Persepsi keruangan sebenarnya
sudah dikenal sejak lama. Sebab, terkait dengan bagaimana manusia membutuhkan
ruang dan menata ruang sesuai dengan kebutuhan kehidupannya, yang telah
dibuktikan di dalam rangkaian perkembangan peradaban manusia. Dan dalam
penataan ruang,
perlu diselenggarakan dengan mewujudkan keserasian antara struktur ruang dan
pola ruang, keselarasan antara kehidupan manusia dengan lingkungannya,
keseimbangan pertumbuhan dan perkembangan antar daerah serta antara kawasan
perkotaan dan kawasan perdesaan. Dengan demikian akan tercipta harmonisasi di
dalam ruang.
Kapitalisme dan Perebutan Ruang kota
Realitas sosial kota-kota di
Indonesia dibangun atas kemajemukan yang memiliki bidang singgung berupa tempat
bersama baik formal maupun informal. Bidang singgung inilah yang harusnya
berwujud dalam institusi-institusi dan organisasi masyarakat. Kehidupan bersama
yang majemuk sebagai realitas perkotaan tidak boleh membiarkan terjadinyan dominasi
atas dasar apa pun, karena hal itu akan membuat kota menjadi tempat yang tidak
sehat secara sosial. Namun, apa yang terjadi belakangan ini, adalah begitu
terasanya dominasi kapitalisme pada hampir seluruh sendi kehidupan, termasuk di
dalamnya menyangkut dominasi atas
ruang-ruang di perkotaan.
Arie Setyaningrum Pamungkas dalam
tulisannya menukil Sosiolog Marxis asal Prancis, Henri Lefebvre, yang menyebutkan
bahwa sesungguhnya tidak ada ruang yang sepenuhnya “ideal” karena ruang itu
sendiri secara spasial dalam masyarakat kapitalis modern merupakan arena
pertarungan yang tidak akan pernah selesai diperebutkan. Semua pihak yang
berkepentingan akan terus berusaha mencari cara untuk mendominasi pemakaian
atau pemanfaatan atas suatu ruang dan mereproduksi segala pengetahuan untuk
mempertahankan hegemoni mereka atas pemanfaatan ruang tersebut. Dengan kata
lain, ruang bersama (common space) akan selalu menyesuaikan kepentingan
kapital dalam rangka menjamin relasi atau hubungan produksi dan reproduksi yang
bersifat kapitalistik.
Dalam konteks ini, kota bukan
lagi locus urbanitas, tetapi arena
segala bentuk investasi demi investasi serta transaksi, dengan memanfaatkan
keunggulan aksesibilitas baik pada jaringan komunikasi, transportasi dan
birokrasi. Lahan sebagai komoditas telah mereduksi kota menjadi
serpihan-serpihan kepentingan transaksi atas nama mekanisme pasar, yang pada
praktiknya merupakan penghalusan dari hukum rimba Darwinian, survival of the fittest.
Bangunan-bangunan besar dan
modern seperti shopping mall dan hyper mall yang menampung berbagai
benda, bermunculan di berbagai sudut-sudut kota sebagai konsekuensi logis dari
mekanisme kapitalisme dalam masyarakat konsumeris. Ia menjadi ruang ritual baru
karena membentuk berbagai image dalam
konteks pemberhalaan komoditas. Kapitalisme telah merasuk ke dalam cara pandang
yang menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan, termasuk dengan
menggunakan berbagai bentuk kekerasan. Kehidupan di kota kemudian tak ubahnya
seperti rimba.
Pada buku “Merebut Ruang Kota”,
Purnawan Basundoro mengutip Wil J.M. Prins dan Peter Nas dalam artikelnya The Struggle for The Third World City, yang
mengemukakan bahwa semua kegiatan manusia memang harus menggunakan ruang.
Hubungan-hubungan sosial dibangun di atas landasan struktur ruang (spatial structure), dan
hubungan-hubungan ini, demikian juga struktur ruang, selalu dilanda ketegangan.
Semakin banyak individu atau kelompok ingin mengakses ruang yang sama, maka
semakin tinggi ketegangan yang melanda ruang tersebut.
Jika kota diasumsikan sebagai
ruang yang paling banyak diminati oleh manusia, maka ketegangan di kota jauh
lebih besar dan intensif dibandingkan tempat lain. R.D. McKenzie mengistilahkan
proses perebutan ruang kota sebagai invasi atas ruang. Perebutan ruang menurut
Hans Dieter Evers dalam Sosiologi
Perkotaan, pada dasarnya adalah perebutan tanah untuk keperluan-keperluan
tertentu oleh individu atau kelompok masyarakat. Proses semacam ini hampir
melanda semua kota-kota di dunia, dengan kasus yang lebih rumit biasanya
terjadi di kota-kota Dunia Ketiga, di mana kenaikan jumlah penduduk kota tidak
terkendali dan tidak diikuti kebijakan untuk membagi ruang kota secara adil dan
legal.
Ruang Strategis Kota Makassar, Bagaimana?
Kota Makassar sebagai salah satu
gerbang utama Kawasan Timur Indonesia (KTI) tentu tidak berbeda jauh dengan
kota-kota besar lainnya. Ia menjadi sasaran kaum kapitalis dalam merebut
ruang-ruang strategis kotanya, dengan dalih untuk membangun dan mengembangkan
ruang perkotaan.
Ironisnya, hampir semua RTRW
(Rencana Tata Ruang Wilayah) kota-kota yang ada, termasuk RTRW Kota Makassar
lebih banyak menguntungkan kelompok kaum kapitalis ini, karena kepentingan
mereka terakomodasi. Sementara kaum
marginal seperti, pengusaha kecil, pedagang kaki lima, sektor informal, seolah
tidak punya andil dalam pembangunan kota
sehingga tidak ada ruang bagi mereka dalam RTRW kota.
Kita bisa lihat pada peruntukan
ruang atau pembagian zona kawasan strategis, khususnya dalam kawasan atau
wilayah yang direncanakan untuk industri, perdagangan dan bisnis. Yang akan
menempati ruang tersebut sudah pasti dari kalangan kapitalis atau pemilik modal
besar. Mungkin paling aktual dan menjadi sorotan belakangan ini adalah
pekerjaan megaproyek kawasan pesisir di sekitar Pantai Losari Makassar. Dari
sejak proyek dikerjakan hingga pemanfaatannya kelak, yang diuntungkan bukan
masyarakat secara luas, tetapi korporasi-korporasi nasional yang merupakan
bagian dari para kapitalis.
Dalam Undang-undang No. 26 tahun 2007
tentang Penataan Ruang, disebutkan bahwa pemerintah diberi tugas dan wewenang
menyelenggarakan penataan ruang, untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Oleh
karena itu, tidak boleh ada kelompok tertentu yang mendominasi penggunaan ruang
perkotaan yang ada.
Kota modern adalah tempat di mana para penghuninya dapat
mengaktualisasi diri mereka secara kelompok atau individual, tanpa harus
menginjak-injak hak kelompok atau individu lain, apalagi menghancurkannya.
Dengan begitu, kota kita dapat menjadi “Kota Utama” (Al-Madinah Al-Fadhilah), kota yang – melalui komunitas yang ada di
dalamnya – bertujuan untuk bekerja sama dalam mendapatkan kebahagiaan yang
sesungguhnya, seperti yang pernah dirumuskan oleh Al-Farabi, sang filosof
Muslim yang juga dikenal sebagai “guru kedua.” Wallahu a’lam bisshawab.
FAJAR Makassar, Februari 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar