Tanggal 17 Agustus 1945 merupakan hari yang sangat bersejarah bagi
bangsa dan negara Indonesia, karena pada hari itu telah terbentuk negara baru
yang merdeka baik secara de jure
maupun de facto, bangsa dan negara
merdeka yang secara politik berhak mengatur kedaulatannya sendiri tanpa campur
tangan asing.
Kemerdekaan telah membentuk nation-state
Indonesia. Dalam perjalanannya selama 70 tahun, kemerdekaan negara mengalami
dinamika dan pasang surut yang kemudian menjadi catatan sejarah perjalanan
kebangsaan negeri ini.
Dalam buku “Jika Rakyat Berkuasa”, Prod. Dr. Delier Noer menulis,
bahwa setidaknya, ada tiga peritiwa penting dalam peralihan kekuasaan yang
pernah terjadi hingga saat ini. Peristiwa pertama, terjadi pada tahun 1945,
tidak lama setelah Proklamasi Kemerdekaan atau kita sebut dengan fase Orde
Lama. Peristiwa kedua, terjadi pada
tahun 1966, saat pergantian Soekarno kepada Soeharto atau fase Orde Baru. Dan
peristiwa ketiga, pada tahun 1998, ialah lengsernya Soeharto yang kemudian
digantikan oleh B.J. Habibie yang lalu disebut sebagai fase Orde Reformasi.
Pada masa Orde Lama, terlihat bahwa negara maupun masyarakat masih
begitu rapuh, karena keduanya sedang bergulat mencari posisi dan identitasnya
sendiri. Pergulatan yang begitu kuat antar elit terhadap sistem pemerintahan
hingga mengalami beberapa perubahan dan begitu pula sistem politik yang muncul
mengarah pada berbagai penyimpangan, yang pada akhirnya membuat situasi politik
begitu carut marut.
Sementara itu, di masa Orde Baru, negara begitu dominan, kuat dan
daya paksa yang sangat tinggi. Posisi rakyat sangat marjinal, lemah dan
hampir-hampir tidak berdaya bila harus menghadapi negara. Karena itulah,
penyimpangan terjadi hampir dalam semua aspek. Korupsi, kolusi dan nepotisme
yang amat parah mendorong ambruknya ekonomi saat itu.
Ulil Absar Abdallah dalam tulisannya “Menuju Politik Konkrit”
menyebut bahwa terjadi penyeragaman dan pengingkaran akan pluralitas. Karena
perbedaan dianggap sebagai suatu anomali yang mengancam keselarasan. Social progress yang lalu diterjemahkan
dalam istilah “pembangunan” adalah sesuatu yang dianggap semata-mata dihasilkan
oleh unsur-unsur yang konvergen, seolah-olah unsur-unsur yang berbeda tidak
bisa menyumbangkan sesuatu buat kemajuan dan pembangunan. Akibatnya, terjadi
pengebirian fungsi-fungsi sosial masyarakat oleh negara. Yang terjadi kemudian
adalah kekacauan nilai-nilai di negeri ini. Daya kreativitas masyarakat yang
mengarah pada kebaikan dan keberadaban manusia makin terkikis dan tenggelam
oleh developmentalisme yang
diagung-agungkan oleh pemerintahan Orde Baru. Sebagai akibat dari dominasi
negara yang begitu kuat mengatur semua aspek kehidupan, masyarakat berada dalam
kondisi yang sesungguhnya tidak merdeka dan berdaulat.
Tahun 1998, kita memasuki era baru setelah tumbangnya rezim Orde
Baru. Reformasi menghasilkan setitik sinar cerah serta harapan untuk
mengantarkan kemerdekaan rakyat. Namun, yang terjadi sekarang ini, tidak
sebagaimana yang dicita-citakan. Kemerdekaan rakyat secara tuntas lewat
reformasi total sepertinya belum selesai, karena ada indikasi masih cukup kuat
dan berakarnya kekuatan-kekuatan yang membawa serta menggiring kembali pada
iklim “daulat tuan” atau “daulat raja.” Karena itu, ada baiknya kita simak
himbauan Soekarno dalam Amanat Proklamasi-nya, Lantas, bagaimana dengan arti
dan makna kemerdekaan? Kalau kita perhatikan, dahulu, para pejuang kita
berjuang untuk meraih kemerdekaan dengan melepaskan diri dari penindasan. Jadi,
ukuran kemerdekaan itu adalah sejauh mana penindasan itu terjadi dan untuk
itulah mereka menentang Belanda. Begitu
juga ketika orang Jepang datang. Mula-mula mereka disambut tetapi kemudian juga
ditentang dan dilawan. mengapa seperti itu? Karena para pejuang kita tahu bahwa
Jepang juga sama dengan Belanda, melakukan penindasan. Sekarang, kita sudah
merdeka dari penjajahan Belanda dan Jepang.
Tetapi, boleh jadi rakyat Indonesia tidak akan mengatakan
perjuangan sudah berakhir. Kita bisa katakan sudah merdeka penuh, kalau sudah
tidak ada lagi penindasan dalam segala cara dan bentuknya. Sebab, perjuangan
kita adalah berusaha menegakkan sistem yang adil. Penegakan keadilan adalah
penentangan terhadap penindasan, dan di situlah esensi dari kemerdekaan. Tapi
coba amati apa yang masih berlangsung hingga kini. Penegakan hukum yang
seringkali tidak berpihak pada kaum lemah, kemerdekaan menjalankan keyakinan
masih sering dihakimi dan diteror serta bagaimana kekuatan asing dengan begitu
mudah menguasai sebagian potensi sumber daya alam kita. Lalu, bagaimana kita
harus mempertanggungjawabkan semua itu kepada para pejuang kemerdekaan yang
telah gugur demi tegaknya republik ini.
Walau begitu, hal penting yang kita miliki sekarang adalah
semangat yang menggelora untuk lepas dari iklim represif – iklim yang tidak
memberikan nuansa kemerdekaan, kebebasan dan kedaulatan. Problemnya adalah,
bagaimana agar semangat ini tetap terjaga dan bisa bermetamorfosis menjadi
bangunan riil dalam struktur-struktur kenegaraan dan kemasyarakatan, yang mampu
membangun kultur ‘daulat rakyat’ untuk melahirkan masyarakat yang egaliter dan
demokratis.
Saat ini, kita memasuki usia kemerdekaan ke-70, dan kita tengah
berada di era reformasi. Upaya untuk melakukan reformasi dan perubahan secara
total dan menyeluruh menjadi mutlak dilakukan, agar dapat memberikan jaminan
bagi kemerdekaan rakyat, sehingga bisa berhasil membangun negara merdeka yang
bebas dari korupsi dan penyalahgunaan
kekuasaan. Masyarakat yang saling menghargai serta menjaga persatuan, kesatuan,
kebersamaan dan solidaritas sesama anak bangsa.
Akhirnya, dalam rangka memperingati Hari Kemerdekaan NKRI ini,
kita semua perlu menyadari bahwa salah satu faktor yang menyebabkan
kebangkrutan suatu negara adalah tidak adanya kemerdekaan dan kedaulatan yang
terwujud, serta berkembangnya dominasi kekuasaan. Padahal kemerdekaan bagi
setiap manusia merupakan hal yang sangat mendasar, sebagaimana Sayyidina Ali
bin Abi Thalib Kw dalam Nahjul Balaghah
berkata, “Janganlah sekali-kali kamu
menjadi budak orang lain. Sesungguhnya Allah Yang Mahasuci telah menjadikanmu
sebagai orang yang merdeka.”
Makassar, Agustus 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar