Pada
16 September 2015 lalu, penulis diundang oleh adik-adik mahasiswa dari Himpunan
Mahasiswa Jurusan (HMJ) Teknik Perencanaan Wilayah dan Kota UIN Alauddin
Makassar, untuk mengisi Kuliah Umum dengan tema “Planner di Persimpangan Jalan
antara Pertumbuhan Pembangunan atau Kelestarian Lingkungan.” Dari penggalan tema
itulah penulis mencoba menyorot dan melakukan telaah terhadap posisi para
Perencana Kota (Planner), sebagai bentuk kritik dan otokritik bagi komunitas Perencana sendiri atau mereka
yang terkait dengan pekerjaan perencanaan wilayah dan kota. Sebab, dalam
kenyataannya, memang seringkali kita jumpai sarjana-sarjana perencanaan
(Planner) mengalami disorientasi dalam
menjalankan peran dan fungsinya. Bagaimana tidak, begitu banyak masalah
perkotaan yang terjadi di sekitar kita, yang notabene adalah bagian dari
profesinya, namun hampir tidak pernah, kita dengarkan kritikan yang keras
terhadap berbagai persoalan perkotaan tersebut. Di antara masalah itu ialah;
orientasi tata ruang Makassar yang tidak jelas, Proyek Kawasan Terpadu
Mamminasata yang tak kunjung berjalan optimal sampai sekarang ini, padahal
sudah lebih dari satu dasa warsa dicanangkan. Belum lagi, soal reklamasi pantai
besar-besaran yang sedang berlangsung dan terus menerus mengundang polemik dan
reaksi di tengah-tengah masyarakat.
Begitu juga dengan Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang tidak dipenuhi oleh
Pemerintah Kota serta RTRW Kota Makassar yang tertunda hingga sepuluh tahun dan
sekarang ini belum juga kelar, karena diduga masih ada tarik menarik dalam
pembahasannya. Dengan realitas persoalan seperti itu, penulis lalu
bertanya-tanya, ke mana saja para Perencana (Planner) selama ini. Apakah mereka
berada di persimpangan jalan antara mengutamakan pekerjaan atau bersuara
lantang pada berbagai masalah perkotaan di atas? Apakah mereka begitu sibuk
mengejar dan mengerjakan proyek-proyek perkotaan, hingga tidak punya perhatian
dan tergelitik untuk menjalankan tanggung jawab moralnya dalam mengkritisi
berbagai perencanaan perkotaan yang bermasalah?
Adakah semua ini terjadi, karena sejak awal, institusi pendidikan
perencanaan wilayah dan kota tidak mempertegas dan gamang dalam menentukan arah
dari proses pendidikan perencanaan yang dilakukannya? Akibatnya, yang dicetak
hanyalah para perencana yang sibuk mementingkan dirinya lewat pekerjaan
proyeknya. Sehingga, merindukan lahirnya Perencana-Perencana yang menjadi Planolog – penulis mengartikannya
sebagai Planner yang Ideolog -
atau termasuk dari kelompok Cendekiawan
atau Intelektual, hanyalah sesuatu
yang utopis. Karenanya, kita tidak hanya melahirkan para politisi pragmatis
tetapi juga melahirkan Planner-Planner yang pragmatis.
Dr.Jalaluddin
Rakhmat menyebut, Intelektual atau cendekiawan adalah ilmuwan yang menjadi
Ideolog. Ilmuwan adalah orang yang terlibat dalam data dan gagasan analitis.
Orang yang bergelut dengan ilmu untuk penerapan praktis adalah teknokrat. Orang
yang berjuang untuk menyebarkan dan menegakkan gagasan normatif adalah moralis.
Sementara, intelektual atau cendekiawan adalah orang yang ingin menggabungkan
kesemuanya. Sehingga, J.P. Nettl, mengatakan bahwa intektual yang sejati “Bukan saja harus mengandung sejenis
pemikiran tertentu, tetapi juga ada hubungannya dengan socio-cultural dissent.”
Karena
itulah, Albert Einstein pernah melakukan protes keras pada Presiden Truman dan
tidak henti-hentinya mengecam tindakan pemerintah Amerika yang dianggapnya akan
menghancurkan kemanusiaan. Dari saat itu, ilmuwan besar ini berubah menjadi intelektual
atau cendekiawan. Kehadirannya sangat dibutuhkan dalam memajukan peradaban
suatu masyarakat. Sosiolog, Ali Syariati, mengibaratkan masyarakat sebagai
sebuah kerucut atau piramida. Di bagian paling bawah adalah massa rakyat yang
banyak. Pada bagian atas kerucut, ada kelompok masyarakat berpendidikan tinggi
yang bergabung dengan kelompok elit lainnya. Kaum ilmuwan tersebut tidak pernah
bergabung dengan massa rakyat, akan tetapi selalu berada bersama kelompok elit,
bahu-membahu memelihara status quo.
Inilah yang dimaksudkan Julien Benda sebagai bentuk pengkhianatan kaum
intelektual.
Di
luar kelompok tadi, pada setiap zaman ada sekelompok orang yang tidak bisa
dimasukkan pada kelompok massa, karena pengetahuannya yang tinggi, akan tetapi,
tidak bisa juga digabungkan kepada kelompok elit karena keusilannya menampilkan
gagasan-gagasan perubahan dan perbaikan yang sering membuat “merah kuping”
banyak kalangan. Mereka menyimpang dari mainstream,
melenceng dari Zeitgeist, dari nada
zamannya. Mereka itulah ‘kelompok para
intelektual yang tercerahkan’. Sebab itu, orang boleh tinggi tingkat
kesarjanaan dan sangat ahli dalam lapangan pekerjaannya, tetapi selama ia tidak
punya minat, tidak punya perhatian dan tidak peka dengan kondisi sosial budaya
masyarakatnya, maka ia belum berhak dinamakan intelektual. Sekali lagi,
intelektual adalah ilmuwan yang menjadi ideolog. Jadi, intelektual atau
cendekiawan adalah “Hommes Engages” yaitu, manusia yang terikat oleh kewajiban
untuk menerapkan nilai-nilai.
Planner yang Ideolog,
Mungkinkah?
Dengan
pelbagai persoalan dan tantangan yang
telah disebutkan di atas, maka harapan kita, tentu tidak ingin kalau para
Perencana Kota terus berada di persimpangan jalan. Kita ingin agar mereka
tampil sebagai Perencana-Perencana Kota atau Planner yang Ideolog, menjadi homes engages, guna menyuarakan
kepentingan masyarakat Kota Makassar secara luas. James MacGregor Burns menyebut intelektual
sebagai, “Pengabdi gagasan-gagasan,
pengetahuan-pengetahuan, dan masyarakat. Ia berusaha sungguh-sungguh mengejar
suatu cita-cita, mengembangkan pengetahuan dan memperjuangkan nilai-nilai yang
dianutnya. Pada diri intelektual, ada semangat menemukan, menyusun, menguji,
melakukan sintesis. Pada dirinya, juga ada semangat mengkritik, mencari jalan
keluar, memberikan pedoman, menunjukkan arah, memperjuangkan nilai-nilai yang
berorientasi ke masa depan.”
Menarik
untuk dicermati bagi para Perencana Kota, apa yang pernah disampaikan oleh
Prof. Dr. Harijadi P Supangkat selaku Rektor Institut Teknologi Bandung (ITB)
saat itu, dalam Temu Wicara Mahasiswa Planologi se-Indonesia pada tahun 1984,
yang menyebutkan bahwa, “Selain
berwawasan masa depan, ada satu dimensi yang harus dimiliki oleh seorang
Planner yaitu peka dan dapat menghayati aspirasi dan keinginan yang hidup dalam
masyarakat.”
Tanpa
peran dan tanggung jawab moral intelektual seperti itu, maka akan sulit
ditemukan Planner-Planner dengan kualitas yang baik, apatah lagi PLANNER yang
IDEOLOG. Wallahu a’lam bisshawab.
FAJAR
Makassar, September 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar