Senin, 30 Desember 2019

Profesi Insinyur dan Komitmen Terhadap Nilai

Dinamika perkembangan pembangunan yang begitu cepat, khususnya percepatan pembangunan infrastruktur di Kawasan Timur Indonesia, rasanya perlu menjadi perhatian, terutama kalangan profesional dari berbagai latar ilmu pengetahuan.
Karenanya, dalam kaitan ini, upaya yang dirintis oleh Fakultas Teknologi Industri (FTI) Universitas Muslim Indonesia, melalui Prodi Program Profesi Insinyur (PSPPI) tentu sangat dinantikan kiprahnya, dalam mengambil peran pada proses pembangunan yang sedang berlangsung. 
Dalam perjalanannya, PSPPI-FTI UMI telah melahirkan 491 Insinyur hingga Desember 2019 ini, dan telah mengukir sejarah pada dunia keinsinyuran Indonesia, saat mewisuda Insinyur melalui Program Profesi Insinyur pada tanggal 7 Mei 2017, yang sekaligus menjadi wisuda pertama Profesi Insinyur se-Indonesia. Tentu upaya tersebut, merupakan bagian dari harapan besar yang ingin diwujudkan, sebagaimana tertuang dalam Visi-nya: “Menghasilkan Insinyur yang Berintegritas, Adaftif dan Berdaya Saing Global dengan Berbasis Nilai-Nilai Islami pada tahun 2020”.
Insinyur Yang Berkomitmen
Pilar pertama Pada Visi Indonesia 2045, ialah Pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM) serta Penguasaan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Ini sejalan dengan salah satu agenda Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional-RPJMN IV 2020-2024, yakni meningkatkan sumber daya manusia yang berkualitas dan berdaya saing. Pada sisi lain, pembangunan infrastruktur di berbagai sektor, terus gencar dilakukan oleh pemerintah di berbagai daerah. Kenyataan ini, tentu sangat relevan akan kehadiran tenaga-tenaga profesional keinsinyuran dalam memberikan kontribusinya. Karenanya, penyelenggaraan Program Profesi Insinyur, sebagaimana diamanatkan UU.No.11 Tahun 2014 tentang Keinsinyuran, yang dibarengi peraturan pelaksanaannya lewat PP.No.25 tahun 2019, menemukan konteksnya.
Lantas, apa arti keinsinyuran, profesi dan profesional itu? Keinsinyuran adalah kegiatan teknik dengan menggunakan kepakaran dan keahlian, berdasarkan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk meningkatkan nilai tambah dan daya guna. Sementara kata ‘profesi-profesional’, dari akarnya memang menunjukkan sebuah “keterampilan teknis”. Akan tetapi dalam arti lebih mendalam, yang kerap tidak dilihat dalam dunia sehari-hari, kata profesi – yang berasal dari bahasa latin profiteor, professio – mengisyaratkan bahwa orang yang berketerampilan khusus tadi adalah orang yang mengucapkan janji tertentu di depan publik. Jadi, seorang profesional ialah orang yang sudah mengucapkan sumpah dalam pekerjaan tertentu, sehingga ia “mewajibkan dirinya sendiri akan menaati”. Dengan makna seperti itu, profesi terkait erat dengan komitmen yang hendak ditepati.
A.Setyo Wibowo dalam “Filsafat untuk Para Profesional” menjelaskan bahwa dekat dengan makna kata profesio, komitmen juga menyadarkan kita akan adanya sesuatu di luar diri kita (janji), yang membuat kita berelasi dengan orang lain. Saat dikatakan “orang itu tidak komit atau tidak committed”, biasanya kita hendak menggambarkan orang yang tidak setia dengan janji dan sumpahnya sendiri. Pada titik ini, sangat menarik pencerahan dari Platon, perihal relasi orang dengan janji atau ikatan nilai yang ia buat sendiri. Nah, seseorang menjanjikan sesuatu, tentu karena ia melihat ada value (nilai) di situ. Dan sesuatu dianggap bernilai, karena sesuatu itu berguna dan baik.
Sebab itu, sejatinya dipahami bahwa para insinyur menyandang beban yang relatif lebih berat, dibandingkan para sosiolog, psikolog dan profesional lainnya. Dalam bidang keinsinyuran, sangat sulit untuk menyembunyikan, apalagi mengubur kesalahan yang telah terlanjur dibuat. Sebab itu, Prof.Ir.Eko Budihardjo,Msc pernah berkata, bahwa para insinyur dan teknolog dituntut untuk tidak sekedar melaksanakan tugas dengan benar (doing things right), melainkan harus selalu berupaya melakukan tugas yang benar (doing right things). Dalam hal ini, komitmen terhadap “nilai-nilai” menjadi sangat mendasar. Pengajar filsafat Dr. Karlina Supelli mendakukan, “Ciri kematangan seseorang adalah ketika dia sanggup menjalankan suatu pekerjaan, bukan karena dia suka, tetapi karena dia berkomitmen.” Itu sebabnya, SDM unggul keinsinyuran, tidak melulu bicara tentang kompetensi profesi saja, melainkan juga menyasar dimensi ‘jati diri’-nya sebagai manusia. Hal itu tergambar dalam Catur Karsa (Prinsi-Prinsip Dasar) Kode Etik Insinyur Indonesia, yaitu: 1). Mengutamakan keluhuran budi 2). Menggunakan pengetahuan dan kemampuannya untuk kepentingan kesejahteraan umat manusia 3). Bekerja secara sungguh-sungguh untuk kepentingan masyarakat, sesuai dengan tugas dan tanggung jawabnya 4). Meningkatkan kompetensi dan martabat berdasarkan keahlian profesi keinsinyuran.
Dengan demikian, seorang Insinyur Indonesia ialah mereka yang memahami esensi dirinya yang terpaut pada nilai-nilai, serta menerjemahkannya dalam bentuk pelaksanaan tanggung jawab moral dan sosialnya. Pemahaman ini mesti tertanam pada sanubari seorang Insinyur, dalam mengiringi upaya meningkatkan kompetensi keahlian profesinya. Pandangan spiritualitas seperti inilah, yang memberi nilai pada manusia dalam membentuk kepribadiannya. Tanpa itu, manusia akan mengalami degradasi pada aspek kemanusiaannya.
Memang saja, setelah teleologi disingkirkan dari wilayah sains pada abad ke-17, para ilmuwan diharuskan menafikan setiap pertimbangan nilai (value judgement) dari upaya ilmiahnya. Sains harus didasarkan pada obyektivitas ilmiah bebas nilai. Kondisi inilah yang menyebabkan posisi manusia dan kemanusiaan mengalami reduksi. Berbalikan dengan itu, PSPPI-UMI justru hadir dengan penegasan nilai, saat berkeinginan menelorkan Insinyur yang berbasis pada nilai-nilai Islami. Nilai Islami yang dimaksud, tentulah nilai-nilai yang sifatnya universal untuk seluruh umat manusia, dan tidak semata bagi kaum muslim saja. Hal ini sangat urgen, karena kemanusiaan kita sedang berpenyakit, olehnya itu kita membutuhkan sesuatu yang bersifat spiritual. Begitu ujar Dr.Benyamin E.Mays dalam sebuah konferensi.
Mungkin benar sebuah ungkapan, “Betapa mudahnya menjadi sarjana, menjadi ilmuwan, dan betapa sulitnya menjadi manusia.” Nampaknya, untuk menjadi ‘manusia seutuhnya’ memang diperlukan banyak kualitas, sebagai dasar kepribadian dan nilai seseorang. Keterikatan pada nilai merupakan syarat mutlak dalam menjaga integritas serta melaksanakan tanggung jawab moral dan sosial.
Akhirnya, “Menjadi Insinyur yang berkomitmen”, yakni Insinyur yang senantiasa terpaut oleh kewajiban mengimplementasikan nilai-nilai, sepatutnya mengalir dalam jiwa para Insinyur, yang telah berproses pada PSPPI-FTI UMI Makassar. Sanggupkah komitmen itu diwujudkan? Wallahu a’lam bisshawab.
Makassar, Desember 2019

Jumat, 06 Desember 2019

“Sebuah Kota untuk Semua” (Refleksi Hari Tata Ruang Nasional dan Hari Jadi Kota Makassar)

Pada akhir September lalu, Majelis Sinergi Kalam – MASIKA ICMI Orda Kota Makassar, menggelar dialog dengan tema “Sebuah Kota untuk Semua”. Saat menjadi salah satu pemantik dalam dialog tersebut, saya agak sulit membayangkan realitasnya, apalagi jika yang dimaksud dalam topik itu adalah Kota Makassar. Sebab, Makassar sebagai “Sebuah Kota untuk Semua” sepertinya belum tepat disandang. Namun, menjadikan harapan, cita-cita, serta keinginan untuk mewujudkannya, adalah hal yang mesti diupayakan seluruh warga kota Makassar.
Karena itu, saya tertarik untuk membahasnya kembali dalam tulisan ini, dalam kaitan dua momentum penting, yakni Hari Tata Ruang Nasional tanggal 8 November dan Hari Jadi Kota Makassar ke-412, tanggal 9 November. Harapannya paling tidak, bisa menjadi bahan refleksi dan catatan tambahan bagi para bakal calon Wali Kota Makassar, yang akan berkontestasi pada waktu mendatang.
Pada proses pembangunan di negara kita, tidak jarang, kota direncanakan tanpa visi yang jelas. Akibatnya, apa yang disebutkan oleh Prof. John Rennie Short dengan istilah “wounded cities” atau kota-kota yang terluka, seringkali kita temukan. Mengapa hal semacam itu bisa timbul? Penyebabnya, adalah kurang pekanya sebagian besar pengelola kota di negara-negara berkembang dalam memahami lingkungan dan kondisi daerahnya. Semua itu bermula karena seringnya fenomena “bunuh diri perkotaan” (urbicide/urban suicide) berlangsung. Fenomena tersebut terjadi disebabkan tokoh-tokoh atau pemimpin yang diberikan kepercayaan oleh rakyat – melalui kontestasi pemilu - untuk mengelola kota, justru merekalah yang “melukai” dan “membunuh” kotanya sendiri melalui berbagai kebijakan yang merusak keseimbangan alam, manusia dan lingkungan binaan.
Dengan kondisi seperti itu, terwujudnya “Kota untuk Semua” boleh jadi hanya sebatas utopia, bila kebijakan-kebijakan yang dilahirkan pemimpin kota sudah berbalut kepentingan. Terlebih lagi jika kepentingan tersebut hanya mengikuti selera elit. Hal ini sangat mungkin terjadi, sebab kota adalah tempat yang sangat strategis, di mana ‘ruang’nya akan selalu menjadi arena pertarungan – terutama bagi pemilik modal - yang tidak akan pernah selesai diperebutkan.
Prof. Eko Budihardjo menulis tentang seorang pakar perencana kota dari Inggris yang pernah berkata, “Kota merupakan ladang pertempuran ekonomi (economic battleground). Siapa yang memiliki kekuatan finansial, dialah yang akan amat menentukan wajah dan nasib kota.” Peter Lang juga mengingatkan kita dalam bukunya Mortal City, bahwa “Kota-kota besar di dunia, dapat diibaratkan sebagai ajang peperangan bisnis dan ekonomi. Yang diuntungkan dalam peperangan ini adalah para pengusaha kelas kakap. Merekalah yang berkesempatan memanipulasi dan mengeksploitasi berbagai paradoks perkotaan demi keuntungan mereka sendiri.”
Olehnya itu, tidak mengherankan jika Makassar dalam perkembangannya pun, sudah terkesan memanjakan kaum kapitalis dan para pemilik modal. Lihatlah betapa ruang kota mulai dipadati dengan pusat-pusat perbelanjaan, supermall, permukiman mewah, jejeran ruko, sementara pada sisi lain, tidak tersedia ruang publik serta ruang terbuka hijau yang memadai. Mini market tumbuh begitu menjamur, tetapi pasar-pasar lokal tidak mendapat perhatian serius.
Dalam perspektif tata ruang, penataan ruang kota dan wilayah itu, dilakukan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Artinya, untuk semua warga kota dan bukan hanya bagi kemakmuran kelompok tertentu saja. Dalam dimensi lain, ada baiknya pula mencermati survey yang dilakukan oleh Setara Institute mengenai Indeks Kota Toleran (IKT) 2018 lalu. Di mana hasilnya, menunjukkan Makassar termasuk salah satu kota dari 10 kota dengan skor toleransi terendah. Ini disebabkan sejumlah kebijakan pemerintah kota yang dianggap bersifat diskriminatif. Situasi seperti ini tentu sangat kontradiktif dengan upaya menciptakan kota-kota yang inklusif belakangan ini.
Padahal, jika menilik sejarah masa lampau, sikap toleransi justru begitu terasa di wilayah Makassar. Dan hal tersebut dicontohkan oleh para pemimpinnya ketika itu. Raja Gowa pernah berujar bahwa walaupun Islam sebagai agama resmi kerajaan, namun semua golongan dalam wilayah kerajaan Makassar tetap mempunyai hak yang sama serta mempunyai kebebasan menjalankan keyakinannya dan juga mendapatkan perlindungan dari kerajaan. Seorang sejarawan Inggris bernama C.R. Boxer, bahkan mengemukakan kekagumannya pada kemampuan pemimpin dan masyarakat Makassar dalam menyikapi perbedaan.
Merencanakan Kota Makassar menjadi “Kota untuk Semua”, tidak bisa dilakukan dengan mengikuti selera elit. Tetapi perlu pelibatan masyarakat secara maksimal. Sebab, pada kota yang tumbuh dan mengalami kemajuan, hal yang tidak dapat dihindari, ialah berkembangnya kemajemukan warga masyarakat dan aktivitasnya. Keragaman yang merupakan sebuah keniscayaan tersebut mesti diwadahi, antara lain melalui penyerapan aspirasi, persepsi, kebijaksanaan dan kreativitas dari segenap lapisan masyarakat. Dengan begitu, tercipta ‘perencanaan bersama rakyat’ dan bukan hanya sekadar ‘perencanaan untuk rakyat.’
“Sebuah Kota untuk Semua”, pada akhirnya adalah kota yang dibangun di atas sistem nilai yang memanusiakan masyarakat/rakyat yang ada di dalamnya, serta memastikan aspek keadilan dapat ditegakkan pada seluruh dimensi kehidupan. Wallahu a’lam bisshawab.

Makassar, November 2019

Jumat, 15 November 2019

Me-MUHAMMAD-kan Diri (Sebuah Refleksi Kerinduan pada Sang nabi

Sungguh, hati muslim dipatri cinta Nabi
Dialah pangkal kemuliaan, sumber bangga kita semua
Dia tidur di atas tikar kasar, sedangkan umatnya tidur di ranjang raja-raja
Inilah pemimpin bermalam-malam terjaga, sedangkan umatnya mengguncang tahta Kisra
Di gua Hira’ ia bermalam sehingga tegak bangsa, hukum, dan negara
Kala shalat, pelupuk matanya tergenang air mata
Di medan perang, pedangnya bersimbah darah
Dibukanya pintu dunia dengan kunci agama
Duhai ……., belum pernah insan melahirkan putra semacam dia.
(Jalaluddin Rakhmat)

Di antara sosok manusia agung dan suci yang pernah hidup dalam sejarah manusia adalah Nabi Muhammad SAW. Keagungannya terbentuk karena perpaduan harmonis antara nilai rububiyah Ilahi dengan semangat pembelaan terhadap kemanusiaan. Namun tokoh besar ini sering dipahami secara keliru. Oleh karena itu, sejarah kelahirannya, di antaranya yang diterima oleh masyarakat telah mengalami reduksi yang sedemikian rupa.
Banyak tokoh di dunia ini yang dikagumi, namun tak ada yang seperti Nabi Muhammad SAW. Yang namanya selalu disebut kaum muslimin dalam setiap jejak sajadah terbentang. Tanpa menyebut namanya, ibadah tersebut menjadi sia-sia, dan hanya sekedar gerakan-gerakan lahir tanpa makna ruhani. Menurut Qadhi ‘Iyad, Muhammad SAW adalah manusia yang Allah telah meninggikan derajatnya dan memberinya kebajikan-kebajikan, sifat-sifat terpuji dan hak-hak istimewa tertentu. Dia telah meninggikan derajat dengan cara begitu mengagumkan, sehingga tak sepotong lidah atau pena pun yang cukup memadai untuk menuliskannya.
Apa yang ditulis Qadhi ‘Iyad adalah suatu ungkapan yang merupakan wujud demi cintanya kepada Nabi SAW. Ia mengetahui bahwa kehadiran Muhammad SAW ini merupakan rahmat bagi semesta alam, dan tanpa kehadirannya alam ini akan terus berada di dalam kegelapan peradaban. Dengan kehadirannya alam ini menjadi tercerahkan baik secara spiritual maupun intelektual. 
Lantas bagaimana kita memaknai peringatan Maulid Nabi dan siapakah Nabi Muhammad SAW? Apakah pantas kita mengatakan bahwa Nabi SAW, sama dengan kita hanya karena beliau seorang manusia? Kemudian bagaimana kita bisa meneladani akhlak mulia beliau? Kita akan mencoba menguraikannya dalam ruang terbatas ini, meskipun hanya secara singkat dengan kemampuan yang terbatas pula.
Memasyarakatkan Akhlak Muhammadi
Jika kita kaum Muslimin meyakini Muhammad sebagai Rasulullah tentu kita menghadapi konsekuensi dalam mempertanggungjawabkan keyakinan itu. Ini berarti kita harus mengikuti suri teladan beliau dalam seluruh dimensi kehidupan. Karena nabi adalah uswatun hasanah, seperti yang digambarkan dalam Al-Quran, “Sesungguhnya dalam diri Rasulullah terdapat teladan yang baik bagi kamu.” (QS.Al-Ahzab:21), maka kepatuhan kepadanya merupakan wujud kepatuhan kepada Allah. Nabi adalah representasi dari ajaran Allah itu sendiri, seperti pula yang terdapat dalam sebuah hadis, bahwa akhlak Nabi SAW adalah Al-Quran.
Namun, untuk menjalani hidup seperti Muhammad SAW memang tidaklah mudah. Sebab kita masih terbuai dengan simbol dan aspek lahiriah dari keberagamaan kita. Kita masih terpaku melaksanakan ritual-ritual, hanya sekadar untuk melaksanakan kewajiban. Belum mewujud sampai mencapai derajat kebutuhan, di mana jika meninggalkannya maka akan terasa ada yang hilang dalam diri kita. Kita masih belum beranjak dari pemahaman bahwa beragama itu hanyalah aspek lahir dan belum sampai pada kedalaman batin. Kita masih menganggap bahwa beragama itu sekedar pelengkap kartu identitas, tapi tidak menjadi identitas diri.
Padahal, jika kita ingin beragama yang benar, kita harus memahami, menghayati dan melakoni kehidupan beragama itu. Contoh sejati bagaimana kita beragama adalah dengan melihat pembawa risalah itu sendiri. Bagaimana pembawa risalah Islam, Muhammad SAW, berjuang dengan penuh kesabaran, ketawakkalan, keikhlasan dan kesungguhan dalam menegakkan menara Islam yang mau dibangunnya.
Sayangnya, pribadi agung ini termentahkan dalam kubang sekularisme. Muhammad hanya hadir dalam ruang privat, jalur vertikal Tuhan dan manusia. Kesuciannya ditempatkan pada langit-langit kosong, tidak membumi, dan akhirnya jatuh pada mistifikasi. Perlahan tapi pasti, terjadilah pembunuhan karakter Muhammad yang bidimensional. Matilah Muhammad yang di bumi berbaur dengan masyarakat, sederhana, teladan bijak dan pembela kaum mustadh’afin.
Tidak heran, banyaknya peringatan atas kelahiran Nabi, maulid demi maulid kita lewati setiap tahunnya, tapi seolah tidak memiliki implikasi dan pengaruh yang positif dalam kehidupan kemanusiaan kita. Ritual pengkhidmatan kepada Nabi, hampa dari nilai-nilai spiritualitas. Sebab yang dipuji adalah Muhammad yang di langit, yang tidak mengenal masalah dunia, bahkan tidak bertanggung jawab dengan segala urusan manusia.
Terkadang justru ada juga pihak yang menolak mengakui kebesaran Nabi Muhammad dan menolak memujanya, bahkan menganggap pelakunya sebagai bertindak berlebih-lebihan dan terjebak pada kultus yang diharamkan. Hal itu terjadi karena mereka melihat Nabi Muhammad SAW dengan kacamata materi. Mereka hanya melihat Nabi SAW sebagai makhluk biologis. Mereka lupa bahwa manusia memiliki dimensi yang jauh lebih tinggi dari sekadar dimensi biologis atau fisik. Bahkan dimensi ruhani merupakan jati diri manusia yang sesungguhnya.
Terlepas dari berbagai penilaian yang keliru tersebut, Muhammad SAW memang sebuah pribadi yang istimewa. Dalam dirinya terdapat perpaduan yang menakjubkan, sufi dan negarawan, spiritualis dan aktivis sosial. Ia tidak dapat dibandingkan dengan tokoh-tokoh besar yang pernah hadir di atlas peradaban manusia. Pribadinya telah dicatat dalam segala persoalan. Penulisan perihidup Nabi, hakikatnya adalah upaya peneladanan dan manual pokok perjalanan menuju Tuhan. Maka, penampilan, ucapan dan tindakan Nabi menjadi fokus gerak umatnya. Hidup Nabi adalah refleksi total penghambaan yang darinya alam semesta mendapat rahmat. Ia mewakili seluruh nama Tuhan, penampakan langsung dari “Al-Quran yang berjalan.” Dialah lambang Islam sesungguhnya. Dialah wujud Islam yang sebenarnya, dan dari dialah mengalir sumber kebenaran sejati. Dengan kebenaran yang dibawanya dan juga dengan keteladanannya, maka sesungguhnya umat Islam sudah memiliki sumber semangat dalam menegakkan nilai-nilai yang diyakininya.  
Setelah kita mengetahui kedudukan serta bagaimana  akhlak dan kepribadian Rasulullah SAW, lantas bagaimana sikap kita selanjutnya? Apakah sejarah kehidupan Rasulullah tersebut hanya kita simpan sebatas lembaran-lembaran yang tak bermakna? Padahal, esensi ajaran Islam terletak pada bagaimana dan seberapa jauh pengenalan kita pada Tuhan (makrifat Allah) dan Rasul-Nya (makrifat ar-Rasul). Sebagai pecinta Muhammad, kita perlu secara terus menerus meningkatkan pengenalan dan hubungan kita dengan Muhammad SAW. Sehingga, pada gilirannya nanti membuat kita sudah sepantasnya bertekad menjadikan diri kita sebagaimana Muhammad. Mari me-MUHAMMAD-kan diri kita.  
                                                                                                                   Makassar, Februari 2009

Kamis, 10 Oktober 2019

Penataan Ruang dan Tafsir Kemerdekaan

Setiap kali bulan Agustus datang menyapa, sebuah histeria seakan menghinggapi benak warga bangsa. Di sana mewujud nilai, spirit dan gairah yang dapat memberikan makna bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Entah itu bernama patriotisme, heroisme, cinta tanah air, persatuan dan sebagainya. Karenanya, tanggal 17 Agustus 1945 merupakan momentum yang sangat bersejarah bagi bangsa dan negara Indonesia, di mana telah membentuk nation-state Indonesia, yang kini merayakan kemerdekaannya ke-74 tahun.
Lantas, apa arti dan makna kemerdekaan? Kalau dahulu, para pejuang kita meraih kemerdekaan dengan melepaskan diri dari penjajahan. Maka saat ini, kemerdekaan diperoleh dengan menghilangkan penindasan. Kita bisa katakan sudah merdeka penuh, kalau sudah tidak ada lagi penindasan dalam segala cara dan bentuknya. Sebab, perjuangan kita adalah berusaha menegakkan sistem yang adil. Penegakan keadilan adalah penentangan terhadap penindasan, disitulah esensi dari kemerdekaan. Para pejuang kita bangkit, berjuang serta rela berkorban, sebab kemerdekaan menjanjikan kesejahteraan, kebahagiaan, kemakmuran dan kehormatan.
Lalu, bagaimana makna kemerdekaan bila dikaitkan dengan aspek penataan ruang kita? Dalam Pasal 7 UU.26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, menegaskan bahwa tugas negara dalam menyelenggarakan penataan ruang adalah untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Sejalan dengan itu, ajaran Islam mengingatkan bahwa salah satu tugas manusia di dunia adalah memakmurkan bumi, sebagaimana firman Tuhan yang berbunyi: “….Dia telah menciptakan kamu dari bumi(tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya,…”(QS.Hud:61)  Kata Sastrawan D.Zawawi Imron,  Secara substansial, memakmurkan bumi adalah tugas mulia dari Tuhan. Kemakmuran akan melahirkan konsekuensi logis berupa terpenuhinya kebutuhan dasar hidup manusia. Upaya memakmurkan bumi atau tanah air lewat penataan ruang yang adil dan manusiawi, dibarengi kesadaran religius, akan menjadi bagian proses pendekatan antara manusia dengan Tuhannya. Inilah prinsip dasar negara kita yang tegak di atas nilai- nilai Ilahiah. 
Pertanyaannya, sudahkah tugas penataan ruang tersebut telah diwujudkan? Tidakkah yang tertuang dalam perundangan itu masih berupa norma yang belum merealitas? Betulkah tata ruang masih menjadi ‘panglima’ pembangunan? Ataukah ungkapan itu hanya sebatas jargon belaka. Sebab, tidak jarang ditemukan, produk perencanaan yang sejatinya menjadi acuan, namun harus disesuaikan bahkan ‘tunduk’ pada keinginan serta obsesi para penguasa. Makanya, tidak mengherankan jika dalam proses perencanaan dan pemanfaatan ruang, yang nampak lebih diutamakan ialah mengakomodasi kepentingan kalangan elit, baik penguasa maupun pengusaha. Lihat saja apa yang terjadi pada setiap kali reklamasi dilakukan. Adakah masyarakat marginal yang diuntungkan dalam proyek semacam itu? Begitu pula dalam hal penguasaan ruang dan lahan, yang dilakukan secara massif oleh korporasi properti untuk pembangunan kawasan perumahan mewah. Pada aspek pengendalian pemanfaatan ruang, juga tidak jauh berbeda, yang serasa tidak mampu berfungsi efektif, bila menghadapi kekuatan pemilik modal dan pemegang kekuasaan.
Demikian halnya, jika kita menyinggung persoalan pengakuan, perlindungan dan pengembalian hak-hak masyarakat adat. Padahal mereka adalah garda terdepan penyelamatan hutan tropis. Bahkan komunitas internasional pun, selalu mengedepankan peran masyarakat adat sebagai penjaga hutan terbaik, dengan tanpa mereduksi fungsi hutan. Data dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), menyebut telah menyerahkan peta wilayah adat seluas 9.653.437 hektar dari 785 komunitas adat, kepada pemerintah. Yang sudah terealisir, baru sekitar 27.970,61 hektar hutan adat untuk 21 komunitas adat. Itulah secuil gambaran dari problematika ruang di negeri merdeka ini.
Yudi Latif mendakukan, betapa pembangunan pada dimensi-dimensi material, kerapkali melesat jauh mengangkangi nilai-nilai etis, nilai-nilai budaya dan ontologis. Situasi ini jika dibiarkan terus, akan melahirkan apa yang disebut Ogburn dengan cultural lag (kesenjangan budaya), yang pada akhirnya bisa membawa dampak yang serius. Semua realitas ini mengusik rasa kemerdekaan kita yang ingin terus berjuang mewujudkan tertib penataan ruang.
Kemerdekaan rakyat secara total lewat upaya reformasi sepertinya belum selesai, tidak sebagaimana yang dicita-citakan. Karena ada indikasi masih cukup kuat dan berakarnya kekuatan-kekuatan yang ingin berkembangnya dominasi kekuasaan, yang ingin membawa serta menggiring kembali pada iklim “daulat tuan.” Padahal,  kemerdekaan bagi setiap manusia merupakan hal yang sangat mendasar, sebagaimana Sayyidina Ali bin Abi Thalib Kw dalam Nahjul Balaghah berkata, “Janganlah sekali-kali kamu menjadi budak orang lain. Sesungguhnya Allah Yang Mahasuci telah menjadikanmu sebagai orang yang merdeka.” Wallahu a’lam bisshawab.
Makassar, Agustus 2019

Membangun Tanpa IMB, Terobosan atau Malapetaka?

Belum lagi usai perbincangan yang mengundang polemik tentang UU KPK yang baru saja disahkan serta sejumlah RUU yang ditunda, muncul lagi sebuah kebijakan yang tidak kalah mengejutkan. Kebijakan dimaksud adalah rencana penghapusan pengurusan IMB (Izin Mendirikan Bangunan), yang dilontarkan oleh Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR-BPN) Sofyan Djalil. Hal tersebut disampaikan dalam Rakor Nasional Bidang Properti di Jakarta 18 September 2019. Ia menjelaskan, penghapusan perizinan IMB bakal masuk dalam Omnibus Law Perizinan, guna mendorong investasi di sektor properti Indonesia. Jadi, pengusaha properti tidak perlu lagi mengajukan izin, tapi cukup memenuhi standar pendirian bangunan yang ditetapkan pemerintah.
Sebelumnya, 26 Juli 2019, Menteri ATR-BPN juga telah menerbitkan surat edaran mengenai percepatan perizinan pemanfaatan ruang dalam rangka mendorong penanaman modal (investasi) di daerah. Lagi-lagi, ini menunjukkan bahwa investasi masih cenderung menjadi basis kebijakan pembangunan kita, untuk menggerakkan ekonomi. Sementara IMB sudah dipandang sebagai penghambat investasi. Maka pilihannya IMB harus ditiadakan. lalu, apa dampak yang bisa ditimbulkan dari regulasi ini bila kelak diberlakukan?
Implikasi Penghapusan IMB
Pada pemberitaan FAJAR, Jumat 20 September 2019, Kepala Dinas Penanaman Modal dan PTSP Makassar Andi Bukti Jufri, mengkhawatirkan dampak yang akan ditimbulkan oleh kebijakan penghapusan IMB. Karena selama ini, IMB menjadi kontrol pemerintah untuk memastikan pembangunan tak berjalan asal-asalan. Yang lainnya, juga akan berpengaruh pada sektor pendapatan asli daerah (PAD). Di mana, IMB menyumbang pendapatan cukup besar, mencapai Rp 40 miliar setiap tahunnya.
Dalam perspektif tata ruang, perizinan merupakan salah satu instrumen dalam pengendalian pemanfaatan ruang. Sementara IMB, adalah bagian dari izin pemanfaatan ruang. Terkait hal ini, PP No.15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang, menyebutkan bahwa dalam pemanfaatan ruang, setiap orang wajib memiliki izin pemanfaatan ruang dan wajib melaksanakan setiap ketentuan perizinan dalam pelaksanaan pemanfaatan ruang.
Pada pasal 161, diterangkan bahwa izin pemanfaatan ruang diberikan untuk; a). menjamin pemanfaatan ruang sesuai dengan rencana tata ruang, peraturan zonasi, dan standar pelayanan minimal bidang penataan ruang, b). mencegah dampak negatif pemanfaatan ruang, serta c). melindungi kepentingan umum dan masyarakat luas. Kemudian Pasal 165, mengatur mengenai izin mendirikan bangunan (IMB) yang diberikan berdasarkan rencana detail tata ruang dan peraturan zonasi.
Selain itu, Peraturan Menteri Dalam Negeri No.32 Tahun 2010, yang merupakan turunan Undang-Undang tentang Bangunan Gedung, menyebut, pemberian IMB diselenggarakan berdasarkan prinsip; a). prosedur yang sederhana, mudah dan aplikatif, b). pelayanan yang cepat, terjangkau dan tepat waktu, c). keterbukaan informasi bagi masyarakat dan dunia usaha, d). aspek rencana tata ruang, kepastian status hukum pertanahan, keamanan dan keselamatan serta kenyamanan. Dengan prinsip-prinsip tersebut, maka kepala daerah memanfaatkan pemberian IMB untuk pengawasan, pengendalian dan penertiban bangunan.
Jika menelaah berbagai regulasi yang ada, maka sesungguhnya IMB tak perlu menjadi soal. Bila diasumsikan oleh Menteri ATR-BPN, bahwa IMB sering disalahgunakan untuk melanggar, maka problemnya bukan pada IMB-nya, tapi pada tahapan pengurusan penerbitan IMB serta implementasi pengendalian dan pengawasan yang masih sangat lemah. Dan untuk hal itu, memang perlu perubahan dan perbaikan, agar menjadi lebih sempurna.
Problem mendasar yang sekaligus memunculkan pertanyaan besar ialah bagaimana dengan penataan ruang kita, bila IMB dihapus? Tidakkah akan menjadi lebih sulit lagi dalam mewujudkan tertib tata ruang? Padahal dengan IMB saja, penataan ruang dan bangunan masih terlihat karut marut. Lihat saja, fasum-fasos yang semestinya menjadi hak publik, tidak jarang “dirampas” oleh pengembang properti nakal.   
Pada akhirnya bila kita cermati, ternyata ada hal-hal lain yang lebih fundamental, bahwa pembangunan kita selama ini, rupanya belum melibatkan seluruh rakyat. Pembangunan kita tidak memperkuat sebagian besar rakyat agar memiliki daya tahan secara ekonomi dan sosial, melainkan hanya untuk sebagian orang dan sekelompok pihak saja. Karenanya, bagi Gunawan Sumodiningrat dalam “Membangun Indonesia Emas”, mengatakan: pembangunan seperti ini menyebabkan tidak terbentuknya pertumbuhan yang bersifat jejaring (networked growth). Pihak yang tumbuh hanya manusia-manusia tertentu, sektor-sektor tertentu, dan daerah-daerah tertentu. Terjadilah kesenjangan di tingkat manusia, di tingkat sektor dan di tingkat kewilayahan.
Lantas, apakah tanpa IMB merupakan sebuah terobosan dalam kebijakan pembangunan, atau justru akan menjadi malapetaka bagi penataan ruang kita? Kita tunggu saja langkah selanjutnya.
Makassar, September 2019

Minggu, 18 Agustus 2019

Catatan Bagi Balon Wali Kota Makassar

Meski masih setahun lebih, bursa nama-nama balon Wali Kota Makassar periode 2020-2025, mulai mewarnai pemberitaan media belakangan ini. Sejumlah nama bermunculan, untuk menghadapi kontestasi akan datang.  Ini merupakan hal yang positif, karena bisa menyuguhkan banyak pilihan kepada masyarakat.
Peranan seorang pemimpin, memang sangat menentukan dalam mengembangkan dan memajukan sebuah daerah. Karenanya, posisi pemimpin menjadi sangat vital, untuk menentukan arah dan bagaimana masa depan daerah tersebut. Demikian halnya yang akan dihadapi warga Kota Makassar, di fase akhir pembangunan jangka panjang daerahnya.
Mencari pemimpin untuk Kota Metropolitan seperti Makassar, yang dihuni lebih dari 1,5 juta jiwa, tentu bukanlah perkara gampang. Apalagi sejumlah persoalan pembangunan yang terjadi, membutuhkan penanganan serius dan segera. Sebab itu, diharapkan muncul calon pemimpin Makassar, yang memiliki kemampuan untuk memutuskan langkah-langkah strategis dalam menata Makassar.
Salah satu data awal yang bisa menjadi masukan para bakal calon, terkait survey kelayak hunian kota atau Most Livable City Index (MLCI) 2017, yang pernah dirilis oleh Ikatan Ahli Perencanaan Indonesia (PN-IAP). Survey ini, telah dilakukan IAP  sebanyak empat kali, yaitu; tahun 2009 (12 kota), 2011 (15 kota), 2014 (18 kota) dan 2017 (26 kota). Nilai index livability dibagi atas tiga kategori, yaitu; Top Tier Cities (Di Atas Rata-Rata), Average Tier Cities (Rata-Rata) serta Bottom Tier Cities (Di Bawah Rata-Rata).
Hasil survey tersebut menunjukkan, kota-kota besar tidak ada yang masuk pada Top Tier Cities. Artinya, kota metropolitan Jakarta, Medan, Surabaya, Bandung dan Makassar, masih berjuang menuju kota layak huni. Makassar sendiri, terus menurun dari tahun ke tahun. Tahun 2011 sempat berada pada nilai index livability di atas rata-rata, kemudian 2014 turun ke index rata-rata, dan pada 2017 nilai indexnya turun lagi di bawah rata-rata. Tentu ini menjadi tantangan yang harus dipikirkan bagi pemimpin Makassar nantinya.
Berikutnya, beberapa aspek yang perlu menjadi perhatian para bakal calon Wali Kota, antara lain:
Pertama, Aspek Regulasi dan Aturan Standar. Setiap bakal calon Wali Kota Makassar (Kepala Daerah), perlu memiliki pemahaman yang baik, tentang regulasi terkait kedudukan dua dokumen perencanaan yang ada, agar tidak terjadi kerancuan dalam meletakkan “Visi Daerah” dan Visinya sebagai kepala daerah saat terpilih. Dua dokumen dimaksud adalah Dokumen Perencanaan Pembangunan (RPJPD-Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah) dan Dokumen Perencanaan Spasial (RTRW-Rencana Tata Ruang Wilayah). Dalam UU. No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, pada pasal 265, disebutkan bahwa, “RPJPD menjadi pedoman dalam perumusan visi, misi dan program calon kepala daerah.” Hal ini sangat penting menjadi perhatian bakal calon, dalam menyusun visi, misi dan programnya, supaya memiliki pijakan yang jelas, sehingga tidak mengaburkan arah dan orientasi daerah yang akan dipimpinnya. Harus diingat oleh para bakal calon Wali Kota, bahwa Pilwalkot yang akan datang, merupakan tahapan akhir dari Perda No.13/2006 tentang RPJPD Kota Makassar 2005-2025. Di dalamnya, tertera Visi Daerah, yaitu: “Makassar sebagai kota maritim, niaga, pendidikan, budaya dan jasa yang berorientasi global, berwawasan lingkungan dan paling bersahabat.” Di lain sisi, RTRW merupakan acuan untuk penyusunan rencana jangka panjang dan penyusunan rencana jangka menengah. Dengan demikian, sinkronisasi dan integrasi antar dokumen perencanaan menjadi sebuah kemestian, sebagaimana diamanatkan UU. No 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN).
Kedua, Aspek Sejarah dan Kebudayaan. Setiap bakal calon, hendaknya berusaha memahami unsur kesejarahan Kota Makassar serta kebudayaan yang hidup dan berkembang di tengah masyarakat Makassar, lalu berupaya menghubungkan dengan kondisi pada saat ini. Dan selanjutnya, diproyeksi ke masa yang akan datang, sesuai  kecenderungan arah perkembangan kota Makassar. Dalam konteks ini, bila meminjam teori ‘Openness of Being’ atau Keterbukaan Eksistensi dari Martin Heidegger, maka eksistensi kota Makassar dan warganya, sejatinya terhubung dengan seluruh ruang dan waktu, yakni sebelum, hari ini dan masa depan.
Ketiga, Aspek Ekologi dan Lingkungan. Pada proses pembangunan, perhatian terhadap ekologi dan lingkungan hidup, masih sangat rendah bahkan seringkali terlihat abai. Padahal, jika diperhatikan Sustainable Development Goals (SDGs), sejumlah poin di sana sangat terkait dengan aspek ini. Sebut saja, air bersih dan sanitasi layak, energi bersih dan terjangkau, kota dan komunitas berkelanjutan, penanganan perubahan iklim, ekosistem laut, ekosistem daratan serta industri, inovasi dan infrastruktur. Untuk masalah ekologi dan lingkungan, Makassar sementara bersoal dengan proyek reklamasi dan darurat ruang terbuka hijau yang mengemuka belakangan ini.
Keempat, Aspek Kebencanaan. Dalam hal ini, problem mendasar yang dihadapi adalah bahwa sistem perencanaan kita belum berbasis kebencanaan. Artinya, pada kebanyakan dokumen perencanaan, baik dalam Sistem Perencanaan Pembangunan (Development Planning) maupun Sistem Perencanaan Tata Ruang (Spatial Planning), aspek kebencanaan tidak menjadi perhatian serius untuk dijelaskan secara lebih terperinci. Jika pun sudah terakomodasi dalam dokumen-dokumen perencanaan tersebut, maka tahap implementasinya masih menjadi problem.
Kelima, Aspek Sarana dan Prasarana. Untuk masalah ini, paling tidak, ada tiga hal yang mendesak untuk dilakukan pembenahan. Kemacetan, kurangnya area parkir, dan minimnya fasilitas pejalan kaki, adalah sebagian dari problem transportasi yang kini  semakin dirasakan setiap saat. Pemenuhan kebutuhan air bersih terutama pada musim kemarau, serta maksimalisasi fungsi drainase perkotaan dan sanitasi lingkungan.  
Catatan-catatan di atas, merupakan sebagian dari berbagai hal yang harus dicermati oleh setiap bakal calon Wali Kota Makassar. Dahulu, Filosof Muslim Al-Farabi mensyaratkan kualitas pemimpin, yang mampu mewujudkan konsep “Kota Utama-nya” (Al-Madinah Al-Fadhilah) ialah, “Pemimpin tertinggi yang benar-benar memiliki berbagai ilmu dan setiap jenis pengetahuan … Ia mampu memahami dengan baik segala yang harus dilakukannya. Ia mampu membimbing dengan baik, sehingga orang melakukan apa yang diperintahkannya. Ia mampu memanfaatkan orang-orang yang memiliki kemampuan. Ia mampu menentukan, mendefinisikan dan mengarahkan tindakan-tindakan ke arah kebahagiaan.”
Lalu, apakah Kota Makassar akan ditakdirkan mendapatkan Wali Kota sebagaimana kualifikasi Al-Farabi, pada Pilwalkot 2020 mendatang? Wallahu a’lam bisshawab.

HAJI : Upaya Kembali dan Menghampiri TUHAN

Dari sekian banyak ibadah, haji adalah puncak ibadah ritual yang sangat didambakan  bisa dilakukan setiap Muslim. Kita bisa saksikan bagaimana antusiasme masyarakat dalam melaksanakan ibadah yang satu ini pada setiap tahunnya. Selain karena pahalanya yang sangat besar, orang-orang yang berhaji akan dianggap oleh Allah sebagai tamu-tamu-Nya. “Orang yang beribadah haji dan umrah adalah tamu-tamu Allah serta mengaruniakan  mereka ampunan.” Demikian kata sebuah hadis.
Haji merupakan ritual ziarah Kabah dan kegiatan manasik yang dilakukan di sepanjang abad dan masa, dalam berbagai macam dan bentuknya. Kabah adalah rumah pertama yang dibangun dengan tujuan agar manusia beribadah dan menyembah Allah. Dan Kabah merupakan titik pusat pertama yang menarik para ahli ibadah menuju Allah SWT. Allah berfirman :
Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat beribadah) manusia, ialah Baitullah yang di Bakkah (Mekah) yang diberkahi dan menjadi bagi semua manusia. Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim; Barangsiapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia. Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa yang mengingkari kewajiban haji, maka sesungguhnya Allah Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam. (QS. Ali Imran : 96-97) 
Ibadah haji menggambarkan kepulangan kita kepada Allah, yang mutlak, tidak terbatas dan tidak ada yang menyerupai-Nya. Pulang kepada Allah menunjukkan suatu gerakan yang pasti menuju kesempurnaan, kebaikan, keindahan, kekuatan, pengetahuan serta nilai-nilai.
Dr. Ali Syariati dalam bukunya “Hajj” berujar, “Wahai manusia, semua malaikat bersujud kepadamu; namun melalui perjalanan waktu dan pengaruh kehidupan sosial, maka engkau pun telah banyak sekali berubah. Engkau telah mengingkari janjimu untuk hanya menyembah kepada Allah Yang Mahakuasa. Engkau malah menjadi pemuja berhala-berhala yang sebagian di antaranya ciptaan manusia. Wahai engkau yang tercipta dari lumpur! Cari dan ikutilah Ruh Allah. Terimalah undangannya, tinggalkan kampung halamanmu untuk ‘menjumpai’ Dia yang sedang menunggumu! Eksistensi manusia tidak akan bermakna jika mendekati Ruh Allah tidak menjadi tujuannya. Singkirkan dirimu dari segala tuntutan dan ketamakan yang memalingkanmu dari Allah. Maka bergabunglah dengan kafilah haji yang dilakukan umat manusia sepanjang zaman untuk ‘menjumpai’ Allah Yang Mahakuasa.  Wahai manusia, kembalilah ke asalmu. Tunaikan ibadah haji dan temuilah ‘Sang Kekasih’ terbaikmu yang menciptakanmu sebagai sebaik-baiknya makhluk, dan Dia sedang menantikan kedatanganmu. Tinggalkan istana-istana kekuasaan, gudang-gudang kekayaan dan kuil-kuil menyesatkan. Menyingkirlah dari kawanan yang gembalanya adalah serigala, lalu bergabunglah dengan rombongan Mi’ad yang sedang mendatangi rumah Allah atau rumah umat manusia.” 
Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah. sebab itu, haji harus ditunaikan semata-mata mengharap ridha Allah. Oleh karena kewajiban menunaikan ibadah haji berasal dari Allah dan milik Allah (ungkapan ini khusus dalam masalah haji, karena ungkapan ini tidak disebutkan sehubungan dengan masalah shalat, puasa, dan hukum-hukum lainnya), maka melaksanakannya harus semata-mata lantaran Allah. Bila seseorang mengadakan perjalanan menuju Mekah dengan tujuan melancong, berniaga, dan sebagainya, maka haji seperti ini tidak mengandung rahasia. Sebab, haji tersebut bukan perjalanan menuju Allah. Rahasia terpenting haji adalah bahwa haji merupakan sebuah perjalanan menuju Allah, karena diungkapkan dalam kalimat:
      Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia kepada Allah... (QS.Ali Imran:97)
Pada buku “Hikmah dan Makna Haji”, Syaikh Abdullah Jawadi Amuli menjelaskan bagaimana orientasi dan tujuan begitu penting dalam perjalanan ibadah haji. Ia lalu mengatakan bahwa para manusia suci telah meriwayatkan dari Rasulullah SAW, tanda-tanda diterimanya amal ibadah orang yang berhaji. Beliau bersabda apabila seseorang mendapatkan hidayah menunaikan ibadah haji dan berziarah ke Baitullah, dan ketika kembali dia menjadi orang yang saleh, tidak melakukan maksiat lagi, dan menjauhkan diri dari kesalahan, maka hal itu merupakan tanda-tanda bahwa hajinya diterima (oleh Allah SWT).
Namun, apabila setelah berziarah ke Baitullah dia tetap melakukan perbuatan dosa dan maksiat, maka hal tersebut merupakan tanda hajinya ditolak (mardud). Ini merupakan salah satu rahasia haji. Sebab, rahasia-rahasia ibadah kita akan nampak nyata di hari penampakan batin. Pada hari itu, semua manusia paham bahwa amal perbuatannya diterima atau ditolak. Jika seseorang di dunia telah mencapai tingkatan (iman) sehingga bisa memahami hajinya diterima atau ditolak, maka ia telah sampai pada rahasia-rahasia haji. Dia akan meneliti mengapa amal ibadahnya diterima atau ditolak.
Dalam Surah Az-Zariyat ayat 50, difirmankan, “Maka segeralah kembali (menaati Allah)”, beberapa tafsiran menyatakan bahwa yang dimaksud dengan perjalanan (kembali) menuju Allah dalam ayat ini adalah ibadah haji. Maka sejatinya, haji adalah perjalanan khusus. Di sini, kembali kepada Allah diartikan bahwa manusia harus meninggalkan selain Allah dan mencari-Nya. Namun, bila seseorang menunaikan haji dengan tujuan yang lain, maka ini adalah perjalanan meninggalkan Allah, bukan kembali kepada Allah. 
Imam al-Sajjad Zainal Abidin berkata kepada Zuhri, muridnya, “Berapakah jumlah peziarah haji tahun ini?” Zuhri berkata, “Empat ratus ribu atau lima ratus ribu orang.” Kemudian Imam as-Sajjad membukakan tabir gaib bagi Zuhri, sehingga ia melihat hakikat batin orang-orang yang menunaikan ibadah haji. Ternyata, mereka terlihat sebagai binatang. Saat itulah Imam al-Sajjad berkata, “Betapa sedikit orang yang berhaji dan betapa banyak suara gemuruh teriakan.”
Akhirnya, manusia harus istiqamah atas perjanjiannya dengan Tuhan di saat berhaji. Memelihara ikrarnya yang diucapkan di hadapan Tuhan di saat menunaikan haji. Dengan begitu, niscaya Tuhan akan wajibkan apa yang Dia janjikan untukmu kelak di hari kiamat. Semoga Allah memberkahi perjalanan semua tamu-tamu Allah yang berangkat ke tanah suci di tahun ini dari belahan dunia manapun mereka berasal. Semoga Allah memelihara perjalanan mereka dan menjadikan haji mereka haji yang mabrur. Aamiin Ya Rabbal Alamin.
Makassar, September 2016

HAJI : Ritual yang Sarat Makna


Ibadah haji merupakan salah satu rukun Islam yang wajib dilaksanakan kaum Muslimin sekali seumur hidupnya bila ia mampu. Ibadah ini bukan saja memberikan nuansa spiritual dalam diri manusia, tapi juga memberikan makna sosial yang begitu kuat. Sejatinya memang, pengertian ibadah tidak hanya dimaknai secara intrinsik saja, namun ibadah juga mengandung makna praktis, karena ia bisa dilihat sebagai media untuk pengembangan pendidikan pribadi dan kelompok, ke arah komitmen dan pengikatan batin pada tingkah laku yang akhlaki. Dengan ibadah inilah seseorang yang beriman memupuk dan menumbuhkan kesadaran individual dan kolektifnya, akan tugas-tugas pribadi dan sosialnya, dalam rangka mewujudkan kehidupan yang sebaik-baiknya di dunia ini.
Annemarie Schimmel menyebutkan bahwa perjalanan haji menunjuk pada perjalanan tanpa henti dari jiwa menuju Tuhan. Haji merupakan ritual ziarah Kabah dan kegiatan manasik yang dilakukan di sepanjang abad dan masa, dalam berbagai macam dan bentuknya. Kabah merupakan titik pusat pertama yang menarik para ahli ibadah menuju Allah SWT. Allah berfirman:
Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat beribadah) manusia, ialah Baitullah yang di Bakkah (Mekah) yang diberkahi dan menjadi bagi semua manusia. Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim; Barangsiapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia. Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa yang mengingkari kewajiban haji, maka sesungguhnya Allah Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam. (QS.Ali Imran:96-97)
Kabah merupakan rumah pertama yang digunakan untuk beribadah dan menyembah Allah SWT.  Ia dibangun dengan tujuan memberikan hidayah kepada seluruh manusia dan bangunan tersebut mengandung banyak berkah. Hidayah Kabah tidak dikhususkan bagi umat dan masa tertentu saja. Namun, ia diperuntukkan bagi seluruh umat manusia sepanjang masa. Oleh karena itu, sejak zaman dahulu kala para penyembah berhala dari semua bangsa telah menghormati Kabah. Lantaran berbagai faktor, mereka yakin bahwa menghormati Kabah adalah sebuah kewajiban.
Bagi kaum Muslimin, haji merupakan peristiwa yang sangat dirindukan. Sebuah peristiwa yang merupakan jalan menuju kesempurnaan ibadah. Inilah saat-saat yang dinantikan seluruh kaum Muslimin. Di sinilah mereka saling berjanji untuk menegakkan kebenaran dan keadilan. Karena sebagaimana Ali Syariati katakan, begitu engkau memutuskan untuk menunaikan ibadah haji, sudah seharusnya engkau mengambil langkah-langkah yang perlu. Sebab ibadah haji adalah antitesis dari ketidakbertujuan dan merupakan pemberontakan melawan nasib buruk.
Sayangnya di negeri ini, sebuah ironi terjadi, di mana haji tidak sekadar dijadikan ritual agama semata. Akan tetapi haji telah menjadi sebuah momen bisnis yang menggiurkan. Tak hanya itu, haji bahkan telah menjadi ajang tempat korupsi para pejabat dan pelaku bisnis haji. Mungkin inilah satu-satunya ritual yang paling diatur oleh pemerintah kita. Bukan karena nilai ritualnya, melainkan karena jumlah rupiah yang berputar di sana. Fenomena haji ini memang menarik diamati, karena meskipun dalam situasi krisis melanda kita, baik krisis moral maupun krisis ekonomi, namun peminatnya terus meningkat sepanjang tahun, terlepas dari motivasi yang melatarbelakanginya.
Dalam dunia yang sedang sekarat karena krisis multidimensi, dengan dorongan fitrahnya, manusia seringkali menemukan kesadaran untuk kembali meraih dimensi yang selama ini hilang. Dimensi ketuhanan yang memberikan manusia kemampuan untuk merasakan kebahagiaan spiritual. William James, seorang psikolog terkemuka abad-20, dalam sebuah bukunya Varieties of Religious Experiences menyatakan bahwa, sebagai makhluk sosial, manusia tidak akan menemukan kepuasan kecuali ia bersahabat dengan Kawan Yang Agung. Tentu Kawan Yang Agung yang dimaksudkan itu adalah Tuhan. Ia juga menambahkan bahwa meskipun manusia memiliki banyak teman, relasi, berada dalam keramaian aktivitasnya, selama ia tidak berkawan dengan Yang Agung maka selama itu pula, ia akan merasakan kesepian, kekosongan dan kehampaan.
Sesungguhnya, haji merupakan latihan untuk kembali kepada Allah SWT. Haji adalah latihan kematian kita, karena kita meninggalkan tanah air, meninggalkan keluarga, meninggalkan kerabat dengan niat yang satu, ingin menemui Allah SWT. Haji adalah perjalanan ruhani dari rumah-rumah yang selama ini mengungkung manusia menuju Tuhan. Karena itu, haji yang mabrur adalah haji yang berhasil mencampakkan sifat-sifat hewaniah dan menyerap sifat-sifat rabbaniyyah.
Kepada Asy-Syibli yang baru kembali dari menunaikan ibadah haji, Imam Zainal Abidin – sufi besar dari keluarga Nabi SAW – bertanya kepadanya, “Ketika engkau sampai di miqat dan menanggalkan pakaian berjahit, apakah engkau berniat menanggalkan juga pakaian kemaksiatan dan mulai mengenakan busana ketaatan? Apakah juga engkau tanggalkan riya, kemunafikan dan syubhat? Ketika engkau berihram, apakah engkau bertekad mengharamkan atas dirimu semua yang diharamkan oleh Allah? Ketika engkau menuju Mekkah, apakah engkau berniat untuk berjalan menuju Allah? Ketika engkau memasuki Masjid Al-Haram, apakah engkau berniat untuk menghormati hak-hak orang lain dan tidak akan menggunjingkan sesama umat Islam? Ketika engkau sa’i, apakah engkau merasa sedang lari menuju Tuhan di antara cemas dan harap? Ketika engkau wuquf di Arafah, adakah engkau merasakan bahwa Allah mengetahui segala kejahatan yang kau sembunyikan dalam hatimu? Ketika engkau berangkat ke Mina, apakah engkau bertekad untuk tidak mengganggu orang lain dengan lidahmu, tanganmu dan hatimu? Dan ketika engkau melempar jumrah, apakah engkau berniat memerangi iblis selama sisa hidupmu?”
Ketika untuk semua pertanyaan itu, Asy-Syibli menjawab “tidak”, Imam Zainal Abidin mengeluh, “Ah…, engkau belum ke miqat, belum ihram, belum thawaf, belum sa’i, belum wuquf dan belum sampai ke Mina.” Asy-Syibli pun menangis, dan pada kesempatan berikutnya dia bertekad untuk memperbaiki lagi manasik hajinya. Dalam manasik keluarga Nabi SAW, yang sangat utama adalah kesanggupan meninggalkan rumah-rumah kita yang kotor, agar dapat beristirahat di rumah Allah yang suci. Bila mampu dan berhasil, berarti Anda Mabrur. Negeri ini butuh para haji yang mabrur dan bukan haji yang hanya mengejar prestise dan pamer kekayaan di tengah-tengah masyarakat.
Dalam dimensi lainnya, menurut Al-Quran, ibadah haji diperintahkan agar mereka menyaksikan berbagai manfaat buat mereka dan berzikir (menyebut nama Allah) pada hari-hari yang ditentukan (QS.22:28). Menurut para mufassir, ayat ini menyebutkan dua dimensi haji: dimensi manfaat dan dimensi zikir. Al-Thabari, dalam tafsirnya, menyebut manfaat itu meliputi dunia dan akhirat.
Mahmud Syaltut, Syeikh Al-Azhar, menyinggung dimensi-dimensi ipoleksosbud sebagai kandungan makna “manfaat”. Pada waktu hajilah, kata Syaltut, bertemu para pemikir dan ilmuwan, ahli-ahli pendidikan dan kebudayaan, para negarawan dan ahli pemerintahan, ahli-ahli ekonomi, para ulama dan juga para ahli militer kaum Muslim. Inilah pertemuan umat manusia yang terbesar untuk menunjukkan kebesaran Islam. Hal inilah yang dimaksudkan sebagai ritual yang berdimensi politik. Sekiranya perspektif seperti itu yang digunakan dalam melihat ritual haji ini, maka bisa dibayangkan bagaimana kekuatan kaum Muslimin, yang berhimpun di suatu tempat dan berasal dari berbagai daerah di seluruh penjuru dunia ini. Lalu, menyatukan persepsi dan pandangan serta langkah-langkah yang akan diambil, dalam menghadapi kezaliman musuh-musuh Islam di berbagai belahan dunia, maka efeknya tentu akan sangat besar.
Kalau saja hal itu bisa terwujud, maka tentara-tentara penindas seperti Israel, tidak akan mungkin berani melakukan agresi dan penindasan di Palestina, seperti yang berlangsung sampai sekarang ini. Kekuatan Islam akan sangat diperhitungkan dalam percaturan dunia. Tapi, lihatlah apa yang terjadi saat ini. Islam dan kaum Muslimin tidak begitu diperhitungkan oleh kekuatan musuh-musuh Islam. Negara-negara Islam atau yang mayoritas penduduknya Muslim, dengan mudah dipermainkan dan dipolitisir, bahkan terkadang dengan gampang diadu domba di antara sesama kaum muslimin.
Nabi kita Muhammad SAW pada tanggal 10 Zulhijjah tahun 10 Hijriah di Haji Wada’ atau Haji Perpisahan, memberikan pesan yang sangat penting. Dalam khutbahnya Nabi berkata: “Wahai manusia, dengarkan pembicaraanku, karena barangkali aku tidak akan berjumpa lagi dengan kalian setelah tahun ini. Yang hadir sekarang ini hendaknya menyampaikan kepada yang tidak hadir. Hai hadirin, tahukah kamu hari apakah ini?” “Hari yang suci,” jawab yang hadir.
“Bulan apakah ini?” “Bulan yang suci.” “Negeri apakah ini?” “Negeri yang suci.” “Sesungguhnya darah kalian, harta kalian, kehormatan kalian, sama sucinya seperti hari ini, pada bulan ini, di negeri ini. Sesungguhnya kaum Mukmin itu bersaudara. Tidak boleh ditumpahkan darahnya, tidak boleh dirampas hartanya, dan tidak boleh dicemarkan kehormatannya.”
Itulah pesan sakral dari ibadah haji yang sering dilupakan kaum Muslimin. Padahal pesan tersebut tidak hanya berlaku bagi mereka yang telah menunaikan haji, tetapi berlaku umum kepada seluruh umat Islam. Dan sudah semestinya, seorang yang berhaji seyogianya adalah manusia yang menjadikan Allah sebagai tujuan hidupnya.
Akhirnya, rombongan jamaah haji saat ini, bisa dimaknai sebagai salah satu dari pengejawantahan kerinduan manusia modern terhadap Allah yang diartikulasikan dengan pelaksanaan ibadah ini. Para jamaah haji rela mengorbankan waktu dan biaya yang tidak sedikit, demi untuk melaksanakan ibadah haji yang tentunya tidak akan mendatangkan keuntungan secara ekonomi.
Menurut Ali Syariati, ibadah haji menggambarkan kepulangan kita kepada Allah, yang mutlak dan tidak terbatas dan tidak ada yang menyerupai-Nya. Pulang kepada Allah menunjukkan suatu gerakan pasti menuju kesempurnaan, kebaikan, keindahan, kekuatan, pengetahuan dan nilai-nilai. Demikianlah, haji adalah oase spiritual yang memenuhi dahaga ruhani manusia modern saat ini. Semoga jamaah haji Indonesia dapat mereguk air dari oase tersebut dan kembali sebagai insan-insan perubahan yang memiliki komitmen spiritual dan kemanusiaan.
Makassar, Juni 2016

Me-Manusiakan DIRI, Meraih Ketakwaan untuk Membangun Negeri

Salah satu yang perlu dibaca ulang terkait Ramadhan, adalah bagaimana pengaruh Madrasah Ramadhan terhadap perubahan individual dan sosial masyarakat. Bagi kaum Muslimin, Madrasah Ramadhan sejatinya, dijadikan sebagai momentum untuk melakukan penempaan dan perbaikan diri. Sebab, di dalamnya, sarat dengan berbagai unsur yang berdimensi spiritual dan ruhaniah, yang sangat dibutuhkan oleh manusia.

Bila manusia terpisah dengan dimensi ruhaniahnya, maka kemanusiaannya menjadi kemanusiaan yang berpenyakit. Jean Jaques Rousseau pernah berujar, “Semakin banyak orang pandai, semakin sulit dicari orang jujur.” Ia beranggapan, semua penyakit kemanusiaan timbul karena manusia hanya mempertajam akalnya saja dan mengesampingkan panggilan hati nuraninya atau sisi ruhaninya. Demikian kutipan dalam “Renungan-Renungan Sufistik”-nya Dr.Jalaluddin Rakhmat.
Penciptaan yang dilakukan oleh Allah SWT, tentulah memiliki tujuan. Dengan tujuan itulah kemudian semua makhluk bergerak meraihnya. Al-Quran telah menyebutkan bahwa tujuan penciptaan adalah tidak lain adalah untuk beribadah kepada Allah, sebagaimana dalam Surah Adz-Dzariyat : 56, “Tidak Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk menyembah (beribadah) kepada-Ku.”
Tujuan lainnya dari proses penciptaan yang tatkala penting adalah memanusiakan manusia atau “Diri”. Karena itu, kalau kita perhatikan secara seksama seluruh hukum-hukum yang diperintahkan oleh Allah, maka tentu akan kita temukan bahwa kesemuanya dalam rangka mempertegas esensi kemanusiaan. Ketika awal kali kita diciptakan oleh Tuhan, kita terlahir sebagai manusia, di mana fitrah Ilahiah menyelubungi diri kita. Namun, begitu aspek fisik dan lahiriah kita sudah semakin kuat, maka seiring itu pula fitrah Ilahiah dan esensi kemanusiaan, yang tadinya bersemayam dalam diri setiap insan, pelan-pelan kita abaikan, kita lupakan hingga terkadang malah tidak segan-segan untuk kita lepaskan dari diri kita.
Padahal Nabi SAW yang mulia telah mengingatkan dengan sabdanya : “Man arafa nafsahu faqad arafa Rabbahu.” Siapa yang mengenal/memahami dirinya maka ia akan mengenal Tuhannya. Karena itulah seorang arif berkata, “Adalah mudah untuk menjadi sarjana, ilmuwan atau yang lainnya, tetapi sangat sulit bagi seseorang untuk menjadi insan atau manusia.” Karena sesungguhnya, hanya ketika kita sudah menjadi manusia, barulah kita dapat menyaksikan realitas eksistensi ini dengan nyata.
Meraih Derajat Takwa
Al-Quran memberi kedudukan yang sangat tinggi pada ketakwaan. Ia menjadi  satu-satunya ukuran kemuliaan manusia (QS.Al-Hujurat:13), dan dipandang sebagai sebaik-baik bekal. Takwa adalah bekal terbaik untuk menuju akhirat. Allah berfirman, “Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal.”(QS.Al-Baqarah:197).  
Sudah mafhum bagi kita semua, bahwa tujuan dari puasa ialah untuk mencapai derajat takwa (QS.Al-Baqarah:183). Takwa adalah sebuah tingkatan kesempurnaan insaniah. Takwa adalah sifat maknawi yang jika dimiliki, maka manusia akan terjaga dari perbuatan-perbuatan dosa. Takwa merupakan pakaian terbaik bagi seorang mukmin: “Dan pakaian takwa, itulah yang lebih baik.” (QS. Al-A’raf:26)
Sayyidina Ali bin Abi Thalib Kw, melebihi orang lain pada pengajarannya dalam menekankan arti takwa serta pengaruhnya dalam kehidupan. Beliau menjelaskan manfaat takwa secara mengagumkan. Misalnya ia mengatakan, “Takwa adalah keterbebasan dari segala perbudakan dan keselamatan dari segala kebinasaan.” Atau ungkapan lainnya, “Takwa adalah obat dari penyakit hatimu, kesembuhan bagi penyakit jasadmu, kebaikan bagi kerusakan dadamu dan kesucian bagi kekotoran jiwamu.”
Sayyidina Ali Kw memandang bahwa takwa bermanfaat bagi seluruh kesulitan dan penyakit yang dihadapi manusia. Memang benar, sekiranya kita mengenal takwa sebagaimana beliau telah mengenalnya, maka kita harus mengakui bahwa takwa adalah salah satu pilar bagi kehidupan manusia, baik di dalam kehidupan individual maupun kehidupan sosialnya. Dan jika takwa tidak ada maka fondasi kehidupan manusia menjadi goyah.
Salah satu pengaruh dari takwa yaitu pelembutan emosi dan perasaan. Artinya, takwa dan kesucian jiwa menjadikan emosi dan perasaan menjadi lebih lembut dan halus. Seorang manusia yang bertakwa, yang menjauhi perbuatan-perbuatan yang buruk dan kotor, menjauhi perbuatan riya dan menjilat, menjauhi perbuatan menghamba kepada manusia, yang menjaga kebersihan nuraninya, yang menjaga kemuliaan dan kemerdekaan dirinya, yang pusat perhatiannya kepada masalah-masalah spiritual dan bukan masalah-masalah material, maka sudah tentu perasaan dan emosinya tidak sama dengan perasaan dan emosi orang-orang yang senantiasa tenggelam dalam perbuatan yang keji dan hina, serta selalu terikat dengan benda-benda duniawi. Dengan merujuk Sayyidina Ali, barulah kita dapat meraih kemenangan dan menjadi manusia merdeka secara hakiki.
Demikianlah sifat takwa, sangat diperlukan pada setiap manusia. Seorang manusia yang mempunyai sifat takwa, akan dijaga dan ditahan oleh sifat takwa, dari perbuatan-perbuatan dosa manakala perbuatan-perbuatan itu menghampirinya. Akan tetapi, jika tidak memiliki sifat takwa, maka bila perbuatan haram menghampirinya, ia tidak mampu menahan diri untuk tidak melakukannya.
Menjadi manusia bertakwa yang merupakan tujuan dari pelaksanaan ibadah puasa, akan sulit dicapai tanpa upaya memanusiakan diri. Karena, secara sadar atau tidak, seringkali kita sendiri sebetulnya yang mereduksi kemanusiaan kita hingga tahap yang paling rendah, karena kelalaian, kealpaan, kekhilafan bahkan dengan aib dan dosa-dosa yang kita perbuat. Kita hanya bisa berharap, semoga kita semua bisa kembali kepada Tuhan sebagai manusia atau insan dan bukan dalam wujud lainnya seperti yang tertuang dalam Al-Quran Surah Al-A’raf:179: “Dan sungguh, akan Kami isi neraka jahannam kebanyakan dari kalangan jin dan manusia. mereka memiliki hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami ayat-ayat Allah, dan mereka memiliki mata tetapi tidak dipergunakannya untuk melihat tanda-tanda kekuasaan Allah, dan mereka mempunyai telinga tetapi tidak dipergunakannya untuk mendengarkan ayat-ayat Allah, mereka seperti hewan ternak, bahkan lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lengah.”
Akhirnya, sifat takwa akan muncul pada diri seseorang, jika pada bulan Ramadhan, ia melakukan puasa, persis sebagaimana yang telah dituntunkan oleh Islam. Pertanyaannya, bulan Ramadhan telah mengubah apa? Apakah sebatas mengubah kebiasaan dan waktu makan kita, ataukah telah mengubah ke-diri-an kita. Direktur Rumi Institute Jakarta - Muhammad Nur Jabir, mengatakan: Bulan Ramadhan hadir agar kebiasaan buruk kita berubah menjadi baik, dan kebiasaan baik menjadi lebih baik.
Mengubah kebiasaan memang bukan hal yang mudah. Sebab kebiasaan umumnya telah menjadi karakter dalam diri. Baik itu kebiasaan buruk atau kebiasaan yang baik. Jadi, sangat mudah mengetahui apakah puasa yang kita jalankan berhasil atau tidak. Cukup melihat kebiasaan kita sebelum Ramadhan. Bila kebiasaan-kebiasaan kita tak berubah, berarti kita hanya memperoleh ‘lapar dan dahaga’. Dan itu artinya Rahmat Ilahi belum meliputi eksistensi diri kita.
Madrasah Ramadhan, sejatinya menawarkan optimisme serta harapan akan perubahan dan perbaikan. Jika saja setiap individu Muslim di negeri ini, memiliki pengenalan yang tepat terhadap Madrasah Ramadhan sebagai wahana pembentukan diri, maka tentu akan melahirkan, manusia-manusia takwa yang  suci nan fitrawi. Yang akan melakukan proses transformasi nilai-nilai, dalam rangka memperbaiki kondisi bangsa, serta membangun negeri tercinta ini.
Parepare, Juni 2019

Rezim Yang Ambigu dan Problem Lingkungan di Indonesia

Permasalahan lingkungan hidup, telah mendapat perhatian besar di hampir semua negara. Ini terutama terjadi sejak dasawarsa 1970-an setelah d...