Dinamika
perkembangan pembangunan yang begitu cepat, khususnya percepatan pembangunan
infrastruktur di Kawasan Timur Indonesia, rasanya perlu menjadi perhatian,
terutama kalangan profesional dari berbagai latar ilmu pengetahuan.
Karenanya,
dalam kaitan ini, upaya yang dirintis oleh Fakultas Teknologi Industri (FTI)
Universitas Muslim Indonesia, melalui Prodi Program Profesi Insinyur (PSPPI)
tentu sangat dinantikan kiprahnya, dalam mengambil peran pada proses
pembangunan yang sedang berlangsung.
Dalam
perjalanannya, PSPPI-FTI UMI telah melahirkan 491 Insinyur hingga Desember 2019
ini, dan telah mengukir sejarah pada dunia keinsinyuran Indonesia, saat mewisuda
Insinyur melalui Program Profesi Insinyur pada tanggal 7 Mei 2017, yang
sekaligus menjadi wisuda pertama Profesi Insinyur se-Indonesia. Tentu upaya
tersebut, merupakan bagian dari harapan besar yang ingin diwujudkan,
sebagaimana tertuang dalam Visi-nya: “Menghasilkan
Insinyur yang Berintegritas, Adaftif dan Berdaya Saing Global dengan Berbasis
Nilai-Nilai Islami pada tahun 2020”.
Insinyur Yang Berkomitmen
Pilar
pertama Pada Visi Indonesia 2045, ialah Pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM)
serta Penguasaan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Ini sejalan dengan salah satu
agenda Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional-RPJMN IV 2020-2024, yakni
meningkatkan sumber daya manusia yang berkualitas dan berdaya saing. Pada sisi
lain, pembangunan infrastruktur di berbagai sektor, terus gencar dilakukan oleh
pemerintah di berbagai daerah. Kenyataan ini, tentu sangat relevan akan
kehadiran tenaga-tenaga profesional keinsinyuran dalam memberikan
kontribusinya. Karenanya, penyelenggaraan Program Profesi Insinyur, sebagaimana
diamanatkan UU.No.11 Tahun 2014 tentang Keinsinyuran, yang dibarengi peraturan
pelaksanaannya lewat PP.No.25 tahun 2019, menemukan konteksnya.
Lantas, apa
arti keinsinyuran, profesi dan profesional itu? Keinsinyuran adalah kegiatan
teknik dengan menggunakan kepakaran dan keahlian, berdasarkan penguasaan ilmu
pengetahuan dan teknologi untuk meningkatkan nilai tambah dan daya guna.
Sementara kata ‘profesi-profesional’, dari akarnya memang menunjukkan sebuah
“keterampilan teknis”. Akan tetapi dalam arti lebih mendalam, yang kerap tidak
dilihat dalam dunia sehari-hari, kata profesi – yang berasal dari bahasa latin profiteor, professio – mengisyaratkan bahwa orang yang berketerampilan khusus
tadi adalah orang yang mengucapkan janji tertentu di depan publik. Jadi,
seorang profesional ialah orang yang sudah mengucapkan sumpah dalam pekerjaan
tertentu, sehingga ia “mewajibkan dirinya sendiri akan menaati”. Dengan makna
seperti itu, profesi terkait erat dengan komitmen yang hendak ditepati.
A.Setyo
Wibowo dalam “Filsafat untuk Para Profesional” menjelaskan bahwa dekat dengan
makna kata profesio, komitmen juga
menyadarkan kita akan adanya sesuatu di luar diri kita (janji), yang membuat
kita berelasi dengan orang lain. Saat dikatakan “orang itu tidak komit atau
tidak committed”, biasanya kita
hendak menggambarkan orang yang tidak setia dengan janji dan sumpahnya sendiri.
Pada titik ini, sangat menarik pencerahan dari Platon, perihal relasi orang
dengan janji atau ikatan nilai yang ia buat sendiri. Nah, seseorang menjanjikan
sesuatu, tentu karena ia melihat ada value
(nilai) di situ. Dan sesuatu dianggap bernilai, karena sesuatu itu berguna dan
baik.
Sebab itu,
sejatinya dipahami bahwa para insinyur menyandang beban yang relatif lebih
berat, dibandingkan para sosiolog, psikolog dan profesional lainnya. Dalam bidang
keinsinyuran, sangat sulit untuk menyembunyikan, apalagi mengubur kesalahan
yang telah terlanjur dibuat. Sebab itu, Prof.Ir.Eko Budihardjo,Msc pernah
berkata, bahwa para insinyur dan teknolog dituntut untuk tidak sekedar
melaksanakan tugas dengan benar (doing
things right), melainkan harus selalu berupaya melakukan tugas yang benar (doing right things). Dalam hal ini,
komitmen terhadap “nilai-nilai” menjadi sangat mendasar. Pengajar filsafat Dr.
Karlina Supelli mendakukan, “Ciri
kematangan seseorang adalah ketika dia sanggup menjalankan suatu pekerjaan,
bukan karena dia suka, tetapi karena dia berkomitmen.” Itu sebabnya, SDM
unggul keinsinyuran, tidak melulu bicara tentang kompetensi profesi saja,
melainkan juga menyasar dimensi ‘jati diri’-nya sebagai manusia. Hal itu
tergambar dalam Catur Karsa
(Prinsi-Prinsip Dasar) Kode Etik Insinyur Indonesia, yaitu: 1). Mengutamakan
keluhuran budi 2). Menggunakan pengetahuan dan kemampuannya untuk kepentingan
kesejahteraan umat manusia 3). Bekerja secara sungguh-sungguh untuk kepentingan
masyarakat, sesuai dengan tugas dan tanggung jawabnya 4). Meningkatkan
kompetensi dan martabat berdasarkan keahlian profesi keinsinyuran.
Dengan
demikian, seorang Insinyur Indonesia ialah mereka yang memahami esensi dirinya
yang terpaut pada nilai-nilai, serta menerjemahkannya dalam bentuk pelaksanaan
tanggung jawab moral dan sosialnya. Pemahaman ini mesti tertanam pada sanubari
seorang Insinyur, dalam mengiringi upaya meningkatkan kompetensi keahlian
profesinya. Pandangan spiritualitas seperti inilah, yang memberi nilai pada
manusia dalam membentuk kepribadiannya. Tanpa itu, manusia akan mengalami
degradasi pada aspek kemanusiaannya.
Memang saja,
setelah teleologi disingkirkan dari wilayah sains pada abad ke-17, para ilmuwan
diharuskan menafikan setiap pertimbangan nilai (value judgement) dari upaya ilmiahnya. Sains harus didasarkan pada
obyektivitas ilmiah bebas nilai. Kondisi inilah yang menyebabkan posisi manusia
dan kemanusiaan mengalami reduksi. Berbalikan dengan itu, PSPPI-UMI justru
hadir dengan penegasan nilai, saat berkeinginan menelorkan Insinyur yang
berbasis pada nilai-nilai Islami. Nilai Islami yang dimaksud, tentulah
nilai-nilai yang sifatnya universal untuk seluruh umat manusia, dan tidak
semata bagi kaum muslim saja. Hal ini sangat urgen, karena kemanusiaan kita
sedang berpenyakit, olehnya itu kita membutuhkan sesuatu yang bersifat
spiritual. Begitu ujar Dr.Benyamin E.Mays dalam sebuah konferensi.
Mungkin
benar sebuah ungkapan, “Betapa mudahnya menjadi sarjana, menjadi ilmuwan, dan
betapa sulitnya menjadi manusia.” Nampaknya, untuk menjadi ‘manusia seutuhnya’
memang diperlukan banyak kualitas, sebagai dasar kepribadian dan nilai
seseorang. Keterikatan pada nilai merupakan syarat mutlak dalam menjaga
integritas serta melaksanakan tanggung jawab moral dan sosial.
Akhirnya,
“Menjadi Insinyur yang berkomitmen”, yakni Insinyur yang senantiasa terpaut
oleh kewajiban mengimplementasikan nilai-nilai, sepatutnya mengalir dalam jiwa
para Insinyur, yang telah berproses pada PSPPI-FTI UMI Makassar. Sanggupkah
komitmen itu diwujudkan? Wallahu a’lam
bisshawab.
Makassar, Desember 2019