Tujuan
terbesar para Nabi as adalah mendidik dan menyucikan jiwa manusia. Allah SWT
telah berfirman dalam Al-Quran Al-Karim, “Sesungguhnya
Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus di antara mereka seorang rasul
dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah,
membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan Hikmah. Dan
sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam
kesesatan yang nyata.” (QS. Ali Imran : 164)
Para Nabi
datang untuk mengajarkan jalan penyucian diri kepada manusia, dan membantu
serta membimbing mereka di dalam urusan
yang amat penting dan menentukan ini. Para Nabi diutus untuk
membersihkan jiwa manusia dari akhlak-akhlak yang buruk dan sifat-sifat
kebinatangan serta sebaliknya menumbuhkan akhlak yang baik dan sifat-sifat yang
utama.
Para Nabi
datang dalam rangka membantu manusia untuk mengenal akhlak yang tercela
sekaligus mengontrol dan mengendalikan kecenderungan-kecenderungan hawa
nafsunya. Mereka pun menjauhkan manusia dari berbagai keburukan dan kemunkaran
dengan cara memberikan peringatan dan ancaman. Namun di sisi lain, para Nabi
pun datang untuk menumbuhkan akhlak yang utama dan sifat-sifat yang terpuji
pada diri manusia dengan cara memberikan petunjuk dan dorongan. Rasulullah SAW
telah bersabda, “Kalian harus berpegang
teguh kepada akhlak yang mulia. Karena dengan tujuan inilah aku telah diutus
Allah SWT.”
Pada diri manusia,
meskipun tidak lebih dari satu hakikat, namun mempunyai berbagai dimensi wujud.
Allah SWT berfirman di dalam Al-Quran, “Yang
membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan Yang memulai
penciptaan manusia dari tanah. Kemudian Dia menjadikan keturunannya dari
saripati air yang hina (air mani). Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke
dalam (tubuh)nya ruh (ciptaan)-Nya dan
Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati (tetapi) sedikit
sekali kamu bersyukur.” (QS. As-Sajadah : 7-9) Dari ayat tersebut telah
digambarkan bahwa manusia adalah sebuah hakikat, namun mempunyai beberapa
peringkat wujud.
Dalam diri
manusia, terdapat diri jasmani, diri tumbuhan, diri kebinatangan dan diri
kemanusiaan. Nah, yang mempunyai nilai dan harga hanyalah diri kemanusiaan. Sesuatu yang
menjadikan manusia menjadi manusia dan menjadikannya lebih unggul dari seluruh
hewan lainnya. Allah SWT telah menggambarkan penciptaan manusia dalam Al-Quran
sebagai berikut, “Dan sesungguhnya Kami
telah menciptakan manusia dari suatu saripati (yang berasal) dari tanah.
Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang
kokoh(rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal
darah itu kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan
tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian
Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Mahasucilah Allah,
Pencipta Yang Paling Baik.” (QS. Al-Mukminun : 12-14).
Mahasuci
Allah sebaik-baiknya pencipta. Dengan perantaraan ruh malakut inilah, Allah SWT
telah menempatkan manusia kepada derajat yang sedemikian tinggi, sehingga turun
perintah Allah SWT kepada para malaikat,
“Maka apabila Kami telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan ke dalamnya
ruh (ciptaan)Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud.” (QS.
Al-Hijr : 29)
Dengan
kedudukan manusia seperti itu, maka jika manusia hendak membangun dirinya maka
dia harus membangun dan mengembangkan diri kemanusiaannya, bukan diri kebinatangan
atau diri jasmaninya. Dan tujuan para nabi telah membantu dan memperkuat
manusia dalam membangun dan mengembangkan sisi kemanusiaan tersebut. Para Nabi
as berkata kepada manusia, “Janganlah
kamu melupakan dirimu. Yaitu diri kemanusiaanmu. Karena jika kamu mengorbankan
diri kemanusiaanmu demi kecenderungan-kecenderungan hewanimu, niscaya bahaya
yang amat besar akan menimpamu.”
Terkait
dengan pembinaan dan penyucian diri (jiwa) ini, Sayyid Kamal Haidari dalam At-Tarbiyyah ar-Ruhiyyah : Buhuts fi Jihad an-Nafs,
mengulas sebuah surah yang amat relevan dalam hal ini, yakni surah Asy-Syams : “Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi
Maha penyayang, Demi matahari dan cahayanya di pagi hari, dan bulan apabila
mengiringinya, dan siang apabila menampakkannya, dan malam apabila menutupinya,
dan langit serta pembinaannya, dan bumi serta penghamparannya, dan jiwa serta
penyempurnaannya, maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan
ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu, dan
sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.”
Dari
ayat-ayat yang penuh berkah tersebut, terdapat sejumlah catatan penting yang
menunjukkan seberapa besar perhatian Al-Quran terhadap masalah penyucian diri
serta akhlak yang baik. Di antaranya
adalah sebagai berikut :
Pertama, Allah SWT
mendahului dengan enam atau tujuh sumpah, sebelum mengutarakan pesan, yaitu
firman Allah SWT ‘Sesungguhnya
beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu’. Ini menunjukkan begitu
pentingnya masalah pembinaan diri, yang mengandung ajakan kepada manusia agar
berpegang pada akhlak yang baik dan menjauhi akhlak yang buruk.
Kedua, Jiwa (nafs) dalam ayat ini adalah jiwa
manusia. Hal ini berdasarkan firman Allah SWT: Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu, dan
sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya. Jadi yang dimaksud bukan
jiwa secara keseluruhan, baik tetumbuhan, binatang, maupun manusia, melainkan
hanya manusia. Karena dialah yang diberi tugas (mukallaf) yang perbuatannya bisa menghasilkan pahala dan hukuman.
Ketiga, Ayat 9 dan
10 dari surah Asy-Syams ini menegaskan sebuah hakikat penting, bahwa manusia
dapat menumbuhkan dan menyempurnakan jiwanya melalui pencarian akhlak yang
baik. Jika tidak begitu, tentu kedua ayat tersebut tidak akan menunjukkan
keberuntungan bagi orang yang menyucikan jiwanya dan kerugian bagi orang yang mengotorinya.
Keempat, Dari kedua
ayat tersebut juga, menampakkan metodologi Al-Quran - yang berbeda dengan
literatur dan buku-buku ilmu akhlak yang lain - dalam mengajak manusia pada
perbuatan-perbuatan baik atau amal-amal saleh dan akhlak yang baik. Metode yang
digunakan Al-Quran adalah penegasan dan fokusnya pada pelaku dan penyandang
sifat, bukan pada perbuatan dan sifat. Oleh karena itu, ayat tersebut (9 dan
10) memuji pelaku penyucian jiwa, bukan penyucian jiwa itu sendiri, dan mencela
orang yang mengotori jiwa, bukan pengotoran itu sendiri.
Kelima, Al-Quran
ketika mengajak manusia pada akhlak yang baik, membekalinya dengan berbagai
fasilitas yang memungkinkannya mencari akhlak tersebut. Allah SWT telah
menyediakan bagi manusia apa yang dibutuhkannya dalam perjalanan ini. Dia
membekali kita dengan hujjah batiniah,
yaitu akal yang tersembunyi atau fitrah yang ada bersama manusia sejak awal
penciptaannya. Kemudian melalui akal ini, Dia menjelaskan kepada kita apa
perbuatan baik itu dan apa perbuatan buruk itu, sebagaimana Dia mengilhamkan di
dalam fitrah kita, apa ketakwaan itu dan apa kedurhakaan itu. Selain itu, Allah
juga membekali dengan hujjah lahiriah,
yaitu para rasul, para nabi, para imam dan para ulama yang saleh.
Dari
penjelasan di atas telah menunjukkan pentingnya penyucian jiwa atau diri, untuk
mengantarkan manusia menuju pada fitrah kemanusiaannya. Dalam tahapan penyucian
diri ini, ada tiga pekerjaan yang harus dilakukan :
1. Menyucikan
diri dari keyakinan-keyakinan yang batil dan pemikiran-pemikiran yang
menyimpang.
2. Menyucikan
diri dari akhlak-akhlak yang buruk.
3. Meninggalkan
dosa dan maksiat.
Keyakinan-keyakinan
batil dan pemikiran-pemikiran sesat membuat diri menjadi gelap dan menyimpang
dari jalan yang lurus. Orang yang memiliki keyakinan yang batil tidak mengenal
jalan kesempurnaan. Mereka melangkah di dalam lembah kesesatan dan pada gilirannya,
tentu tidak akan sampai pada tujuan. Apabila hati gelap, bagaimana mungkin bisa
menjadi pusat pancaran cahaya suci Ilahi? Demikian juga akhlak yang buruk, dia
akan memperkuat sifat-sifat kebinatangan dan secara perlahan-lahan memadamkan
ruh kemanusiaan manusia. Individu seperti ini tidak akan dapat mencapai tujuan
kemanusiaannya, yaitu memperoleh kesempurnaan dan kedekatan dengan Allah SWT.
Begitu juga perbuatan dosa dan maksiat akan menggelapkan dan mengotori diri
serta menjauhkannya dari jalan menuju kesempurnaan. Individu semacam ini pun
tidak akan dapat sampai kepada tujuan akhirnya. Oleh karena itu, penyucian diri
bagi kita adalah sesuatu yang amat penting dan menentukan.
Rasulullah
SAW bersabda, “Kebersihan/kesucian adalah
sebahagian dari iman.” Maksudnya adalah sebagian dari iman akan diperoleh
dengan perantara kebersihan lahir dan sebagian lainnya dengan perantara
kebersihan dan mensucikan batin dengan jalan amal-amal saleh dan akhlak yang
terpuji. Thaharah dan kesucian memiliki empat tingkatan yaitu :
Pertama,
Membersihkan lahir dari ketercemaran dan kotoran-kotoran. Kedua, Menjaga anggota
badan dari kejahatan dan dosa-dosa. Ketiga, Membersihkan hati dari
akhlak buruk dan tercela. Keempat, Membersihkan batin dari
segala sesuatu selain Tuhan. Thaharah dan kesucian ini adalah thaharah para
Nabi dan Shiddiqin. Dan thaharah pada setiap tingkatan-tingkatannya adalah
sebagian dari perbuatan-perbuatan yang berkaitan dengan tingkatan tersebut. Hal
ini adalah maqam-maqam iman, di mana setiap maqam memiliki tingkatan-tingkatan.
Seorang hamba tidak akan mencapai maqam tertinggi kecuali melewati tingkatan
yang paling rendah. Dan seseorang yang tidak sanggup membersihkan hati dari
sifat-sifat tercela dan menyuburkannya dengan akhlak terpuji, maka dia tidak dapat
meraih kebersihan batin dan menghiasinya dengan berbagai perbuatan-perbuatan
yang terpuji.
Firman Tuhan
dalam surah Asy-Syams yang telah diulas di atas, “Sungguh beruntung orang yang mensucikan jiwanya dan sungguh merugi
orang yang mengotorinya” telah memberikan pemahaman kepada kita bahwa asas
masalah yang membuat segala sesuatunya menjadi benar dan baik adalah penyucian
jiwa, karena itu dengannya keberuntungan dan kebahagiaan dapat diraih. Dan
sebaliknya, yang menjadikan segala sesuatu menyimpang dan buruk adalah
pengotoran jiwa dengan mengikuti kehendak syaitan dan hawa nafsu.
Oleh sebab
itu, tidak ada jalan lain untuk meraih keselamatan kecuali dalam sepanjang
kehidupan memperhatikan dua masalah mendasar ini, karena sedikit saja kita
luput dari perhatian terhadap masalah kesucian jiwa ini maka boleh jadi segala
sesuatunya keluar dari kendali diri kita dan penyesalan tidak berarti lagi bagi
diri kita. Wallahu a’lam bisshawab.
Makassar, Juli 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar