Jumat, 11 Januari 2019

Membincangkan [Lagi] Kekuasaan (Diskursus Antara Politik Nilai dan Politik Kekuasaan)

Memasuki tahun baru 2016, sepertinya kegaduhan politik di negeri tercinta ini, tidak akan pernah ada habisnya. Mengapa demikian? Dalam perspektif Quran, hal itu diakibatkan karena terlalu banyak binatang berwajah manusia yang berkeliaran di jagat perpolitikan kita. Sebab itu, dalam dinamika politik yang dipertontonkan dan berlangsung di sekitar kita, hampir tak ada yang mencerahkan dan mendidik, tapi justru memuakkan serta menyesakkan, sehingga melahirkan sikap antipati dari rakyat atau masyarakat yang sudah dirundung berbagai persoalan sosial.
Perpolitikan kita menjadi tidak sehat, karena mereka yang berkecimpung di dalamnya lebih banyak yang berorientasi untuk mengejar tampuk kekuasaan semata. Karena itu, segala cara dilakukan walau melanggar etika dan aturan yang ada, mengikut Niccolo Machiavelli dalam Il Principe-nya. Akibatnya, dunia politik dinilai oleh sebagian besar masyarakat sebagai dunia yang tak menjunjung tinggi nilai-nilai, karena di dalamnya yang dijumpai hanyalah tipu muslihat, kebohongan, kepalsuan dan pragmatisme.
Padahal dalam Islam, baik buruk dari pola memperoleh dan menggunakan kekuasaan secara khusus dibicarakan, pada ilmu siyasah (pengaturan kekuasaan) atau politics (politik).  Dan memang, kira-kira di masa pertama kali istilah itu diujarkan (zaman Yunani), tidak pernah ia terpisah dari etika. Ibarat dua sisi mata uang. Barulah di akhir zaman ini, politik jauh melenceng dari etika. Hal itu bisa diduga sebab-musababnya.
Sayyid Musa Kazhim pada tulisan pengantar buku “5 Partai Dalam Timbangan” mengungkapkan bahwa dalam The Republic, Plato jelas-jelas mengaitkan politik (pengaturan kekuasaan) dengan etika. Begitu pula dengan muridnya Aristoteles. Bagi Aristoteles, etika dan politik itu sama-sama mengajarkan bagaimana bertindak tepat dan hidup bahagia. Itulah yang diuraikannya dalam The Nicomachean Ethics dan The Politics. Ia banyak berbicara ihwal perlunya bekerja sesuai  dengan peran, dan percaya bahwa tujuan manusia adalah kebahagiaan. Hal ini bisa tercapai bila seseorang menunaikan perannya dengan baik. Dan karenanya yang terpenting adalah mengenali peran kita masing-masing. Boleh jadi, dari kedua pemikir terkemuka inilah terlahir istilah ‘Etika Politik’.
Meraih kekuasaan pada dasarnya bukanlah merupakan aib, sesuatu yang tercela atau sebuah kejahatan, selama ia diraih dengan cara yang benar serta dilaksanakan di atas landasan nila-nilai yang benar pula. Bahkan dalam perspektif kearifan lokal di sejumlah daerah, kekuasaan seringkali dimaknai sebagai sesuatu yang telah ditakdirkan oleh kekuasaan Adikodrati yang diserahkan kepada seseorang.
Kolumnis dan budayawan Jacob Sumardjo dalam tulisannya tentang ‘Renungan Kekuasaan’ menyebutkan bahwa Kekuasaan itu bersifat transendental, maka kekuasaan itu suci, harus dihormati dan ditaati, karena kekuasaan itu adalah cahaya. Bila si penguasa kemudian menampakkan dirinya bukan lagi sebagai terjemahan cahaya, maka kekuatan transendental akan turun tangan lagi. Mengapa kekuasaan itu dipercayai sebagai mengandung tugas suci? Karena yang dibutuhkan manusia atas sebuah pemerintahan adalah ditegakkannya kebenaran, dilenyapkannya kejahatan dan dijaminnya sebuah kedamaian. Dengan demikian, inti dari suatu kekuasaan adalah keadilan dan kebenaran.
Pada story of civilizations, Will Durant menegaskan bahwa tak satupun agama yang mendorong para pengikutnya kepada kekuatan dan kekuasaan, kecuali Islam. Banyak dalil yang menegaskan hal tersebut. Namun demikian, kaca mata Islam berbeda dengan kaca mata orang semacam Friedrich Nietzche. Islam melihat kekuasaan semata-mata sebagai kesempurnaan yang nisbi (relative). Ibarat pisau, ia bermata dua: Bagus untuk menyembelih hewan milik sendiri, jelek untuk menyembelih hewan orang lain. Implikasinya, baik buruk kekuasaan itu harus dilihat dari sudut pandang tujuan dan cara penggunaannya. Bila mana untuk menegakkan keadilan, jelas baik adanya. Sebaliknya pun begitu.
Dengan demikian, kekuasaan bukanlah nilai yang bebas, mandiri, dan terlepas dari nilai-nilai (kesempurnaan) yang lain. Kekuasaan itu dapat berbahaya kalau telah dicampur dengan kepentingan-kepentingan pribadi pemegang kekuasaan. Kekuasaan dapat berbahaya kalau moralitas pemegang kekuasaan sudah mulai melenceng dan mengalami degradasi. Dan yang lebih mengkhawatirkan lagi, bila kekuasaan sudah mulai dilestarikan, mendominasi dan lama kelamaan menjadi “hegemoni”, sebuah istilah yang dipopulerkan oleh Antonio Gramsci, seorang intelektual Italia.
Seperti diketahui, fungsi hegemoni adalah mengabsahkan penguasa dan segala ketimpangan sosial yang diakibatkan oleh kekuasaan. Bila hegemoni tercapai, penguasa tidak perlu terus-menerus menindas karena yang tertindas pasrah pada status quo. Mereka terbujuk untuk tidak lagi melihat adanya ketimpangan yang merugikan mereka sendiri, atau melihatnya sebagai sesuatu yang wajar, alamiah, bahkan adil dan sesuai dengan kehendak Ilahi! Hal seperti inilah yang pernah dikatakan oleh Sayyidina Ali bin Abi Thalib kemudian diulang kembali Ali Syariati, bahwa, “Penindasan atau kezaliman tidak akan pernah tegak, bila tidak ada kerjasama antara yang menindas dengan yang ditindas.”
Harapan untuk Negeri
Setelah pelbagai kegaduhan dan keterpurukan di akhir-akhir tahun lalu, kini saatnya menatap masa depan bangsa dan negeri kita menuju kemajuan. Dan ini hanya bisa dicapai, sangat tergantung kepada pemimpin/pemegang kekuasaan yang telah diberi mandat oleh rakyat.
Pemegang kekuasaan yang baik adalah manusia yang baik, dan karenanya menghasilkan kebaikan berupa tegaknya kebenaran, tersingkirnya kejahatan, terselenggaranya keadilan, ketenteraman, kesejahteraan serta keamanan hidup.
Di atas semuanya itu, dalam ungkapan Nurcholish Madjid, diperlukan kepemimpinan yang otentik, baik dari segi wawasan kenegaraan maupun, lebih-lebih lagi, dari segi komitmen moral kemasyarakatan atau civic morality. Tanpa kepemimpinan yang otentik itu, komunikasi politik vertikal dan horizontal akan tidak efektif atau bahkan macet, sehingga seruan membangun kembali ekonomi nasional dengan ajakan keprihatinan dan pengorbanan umum, tidak akan mendapatkan sambutan yang diperlukan.
Harus diketahui bahwa dalam kekuasaan – sama dengan semua hal – terdapat dimensi ruhani yang sering tidak teramati orang, yang langsung berkaitan dengan kehendak Yang Mahakuasa. Karena tidak teramati, dimensi ruhani cenderung terabaikan dan sedikit saja menjadi bagian pertimbangan dalam bertindak. Karena itu, banyak penguasa yang terpukau oleh dimensi jasmani atau lahiriah kekuasaannya, sehingga menjadi lengah, untuk kemudian jatuh secara tidak terhormat. Semoga hal ini tidak terjadi di negeri tercinta ini. Wallahu a’lam bisshawab.
 Makassar, Januari 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Rezim Yang Ambigu dan Problem Lingkungan di Indonesia

Permasalahan lingkungan hidup, telah mendapat perhatian besar di hampir semua negara. Ini terutama terjadi sejak dasawarsa 1970-an setelah d...