Memasuki
tahun baru 2016, sepertinya kegaduhan politik di negeri tercinta ini, tidak
akan pernah ada habisnya. Mengapa demikian? Dalam perspektif Quran, hal itu diakibatkan
karena terlalu banyak binatang berwajah manusia yang berkeliaran di jagat
perpolitikan kita. Sebab itu, dalam dinamika politik yang dipertontonkan dan
berlangsung di sekitar kita, hampir tak ada yang mencerahkan dan mendidik, tapi
justru memuakkan serta menyesakkan, sehingga melahirkan sikap antipati dari
rakyat atau masyarakat yang sudah dirundung berbagai persoalan sosial.
Perpolitikan
kita menjadi tidak sehat, karena mereka yang berkecimpung di dalamnya lebih
banyak yang berorientasi untuk mengejar tampuk kekuasaan semata. Karena itu,
segala cara dilakukan walau melanggar etika dan aturan yang ada, mengikut
Niccolo Machiavelli dalam Il Principe-nya.
Akibatnya, dunia politik dinilai oleh sebagian besar masyarakat sebagai dunia
yang tak menjunjung tinggi nilai-nilai, karena di dalamnya yang dijumpai
hanyalah tipu muslihat, kebohongan, kepalsuan dan pragmatisme.
Padahal dalam
Islam, baik buruk dari pola memperoleh dan menggunakan kekuasaan secara khusus
dibicarakan, pada ilmu siyasah
(pengaturan kekuasaan) atau politics
(politik). Dan memang, kira-kira di masa
pertama kali istilah itu diujarkan (zaman Yunani), tidak pernah ia terpisah
dari etika. Ibarat dua sisi mata uang. Barulah di akhir zaman ini, politik jauh
melenceng dari etika. Hal itu bisa diduga sebab-musababnya.
Sayyid Musa
Kazhim pada tulisan pengantar buku “5
Partai Dalam Timbangan” mengungkapkan bahwa dalam The Republic, Plato jelas-jelas mengaitkan politik (pengaturan
kekuasaan) dengan etika. Begitu pula dengan muridnya Aristoteles. Bagi
Aristoteles, etika dan politik itu sama-sama mengajarkan bagaimana bertindak
tepat dan hidup bahagia. Itulah yang diuraikannya dalam The Nicomachean Ethics dan The
Politics. Ia banyak berbicara ihwal perlunya bekerja sesuai dengan peran, dan percaya bahwa tujuan
manusia adalah kebahagiaan. Hal ini bisa tercapai bila seseorang menunaikan
perannya dengan baik. Dan karenanya yang terpenting adalah mengenali peran kita
masing-masing. Boleh jadi, dari kedua pemikir terkemuka inilah terlahir istilah
‘Etika Politik’.
Meraih
kekuasaan pada dasarnya bukanlah merupakan aib, sesuatu yang tercela atau
sebuah kejahatan, selama ia diraih dengan cara yang benar serta dilaksanakan di
atas landasan nila-nilai yang benar pula. Bahkan dalam perspektif kearifan
lokal di sejumlah daerah, kekuasaan seringkali dimaknai sebagai sesuatu yang
telah ditakdirkan oleh kekuasaan Adikodrati yang diserahkan kepada seseorang.
Kolumnis dan
budayawan Jacob Sumardjo dalam tulisannya tentang ‘Renungan Kekuasaan’
menyebutkan bahwa Kekuasaan itu bersifat transendental, maka kekuasaan itu
suci, harus dihormati dan ditaati, karena kekuasaan itu adalah cahaya. Bila si
penguasa kemudian menampakkan dirinya bukan lagi sebagai terjemahan cahaya,
maka kekuatan transendental akan turun tangan lagi. Mengapa kekuasaan itu
dipercayai sebagai mengandung tugas suci? Karena yang dibutuhkan manusia atas
sebuah pemerintahan adalah ditegakkannya kebenaran, dilenyapkannya kejahatan
dan dijaminnya sebuah kedamaian. Dengan demikian, inti dari suatu kekuasaan
adalah keadilan dan kebenaran.
Pada story of civilizations, Will Durant
menegaskan bahwa tak satupun agama yang mendorong para pengikutnya kepada
kekuatan dan kekuasaan, kecuali Islam. Banyak dalil yang menegaskan hal
tersebut. Namun demikian, kaca mata Islam berbeda dengan kaca mata orang
semacam Friedrich Nietzche. Islam melihat kekuasaan semata-mata sebagai
kesempurnaan yang nisbi (relative).
Ibarat pisau, ia bermata dua: Bagus untuk menyembelih hewan milik sendiri,
jelek untuk menyembelih hewan orang lain. Implikasinya, baik buruk kekuasaan
itu harus dilihat dari sudut pandang tujuan dan cara penggunaannya. Bila mana
untuk menegakkan keadilan, jelas baik adanya. Sebaliknya pun begitu.
Dengan
demikian, kekuasaan bukanlah nilai yang bebas, mandiri, dan terlepas dari
nilai-nilai (kesempurnaan) yang lain. Kekuasaan itu dapat berbahaya kalau telah
dicampur dengan kepentingan-kepentingan pribadi pemegang kekuasaan. Kekuasaan
dapat berbahaya kalau moralitas pemegang kekuasaan sudah mulai melenceng dan
mengalami degradasi. Dan yang lebih mengkhawatirkan lagi, bila kekuasaan sudah
mulai dilestarikan, mendominasi dan lama kelamaan menjadi “hegemoni”, sebuah
istilah yang dipopulerkan oleh Antonio Gramsci, seorang intelektual Italia.
Seperti
diketahui, fungsi hegemoni adalah mengabsahkan penguasa dan segala ketimpangan
sosial yang diakibatkan oleh kekuasaan. Bila hegemoni tercapai, penguasa tidak
perlu terus-menerus menindas karena yang tertindas pasrah pada status quo. Mereka terbujuk untuk tidak
lagi melihat adanya ketimpangan yang merugikan mereka sendiri, atau melihatnya
sebagai sesuatu yang wajar, alamiah, bahkan adil dan sesuai dengan kehendak
Ilahi! Hal seperti inilah yang pernah dikatakan oleh Sayyidina Ali bin Abi
Thalib kemudian diulang kembali Ali Syariati, bahwa, “Penindasan atau kezaliman tidak akan pernah tegak, bila tidak ada
kerjasama antara yang menindas dengan yang ditindas.”
Harapan untuk Negeri
Setelah
pelbagai kegaduhan dan keterpurukan di akhir-akhir tahun lalu, kini saatnya
menatap masa depan bangsa dan negeri kita menuju kemajuan. Dan ini hanya bisa
dicapai, sangat tergantung kepada pemimpin/pemegang kekuasaan yang telah diberi
mandat oleh rakyat.
Pemegang
kekuasaan yang baik adalah manusia yang baik, dan karenanya menghasilkan
kebaikan berupa tegaknya kebenaran, tersingkirnya kejahatan, terselenggaranya
keadilan, ketenteraman, kesejahteraan serta keamanan hidup.
Di atas
semuanya itu, dalam ungkapan Nurcholish Madjid, diperlukan kepemimpinan yang
otentik, baik dari segi wawasan kenegaraan maupun, lebih-lebih lagi, dari segi
komitmen moral kemasyarakatan atau civic
morality. Tanpa kepemimpinan yang otentik itu, komunikasi politik vertikal
dan horizontal akan tidak efektif atau bahkan macet, sehingga seruan membangun
kembali ekonomi nasional dengan ajakan keprihatinan dan pengorbanan umum, tidak
akan mendapatkan sambutan yang diperlukan.
Harus
diketahui bahwa dalam kekuasaan – sama dengan semua hal – terdapat dimensi
ruhani yang sering tidak teramati orang, yang langsung berkaitan dengan kehendak
Yang Mahakuasa. Karena tidak teramati, dimensi ruhani cenderung terabaikan dan
sedikit saja menjadi bagian pertimbangan dalam bertindak. Karena itu, banyak
penguasa yang terpukau oleh dimensi jasmani atau lahiriah kekuasaannya,
sehingga menjadi lengah, untuk kemudian jatuh secara tidak terhormat. Semoga
hal ini tidak terjadi di negeri tercinta ini. Wallahu a’lam bisshawab.
Makassar, Januari 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar