Bulan April 2019 lalu, Ikatan
Ahli Perencanaan Indonesia (IAP) genap berusia 48 tahun, sejak didirikan di
Jakarta 13 April 1971. Sebagai asosiasi profesi yang menjadi wadah berhimpunnya
segenap ahli perencanaan wilayah dan kota di Indonesia, IAP tentu telah
melakukan berbagai langkah dan upaya dalam menjalankan kiprahnya. Namun begitu,
dalam usianya yang hampir lima dasawarsa, IAP perlu sejenak melakukan
introspeksi dan evaluasi, terhadap peran dan fungsi yang telah dilakukan selama
ini, terutama yang terkait dengan kepentingan publik.
Mengawal
Penataan Ruang
Salah satu fungsi yang sangat
penting untuk dijalankan oleh IAP adalah sebagai wadah untuk melindungi
kepentingan masyarakat seluas-luasnya. Hal ini sangat terkait dengan apa yang
tertuang dalam Kode Etik Perencana Indonesia, yang berhubungan dengan tanggung
jawab perencana pada masyarakat, yakni :
Pertama, melayani
seluruh golongan dan lapisan masyarakat, mendahulukan kepentingan umum di atas
kepentingan golongan maupun kepentingan pribadi, dan berdasar keyakinan
profesi, berani membela yang benar serta memberikan kritik dan koreksi terhadap
hal-hal yang merugikan masyarakat.
Kedua, memberikan
informasi kepada masyarakat dan pengambil keputusan, akan permasalahan,
kemungkinan pilihan dan dampak dari suatu perencanaan, serta mendorong
masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses perencanaan dan pengambilan
keputusan.
Ketiga, berperan
serta dalam upaya berjangka panjang, dengan meningkatkan efisiensi dan
produktivitas ekonomi, menuju tercapainya pembangunan berkelanjutan melalui
pendekatan perencanaan terpadu yang berwawasan menyeluruh, meningkatkan
pemerataan dan perluasan manfaat pembangunan, melestarikan warisan budaya dan
sejarah, serta meningkaktkan kondisi lingkungan hidup.
Pertanyaan mendasarnya, apakah
fungsi dan tanggung jawab tersebut sudah terinternalisasi dalam diri para
Perencana yang ada? Tentu saja, ini tidak terbatas hanya kepada
Perencana/Planner yang ada dalam IAP, namun mencakup pula Perencana yang ada di
pemerintahan/birokrasi, swasta/konsultan, dan terlebih lagi yang bergelut pada
intitusi pendidikan sebagai akademisi.
Dalam konteks penataan ruang,
seiring perkembangan dan percepatan pembangunan yang terjadi, Planner atau Perencana,
dihadapkan pada tantangan yang cukup besar dalam menjalankan bidang profesi
yang selama ini ditekuni. Pada aspek jumlah penyusunan RTR (Rencana Tata Ruang)
saja, sudah dihadapkan pada persoalan yang tidak sederhana. Karena ada ratusan
hingga ribuan RTR yang harus disusun. Bila kita coba inventarisasi, maka ada
70an Kawasan Strategis Nasional (KSN) yang mesti disusun RTR-nya. RTRW untuk 34
Provinsi, sekitar 700an RTR-KSP (Kawasan Strategis Provinsi). 500
Kabupaten/Kota yang juga harus memiliki RTRW, RTR-KSK (Kawasan Strategis
Kota/Kabupaten), RDTR (Rencana Detail Tata Ruang) serta juga Peraturan Zonasi
(PZ). Di sisi lain, Prof.Ir. Eko Budihardjo dalam sebuah makalahnya,
menyebutkan bahwa kenyataan menunjukkan ada sekitar 80% rencana yang telah disusun,
ternyata tidak terlaksana sebagaimana yang direncanakan. Masalah ini disebabkan
kesenjangan yang lebar antara idealisme, harapan, teori dan rencana tata ruang
yang berhadapan dengan pragmatisme, kenyataan, serta praktek dan
implementasinya.
Terkait hal itu, pada RPJPD
Sulawesi Selatan 2005-2025 disebutkan
masih terjadi inkonsistensi terhadap penegakan Perda RTRW. Hal senada
juga tertuang dalam Perda No.1 Tahun 2019 tentang RPJMD Sulsel 2018-2023 yang
menyatakan bahwa ketaatan pada RTRW masih rendah. Ini dikarenakan beberapa hal,
yaitu; Rencana Tata Ruang (RTR) belum dijadikan sebagai acuan pelaksanaan
pembangunan, belum terintegrasinya program prioritas RTR dalam dokumen
perencanaan daerah serta belum optimalnya pelaksanaan pengendalian pemanfaatan
ruang. Yang kesemuanya itu, pada gilirannya menyebabkan terjadinya
paradoks-paradoks dalam pelaksanaan pembangunan dan penataan ruang.
Dengan fenomena dan realitas yang
telah diuraikan, maka sudah sepatutnya para ahli perencanaan atau Planner,
untuk lebih progresif menunjukkan komitmen dan tanggung jawab moralnya dalam
merespon berbagai persoalan tata ruang yang berdampak pada masyarakat. Karlina
Supelli mengingatkan, “Bagaimanapun,
tanggung jawab profesional tidak dapat memupus tanggung jawab moral dan integritas
seseorang sebagai person.” Mungkin ini juga sejalan dengan apa yang pernah
diutarakan oleh mantan Rektor ITB Prof.Dr.Harijadi Supangkat, bahwa, “Selain berwawasan masa depan, ada satu
dimensi yang harus dimiliki oleh seorang Planner, yaitu peka dan dapat
menghayati aspirasi serta keinginan yang hidup dalam masyarakat.”
Sebab itu, bila para Planner
tidak tampil menjalankan tanggung jawab yang semestinya, maka saya kuatir
keresahan yang digambarkan oleh Tom Nichols dalam bukunya “The Death of Expertise” akan menjadi nyata pula dalam dunia
perencanaan. Wallahu a’lam bisshawab.
FAJAR Makassar, Mei 2019