Jumat, 18 Januari 2019

Pentingnya Penyucian Diri

Tujuan terbesar para Nabi as adalah mendidik dan menyucikan jiwa manusia. Allah SWT telah berfirman dalam Al-Quran Al-Karim, “Sesungguhnya Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika  Allah mengutus di antara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan Hikmah. Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata.” (QS. Ali Imran : 164)
Para Nabi datang untuk mengajarkan jalan penyucian diri kepada manusia, dan membantu serta membimbing mereka di dalam urusan  yang amat penting dan menentukan ini. Para Nabi diutus untuk membersihkan jiwa manusia dari akhlak-akhlak yang buruk dan sifat-sifat kebinatangan serta sebaliknya menumbuhkan akhlak yang baik dan sifat-sifat yang utama.
Para Nabi datang dalam rangka membantu manusia untuk mengenal akhlak yang tercela sekaligus mengontrol dan mengendalikan kecenderungan-kecenderungan hawa nafsunya. Mereka pun menjauhkan manusia dari berbagai keburukan dan kemunkaran dengan cara memberikan peringatan dan ancaman. Namun di sisi lain, para Nabi pun datang untuk menumbuhkan akhlak yang utama dan sifat-sifat yang terpuji pada diri manusia dengan cara memberikan petunjuk dan dorongan. Rasulullah SAW telah bersabda, “Kalian harus berpegang teguh kepada akhlak yang mulia. Karena dengan tujuan inilah aku telah diutus Allah SWT.”
Pada diri manusia, meskipun tidak lebih dari satu hakikat, namun mempunyai berbagai dimensi wujud. Allah SWT berfirman di dalam Al-Quran, “Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan Yang memulai penciptaan manusia dari tanah. Kemudian Dia menjadikan keturunannya dari saripati air yang hina (air mani). Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalam  (tubuh)nya ruh (ciptaan)-Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati (tetapi) sedikit sekali kamu bersyukur.” (QS. As-Sajadah : 7-9) Dari ayat tersebut telah digambarkan bahwa manusia adalah sebuah hakikat, namun mempunyai beberapa peringkat wujud.
Dalam diri manusia, terdapat diri jasmani, diri tumbuhan, diri kebinatangan dan diri kemanusiaan. Nah, yang mempunyai nilai dan harga  hanyalah diri kemanusiaan. Sesuatu yang menjadikan manusia menjadi manusia dan menjadikannya lebih unggul dari seluruh hewan lainnya. Allah SWT telah menggambarkan penciptaan manusia dalam Al-Quran sebagai berikut, “Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (yang berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh(rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Mahasucilah Allah, Pencipta Yang Paling Baik.” (QS. Al-Mukminun : 12-14).
Mahasuci Allah sebaik-baiknya pencipta. Dengan perantaraan ruh malakut inilah, Allah SWT telah menempatkan manusia kepada derajat yang sedemikian tinggi, sehingga turun perintah Allah SWT kepada para malaikat, “Maka apabila Kami telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan ke dalamnya ruh (ciptaan)Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud.” (QS. Al-Hijr : 29)
Dengan kedudukan manusia seperti itu, maka jika manusia hendak membangun dirinya maka dia harus membangun dan mengembangkan diri kemanusiaannya, bukan diri kebinatangan atau diri jasmaninya. Dan tujuan para nabi telah membantu dan memperkuat manusia dalam membangun dan mengembangkan sisi kemanusiaan tersebut. Para Nabi as berkata kepada manusia, “Janganlah kamu melupakan dirimu. Yaitu diri kemanusiaanmu. Karena jika kamu mengorbankan diri kemanusiaanmu demi kecenderungan-kecenderungan hewanimu, niscaya bahaya yang amat besar akan menimpamu.”
Terkait dengan pembinaan dan penyucian diri (jiwa) ini, Sayyid Kamal Haidari dalam At-Tarbiyyah ar-Ruhiyyah : Buhuts fi Jihad an-Nafs, mengulas sebuah surah yang amat relevan dalam hal ini, yakni surah Asy-Syams : “Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha penyayang, Demi matahari dan cahayanya di pagi hari, dan bulan apabila mengiringinya, dan siang apabila menampakkannya, dan malam apabila menutupinya, dan langit serta pembinaannya, dan bumi serta penghamparannya, dan jiwa serta penyempurnaannya, maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.”
Dari ayat-ayat yang penuh berkah tersebut, terdapat sejumlah catatan penting yang menunjukkan seberapa besar perhatian Al-Quran terhadap masalah penyucian diri serta  akhlak yang baik. Di antaranya adalah sebagai berikut :
Pertama, Allah SWT mendahului dengan enam atau tujuh sumpah, sebelum mengutarakan pesan, yaitu firman Allah SWT ‘Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu’. Ini menunjukkan begitu pentingnya masalah pembinaan diri, yang mengandung ajakan kepada manusia agar berpegang pada akhlak yang baik dan menjauhi akhlak yang buruk.
Kedua, Jiwa (nafs) dalam ayat ini adalah jiwa manusia. Hal ini berdasarkan firman Allah SWT: Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya. Jadi yang dimaksud bukan jiwa secara keseluruhan, baik tetumbuhan, binatang, maupun manusia, melainkan hanya manusia. Karena dialah yang diberi tugas (mukallaf) yang perbuatannya bisa menghasilkan pahala dan hukuman.
Ketiga, Ayat 9 dan 10 dari surah Asy-Syams ini menegaskan sebuah hakikat penting, bahwa manusia dapat menumbuhkan dan menyempurnakan jiwanya melalui pencarian akhlak yang baik. Jika tidak begitu, tentu kedua ayat tersebut tidak akan menunjukkan keberuntungan bagi orang yang menyucikan jiwanya dan kerugian  bagi orang yang mengotorinya.
Keempat, Dari kedua ayat tersebut juga, menampakkan metodologi Al-Quran - yang berbeda dengan literatur dan buku-buku ilmu akhlak yang lain - dalam mengajak manusia pada perbuatan-perbuatan baik atau amal-amal saleh dan akhlak yang baik. Metode yang digunakan Al-Quran adalah penegasan dan fokusnya pada pelaku dan penyandang sifat, bukan pada perbuatan dan sifat. Oleh karena itu, ayat tersebut (9 dan 10) memuji pelaku penyucian jiwa, bukan penyucian jiwa itu sendiri, dan mencela orang yang mengotori jiwa, bukan pengotoran itu sendiri.
Kelima, Al-Quran ketika mengajak manusia pada akhlak yang baik, membekalinya dengan berbagai fasilitas yang memungkinkannya mencari akhlak tersebut. Allah SWT telah menyediakan bagi manusia apa yang dibutuhkannya dalam perjalanan ini. Dia membekali kita dengan hujjah batiniah, yaitu akal yang tersembunyi atau fitrah yang ada bersama manusia sejak awal penciptaannya. Kemudian melalui akal ini, Dia menjelaskan kepada kita apa perbuatan baik itu dan apa perbuatan buruk itu, sebagaimana Dia mengilhamkan di dalam fitrah kita, apa ketakwaan itu dan apa kedurhakaan itu. Selain itu, Allah juga membekali dengan hujjah lahiriah, yaitu para rasul, para nabi, para imam dan para ulama yang saleh.
Dari penjelasan di atas telah menunjukkan pentingnya penyucian jiwa atau diri, untuk mengantarkan manusia menuju pada fitrah kemanusiaannya. Dalam tahapan penyucian diri ini, ada tiga pekerjaan yang harus dilakukan :
1.     Menyucikan diri dari keyakinan-keyakinan yang batil dan pemikiran-pemikiran yang menyimpang.
2.     Menyucikan diri dari akhlak-akhlak yang buruk.
3.     Meninggalkan dosa dan maksiat.
Keyakinan-keyakinan batil dan pemikiran-pemikiran sesat membuat diri menjadi gelap dan menyimpang dari jalan yang lurus. Orang yang memiliki keyakinan yang batil tidak mengenal jalan kesempurnaan. Mereka melangkah di dalam lembah kesesatan dan pada gilirannya, tentu tidak akan sampai pada tujuan. Apabila hati gelap, bagaimana mungkin bisa menjadi pusat pancaran cahaya suci Ilahi? Demikian juga akhlak yang buruk, dia akan memperkuat sifat-sifat kebinatangan dan secara perlahan-lahan memadamkan ruh kemanusiaan manusia. Individu seperti ini tidak akan dapat mencapai tujuan kemanusiaannya, yaitu memperoleh kesempurnaan dan kedekatan dengan Allah SWT. Begitu juga perbuatan dosa dan maksiat akan menggelapkan dan mengotori diri serta menjauhkannya dari jalan menuju kesempurnaan. Individu semacam ini pun tidak akan dapat sampai kepada tujuan akhirnya. Oleh karena itu, penyucian diri bagi kita adalah sesuatu yang amat penting dan menentukan.
Rasulullah SAW bersabda, “Kebersihan/kesucian adalah sebahagian dari iman.” Maksudnya adalah sebagian dari iman akan diperoleh dengan perantara kebersihan lahir dan sebagian lainnya dengan perantara kebersihan dan mensucikan batin dengan jalan amal-amal saleh dan akhlak yang terpuji. Thaharah dan kesucian memiliki empat tingkatan yaitu :
Pertama, Membersihkan lahir dari ketercemaran dan kotoran-kotoran. Kedua, Menjaga anggota badan dari kejahatan dan dosa-dosa. Ketiga, Membersihkan hati dari akhlak buruk dan tercela. Keempat, Membersihkan batin dari segala sesuatu selain Tuhan. Thaharah dan kesucian ini adalah thaharah para Nabi dan Shiddiqin. Dan thaharah pada setiap tingkatan-tingkatannya adalah sebagian dari perbuatan-perbuatan yang berkaitan dengan tingkatan tersebut. Hal ini adalah maqam-maqam iman, di mana setiap maqam memiliki tingkatan-tingkatan. Seorang hamba tidak akan mencapai maqam tertinggi kecuali melewati tingkatan yang paling rendah. Dan seseorang yang tidak sanggup membersihkan hati dari sifat-sifat tercela dan menyuburkannya dengan akhlak terpuji, maka dia tidak dapat meraih kebersihan batin dan menghiasinya dengan berbagai perbuatan-perbuatan yang terpuji.
Firman Tuhan dalam surah Asy-Syams yang telah diulas di atas, “Sungguh beruntung orang yang mensucikan jiwanya dan sungguh merugi orang yang mengotorinya” telah memberikan pemahaman kepada kita bahwa asas masalah yang membuat segala sesuatunya menjadi benar dan baik adalah penyucian jiwa, karena itu dengannya keberuntungan dan kebahagiaan dapat diraih. Dan sebaliknya, yang menjadikan segala sesuatu menyimpang dan buruk adalah pengotoran jiwa dengan mengikuti kehendak syaitan dan hawa nafsu.
Oleh sebab itu, tidak ada jalan lain untuk meraih keselamatan kecuali dalam sepanjang kehidupan memperhatikan dua masalah mendasar ini, karena sedikit saja kita luput dari perhatian terhadap masalah kesucian jiwa ini maka boleh jadi segala sesuatunya keluar dari kendali diri kita dan penyesalan tidak berarti lagi bagi diri kita. Wallahu a’lam bisshawab.
Makassar, Juli 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Rezim Yang Ambigu dan Problem Lingkungan di Indonesia

Permasalahan lingkungan hidup, telah mendapat perhatian besar di hampir semua negara. Ini terutama terjadi sejak dasawarsa 1970-an setelah d...