Senin, 30 Desember 2019

Profesi Insinyur dan Komitmen Terhadap Nilai

Dinamika perkembangan pembangunan yang begitu cepat, khususnya percepatan pembangunan infrastruktur di Kawasan Timur Indonesia, rasanya perlu menjadi perhatian, terutama kalangan profesional dari berbagai latar ilmu pengetahuan.
Karenanya, dalam kaitan ini, upaya yang dirintis oleh Fakultas Teknologi Industri (FTI) Universitas Muslim Indonesia, melalui Prodi Program Profesi Insinyur (PSPPI) tentu sangat dinantikan kiprahnya, dalam mengambil peran pada proses pembangunan yang sedang berlangsung. 
Dalam perjalanannya, PSPPI-FTI UMI telah melahirkan 491 Insinyur hingga Desember 2019 ini, dan telah mengukir sejarah pada dunia keinsinyuran Indonesia, saat mewisuda Insinyur melalui Program Profesi Insinyur pada tanggal 7 Mei 2017, yang sekaligus menjadi wisuda pertama Profesi Insinyur se-Indonesia. Tentu upaya tersebut, merupakan bagian dari harapan besar yang ingin diwujudkan, sebagaimana tertuang dalam Visi-nya: “Menghasilkan Insinyur yang Berintegritas, Adaftif dan Berdaya Saing Global dengan Berbasis Nilai-Nilai Islami pada tahun 2020”.
Insinyur Yang Berkomitmen
Pilar pertama Pada Visi Indonesia 2045, ialah Pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM) serta Penguasaan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Ini sejalan dengan salah satu agenda Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional-RPJMN IV 2020-2024, yakni meningkatkan sumber daya manusia yang berkualitas dan berdaya saing. Pada sisi lain, pembangunan infrastruktur di berbagai sektor, terus gencar dilakukan oleh pemerintah di berbagai daerah. Kenyataan ini, tentu sangat relevan akan kehadiran tenaga-tenaga profesional keinsinyuran dalam memberikan kontribusinya. Karenanya, penyelenggaraan Program Profesi Insinyur, sebagaimana diamanatkan UU.No.11 Tahun 2014 tentang Keinsinyuran, yang dibarengi peraturan pelaksanaannya lewat PP.No.25 tahun 2019, menemukan konteksnya.
Lantas, apa arti keinsinyuran, profesi dan profesional itu? Keinsinyuran adalah kegiatan teknik dengan menggunakan kepakaran dan keahlian, berdasarkan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk meningkatkan nilai tambah dan daya guna. Sementara kata ‘profesi-profesional’, dari akarnya memang menunjukkan sebuah “keterampilan teknis”. Akan tetapi dalam arti lebih mendalam, yang kerap tidak dilihat dalam dunia sehari-hari, kata profesi – yang berasal dari bahasa latin profiteor, professio – mengisyaratkan bahwa orang yang berketerampilan khusus tadi adalah orang yang mengucapkan janji tertentu di depan publik. Jadi, seorang profesional ialah orang yang sudah mengucapkan sumpah dalam pekerjaan tertentu, sehingga ia “mewajibkan dirinya sendiri akan menaati”. Dengan makna seperti itu, profesi terkait erat dengan komitmen yang hendak ditepati.
A.Setyo Wibowo dalam “Filsafat untuk Para Profesional” menjelaskan bahwa dekat dengan makna kata profesio, komitmen juga menyadarkan kita akan adanya sesuatu di luar diri kita (janji), yang membuat kita berelasi dengan orang lain. Saat dikatakan “orang itu tidak komit atau tidak committed”, biasanya kita hendak menggambarkan orang yang tidak setia dengan janji dan sumpahnya sendiri. Pada titik ini, sangat menarik pencerahan dari Platon, perihal relasi orang dengan janji atau ikatan nilai yang ia buat sendiri. Nah, seseorang menjanjikan sesuatu, tentu karena ia melihat ada value (nilai) di situ. Dan sesuatu dianggap bernilai, karena sesuatu itu berguna dan baik.
Sebab itu, sejatinya dipahami bahwa para insinyur menyandang beban yang relatif lebih berat, dibandingkan para sosiolog, psikolog dan profesional lainnya. Dalam bidang keinsinyuran, sangat sulit untuk menyembunyikan, apalagi mengubur kesalahan yang telah terlanjur dibuat. Sebab itu, Prof.Ir.Eko Budihardjo,Msc pernah berkata, bahwa para insinyur dan teknolog dituntut untuk tidak sekedar melaksanakan tugas dengan benar (doing things right), melainkan harus selalu berupaya melakukan tugas yang benar (doing right things). Dalam hal ini, komitmen terhadap “nilai-nilai” menjadi sangat mendasar. Pengajar filsafat Dr. Karlina Supelli mendakukan, “Ciri kematangan seseorang adalah ketika dia sanggup menjalankan suatu pekerjaan, bukan karena dia suka, tetapi karena dia berkomitmen.” Itu sebabnya, SDM unggul keinsinyuran, tidak melulu bicara tentang kompetensi profesi saja, melainkan juga menyasar dimensi ‘jati diri’-nya sebagai manusia. Hal itu tergambar dalam Catur Karsa (Prinsi-Prinsip Dasar) Kode Etik Insinyur Indonesia, yaitu: 1). Mengutamakan keluhuran budi 2). Menggunakan pengetahuan dan kemampuannya untuk kepentingan kesejahteraan umat manusia 3). Bekerja secara sungguh-sungguh untuk kepentingan masyarakat, sesuai dengan tugas dan tanggung jawabnya 4). Meningkatkan kompetensi dan martabat berdasarkan keahlian profesi keinsinyuran.
Dengan demikian, seorang Insinyur Indonesia ialah mereka yang memahami esensi dirinya yang terpaut pada nilai-nilai, serta menerjemahkannya dalam bentuk pelaksanaan tanggung jawab moral dan sosialnya. Pemahaman ini mesti tertanam pada sanubari seorang Insinyur, dalam mengiringi upaya meningkatkan kompetensi keahlian profesinya. Pandangan spiritualitas seperti inilah, yang memberi nilai pada manusia dalam membentuk kepribadiannya. Tanpa itu, manusia akan mengalami degradasi pada aspek kemanusiaannya.
Memang saja, setelah teleologi disingkirkan dari wilayah sains pada abad ke-17, para ilmuwan diharuskan menafikan setiap pertimbangan nilai (value judgement) dari upaya ilmiahnya. Sains harus didasarkan pada obyektivitas ilmiah bebas nilai. Kondisi inilah yang menyebabkan posisi manusia dan kemanusiaan mengalami reduksi. Berbalikan dengan itu, PSPPI-UMI justru hadir dengan penegasan nilai, saat berkeinginan menelorkan Insinyur yang berbasis pada nilai-nilai Islami. Nilai Islami yang dimaksud, tentulah nilai-nilai yang sifatnya universal untuk seluruh umat manusia, dan tidak semata bagi kaum muslim saja. Hal ini sangat urgen, karena kemanusiaan kita sedang berpenyakit, olehnya itu kita membutuhkan sesuatu yang bersifat spiritual. Begitu ujar Dr.Benyamin E.Mays dalam sebuah konferensi.
Mungkin benar sebuah ungkapan, “Betapa mudahnya menjadi sarjana, menjadi ilmuwan, dan betapa sulitnya menjadi manusia.” Nampaknya, untuk menjadi ‘manusia seutuhnya’ memang diperlukan banyak kualitas, sebagai dasar kepribadian dan nilai seseorang. Keterikatan pada nilai merupakan syarat mutlak dalam menjaga integritas serta melaksanakan tanggung jawab moral dan sosial.
Akhirnya, “Menjadi Insinyur yang berkomitmen”, yakni Insinyur yang senantiasa terpaut oleh kewajiban mengimplementasikan nilai-nilai, sepatutnya mengalir dalam jiwa para Insinyur, yang telah berproses pada PSPPI-FTI UMI Makassar. Sanggupkah komitmen itu diwujudkan? Wallahu a’lam bisshawab.
Makassar, Desember 2019

Jumat, 06 Desember 2019

“Sebuah Kota untuk Semua” (Refleksi Hari Tata Ruang Nasional dan Hari Jadi Kota Makassar)

Pada akhir September lalu, Majelis Sinergi Kalam – MASIKA ICMI Orda Kota Makassar, menggelar dialog dengan tema “Sebuah Kota untuk Semua”. Saat menjadi salah satu pemantik dalam dialog tersebut, saya agak sulit membayangkan realitasnya, apalagi jika yang dimaksud dalam topik itu adalah Kota Makassar. Sebab, Makassar sebagai “Sebuah Kota untuk Semua” sepertinya belum tepat disandang. Namun, menjadikan harapan, cita-cita, serta keinginan untuk mewujudkannya, adalah hal yang mesti diupayakan seluruh warga kota Makassar.
Karena itu, saya tertarik untuk membahasnya kembali dalam tulisan ini, dalam kaitan dua momentum penting, yakni Hari Tata Ruang Nasional tanggal 8 November dan Hari Jadi Kota Makassar ke-412, tanggal 9 November. Harapannya paling tidak, bisa menjadi bahan refleksi dan catatan tambahan bagi para bakal calon Wali Kota Makassar, yang akan berkontestasi pada waktu mendatang.
Pada proses pembangunan di negara kita, tidak jarang, kota direncanakan tanpa visi yang jelas. Akibatnya, apa yang disebutkan oleh Prof. John Rennie Short dengan istilah “wounded cities” atau kota-kota yang terluka, seringkali kita temukan. Mengapa hal semacam itu bisa timbul? Penyebabnya, adalah kurang pekanya sebagian besar pengelola kota di negara-negara berkembang dalam memahami lingkungan dan kondisi daerahnya. Semua itu bermula karena seringnya fenomena “bunuh diri perkotaan” (urbicide/urban suicide) berlangsung. Fenomena tersebut terjadi disebabkan tokoh-tokoh atau pemimpin yang diberikan kepercayaan oleh rakyat – melalui kontestasi pemilu - untuk mengelola kota, justru merekalah yang “melukai” dan “membunuh” kotanya sendiri melalui berbagai kebijakan yang merusak keseimbangan alam, manusia dan lingkungan binaan.
Dengan kondisi seperti itu, terwujudnya “Kota untuk Semua” boleh jadi hanya sebatas utopia, bila kebijakan-kebijakan yang dilahirkan pemimpin kota sudah berbalut kepentingan. Terlebih lagi jika kepentingan tersebut hanya mengikuti selera elit. Hal ini sangat mungkin terjadi, sebab kota adalah tempat yang sangat strategis, di mana ‘ruang’nya akan selalu menjadi arena pertarungan – terutama bagi pemilik modal - yang tidak akan pernah selesai diperebutkan.
Prof. Eko Budihardjo menulis tentang seorang pakar perencana kota dari Inggris yang pernah berkata, “Kota merupakan ladang pertempuran ekonomi (economic battleground). Siapa yang memiliki kekuatan finansial, dialah yang akan amat menentukan wajah dan nasib kota.” Peter Lang juga mengingatkan kita dalam bukunya Mortal City, bahwa “Kota-kota besar di dunia, dapat diibaratkan sebagai ajang peperangan bisnis dan ekonomi. Yang diuntungkan dalam peperangan ini adalah para pengusaha kelas kakap. Merekalah yang berkesempatan memanipulasi dan mengeksploitasi berbagai paradoks perkotaan demi keuntungan mereka sendiri.”
Olehnya itu, tidak mengherankan jika Makassar dalam perkembangannya pun, sudah terkesan memanjakan kaum kapitalis dan para pemilik modal. Lihatlah betapa ruang kota mulai dipadati dengan pusat-pusat perbelanjaan, supermall, permukiman mewah, jejeran ruko, sementara pada sisi lain, tidak tersedia ruang publik serta ruang terbuka hijau yang memadai. Mini market tumbuh begitu menjamur, tetapi pasar-pasar lokal tidak mendapat perhatian serius.
Dalam perspektif tata ruang, penataan ruang kota dan wilayah itu, dilakukan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Artinya, untuk semua warga kota dan bukan hanya bagi kemakmuran kelompok tertentu saja. Dalam dimensi lain, ada baiknya pula mencermati survey yang dilakukan oleh Setara Institute mengenai Indeks Kota Toleran (IKT) 2018 lalu. Di mana hasilnya, menunjukkan Makassar termasuk salah satu kota dari 10 kota dengan skor toleransi terendah. Ini disebabkan sejumlah kebijakan pemerintah kota yang dianggap bersifat diskriminatif. Situasi seperti ini tentu sangat kontradiktif dengan upaya menciptakan kota-kota yang inklusif belakangan ini.
Padahal, jika menilik sejarah masa lampau, sikap toleransi justru begitu terasa di wilayah Makassar. Dan hal tersebut dicontohkan oleh para pemimpinnya ketika itu. Raja Gowa pernah berujar bahwa walaupun Islam sebagai agama resmi kerajaan, namun semua golongan dalam wilayah kerajaan Makassar tetap mempunyai hak yang sama serta mempunyai kebebasan menjalankan keyakinannya dan juga mendapatkan perlindungan dari kerajaan. Seorang sejarawan Inggris bernama C.R. Boxer, bahkan mengemukakan kekagumannya pada kemampuan pemimpin dan masyarakat Makassar dalam menyikapi perbedaan.
Merencanakan Kota Makassar menjadi “Kota untuk Semua”, tidak bisa dilakukan dengan mengikuti selera elit. Tetapi perlu pelibatan masyarakat secara maksimal. Sebab, pada kota yang tumbuh dan mengalami kemajuan, hal yang tidak dapat dihindari, ialah berkembangnya kemajemukan warga masyarakat dan aktivitasnya. Keragaman yang merupakan sebuah keniscayaan tersebut mesti diwadahi, antara lain melalui penyerapan aspirasi, persepsi, kebijaksanaan dan kreativitas dari segenap lapisan masyarakat. Dengan begitu, tercipta ‘perencanaan bersama rakyat’ dan bukan hanya sekadar ‘perencanaan untuk rakyat.’
“Sebuah Kota untuk Semua”, pada akhirnya adalah kota yang dibangun di atas sistem nilai yang memanusiakan masyarakat/rakyat yang ada di dalamnya, serta memastikan aspek keadilan dapat ditegakkan pada seluruh dimensi kehidupan. Wallahu a’lam bisshawab.

Makassar, November 2019

Rezim Yang Ambigu dan Problem Lingkungan di Indonesia

Permasalahan lingkungan hidup, telah mendapat perhatian besar di hampir semua negara. Ini terutama terjadi sejak dasawarsa 1970-an setelah d...