Setiap kali
bulan Agustus datang menyapa, sebuah histeria seakan menghinggapi benak warga
bangsa. Di sana mewujud nilai, spirit dan gairah yang dapat memberikan makna
bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Entah itu bernama patriotisme,
heroisme, cinta tanah air, persatuan dan sebagainya. Karenanya, tanggal 17
Agustus 1945 merupakan momentum yang sangat bersejarah bagi bangsa dan negara
Indonesia, di mana telah membentuk nation-state
Indonesia, yang kini merayakan kemerdekaannya ke-74 tahun.
Lantas, apa
arti dan makna kemerdekaan? Kalau dahulu, para pejuang kita meraih kemerdekaan
dengan melepaskan diri dari penjajahan. Maka saat ini, kemerdekaan diperoleh
dengan menghilangkan penindasan. Kita bisa katakan sudah merdeka penuh, kalau
sudah tidak ada lagi penindasan dalam segala cara dan bentuknya. Sebab,
perjuangan kita adalah berusaha menegakkan sistem yang adil. Penegakan keadilan
adalah penentangan terhadap penindasan, disitulah esensi dari kemerdekaan. Para
pejuang kita bangkit, berjuang serta rela berkorban, sebab kemerdekaan
menjanjikan kesejahteraan, kebahagiaan, kemakmuran dan kehormatan.
Lalu,
bagaimana makna kemerdekaan bila dikaitkan dengan aspek penataan ruang kita?
Dalam Pasal 7 UU.26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, menegaskan bahwa tugas
negara dalam menyelenggarakan penataan ruang adalah untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat. Sejalan dengan itu, ajaran Islam mengingatkan bahwa salah
satu tugas manusia di dunia adalah memakmurkan bumi, sebagaimana firman Tuhan
yang berbunyi: “….Dia telah menciptakan
kamu dari bumi(tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya,…”(QS.Hud:61) Kata Sastrawan D.Zawawi Imron, Secara substansial, memakmurkan bumi adalah
tugas mulia dari Tuhan. Kemakmuran akan melahirkan konsekuensi logis berupa
terpenuhinya kebutuhan dasar hidup manusia. Upaya memakmurkan bumi atau tanah
air lewat penataan ruang yang adil dan manusiawi, dibarengi kesadaran religius,
akan menjadi bagian proses pendekatan antara manusia dengan Tuhannya. Inilah
prinsip dasar negara kita yang tegak di atas nilai- nilai Ilahiah.
Pertanyaannya,
sudahkah tugas penataan ruang tersebut telah diwujudkan? Tidakkah yang tertuang
dalam perundangan itu masih berupa norma yang belum merealitas? Betulkah tata
ruang masih menjadi ‘panglima’ pembangunan? Ataukah ungkapan itu hanya sebatas
jargon belaka. Sebab, tidak jarang ditemukan, produk perencanaan yang sejatinya
menjadi acuan, namun harus disesuaikan bahkan ‘tunduk’ pada keinginan serta
obsesi para penguasa. Makanya, tidak mengherankan jika dalam proses perencanaan
dan pemanfaatan ruang, yang nampak lebih diutamakan ialah mengakomodasi
kepentingan kalangan elit, baik penguasa maupun pengusaha. Lihat saja apa yang
terjadi pada setiap kali reklamasi dilakukan. Adakah masyarakat marginal yang
diuntungkan dalam proyek semacam itu? Begitu pula dalam hal penguasaan ruang
dan lahan, yang dilakukan secara massif oleh korporasi properti untuk
pembangunan kawasan perumahan mewah. Pada aspek pengendalian pemanfaatan ruang,
juga tidak jauh berbeda, yang serasa tidak mampu berfungsi efektif, bila
menghadapi kekuatan pemilik modal dan pemegang kekuasaan.
Demikian
halnya, jika kita menyinggung persoalan pengakuan, perlindungan dan
pengembalian hak-hak masyarakat adat. Padahal mereka adalah garda terdepan
penyelamatan hutan tropis. Bahkan komunitas internasional pun, selalu
mengedepankan peran masyarakat adat sebagai penjaga hutan terbaik, dengan tanpa
mereduksi fungsi hutan. Data dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN),
menyebut telah menyerahkan peta wilayah adat seluas 9.653.437 hektar dari 785
komunitas adat, kepada pemerintah. Yang sudah terealisir, baru sekitar
27.970,61 hektar hutan adat untuk 21 komunitas adat. Itulah secuil gambaran
dari problematika ruang di negeri merdeka ini.
Yudi Latif
mendakukan, betapa pembangunan pada dimensi-dimensi material, kerapkali melesat
jauh mengangkangi nilai-nilai etis, nilai-nilai budaya dan ontologis. Situasi
ini jika dibiarkan terus, akan melahirkan apa yang disebut Ogburn dengan cultural lag (kesenjangan budaya), yang
pada akhirnya bisa membawa dampak yang serius. Semua realitas ini mengusik rasa
kemerdekaan kita yang ingin terus berjuang mewujudkan tertib penataan ruang.
Kemerdekaan
rakyat secara total lewat upaya reformasi sepertinya belum selesai, tidak
sebagaimana yang dicita-citakan. Karena ada indikasi masih cukup kuat dan
berakarnya kekuatan-kekuatan yang ingin berkembangnya dominasi kekuasaan, yang
ingin membawa serta menggiring kembali pada iklim “daulat tuan.” Padahal, kemerdekaan bagi setiap manusia merupakan hal
yang sangat mendasar, sebagaimana Sayyidina Ali bin Abi Thalib Kw dalam Nahjul Balaghah berkata, “Janganlah sekali-kali kamu menjadi budak
orang lain. Sesungguhnya Allah Yang Mahasuci telah menjadikanmu sebagai orang
yang merdeka.” Wallahu a’lam bisshawab.
Makassar, Agustus 2019