Jumat, 18 Januari 2019

Kuatnya Kaum Kapitalis Merebut Ruang Strategis Kota


Persepsi keruangan sebenarnya sudah dikenal sejak lama. Sebab, terkait dengan bagaimana manusia membutuhkan ruang dan menata ruang sesuai dengan kebutuhan kehidupannya, yang telah dibuktikan di dalam rangkaian perkembangan peradaban manusia. Dan dalam penataan ruang, perlu diselenggarakan dengan mewujudkan keserasian antara struktur ruang dan pola ruang, keselarasan antara kehidupan manusia dengan lingkungannya, keseimbangan pertumbuhan dan perkembangan antar daerah serta antara kawasan perkotaan dan kawasan perdesaan. Dengan demikian akan tercipta harmonisasi di dalam ruang. 
Kapitalisme dan Perebutan Ruang kota
Realitas sosial kota-kota di Indonesia dibangun atas kemajemukan yang memiliki bidang singgung berupa tempat bersama baik formal maupun informal. Bidang singgung inilah yang harusnya berwujud dalam institusi-institusi dan organisasi masyarakat. Kehidupan bersama yang majemuk sebagai realitas perkotaan tidak boleh membiarkan terjadinyan dominasi atas dasar apa pun, karena hal itu akan membuat kota menjadi tempat yang tidak sehat secara sosial. Namun, apa yang terjadi belakangan ini, adalah begitu terasanya dominasi kapitalisme pada hampir seluruh sendi kehidupan, termasuk di dalamnya  menyangkut dominasi atas ruang-ruang di perkotaan.
Arie Setyaningrum Pamungkas dalam tulisannya menukil Sosiolog Marxis asal Prancis, Henri Lefebvre, yang menyebutkan bahwa sesungguhnya tidak ada ruang yang sepenuhnya “ideal” karena ruang itu sendiri secara spasial dalam masyarakat kapitalis modern merupakan arena pertarungan yang tidak akan pernah selesai diperebutkan. Semua pihak yang berkepentingan akan terus berusaha mencari cara untuk mendominasi pemakaian atau pemanfaatan atas suatu ruang dan mereproduksi segala pengetahuan untuk mempertahankan hegemoni mereka atas pemanfaatan ruang tersebut. Dengan kata lain, ruang bersama (common space) akan selalu menyesuaikan kepentingan kapital dalam rangka menjamin relasi atau hubungan produksi dan reproduksi yang bersifat kapitalistik.
Dalam konteks ini, kota bukan lagi locus urbanitas, tetapi arena segala bentuk investasi demi investasi serta transaksi, dengan memanfaatkan keunggulan aksesibilitas baik pada jaringan komunikasi, transportasi dan birokrasi. Lahan sebagai komoditas telah mereduksi kota menjadi serpihan-serpihan kepentingan transaksi atas nama mekanisme pasar, yang pada praktiknya merupakan penghalusan dari hukum rimba Darwinian, survival of the fittest.
Bangunan-bangunan besar dan modern seperti shopping mall dan hyper mall yang menampung berbagai benda, bermunculan di berbagai sudut-sudut kota sebagai konsekuensi logis dari mekanisme kapitalisme dalam masyarakat konsumeris. Ia menjadi ruang ritual baru karena membentuk berbagai image dalam konteks pemberhalaan komoditas. Kapitalisme telah merasuk ke dalam cara pandang yang menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan, termasuk dengan menggunakan berbagai bentuk kekerasan. Kehidupan di kota kemudian tak ubahnya seperti rimba.
Pada buku “Merebut Ruang Kota”, Purnawan Basundoro mengutip Wil J.M. Prins dan Peter Nas dalam artikelnya The Struggle for The Third World City, yang mengemukakan bahwa semua kegiatan manusia memang harus menggunakan ruang. Hubungan-hubungan sosial dibangun di atas landasan struktur ruang (spatial structure), dan hubungan-hubungan ini, demikian juga struktur ruang, selalu dilanda ketegangan. Semakin banyak individu atau kelompok ingin mengakses ruang yang sama, maka semakin tinggi ketegangan yang melanda ruang tersebut.
Jika kota diasumsikan sebagai ruang yang paling banyak diminati oleh manusia, maka ketegangan di kota jauh lebih besar dan intensif dibandingkan tempat lain. R.D. McKenzie mengistilahkan proses perebutan ruang kota sebagai invasi atas ruang. Perebutan ruang menurut Hans Dieter Evers dalam Sosiologi Perkotaan, pada dasarnya adalah perebutan tanah untuk keperluan-keperluan tertentu oleh individu atau kelompok masyarakat. Proses semacam ini hampir melanda semua kota-kota di dunia, dengan kasus yang lebih rumit biasanya terjadi di kota-kota Dunia Ketiga, di mana kenaikan jumlah penduduk kota tidak terkendali dan tidak diikuti kebijakan untuk membagi ruang kota secara adil dan legal.
Ruang Strategis Kota Makassar, Bagaimana?
Kota Makassar sebagai salah satu gerbang utama Kawasan Timur Indonesia (KTI) tentu tidak berbeda jauh dengan kota-kota besar lainnya. Ia menjadi sasaran kaum kapitalis dalam merebut ruang-ruang strategis kotanya, dengan dalih untuk membangun dan mengembangkan ruang perkotaan.
Ironisnya, hampir semua RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) kota-kota yang ada, termasuk RTRW Kota Makassar lebih banyak menguntungkan kelompok kaum kapitalis ini, karena kepentingan mereka terakomodasi. Sementara  kaum marginal seperti, pengusaha kecil, pedagang kaki lima, sektor informal, seolah tidak punya andil dalam pembangunan kota  sehingga tidak ada ruang bagi mereka dalam RTRW kota.
Kita bisa lihat pada peruntukan ruang atau pembagian zona kawasan strategis, khususnya dalam kawasan atau wilayah yang direncanakan untuk industri, perdagangan dan bisnis. Yang akan menempati ruang tersebut sudah pasti dari kalangan kapitalis atau pemilik modal besar. Mungkin paling aktual dan menjadi sorotan belakangan ini adalah pekerjaan megaproyek kawasan pesisir di sekitar Pantai Losari Makassar. Dari sejak proyek dikerjakan hingga pemanfaatannya kelak, yang diuntungkan bukan masyarakat secara luas, tetapi korporasi-korporasi nasional yang merupakan bagian dari para kapitalis.
Dalam Undang-undang No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, disebutkan bahwa pemerintah diberi tugas dan wewenang menyelenggarakan penataan ruang, untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Oleh karena itu, tidak boleh ada kelompok tertentu yang mendominasi penggunaan ruang perkotaan yang ada.
Kota modern adalah  tempat di mana para penghuninya dapat mengaktualisasi diri mereka secara kelompok atau individual, tanpa harus menginjak-injak hak kelompok atau individu lain, apalagi menghancurkannya. Dengan begitu, kota kita dapat menjadi “Kota Utama” (Al-Madinah Al-Fadhilah), kota yang – melalui komunitas yang ada di dalamnya – bertujuan untuk bekerja sama dalam mendapatkan kebahagiaan yang sesungguhnya, seperti yang pernah dirumuskan oleh Al-Farabi, sang filosof Muslim yang juga dikenal sebagai “guru kedua.” Wallahu a’lam bisshawab.
 FAJAR Makassar, Februari 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Rezim Yang Ambigu dan Problem Lingkungan di Indonesia

Permasalahan lingkungan hidup, telah mendapat perhatian besar di hampir semua negara. Ini terutama terjadi sejak dasawarsa 1970-an setelah d...