Jumat, 07 Agustus 2020

Ciri dan Watak Dakwah Islam

Sejak permulaan, Al-Quran diturunkan Allah SWT sebagai kitab dakwah. Yakni, ajakan untuk menuju Allah SWT dan mengikuti jejak Rasul-Nya, Nabi Muhammad SAW. Itu bermakna, ajakan untuk menaati dan mengikuti ajaran Islam yang dikehendaki oleh Allah untuk dipedomani oleh umat manusia.
Allah SWT menghendaki agar ajaran Islam yang sarat dengan petunjuk bagi manusia, manjadi jalan yang akan menyelamatkannya. Itu berarti, Al-Quran hidup di lingkungan realitas dakwah. Al-Quran menegaskan mengenai tujuan yang hendak dicapai dalam dakwah, di samping itu pula menampakkan berbagai metode dakwah. Pada saat yang sama, Al-Quran juga membina pribadi para juru dakwah dan menguatkan batin atau mentalitas mereka, juga mengarahkan mereka ke langkah-langkah yang benar dan lurus, serta tidak menyimpang dari jalan yang telah ditetapkan.
Secara sederhana, dakwah bermakna seruan, ajakan atau panggilan. Dakwah Islamiah artinya menyampaikan seruan Islam, mengajak dan memanggil umat manusia agar menerima dan mempercayai keyakinan dan pandangan hidup Islam. Islam adalah agama dakwah. Karena itu, banyak ayat Al-Quran dan Hadis Nabi yang memerintahkan pemeluknya menghadapi dunia dan manusia ini dengan jalan dakwah.
Islam adalah agama aktif dan positif, di mana ajaran yang dibawanya penuh dengan dinamika dan militansi. Karena, seluruh ajaran Islam memerintahkan umatnya untuk giat, beramal, bertindak dan berjuang. Menjadi seorang Muslim otomatis menjadi Juru Dakwah, menjadi Muballigh, bila dan di mana saja, di segala bidang dan ruang. “Ballighuu annii walau aayah.” Sampaikan dari padaku walaupun satu ayat, demikian perintah Rasulullah kepada umatnya.
Pada kesempatan lain Allah berfirman dalam surah Ali Imran: 104, “Dan hendaklah di antara kamu ada sekelompok orang yang menyeru kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar. Dan mereka itulah yang mendapat keberuntungan.” Dengan demikian, kedudukan ganda yang diberikan Islam kepada pemeluknya, menjadi seorang Muslim merangkap menjadi juru dakwah atau muballigh, memberikan suatu pesan bagi seluruh umat Islam, bahwa agama dan keyakinan ini tidak akan tegak dan berkembang, jika para pemeluknya pasif dan statis, serta tidak mampu menyampaikan ajaran dan seruan Islam kepada manusia dan dunia.
Dari sekian banyak ayat Al-Quran yang mengungkap masalah dakwah, maka ada satu ayat yang memuat prinsip-prinsip dasar dalam menjalankan tugas dakwah. Ayat tersebut terdapat dalam surah An-Nahl: 125 yang berbunyi :
“Ajaklah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah (kebijaksanaan), nasihat/pelajaran yang baik, dan debatlah mereka dengan cara yang lebih baik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dia-lah yang lebih mengetahui tentang orang yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia lebih mengetahui tentang orang-orang yang mendapat petunjuk.”
Begitu pentingnya ayat ini untuk kepentingan dakwah, sehingga kita perlu sedikit memahaminya. Penggalan pertama“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah (bijaksana) dan nasihat yang baik (mau’izhah hasanah).” Dari sini, ada dua terma yang penting yaitu; al-hikmah dan al-mau’izhah al-hasanah. Di kalangan para etimolog, kata al-hikmah, ada yang mengartikan “meletakkan sesuatu pada tempatnya”, atau “kebenaran suatu perkara.” Dengan demikian, kita dapat memahami pemaknaan al-hikmah sebagai “perkataan yang sesuai dengan kebenaran” dengan menganggapnya sebagai mengembalikan sesuatu pada asalnya, atau meletakkan kebenaran pada proporsinya.
Dengan kerangka seperti itulah, kita dapat memahami hikmah dalam pandangan Allah SWT dalam ayat, “Siapa yang diberi hikmah, maka sesungguhnya ia telah diberi kebaikan yang banyak.” Jika demikian keadannya, maka al-hikmah merupakan pemberian atau karunia dari Allah SWT, yang mempunyai nilai yang sangat tinggi yang diberikan kepada hamba-hamba-Nya dan – khususnya – kepada para nabi-Nya.
Menurut Syeikh Zamakhsyari dalam al-Kasysyaf-nya menyebutkan, “Al-Hikmah adalah perkataan yang pasti benar. Ia adalah dalil yang menjelaskan kebenaran dan menghilangkan keraguan atau kesamaran.”  Sedangkan al-Mau’izhah al-Hasanah adalah sesuatu yang dapat masuk ke dalam kalbu dengan penuh kasih sayang dan ke dalam perasaan dengan penuh kelembutan. Sebab, kelemahlembutan dalam menasihati seringkali dapat meluluhkan hati yang keras dan menjinakkan kalbu yang liar.
Lebih daripada itu, sesungguhnya lemah lembut dan sikap penuh kasih dan sayang – dalam konteks dakwah – dapat membuat seseorang merasa dihargai kemanusiaannya, sehingga membangkitkan perasaan seperti itu pula dalam dirinya. Ia akan sangat tersentuh, karena rasa cinta dan sayang yang diperlihatkan juru dakwah dapat menghidupkan semangatnya untuk menjadi mukmin yang baik.
Penggalan kedua“Dan debatlah mereka  dengan cara yang lebih baik.” Hal ini mungkin bisa dianggap sebagai petunjuk tentang metode konfrontasi juru dakwah dengan reaksi sasaran dakwah terhadap apa yang disampaikannya. Seolah Al-Quran melakukan suatu upaya untuk melatih pribadi Muballigh/Da’i dan memperluas wawasan pemikirannya. Al-Quran mengajak juru dakwah untuk keluar dari kerangka dirinya menuju kerangka realitas yang lebih luas. Hal ini mengajarkan para juru dakwah supaya menjauhkan diri dari sifat sombong yang penuh kebohongan.
Karena itu, tugas juru dakwah bukan meraih kemenangan atas musuh untuk memuaskan ambisi kesombongan diri. Tugas juru dakwah adalah menyadarkan orang lain untuk mengikuti dimensi kemanusiaannya, dan mengingatkannya akan perbudakan (teologis) yang menjeratnya, lalu membantunya untuk mengikuti jalan yang benar.
Sehingga, ia bisa jadi akan menjadi sahabat dalam menyukseskan dakwah menuju Allah. Dengan sikap seperti itulah, akan terjadi perdebatan dengan metode yang lebih baik. Metode debat seperti itu merupakan cara praktis yang ideal untuk mencapai cita-cita mulia yang diharapkan.
Demikianlah tafsiran singkat dari ayat 125 surah An-Nahl, yang pernah diuraikan oleh Sayyid Muhammad Husain Fadhlullah dalam bukunya Uslub ad-Da’wah fi al-Quran. Itulah ciri dan watak dakwah Islam. Sebab itu, bila dakwah disampaikan dengan cara kekerasan, kebohongan, fitnah, prasangka serta menyulut kebencian sesama manusia, maka itu sudah pasti tidak berpijak pada nilai-nilai yang diajarkan Al-Quran dan tidak pula dicontohkan oleh Baginda Rasulullah SAW.
Mari kita lihat sekilas ulasan berkaitan dengan peranan nabi Muhammad SAW sebagai juru dakwah. Al-Quran menyebutkan, “Katakan (olehmu Muhammad), inilah jalan hidupku. Aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) menuju Allah dengan penglihatan yang terang. Maha suci Allah, dan aku tidak termasuk orang-orang yang musyrik.” (QS.Yusuf:108).
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Turmudzi, Rasulullah SAW berkata, “Sesungguhnya Allah mengutusku sebagai muballigh”, dalam redaksi yang lain dari Ibnu Majah disebutkan, “Sesungguhnya, aku diutus sebagai pendidik.” Merujuk nash-nash tersebut, maka sejatinya para pendakwah mesti mengikuti dan meneladani Rasulullah sebagai pendakwah sejati dan paling paripurna.
Beliau telah berhasil merealisasikan seluruh idealita ajaran Islam, sehingga disebut sebagai Al-Quran yang berjalan. Artinya semua nilai-nilai kemuliaan dan akhlak agung sudah menjelma dalam dirinya. Dan karena itulah, sebagai model untuk orang yang sudah mencapai tingkat kesempurnaan, Allah menjadikannya sebagai uswatun hasanah (QS.Al-Ahzab:21). Dakwah merupakan tugas Nabi dan pengikut para Nabi. Berkiprah dalam dakwah adalah sebuah usaha besar dalam rangka membentuk peradaban manusia.
Makassar, April 2015

Rezim Yang Ambigu dan Problem Lingkungan di Indonesia

Permasalahan lingkungan hidup, telah mendapat perhatian besar di hampir semua negara. Ini terutama terjadi sejak dasawarsa 1970-an setelah d...