Bulan
Ramadhan adalah bulan Allah SWT, satu-satunya bulan yang namanya diabadikan
dalam Al-Quran. Allah menyebutnya dengan bulan nuzul Al-Quran (turunnya Al-Quran). Allah SWT berfirman, “(Beberapa hari yang ditentukan itu adalah)
bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Quran.”
(Al-Baqarah:185). Bulan ini menjadi agung bukan dikarenakan puasanya, melainkan karena di dalamnya
diturunkan Al-Quran yang merupakan mukjizat Abadi dari Nabi kita Muhammad SAW. Al-Quran
memiliki hukum dan hikmah, di antaranya ialah hukum puasa. Inilah hikmah yang
utama di bulan Ramadhan. Pada bulan ini manusia menjadi tamu-tamu Allah SWT.
Dan Allah menyajikan hidangan bagi para tamu-Nya berupa Al-Quran al-Karim.
Syaikh
Jawadi Amuli menerangkan bahwa bagi para ahli suluk dan penempuh jalan ruhani,
bulan Ramadhan merupakan bulan perhitungan. Karena bagi mereka, pergantian awal
tahun dimulai dari bulan Ramadhan yang mulia. Mereka menghitung amal perbuatan
dan perjalanan mereka sejak bulan Ramadhan yang lalu hingga bulan Ramadhan yang
akan datang. Mereka mempertanyakan, bagaimanakah keadaan diri mereka pada bulan
Ramadhan yang lalu? Pada derajat manakah mereka sekarang berada? Kedudukan
apakah yang mereka dapatkan pada bulan ini? Sejauh manakah mereka bisa
menguasai diri di hadapan berbagai kekeliruan? Dan sejauh manakah mereka mampu
bertahan di hadapan musuh?
Hal yang
sangat penting dalam Madrasah Ramadhan adalah muhasabah (introspeksi), dengan melakukan taubat dan penyucian
diri. Langkah dan upaya ini menjadi sangat mendasar bila kita ingin meraih
capaian-capaian yang bersifat maknawi di bulan Ramadhan. Seperti disebutkan
sebelumnya, bahwa Al-Quran adalah jamuan Ilahi yang diberikan bagi
hamba-hamba-Nya. Namun, tidak semua orang bisa menyantap dan menikmati jamuan
tersebut. Syaikh Abdullah Jawadi menyebutkan bahwa Al-Quran bukanlah jamuan
yang diperuntukkan bagi setiap orang. Ia merupakan pemberian khusus yang
diperuntukkan bagi insan yang haus dan lapar akan makrifat Al-Quran. Perlu
diketahui bahwa memahami Al-Quran tanpa bimbingan ruhani dan tazkiyah nafs, tanpa iman yang hakiki,
tanpa hidayah dan takwa, adalah mustahil.
Karena itu,
jangan dikira manusia mampu memahami Al-Quran tanpa harakah takamuli dengan ilmu dan amal. Jika orang ingin mengenal
Al-Quran dan kandungannya, maka ia membutuhkan takamul (kesempurnaan). Sehingga mesti disadari, bahwa tingkatan
manusia dalam memahami Al-Quran sesuai dengan tingkatan takamul-nya. Artinya, seberapa sempurna yang ia capai dalam
perjalanannya kepada Allah, maka sampai pada tingkatan itu pulalah manusia
memahami ayat-ayat Al-Quran.
Al-Quran
yang merupakan faidh (manifestasi)
Ilahi hanya diturunkan Allah SWT untuk orang-orang yang suci. “Sesungguhnya Al-Quran ini adalah bacaan
yang sangat mulia, pada kitab yang terpelihara (Lauh al-Mahfuz). Tidak
menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan.” (QS.Al-Waqiah:77-79).
Dengan demikian, hanya mereka yang disucikanlah yang akan memperoleh
pengetahuan Al-Quran. Tidak seorang pun dapat memahami Al-Quran hingga ke
dasarnya kecuali mereka yang telah dibersihkan. Al-Quran menganggap kesucian
sebagai rahasia setiap ibadah. Pada konteks ini, masalah taubat dan penyucian
diri menjadi hal yang sangat penting dan mendasar.
Takwa adalah Tingkatan Kesempurnaan Manusia
Sudah mafhum
bagi kita semua, bahwa tujuan dari puasa ialah untuk mencapai derajat takwa
(QS.Al-Baqarah:183). Takwa adalah sebuah tingkatan kesempurnaan insaniah. Takwa
adalah sifat maknawi yang jika dimiliki, maka manusia akan terjaga dari
perbuatan-perbuatan dosa. Syaikh Ibrahim Amini mengibaratkan takwa itu seperti
sebuah rem yang berada di tangan seorang supir. Ketika melihat mobilnya akan
menabrak sesuatu, maka seorang supir akan mengendalikan mobilnya dengan rem.
Sebuah mobil yang tidak mempunyai rem akan menabrak segala sesuatu. Rem adalah
sesuatu yang sangat diperlukan sebuah mobil.
Demikian
juga sifat takwa, yang perlu ada pada setiap manusia. Seorang manusia yang
mempunyai sifat takwa, akan dijaga dan ditahan oleh sifat takwa, dari
perbuatan-perbuatan dosa manakala perbuatan-perbuatan itu menghampirinya. Akan
tetapi, jika tidak memiliki sifat takwa, maka bila perbuatan haram
menghampirinya, ia tidak mampu menahan diri untuk tidak melakukannya. Takwa
adalah bekal terbaik untuk menuju akhirat. Allah berfirman, “Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik
bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal.”(QS.
Al-Baqarah: 197).
Hikmah
lainnya dari Ramadhan berkenaan dengan puasa ialah melatih dan menjaga
kemantapan iman kita. Menjadi manusia bertakwa yang merupakan tujuan dari
pelaksanaan ibadah puasa, akan sulit dicapai tanpa iman yang kuat. Oleh sebab
itu, orang yang berpuasa bersedia menanggung rasa lapar dan haus sebagai bukti
kepatuhannya terhadap kewajiban yang diperintahkan Ilahi tersebut. Coba dibandingkan dengan ibadah lainnya, umumnya
bisa disaksikan dan diketahui oleh orang lain, sedangkan puasa, yang tahu
hanyalah pelaku puasa itu sendiri dan Tuhan.
Di sinilah
salah satu rahasia puasa yang biasa disinggung dalam sebuah riwayat, bahwa
puasa dimaksudkan agar tercipta kelembutan dan hilangnya aktivitas hewani, yang
dilakukan seseorang di luar bulan puasa, karena itu semua merupakan aktivitas
kebohongan. Ketika seseorang berpuasa sehingga terjalin hubungan antara dirinya
dengan ibadah puasa, secara perlahan ia akan sampai pada rahasia ibadah. Nah,
aspek batin puasa adalah mendekatkan diri kepada Allah SWT. Karenanya Nabi SAW
bersabda bahwa Allah berfirman, “Puasa
itu untuk-Ku dan Aku sendirilah yang memberikan pahala.”
Akhirnya,
sifat takwa akan muncul pada diri seseorang jika pada bulan Ramadhan, ia
melakukan puasa persis sebagaimana yang telah dituntunkan oleh Islam. Yang
dimaksud dengan puasa, di samping seseorang tidak makan dan minum di siang hari,
serta tidak melakukan hal-hal yang membatalkan puasa, hendaknya seluruh anggota
tubuhnya ikut berpuasa. Berpuasanya seluruh anggota tubuh adalah dengan tidak
melakukan perbuatan-perbuatan dosa.
Dari sini
dapat diambil kesimpulan, bahwa jika kita melaksanakan puasa Ramadhan dengan
sesungguhnya, maka seseorang telah melatih dirinya untuk meninggalkan
perbuatan-perbuatan dosa. Seorang yang sebulan penuh telah menjaga mata,
telinga, tangan, dan lain-lainnya, maka berarti telah membiasakan anggota
tubuhnya untuk tidak melakukan perbuatan yang haram, sehingga terbiasa dengan
sifat takwa. Sehingga setelah Ramadhan, ia pun akan dengan mudah meninggalkan
perbuatan-perbuatan yang haram tersebut. Demikianlah cara meningkatkan ketakwaan kita, untuk meraih
kesempurnaan insaniah di bulan Al-Quran ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar