Kamis, 30 Mei 2019

Ramadhan : Bulan Quran untuk Kesempurnaan Insaniah


Bulan Ramadhan adalah bulan Allah SWT, satu-satunya bulan yang namanya diabadikan dalam Al-Quran. Allah menyebutnya dengan bulan nuzul Al-Quran (turunnya Al-Quran). Allah SWT berfirman, “(Beberapa hari yang ditentukan itu adalah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Quran.” (Al-Baqarah:185). Bulan ini menjadi agung bukan dikarenakan  puasanya, melainkan karena di dalamnya diturunkan Al-Quran yang merupakan mukjizat Abadi dari Nabi kita Muhammad SAW. Al-Quran memiliki hukum dan hikmah, di antaranya ialah hukum puasa. Inilah hikmah yang utama di bulan Ramadhan. Pada bulan ini manusia menjadi tamu-tamu Allah SWT. Dan Allah menyajikan hidangan bagi para tamu-Nya berupa Al-Quran al-Karim.
Syaikh Jawadi Amuli menerangkan bahwa bagi para ahli suluk dan penempuh jalan ruhani, bulan Ramadhan merupakan bulan perhitungan. Karena bagi mereka, pergantian awal tahun dimulai dari bulan Ramadhan yang mulia. Mereka menghitung amal perbuatan dan perjalanan mereka sejak bulan Ramadhan yang lalu hingga bulan Ramadhan yang akan datang. Mereka mempertanyakan, bagaimanakah keadaan diri mereka pada bulan Ramadhan yang lalu? Pada derajat manakah mereka sekarang berada? Kedudukan apakah yang mereka dapatkan pada bulan ini? Sejauh manakah mereka bisa menguasai diri di hadapan berbagai kekeliruan? Dan sejauh manakah mereka mampu bertahan di hadapan musuh?
Hal yang sangat penting dalam Madrasah Ramadhan adalah muhasabah (introspeksi), dengan melakukan taubat dan penyucian diri. Langkah dan upaya ini menjadi sangat mendasar bila kita ingin meraih capaian-capaian yang bersifat maknawi di bulan Ramadhan. Seperti disebutkan sebelumnya, bahwa Al-Quran adalah jamuan Ilahi yang diberikan bagi hamba-hamba-Nya. Namun, tidak semua orang bisa menyantap dan menikmati jamuan tersebut. Syaikh Abdullah Jawadi menyebutkan bahwa Al-Quran bukanlah jamuan yang diperuntukkan bagi setiap orang. Ia merupakan pemberian khusus yang diperuntukkan bagi insan yang haus dan lapar akan makrifat Al-Quran. Perlu diketahui bahwa memahami Al-Quran tanpa bimbingan ruhani dan tazkiyah nafs, tanpa iman yang hakiki, tanpa hidayah dan takwa, adalah mustahil.
Karena itu, jangan dikira manusia mampu memahami Al-Quran tanpa harakah takamuli dengan ilmu dan amal. Jika orang ingin mengenal Al-Quran dan kandungannya, maka ia membutuhkan takamul (kesempurnaan). Sehingga mesti disadari, bahwa tingkatan manusia dalam memahami Al-Quran sesuai dengan tingkatan takamul-nya. Artinya, seberapa sempurna yang ia capai dalam perjalanannya kepada Allah, maka sampai pada tingkatan itu pulalah manusia memahami ayat-ayat Al-Quran.
Al-Quran yang merupakan faidh (manifestasi) Ilahi hanya diturunkan Allah SWT untuk orang-orang yang suci. “Sesungguhnya Al-Quran ini adalah bacaan yang sangat mulia, pada kitab yang terpelihara (Lauh al-Mahfuz). Tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan.” (QS.Al-Waqiah:77-79). Dengan demikian, hanya mereka yang disucikanlah yang akan memperoleh pengetahuan Al-Quran. Tidak seorang pun dapat memahami Al-Quran hingga ke dasarnya kecuali mereka yang telah dibersihkan. Al-Quran menganggap kesucian sebagai rahasia setiap ibadah. Pada konteks ini, masalah taubat dan penyucian diri menjadi hal yang sangat penting dan mendasar.
Takwa adalah Tingkatan Kesempurnaan Manusia
Sudah mafhum bagi kita semua, bahwa tujuan dari puasa ialah untuk mencapai derajat takwa (QS.Al-Baqarah:183). Takwa adalah sebuah tingkatan kesempurnaan insaniah. Takwa adalah sifat maknawi yang jika dimiliki, maka manusia akan terjaga dari perbuatan-perbuatan dosa. Syaikh Ibrahim Amini mengibaratkan takwa itu seperti sebuah rem yang berada di tangan seorang supir. Ketika melihat mobilnya akan menabrak sesuatu, maka seorang supir akan mengendalikan mobilnya dengan rem. Sebuah mobil yang tidak mempunyai rem akan menabrak segala sesuatu. Rem adalah sesuatu yang sangat diperlukan sebuah mobil.
Demikian juga sifat takwa, yang perlu ada pada setiap manusia. Seorang manusia yang mempunyai sifat takwa, akan dijaga dan ditahan oleh sifat takwa, dari perbuatan-perbuatan dosa manakala perbuatan-perbuatan itu menghampirinya. Akan tetapi, jika tidak memiliki sifat takwa, maka bila perbuatan haram menghampirinya, ia tidak mampu menahan diri untuk tidak melakukannya. Takwa adalah bekal terbaik untuk menuju akhirat. Allah berfirman, “Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal.”(QS. Al-Baqarah: 197).
Hikmah lainnya dari Ramadhan berkenaan dengan puasa ialah melatih dan menjaga kemantapan iman kita. Menjadi manusia bertakwa yang merupakan tujuan dari pelaksanaan ibadah puasa, akan sulit dicapai tanpa iman yang kuat. Oleh sebab itu, orang yang berpuasa bersedia menanggung rasa lapar dan haus sebagai bukti kepatuhannya terhadap kewajiban yang diperintahkan Ilahi tersebut. Coba  dibandingkan dengan ibadah lainnya, umumnya bisa disaksikan dan diketahui oleh orang lain, sedangkan puasa, yang tahu hanyalah pelaku puasa itu sendiri dan Tuhan.
Di sinilah salah satu rahasia puasa yang biasa disinggung dalam sebuah riwayat, bahwa puasa dimaksudkan agar tercipta kelembutan dan hilangnya aktivitas hewani, yang dilakukan seseorang di luar bulan puasa, karena itu semua merupakan aktivitas kebohongan. Ketika seseorang berpuasa sehingga terjalin hubungan antara dirinya dengan ibadah puasa, secara perlahan ia akan sampai pada rahasia ibadah. Nah, aspek batin puasa adalah mendekatkan diri kepada Allah SWT. Karenanya Nabi SAW bersabda bahwa Allah berfirman, “Puasa itu untuk-Ku dan Aku sendirilah yang memberikan pahala.”
Akhirnya, sifat takwa akan muncul pada diri seseorang jika pada bulan Ramadhan, ia melakukan puasa persis sebagaimana yang telah dituntunkan oleh Islam. Yang dimaksud dengan puasa, di samping seseorang tidak makan dan minum di siang hari, serta tidak melakukan hal-hal yang membatalkan puasa, hendaknya seluruh anggota tubuhnya ikut berpuasa. Berpuasanya seluruh anggota tubuh adalah dengan tidak melakukan perbuatan-perbuatan dosa.
Dari sini dapat diambil kesimpulan, bahwa jika kita melaksanakan puasa Ramadhan dengan sesungguhnya, maka seseorang telah melatih dirinya untuk meninggalkan perbuatan-perbuatan dosa. Seorang yang sebulan penuh telah menjaga mata, telinga, tangan, dan lain-lainnya, maka berarti telah membiasakan anggota tubuhnya untuk tidak melakukan perbuatan yang haram, sehingga terbiasa dengan sifat takwa. Sehingga setelah Ramadhan, ia pun akan dengan mudah meninggalkan perbuatan-perbuatan yang haram tersebut. Demikianlah cara  meningkatkan ketakwaan kita, untuk meraih kesempurnaan insaniah di bulan Al-Quran ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Rezim Yang Ambigu dan Problem Lingkungan di Indonesia

Permasalahan lingkungan hidup, telah mendapat perhatian besar di hampir semua negara. Ini terutama terjadi sejak dasawarsa 1970-an setelah d...