Sabtu, 12 Januari 2019

Ketika Perencana Kota di Persimpangan Jalan


Pada 16 September 2015 lalu, penulis diundang oleh adik-adik mahasiswa dari Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) Teknik Perencanaan Wilayah dan Kota UIN Alauddin Makassar, untuk mengisi Kuliah Umum dengan tema “Planner di Persimpangan Jalan antara Pertumbuhan Pembangunan atau Kelestarian Lingkungan.” Dari penggalan tema itulah penulis mencoba menyorot dan melakukan telaah terhadap posisi para Perencana Kota (Planner), sebagai bentuk kritik dan otokritik  bagi komunitas Perencana sendiri atau mereka yang terkait dengan pekerjaan perencanaan wilayah dan kota. Sebab, dalam kenyataannya, memang seringkali kita jumpai sarjana-sarjana perencanaan (Planner)  mengalami disorientasi dalam menjalankan peran dan fungsinya. Bagaimana tidak, begitu banyak masalah perkotaan yang terjadi di sekitar kita, yang notabene adalah bagian dari profesinya, namun hampir tidak pernah, kita dengarkan kritikan yang keras terhadap berbagai persoalan perkotaan tersebut. Di antara masalah itu ialah; orientasi tata ruang Makassar yang tidak jelas, Proyek Kawasan Terpadu Mamminasata yang tak kunjung berjalan optimal sampai sekarang ini, padahal sudah lebih dari satu dasa warsa dicanangkan. Belum lagi, soal reklamasi pantai besar-besaran yang sedang berlangsung dan terus menerus mengundang polemik dan reaksi di tengah-tengah masyarakat.  Begitu juga dengan Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang tidak dipenuhi oleh Pemerintah Kota serta RTRW Kota Makassar yang tertunda hingga sepuluh tahun dan sekarang ini belum juga kelar, karena diduga masih ada tarik menarik dalam pembahasannya. Dengan realitas persoalan seperti itu, penulis lalu bertanya-tanya, ke mana saja para Perencana (Planner) selama ini. Apakah mereka berada di persimpangan jalan antara mengutamakan pekerjaan atau bersuara lantang pada berbagai masalah perkotaan di atas? Apakah mereka begitu sibuk mengejar dan mengerjakan proyek-proyek perkotaan, hingga tidak punya perhatian dan tergelitik untuk menjalankan tanggung jawab moralnya dalam mengkritisi berbagai perencanaan perkotaan yang bermasalah?  Adakah semua ini terjadi, karena sejak awal, institusi pendidikan perencanaan wilayah dan kota tidak mempertegas dan gamang dalam menentukan arah dari proses pendidikan perencanaan yang dilakukannya? Akibatnya, yang dicetak hanyalah para perencana yang sibuk mementingkan dirinya lewat pekerjaan proyeknya. Sehingga, merindukan lahirnya Perencana-Perencana yang menjadi Planolog – penulis mengartikannya sebagai Planner yang Ideolog -  atau termasuk dari kelompok Cendekiawan atau Intelektual, hanyalah sesuatu yang utopis. Karenanya, kita tidak hanya melahirkan para politisi pragmatis tetapi juga melahirkan Planner-Planner yang pragmatis.
Dr.Jalaluddin Rakhmat menyebut, Intelektual atau cendekiawan adalah ilmuwan yang menjadi Ideolog. Ilmuwan adalah orang yang terlibat dalam data dan gagasan analitis. Orang yang bergelut dengan ilmu untuk penerapan praktis adalah teknokrat. Orang yang berjuang untuk menyebarkan dan menegakkan gagasan normatif adalah moralis. Sementara, intelektual atau cendekiawan adalah orang yang ingin menggabungkan kesemuanya. Sehingga, J.P. Nettl, mengatakan bahwa intektual yang sejati “Bukan saja harus mengandung sejenis pemikiran tertentu, tetapi juga ada hubungannya dengan socio-cultural dissent.”
Karena itulah, Albert Einstein pernah melakukan protes keras pada Presiden Truman dan tidak henti-hentinya mengecam tindakan pemerintah Amerika yang dianggapnya akan menghancurkan kemanusiaan. Dari saat itu, ilmuwan besar ini berubah menjadi intelektual atau cendekiawan. Kehadirannya sangat dibutuhkan dalam memajukan peradaban suatu masyarakat. Sosiolog, Ali Syariati, mengibaratkan masyarakat sebagai sebuah kerucut atau piramida. Di bagian paling bawah adalah massa rakyat yang banyak. Pada bagian atas kerucut, ada kelompok masyarakat berpendidikan tinggi yang bergabung dengan kelompok elit lainnya. Kaum ilmuwan tersebut tidak pernah bergabung dengan massa rakyat, akan tetapi selalu berada bersama kelompok elit, bahu-membahu memelihara status quo. Inilah yang dimaksudkan Julien Benda sebagai bentuk pengkhianatan kaum intelektual.
Di luar kelompok tadi, pada setiap zaman ada sekelompok orang yang tidak bisa dimasukkan pada kelompok massa, karena pengetahuannya yang tinggi, akan tetapi, tidak bisa juga digabungkan kepada kelompok elit karena keusilannya menampilkan gagasan-gagasan perubahan dan perbaikan yang sering membuat “merah kuping” banyak kalangan. Mereka menyimpang dari mainstream, melenceng dari Zeitgeist, dari nada zamannya. Mereka itulah ‘kelompok para intelektual yang tercerahkan’. Sebab itu, orang boleh tinggi tingkat kesarjanaan dan sangat ahli dalam lapangan pekerjaannya, tetapi selama ia tidak punya minat, tidak punya perhatian dan tidak peka dengan kondisi sosial budaya masyarakatnya, maka ia belum berhak dinamakan intelektual. Sekali lagi, intelektual adalah ilmuwan yang menjadi ideolog. Jadi, intelektual atau cendekiawan adalah “Hommes Engages” yaitu, manusia yang terikat oleh kewajiban untuk menerapkan nilai-nilai.
Planner yang Ideolog, Mungkinkah?
Dengan pelbagai persoalan  dan tantangan yang telah disebutkan di atas, maka harapan kita, tentu tidak ingin kalau para Perencana Kota terus berada di persimpangan jalan. Kita ingin agar mereka tampil sebagai Perencana-Perencana Kota atau Planner yang Ideolog, menjadi homes engages, guna menyuarakan kepentingan masyarakat Kota Makassar secara luas.  James MacGregor Burns menyebut intelektual sebagai, “Pengabdi gagasan-gagasan, pengetahuan-pengetahuan, dan masyarakat. Ia berusaha sungguh-sungguh mengejar suatu cita-cita, mengembangkan pengetahuan dan memperjuangkan nilai-nilai yang dianutnya. Pada diri intelektual, ada semangat menemukan, menyusun, menguji, melakukan sintesis. Pada dirinya, juga ada semangat mengkritik, mencari jalan keluar, memberikan pedoman, menunjukkan arah, memperjuangkan nilai-nilai yang berorientasi ke masa depan.”   
Menarik untuk dicermati bagi para Perencana Kota, apa yang pernah disampaikan oleh Prof. Dr. Harijadi P Supangkat selaku Rektor Institut Teknologi Bandung (ITB) saat itu, dalam Temu Wicara Mahasiswa Planologi se-Indonesia pada tahun 1984, yang menyebutkan bahwa, “Selain berwawasan masa depan, ada satu dimensi yang harus dimiliki oleh seorang Planner yaitu peka dan dapat menghayati aspirasi dan keinginan yang hidup dalam masyarakat.”
Tanpa peran dan tanggung jawab moral intelektual seperti itu, maka akan sulit ditemukan Planner-Planner dengan kualitas yang baik, apatah lagi PLANNER yang IDEOLOG. Wallahu a’lam bisshawab.
FAJAR Makassar, September 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Rezim Yang Ambigu dan Problem Lingkungan di Indonesia

Permasalahan lingkungan hidup, telah mendapat perhatian besar di hampir semua negara. Ini terutama terjadi sejak dasawarsa 1970-an setelah d...