kemerdekaan kita yang ingin terus berjuang mewujudkan tertib penataan ruang.
Kemerdekaan rakyat secara total lewat upaya reformasi sepertinya belum selesai, tidak sebagaimana yang dicita-citakan. Karena ada indikasi masih cukup kuat dan berakarnya kekuatan-kekuatan yang ingin berkembangnya dominasi kekuasaan, yang ingin membawa serta menggiring kembali pada iklim “daulat tuan.” Padahal,  kemerdekaan bagi setiap manusia merupakan hal yang sangat mendasar, sebagaimana Sayyidina Ali bin Abi Thalib Kw dalam Nahjul Balaghah berkata, “Janganlah sekali-kali kamu menjadi budak orang lain. Sesungguhnya Allah Yang Mahasuci telah menjadikanmu sebagai orang yang merdeka.” Wallahu a’lam bisshawab.
Makassar, Agustus 2019

Membangun Tanpa IMB, Terobosan atau Malapetaka?

Belum lagi usai perbincangan yang mengundang polemik tentang UU KPK yang baru saja disahkan serta sejumlah RUU yang ditunda, muncul lagi sebuah kebijakan yang tidak kalah mengejutkan. Kebijakan dimaksud adalah rencana penghapusan pengurusan IMB (Izin Mendirikan Bangunan), yang dilontarkan oleh Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR-BPN) Sofyan Djalil. Hal tersebut disampaikan dalam Rakor Nasional Bidang Properti di Jakarta 18 September 2019. Ia menjelaskan, penghapusan perizinan IMB bakal masuk dalam Omnibus Law Perizinan, guna mendorong investasi di sektor properti Indonesia. Jadi, pengusaha properti tidak perlu lagi mengajukan izin, tapi cukup memenuhi standar pendirian bangunan yang ditetapkan pemerintah.
Sebelumnya, 26 Juli 2019, Menteri ATR-BPN juga telah menerbitkan surat edaran mengenai percepatan perizinan pemanfaatan ruang dalam rangka mendorong penanaman modal (investasi) di daerah. Lagi-lagi, ini menunjukkan bahwa investasi masih cenderung menjadi basis kebijakan pembangunan kita, untuk menggerakkan ekonomi. Sementara IMB sudah dipandang sebagai penghambat investasi. Maka pilihannya IMB harus ditiadakan. lalu, apa dampak yang bisa ditimbulkan dari regulasi ini bila kelak diberlakukan?
Implikasi Penghapusan IMB
Pada pemberitaan FAJAR, Jumat 20 September 2019, Kepala Dinas Penanaman Modal dan PTSP Makassar Andi Bukti Jufri, mengkhawatirkan dampak yang akan ditimbulkan oleh kebijakan penghapusan IMB. Karena selama ini, IMB menjadi kontrol pemerintah untuk memastikan pembangunan tak berjalan asal-asalan. Yang lainnya, juga akan berpengaruh pada sektor pendapatan asli daerah (PAD). Di mana, IMB menyumbang pendapatan cukup besar, mencapai Rp 40 miliar setiap tahunnya.
Dalam perspektif tata ruang, perizinan merupakan salah satu instrumen dalam pengendalian pemanfaatan ruang. Sementara IMB, adalah bagian dari izin pemanfaatan ruang. Terkait hal ini, PP No.15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang, menyebutkan bahwa dalam pemanfaatan ruang, setiap orang wajib memiliki izin pemanfaatan ruang dan wajib melaksanakan setiap ketentuan perizinan dalam pelaksanaan pemanfaatan ruang.
Pada pasal 161, diterangkan bahwa izin pemanfaatan ruang diberikan untuk; a). menjamin pemanfaatan ruang sesuai dengan rencana tata ruang, peraturan zonasi, dan standar pelayanan minimal bidang penataan ruang, b). mencegah dampak negatif pemanfaatan ruang, serta c). melindungi kepentingan umum dan masyarakat luas. Kemudian Pasal 165, mengatur mengenai izin mendirikan bangunan (IMB) yang diberikan berdasarkan rencana detail tata ruang dan peraturan zonasi.
Selain itu, Peraturan Menteri Dalam Negeri No.32 Tahun 2010, yang merupakan turunan Undang-Undang tentang Bangunan Gedung, menyebut, pemberian IMB diselenggarakan berdasarkan prinsip; a). prosedur yang sederhana, mudah dan aplikatif, b). pelayanan yang cepat, terjangkau dan tepat waktu, c). keterbukaan informasi bagi masyarakat dan dunia usaha, d). aspek rencana tata ruang, kepastian status hukum pertanahan, keamanan dan keselamatan serta kenyamanan. Dengan prinsip-prinsip tersebut, maka kepala daerah memanfaatkan pemberian IMB untuk pengawasan, pengendalian dan penertiban bangunan.
Jika menelaah berbagai regulasi yang ada, maka sesungguhnya IMB tak perlu menjadi soal. Bila diasumsikan oleh Menteri ATR-BPN, bahwa IMB sering disalahgunakan untuk melanggar, maka problemnya bukan pada IMB-nya, tapi pada tahapan pengurusan penerbitan IMB serta implementasi pengendalian dan pengawasan yang masih sangat lemah. Dan untuk hal itu, memang perlu perubahan dan perbaikan, agar menjadi lebih sempurna.
Problem mendasar yang sekaligus memunculkan pertanyaan besar ialah bagaimana dengan penataan ruang kita, bila IMB dihapus? Tidakkah akan menjadi lebih sulit lagi dalam mewujudkan tertib tata ruang? Padahal dengan IMB saja, penataan ruang dan bangunan masih terlihat karut marut. Lihat saja, fasum-fasos yang semestinya menjadi hak publik, tidak jarang “dirampas” oleh pengembang properti nakal.   
Pada akhirnya bila kita cermati, ternyata ada hal-hal lain yang lebih fundamental, bahwa pembangunan kita selama ini, rupanya belum melibatkan seluruh rakyat. Pembangunan kita tidak memperkuat sebagian besar rakyat agar memiliki daya tahan secara ekonomi dan sosial, melainkan hanya untuk sebagian orang dan sekelompok pihak saja. Karenanya, bagi Gunawan Sumodiningrat dalam “Membangun Indonesia Emas”, mengatakan: pembangunan seperti ini menyebabkan tidak terbentuknya pertumbuhan yang bersifat jejaring (networked growth). Pihak yang tumbuh hanya manusia-manusia tertentu, sektor-sektor tertentu, dan daerah-daerah tertentu. Terjadilah kesenjangan di tingkat manusia, di tingkat sektor dan di tingkat kewilayahan.
Lantas, apakah tanpa IMB merupakan sebuah terobosan dalam kebijakan pembangunan, atau justru akan menjadi malapetaka bagi penataan ruang kita? Kita tunggu saja langkah selanjutnya.
Makassar, September 2019

Rezim Yang Ambigu dan Problem Lingkungan di Indonesia

Permasalahan lingkungan hidup, telah mendapat perhatian besar di hampir semua negara. Ini terutama terjadi sejak dasawarsa 1970-an setelah d...