Selasa, 29 Januari 2019

Penataan Ruang dan Pembangunan Berkelanjutan, Mungkinkah? (Catatan Hari Tata Ruang 8 November 2016)


Pembangunan secara keseluruhan, pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di segala bidang yang menyangkut kehidupan manusia. Dan salah satu jargon pembangunan yang cukup sering kita dengarkan belakangan ini, ialah pembangunan berkelanjutan atau sustainable development. Idealnya memang, pembangunan harus terjaga keberlangsungannya, agar manfaatnya betul-betul bisa dirasakan oleh seluruh masyarakat. Senada dengan hal itu, komunitas perencana pun menggaungkan slogan penataan ruang yang berkelanjutan. Mengapa gagasan ini menjadi penting untuk diungkapkan? Karena, pembangunan dan penataan ruang selama ini, terkesan dilaksanakan secara terpisah dan berdiri sendiri.
Apa yang dimaksud dengan pembangunan berkelanjutan dan sejak kapan istilah tersebut muncul? Raditya Dwi Indrawan dalam tulisannya menyebutkan bahwa pembangunan berkelanjutan diperkenalkan pertama kali dalam World Conservation Strategy (Strategi Konservasi Dunia) yang diterbitkan oleh United Nations Environment Programme (UNEP), International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN) dan World Wide Fund for Nature (WWF) pada 1980.
Pada laporan Brundtland dari PBB (1987), disebutkan yang dimaksud pembangunan berkelanjutan adalah proses pembangunan (lahan, kota, bisnis, masyarakat, dsb) yang berprinsip “memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi masa depan.” Dalam pengertian yang lain, pembangunan berkelanjutan adalah suatu konsep pembangunan yang dapat berlangsung secara terus menerus dan konsisten dengan menjaga kualitas hidup, tidak merusak lingkungan serta mempertimbangkan cadangan sumber daya yang ada untuk kebutuhan masa depan.
Sementara itu, dalam Buletin Tata Ruang, Budimanta menuturkan bahwa pembangunan berkelanjutan adalah suatu cara pandang mengenai kegiatan yang dilakukan secara sistematis dan terencana, dalam kerangka peningkatan kesejahteraan, kualitas kehidupan dan lingkungan umat manusia, tanpa mengurangi akses dan kesempatan kepada generasi yang akan datang untuk menikmati dan memanfaatkannya.
Adapun tujuan dari pembangunan berkelanjutan dalam pandangan Prof Emil Salim, adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan dan aspirasi manusia. Pembangunan yang berkelanjutan pada hakikatnya ditujukan untuk pemerataan antar generasi pada masa kini maupun masa mendatang.
Sementara itu, Penyelenggaraan penataan ruang secara umum juga bertujuan untuk mewujudkan ruang  yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan, sesuai yang tertera dalam Pasal 3 UU.No 26 Tahun 2007. Dengan demikian, baik penataan ruang berkelanjutan maupun pembangunan berkelanjutan, menginginkan terjadinya kontinuitas, keberlangsungan serta harmonisasi, yang menjadi misi utama dari keduanya. Hanya saja, idealitas yang diharapkan tersebut, tidak semudah dalam membahas dan membicarakannya, di saat akan diwujudkan atau direalisasikan.
Setidaknya, ada beberapa hal yang menjadi tantangan, hambatan serta kendala, ketika penataan ruang dan pembangunan berkelanjutan itu akan diimplementasikan, di antaranya :
Pertama, masih sulitnya terjadi sinkronisasi antara berbagai rencana pembangunan yang ada. Perencanaan yang terpadu dan holistik, sepertinya hanya sebatas di atas kertas. Ego sektoral masih sangat kental dirasakan di antara instansi pelaksana perencanaan pembangunan. Contoh sederhana saja yang sering kali kita  jumpai di tengah-tengah masyarakat, adalah betapa tidak terkordinasinya pekerjaan perbaikan jalan, saluran drainase dan juga instalasi air bersih serta telekomunikasi.
Kedua, dalam proses pilkada atau suksesi kepala daerah, belum ada regulasi dari penyelenggara pemilu, yang mengatur tentang wajibnya pasangan calon dalam merumuskan visi dan misinya untuk menyelaraskan serta mengsinkronisasikan dengan aturan dan regulasi perencanaan pembangunan yang sudah ada. Padahal, visi-misi calon terpilihlah yang nantinya akan dimasukkan sebagai Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD). Akibat dari rumusan yang semata-mata dibuat sesuai keinginan dan selera pasangan calon, tanpa mempertimbangkan regulasi perencanaan pembangunan sebelumnya, maka alih-alih perencanaan pembangunan tersebut bisa terlaksana secara berkelanjutan, yang terjadi kemudian justru adalah kontradiksi antara satu rencana dengan rencana pembangunan yang lain. Sehingga tidak jarang kita temukan, RPJMD suatu daerah tidak sejalan dengan RPJPD-nya padahal sesuai aturan yang ada RPJMD mesti merupakan penjabaran dari RPJPD, begitu pula terkadang tumpang tindih dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)-nya.
Sejatinya, menurut Prof. Eko Budihardjo dalam Buletin Tata Ruang seperti dikutip oleh Hadi Wahyono, bahwa rencana tata ruang – sebagai salah satu tahapan  penataan ruang – adalah suatu bentuk kebijakan publik yang dapat mempengaruhi keberlangsungan proses pembangunan berkelanjutan. Namun masih banyak masalah dan kendala dalam implementasinya yang menimbulkan berbagai konflik kepentingan. Konflik yang biasa terjadi antara lain : sektor formal dan informal atau sektor modern dan tradisional di perkotaan. Contohnya: fasilitas publik seperti taman kota, harus bersaing untuk tetap eksis dengan bangunan komersial yang akan dibangun, serta bangunan bersejarah yang semakin menghilang berganti dengan bangunan modern karena alasan ekonomi.
Selain itu, satu hal yang mesti diperhatikan pula, adalah bahwa posisi penduduk atau masyarakat  merupakan bagian yang sangat penting dan titik sentral dalam penataan ruang dan pembangunan berkelanjutan. Karena peran penduduk, sesungguhnya sebagai subjek dan objek dari perencanaan dan pembangunan apapun. Sebab, jumlah penduduk yang besar dengan pertumbuhan yang cepat, tetapi memiliki kualitas yang rendah, akan memperlambat tercapainya kondisi ideal yang diinginkan.
Bila hal-hal tersebut di atas, selalu saja terjadi dan terus dilakukan, maka penataan ruang dan pembangunan berkelanjutan hanya akan ada secara konseptual, tapi tidak dapat terwujud dalam realitas dengan sesungguhnya. Wallahu a’lam bisshawab
FAJAR Makassar, November 2016

Pilkada dan Pembangunan Berkelanjutan (Sebuah Catatan untuk KPU Sulawesi Selatan)

Kurang setahun dari sekarang, kita akan menyaksikan kembali gelaran pemilihan kepala daerah atau Pilkada secara serentak. Aromanya pun sudah sangat terasa saat ini. Setiap pelaksanaan pilkada, masyarakat tentu menginginkan munculnya pemimpin-pemimpin daerah yang dapat memberikan harapan akan perubahan, perbaikan serta kemajuan dalam berbagai aspek kehidupan yang berlangsung di daerahnya. Namun, yang terjadi selama ini, alih-alih mewujudkan berbagai harapan masyarakat, justru yang seringkali dirasakan adalah setiap kali pilkada usai, selalu saja menyisakan berbagai persoalan di bidang pembangunan.
Hajatan pemilu atau pilkada, yang merupakan media untuk menyalurkan hak-hak politik masyarakat, menjadi tahapan yang menentukan kelangsungan pemerintahan dalam kehidupan bernegara dan berbangsa. Proses tersebut, tidak hanya melahirkan pemimpin dan kepala daerah yang akan menakhodai sebuah pemerintahan, tetapi juga sangat penting untuk memastikan jalannya roda pembangunan daerah ke arah yang diinginkan.
Pada dimensi yang lain, dalam beberapa dekade belakangan ini, pembangunan selalu diarahkan pada upaya keberlangsungan dan keberlanjutannya. Kini, ramai digaungkan istilah sustainable development atau pembangunan berkelanjutan. Pada September 2015, bertempat di Markas PBB New York Amerika Serikat, dilakukan pengesahan dokumen Sustainable Development Goals (SDGs), yang dihadiri perwakilan dari 193 negara. Terkait dengan hal itu, untuk menindaklanjuti pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs)/Tujuan Pembangunan Berkelanjutan, maka pada 4 Juli 2017,  Presiden RI menandatangani Peraturan Presiden (Perpres) No. 59 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB). 
Pertanyaan kemudian, apakah dengan regulasi yang baru tersebut, sudah dapat memberikan jaminan tercapainya Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB)? Lantas, di mana kaitan antara proses Pilkada dengan Pembangunan Berkelanjutan yang akan dicapai? Apakah partai politik dan calon kepala daerah pada setiap pelaksanaan pilkada, memiliki orientasi terhadap pembangunan berkelanjutan atau hanya semata-mata mengejar kemenangan dalam kontestasi tersebut? Sejumlah pertanyaan ini, perlu kita pikirkan bersama dalam rangka menciptakan pilkada yang lebih berkualitas serta arah pembangunan yang lebih jelas.
Setelah mencermati proses pemilu dan pilkada yang telah berlangsung selama ini, terkhusus di wilayah Provinsi Sulawesi Selatan, tampaknya masih ada sejumlah persoalan yang mesti dibenahi, demi mewujudkan jalannya roda pemerintahan dan pembangunan secara baik dan benar. Beberapa hal yang perlu kita cermati secara bersama antara lain :
Pertama, Pembangunan berkelanjutan (sustainable development) yang kita harapkan bersama, akan sangat sulit terwujud, disebabkan karena sinkronisasi dari rumusan pembangunan yang dibuat oleh kepala daerah, seringkali tidak dilakukan.
Kedua, Perumusan visi-misi calon kepala daerah, mayoritas tidak sejalan dengan visi-misi daerah yang akan dipimpinnya. Akibat dari hal tersebut, maka yang terjadi berikutnya adalah calon kepala daerah yang mengikuti kontestasi pemilu, hanya mengumbar janji-janji yang kurang realistis, di mana pada dasarnya akan sulit diimplementasikan, sebab tidak sesuai dengan rumusan rencana pembangunan yang sudah ada. Dan hal ini tentu tidak baik dalam proses demokrasi yang sementara kita bangun bersama.  
Ketiga, Masih kurangnya pemahaman bagi setiap pasangan calon, bahwa dalam merumuskan tahapan pembangunan yang ingin ditawarkan, haruslah berlandaskan pada pedoman yang jelas dan sudah tersedia.  
Keempat, Kerancuan-kerancauan yang telah terjadi ini, tidak boleh dibiarkan berlangsung secara terus menerus, karena akan berdampak pada proses pembangunan secara keseluruhan.
Dengan memperhatikan hal di atas, maka diperlukan instrumen yang dapat memastikan terkawalnya pelaksanaan pembangunan secara berkelanjutan. Pada konteks ini, KPU sebagai penyelenggara pemilu atau pilkada, memiliki peran yang sangat penting dan krusial. Selama ini, KPU boleh jadi belum menjadikan perhatian dan prioritas pada sinkronisasi dan penyelarasan rumusan visi-misi setiap calon kepala daerah, dengan kebijakan pembangunan serta kebijakan spasial yang ada pada daerah yang bersangkutan.  Sinkronisasi tersebut menjadi sangat penting, sebab rumusan visi-misi dari calon terpilih, akan dijadikan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD), yang selanjutnya menjadi Peraturan Daerah (Perda). Karena itulah, dalam PP No.59 Tahun 2017 tersebut,  dinyatakan perlunya penyelarasan antara Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM).
Terkait itu, maka penulis selaku Pengurus Ikatan Ahli Perencanaan Indonesia (IAP) Sulawesi Selatan, sebagai bagian dari komponen masyarakat yang berkeinginan turut serta berkontribusi dalam proses pemilu dan pilkada di daerah ini, ingin mengajukan usulan dan masukan kepada Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Sulawesi Selatan, selaku penyelenggara pesta demokrasi, agar dalam pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) pada waktu mendatang, untuk menambahkan aturan  KPU, yang menjadikan RPJPD dan RTRW sebagai rujukan utama dan syarat  bagi setiap kontestan, dalam merumuskan visi dan misi calon kepala daerah. Karena tanpa hal tersebut, maka pembangunan berkelanjutan seperti yang diharapkan, hanya sebatas slogan dan mustahil dapat dicapai.
FAJAR Makassar, Juli 2017

Pendekatan Humanis dalam Pembangunan dan Penataan Ruang, Perlukah?

Dalam era sains modern dan masyarakat teknologis, ada dua prinsip yang mengarahkan semua usaha dan pemikiran setiap orang dalam rencana kerja, yaitu; Pertama, kepercayaan manusia pada dua variabel, “produktivitas” dan “efisiensi”. Kedua, prinsip dengan semboyan, “Sesuatu harus dikerjakan karena secara teknis mungkin dikerjakan”. Prinsip tersebut sesungguhnya mengabaikan nilai-nilai yang dikembangkan dalam tradisi humanis. Tradisi humanis mengajarkan bahwa, “Sesuatu harus dikerjakan karena dibutuhkan manusia.” Demikianlah diungkapkan oleh Erich Fromm dalam The Revolution of Hope-nya.
Dari kutipan di atas, kita mencoba untuk memahami apa yang dimaksudkan dengan humanis atau humanisme. Secara sederhana, humanis bisa dimaknai sesuatu yang berhubungan dengan manusia. Karenanya, pendekatan humanis merupakan pendekatan manusiawi atau yang berfokus pada dimensi manusianya. Pada ranah filsafat, humanisme terkadang disebutkan sebagai aliran pemikiran yang mengedepankan nilai dan kedudukan manusia serta menjadikannya kriteria dalam berbagai hal. Dalam ilmu psikologi, dikenal  aliran psikologi humanistik yang disebut sebagai revolusi ketiga  dalam psikologi, di mana menjelaskan aspek eksistensi manusia yang positif dan menentukan, yang tidak dilakukan di era sebelumnya pada aliran psikoanalisis dan psikologi behaviorisme.
Pada perkembangan pembangunan dan penataan ruang yang terjadi selama ini, pengetahuan mengenai manusia, seringkali tidak menjadi prioritas untuk dijadikan sebagai salah satu pendekatan. Bahasan Manusia kerapkali hanya terdapat dalam angka-angka statistik pada aspek kependudukan. Padahal, pendekatan humanis, adalah sebuah pendekatan yang terkait dengan diri kita sendiri, di mana manusia adalah objek dan sekaligus sebagai subjek perencanaan dan pembangunan. Karenanya, dalam kesempatan lain, Erich Fromm mendakukan bahwa manusia sebagai perencana, harus menyadari peranannya sebagai bagian dari seluruh sistem. Manusia sebagai pembangun dan penganalisis sistem, mesti menjadikan dirinya sendiri sebagai obyek sistem yang ia analisis. Ini berarti bahwa pengetahuan manusia tentang kodratnya dan kemungkinan-kemungkinan manifestasinya seyogyanya menjadi salah satu data dasar bagi berbagai perencanaan. 
Saat ini, kecenderungan pembangunan dan penataan ruang kita, masih mementingkan aspek ekonomi ketimbang memperhatikan faktor manusia, sosial serta budaya. Dan bahkan alam serta lingkungan pun, seringkali diabaikan. Padahal pembangunan dan penataan ruang yang tidak humanis, sangat berpotensi menyebabkan konflik sosial serta krisis lingkungan. Konflik tersebut akan terjadi, manakala pembangunan dan penataan ruang menemui kegagalan dalam menciptakan kehidupan yang manusiawi (humanis). Sebagian kecil dari hal itu, bisa kita temukan di berbagai kota dan daerah, di antaranya: ketidakadilan dalam penguasaan dan pemanfaatan ruang, semakin berkurangnya ruang publik atau ruang terbuka yang dapat digunakan masyarakat berinteraksi secara nyaman, sarana transportasi yang terus bersoal; dari masalah kemacetan, area parkir yang langka serta fungsi pedestrian yang tidak semestinya. Boleh jadi, problematika semacam inilah yang menginspirasi lahirnya gerakan-gerakan kritis para intelektual dan aktivis perkotaan, seperti Henri Lefebvre, David Harvey dan juga Neil Smith. “Right to the City” atau Hak atas Kota misalnya, merupakan sebuah perspektif gerakan  dalam melawan proses pembangunan perkotaan ala Neoliberalisme, seperti privatisasi dan komersialisasi  ruang perkotaan serta mendominasinya kawasan industri dan perdagangan. Masyarakat akhirnya mengalami krisis ruang publik. Mungkin benar yang diujarkan oleh Yasraf Amir Piliang, bahwa salah satu alasan orang menyenangi cyberspace, karena ia dianggap dapat menggantikan keberadaan ruang publik (public space), yang telah semakin menghilang di dalam masyarakat kita.
Pendekatan Humanis Sebuah Kemestian
Dengan merujuk apa yg diuraikan sebelumnya, maka nampaknya pendekatan humanis ini, menjadi pilihan yang mesti dijadikan pertimbangan serius dalam semua proses pembangunan dan penataan ruang kita. Sebab, bagi Ali Syariati, akan sia-sia saja bila para insinyur, arsitek, atau planner, dengan dasar prinsip teknik dan teknologi yang tinggi serta canggih, berbicara mengenai ruang atau rumah yang paling baik dan cocok, sebelum memahami karakter, kepribadian dan kebutuhan pokok manusia yang akan menghuni. Memahami manusia, memang bukan perkara mudah, bahkan merupakan masalah paling rumit di alam semesta. Karena itu, memerlukan curahan perhatian yang besar.
Oleh karena itu, pemerintah atau penguasa sebagai penyelenggara pembangunan dan penataan ruang, harus lebih peka dan cermat dalam mengungkap keinginan serta kebutuhan manusia (masyarakat) di daerahnya masing-masing. Tidak mereflikasi kecongkakan Joseph Condrad pada bukunya Nostromo: A Tale of the Seabord, yang dinukil Budayawan D.Zawawi Imron dalam “Gumam-Gumam Dari Dusun-Indonesia di Mata Seorang Santri”. Joseph menulis : “Kita (yakni orang Barat atau penjajah) akan menjalankan urusan dunia, tak peduli apakah dunia suka atau tidak. Kita akan menentukan segala-galanya.”
Pendekatan Pembangunan dan penataan ruang, sangat membutuhkan rujukan nilai-nilai transenden dan hati nurani, agar dalam era globalisasi ini, tak ada manusia yang terpinggirkan dan merasa dihina. Dengan demikian, irama pembangunan dan penataan ruang kita akan terasa lebih manusiawi. Wallahu a’lam bisshawab.
 FAJAR Makassar, Februari 2018

Tata Ruang dan Komitmen Kepala Daerah


Tahun 2018 ini, Indonesia memasuki tahun politik, di mana 171 daerah akan melaksanakan Pilkada secara serentak. Provinsi Sulawesi Selatan sendiri, akan melangsungkan pemilihan gubernur/wakil gubernur serta kepala daerah di 12 kabupaten/kota. Masyarakat pada daerah bersangkutan, tentu saja berharap munculnya pemimpin-pemimpin daerah yang dapat membawa perbaikan berarti dalam upaya pembangunan di daerah. Salah satu aspek yang sangat penting ditelaah dan dicermati pada upaya perbaikan dalam proses pembangunan, adalah persoalan menyangkut penataaan ruang.
Masalah penataan ruang, yang mencakup perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang serta pengendalian pemanfaatan ruang, memang terkadang masih terabaikan dalam penyelenggaran pemerintahan di berbagai daerah, kendati pun penataan ruang merupakan bagian dari isu strategis pada tingkat nasional. Di tingkat daerah pun, semisal Perda No.7 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Perda No.10 Tahun 2008 mengenai Rencana pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) Provinsi Sulawesi Selatan, tata ruang juga menjadi isu strategis daerah di Sulawesi Selatan. Selain itu, di dalamnya juga tercantum bahwa penataan ruang adalah salah satu permasalahan pembangunan yang bersifat pelayanan dasar wajib dan perlu menjadi perhatian. 
Sebagaimana lazimnya, pembangunan yang tidak disertai perencanaan akan berdampak kepada permasalahan lebih kompleks yang dapat berimplikasi terhadap keberlangsungan kehidupan di sebuah daerah. Oleh karenanya, rencana penataan ruang mesti disusun dan dijadikan acuan dalam menjalankan roda pembangunan. Ironisnya, di setiap perhelatan pilkada, tidak banyak calon kepala daerah, saat merumuskan visi, misi dan programnya, berupaya melakukan penyelarasan atau sinkronisasi dengan dokumen perencanaan pembangunan dan perencanaan spasial yang ada. Baik terhadap RPJPD, terlebih lagi dengan RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah). Padahal, di tahap awal inilah, masyarakat bisa menilai komitmennya pada penataan ruang serta pembangunan berkelanjutan di daerah yang akan dipimpinnya.
Menanti Komitmen
Jika kita menengok UU No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, telah disebutkan dalam Pasal 7 poin 2, bahwa negara memberikan kewenangan dalam penyelenggaraan penataan ruang kepada pemerintah atau pemerintah daerah. Wewenang dimaksud meliputi pengaturan, pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan penataan ruang di wilayahnya masing-masing. Jadi sejatinya, kepala daerahlah yang memiliki tanggung jawab besar dalam mewujudkan penataan ruang yang lebih baik. Namun pada kenyataannya, masih terkadang kita temukan ada kepala daerah yang belum menjalankannya. Itu disebabkan karena tidak semua kepala daerah memiliki pemahaman yang baik soal tata ruang. Seperti diketahui, masih banyak kepala daerah yang belum mengenal konsep pembangunan yang berlandaskan pada perencanaan tata ruang. Akibatnya, tidak mengherankan bila kita temukan, ada kepala daerah menuding RTRW menghambat pembangunan atau menghambat mega proyek yang akan dilakukannya.
Dalam konteks seperti ini, komitmen dari kepala daerah dengan kedudukan serta posisinya yang begitu penting, diharapkan mampu menjalankan kebijakan strategisnya yang sejalan dengan aturan, untuk perbaikan dan penyelenggaraan pembangunan serta pemerintahan yang baik. Demikian yang pernah dinyatakan oleh Filosof Muslim Al-Farabi saat menawarkan konsep “Kota Utama-nya” (Al-Madinah Al-Fadhilah) dengan mengatakan bahwa, “Kota utama adalah kota yang diperintah oleh pemimpin tertinggi yang “… benar-benar memiliki berbagai ilmu dan setiap jenis pengetahuan … Ia mampu memahami dengan baik segala yang harus dilakukannya. Ia mampu membimbing dengan baik sehingga orang melakukan apa yang diperintahkannya. Ia mampu memanfaatkan orang-orang yang memiliki kemampuan. Ia mampu menentukan, mendefinisikan dan mengarahkan tindakan-tindakan ke arah kebahagiaan.”
Ungkapan Al-Farabi di atas, menunjukkan betapa urgennya posisi dan komitmen seorang kepala daerah. Dr. Karlina Supelli berujar, “Ciri kematangan seseorang adalah saat dia sanggup menjalankan suatu pekerjaan bukan karena dia suka, tetapi karena dia berkomitmen.” Komitmen dari kepala daerah terkait penataan ruang begitu diharapkan, karena tantangan saat ini begitu besar. Sebagai contoh, dengan adanya undang-undang otonomi yang memberikan kewenangan kepada daerah untuk mengelola sumber daya alamnya sendiri, menjadikan daerah seringkali mengeksploitasi SDA secara berlebihan tanpa pertimbangan serta mengabaikan keseimbangan maupun keberlangsungan pembangunan. Hal seperti ini, berpotensi menyebabkan terjadinya konflik kepentingan dalam hal pemanfaatan dan penggunaan ruang. 
Pada akhirnya, komitmen kepala daerah sangat menentukan dalam mewujudkan tata ruang yang baik, berkeadilan dan manusiawi, yang diawali dengan keberanian menegakkan regulasi dan aturan secara benar, terkait dengan tata ruang. Pertanyaannya, akankah hasil dari pilkada serentak nanti, melahirkan kepala daerah yang berkomitmen, menjadikan tata ruang sebagai ‘panglima’ dalam pembangunan di daerahnya masing-masing? Wallahu a’lam bisshawab.
FAJAR Makassar, Februari 2018

Jumat, 18 Januari 2019

Manusia dan Fitrahnya

Islam memiliki pandangan yang optimistik tentang manusia. Dalam ajaran Islam, manusia yang lahir dalam keadaan fitri, suci dan bersih adalah merupakan makhluk terpuji dan dimuliakan meskipun pada kondisi-kondisi tertentu manusia dipandang sebagai makhluk yang rendah. Dalam bukunya Perspektif Al-Quran tentang Manusia dan Agama, Murtadha Muthahhari telah menunjukkan bagaimana Islam dan Al-Quran memandang manusia. Berikut ini adalah sebagian ayat-ayat Al-Quran yang dikutip dan dianalisis olehnya berkenaan dengan masalah tersebut :
·        Manusia adalah khalifah Tuhan di bumi.
Ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di bumi.” Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan khalifah di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah…………” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (QS.2:30).
Dan Dia-lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi………., untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. (QS.6:165)
·        Manusia mempunyai kecenderungan dekat dengan Tuhan. Dengan kata lain, manusia sadar akan kehadiran Tuhan jauh di dasar sanubari mereka. Jadi segala keraguan dan keingkaran kepada Tuhan muncul ketika manusia menyimpang dari fitrah mereka sendiri.
Ingatlah, ketika Tuhanmu mengeluarkan anak-anak keturunan Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Benar (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi.” (QS.30:43)
Oleh karena itu hadapkanlah wajahmu kepada keyakinan yang lurus sebelum datang dari Allah suatu hari  yang tidak dapat ditolak kedatangannya. (QS.30:43)
·        Manusia dalam fitrahnya memiliki sekumpulan unsur surgawi yang luhur, yang berbeda dengan unsur-unsur badani yang ada pada binatang, tumbuhan dan benda-benda tak bernyawa. Unsur-unsur itu merupakan suatu senyawa antara alam nyata dan metafisis, antara rasa dan nonrasa(materi), antara jiwa dan raga.
(Dialah) yang menciptakan segala sesuatu dengan sebaik-baiknya, dan yang memulai penciptaan manusia dari lempung, kemudian Dia menjadikan keturunannya dari saripati air yang hina (air mani), kemudian menyempurnakannya dan meniupkan ke dalam (tubuh)nya ruh-Nya…(QS.32:7-9)
·        Penciptaan manusia benar-benar telah diperhitungkan secara teliti, bukan suatu kebetulan. Karenanya manusia merupakan suatu makhluk pilihan.
Kemudian Tuhannya memilihnya, menerima tobatnya dan membimbingnya. (QS.20:122)
·        Manusia bersifat bebas dan merdeka. Mereka diberi kepercayaan penuh oleh Tuhan, diberkahi dengan risalah yang diturunkan melalui para nabi, dan dikaruniai rasa tanggung jawab. Mereka diperintahkan untuk mencari nafkah di muka bumi dengan inisiatif dan jerih payah mereka sendiri, mereka pun bebas memilih kesejahteraan atau kesengsaraan bagi dirinya.
Sesungguhnya telah Kami tawarkan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, tetapi mereka semua enggan memikulnya dan mereka khawatir akan mengkhianatinya. Manusialah yang mau memikul amanat itu, sungguh ia sangat zalim dan bodoh. (QS.33:72)
Sesengguhnya  Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur  yang hendak Kami uji (dengan perintah dan larangan), karena itu Kami jadikan ia mendengar dan melihat, ke jalan lurus Kami telah membimbingnya, ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir. (QS.76:2-3)
·         Manusia dikaruniai pembawaan yang mulia dan martabat. Tuhan, pada kenyataannya, telah menganugrahi manusia keunggulan-keunggulan atas makhluk-makhluk lain. Manusia akan menghargai dirinya sendiri hanya jika mereka mampu merasakan kemuliaan dan martabat tersebut, serta mau melepaskan diri mereka dari kepicikan segala jenis kerendahan budi, penghambaan dan hawa nafsu.
Sesungguhnya Kami telah muliakan anak-anak Adam, Kami angkat mereka di darat dan di lautan…., dan Kami lebihkan mereka  dengan kelebihan yang telah Kami ciptakan. (QS.17:70)
·        Manusia memiliki kesadaran moral. Mereka dapat membedakan yang baik dari yang jahat melalui inspirasi fitri yang ada pada mereka.
Demi jiwa dan penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah telah mengilhamkan ke dalam jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketaqwaannya. (QS.91:7-8)
·        Jiwa manusia tidak akan pernah damai, kecuali dengan mengingat Allah. Keinginan mereka tidak terbatas, mereka tidak pernah puas dengan apa yang telah mereka peroleh. Di lain pihak, mereka lebih berhasrat untuk ditinggikan ke arah perhubungan dengan Tuhan Yang Maha Abadi.
(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hatinya menjadi tentram dengan mengingat Allah. (QS.13:28)
Hai manusia, sesungguhnya kamu telah bekerja dengan sungguh-sungguh untuk mencapai Tuhanmu, maka kamu pasti menemukan-Nya. (QS.84:6)
·        Segala bentuk karunia duniawi diciptakan untuk kepentingan manusia. Jadi manusia berhak memanfaatkan itu semua dengan cara yang sah.
Dialah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu….. (QS.2:29)
Dan Dia telah merundukkan untukmu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. (QS.45:13)
·        Tuhan menciptakan manusia agar mereka menyembah-Nya. Tunduk patuh kepada Tuhan menjadi tanggung jawab manusia.
Aku tidak menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka menyembah-Ku. (QS.51:56)
Demikianlah pandangan Islam dan Al-Quran tentang manusia, disamping hal positif terdapat pula sisi negatif pada dirinya. Manusia berulang-kali diangkat derajatnya, berulang-kali pula direndahkan. Mereka dinobatkan jauh menggungguli alam surga, bumi dan bahkan para malaikat, tetapi pada saat yang sama, mereka bisa tak lebih berarti dibandingkan dengan setan terkutuk dan binatang jahannam sekalipun. Manusia dihargai sebagai makhluk yang mampu menaklukkan alam, namun bisa juga mereka merosot menjadi “yang paling rendah dari segala yang rendah.”
Manusia memiliki dua “diri”, diri hewani dan diri insani. Akan tetapi, nilai manusia ditentukan oleh diri insaninya, bukan oleh diri hewaninya. Manusia, meskipun dia seekor hewan dan harus memperhatikan keperluan-keperluan kehidupan hewaninya, namun dia tidak datang ke dunia ini untuk hidup sebagai hewan, melainkan  dia datang ke dunia ini justru untuk menggunakan kehidupan hewaninya bagi penyempurnaan kehidupan kemanusiaan.
Pada setiap dari dua sisi kehidupannya – hewani dan insan – manusia mempunyai berbagai kebutuhan, yang mana dasar-dasarnya telah tersedia pada dirinya. Manusia menginginkan kelangsungan hidupnya, dan untuk itu mau tidak mau dia juga harus terikat dengan keperluan-keperluan kehidupan – hewani – tersebut. Akan tetapi, manusia harus ingat, kehidupan hewani hanya merupakan mukadimah dan bukan tujuan, hanya cabang dan bukan pokok atau utama. Sebab itu, jika seseorang menganggap kehidupan hewani sebagai sesuatu yang pokok, dan bekerja siang dan malam untuk memenuhi keinginan-keinginan dan kecenderungan-kecenderungan hewaninya, serta menjadikan makan, minum, bersolek dan memperturutkan hawa nafsunya sebagai tujuan, maka berarti dia telah terjerumus ke dalam kesesatan. Sebab, dia telah mencampakkan ruh malakut dan akal kemanusiaannya. Individu semacam ini tidak dapat dihitung sebagai manusia, melainkan hewan yang berwajah manusia. Dia mempunyai akal, namun akalnya sudah dikucilkan sedemikian rupa sehingga tidak mampu lagi mengenal dan mengikuti nilai-nilai dan keutamaan-keutamaan kemanusiaan. Dia mempunyai mata dan telinga namun tidak dapat melihat dan mendengar kebenaran. Al-Quran menyebut individu semacam ini sebagai hewan, bahkan lebih sesat dari hewan. Karena, hewan tidak punya akal yang akibatnya  dia tidak dapat memahami sesuatu. Sementara individu ini mempunyai akal, namun dia tidak dapat memahami sesuatu. Sekaitan dengan hal ini, kita dapat merujuk dalam Al-Quran surah Al-Qashash [28] : 50 dan surah Al-A’raf [7] : 179.
Betapa meruginya orang yang mengorbankan diri malakut dan kesempurnaan kemanusiaannya demi keinginan-keinginan diri dan kehidupan hewaninya. Dia menukar diri kemanusiaannya dengan kelezatan-kelezatan hewani. Dalam Ghurar al-Hikam, Amirul mukminin Ali bin Abi Thalib kw berkata, “Orang yang tertipu adalah orang yang sibuk dengan urusan dunianya dan menyia-nyiakan bagian akhiratnya.” Senada dengan itu, dalam Nahjul Balaghah Imam Ali berkata , “Sungguh merupakan sebuah perniagaan yang amat merugikan ketika seseorang memandang dunia sebagai sesuatu yang berharga bagi dirinya, dan kemudian dia menukarnya dengan apa yang dimilikinya di sisi Allah SWT.”
Jika manusia merujuk kepada fitrahnya yang suci dan kesempurnaan dirinya, dan jauh dari hawa nafsunya, maka dia dengan baik akan mengenal nilai-nilai akhlak yang mulia dan juga nilai-nilai kebalikannya yang rendah. Semua manusia pada setiap zaman demikian keadaannya. Jika sebagian manusia tidak dapat memahami nilai-nilai seperti ini, itu tidak lain disebabkan hawa nafsunya telah memadamkan cahaya akalnya. Dan Al-Quran Al-Karim telah mengatakan bahwa pengenalan  dan pemahaman terhadap nilai-nilai utama dan nilai-nilai rendah merupakan sesuatu yang fitri bagi manusia. Para Nabi as diutus untuk membangunkan fitrah manusia. Mereka datang membimbing dan membantu manusia dalam mengenal nilai-nilai keutamaan, dalam melaksanakan nilai-nilai tersebut untuk meniti tangga-tangga kesempurnaan, dan dalam mencapai kedudukan yang dekat dengan Allah SWT. Mereka diutus untuk mengarahkan manusia kepada kedudukan tinggi kemanusiaan dan pentingnya menjaga serta menghidupkan nilai-nilai tinggi kemanusiaan. Mereka datang untuk mengatakan kepada manusia bahwa Anda bukan seekor hewan, melainkan seorang manusia yang lebih mulia dari malaikat sekalipun. Urusan-urusan duniawi tidak sepadan dengan kedudukan malakut Anda. Anda jangan sampai jual diri Anda dengannya. Dalam Tuhaf al-Uqul, dikisahkan seseorang bertanya kepada Imam As-Sajjad, “Siapakah manusia yang paling mulia dan paling tinggi?” Imam As-Sajjad menjawab, “Manusia yang paling mulia dan paling tinggi adalah manusia yang tidak memandang dunia sebanding dengan kemuliaan dirinya.” 
Oleh karena itu, pada gilirannya  kehidupan manusia, secara umum terbagi atas tiga model kehidupan, yaitu :
1.     Model Kehidupan Tumbuh-tumbuhan, dimana yang dipikirkan hanyalah seputar kenikmatan jasadi. Bagaimana mendapatkan makanan yang enak, berpakaian yang bagus dan berketurunan.
2.     Model Kehidupan Hewani, yakni disamping kehidupan tumbuh-tumbuhan, dia juga memiliki gerak iradah. Dengan kelebihan ini, ia dapat memenuhi keinginan-keinginannya yang lebih besar. Tapi dalam aspek nilai, dia tidak dapat memperoleh nilai-nilai mulia yang lebih tinggi dari tabiatnya.
3.     Model Kehidupan Insani, dimana selain yang terdapat pada dua model sebelumnya, dia memiliki akal yang mengarahkannya pada kehidupan berakal dan berbudi serta penyembahan kepada Sang Khaliq. Oleh sebab itu, jika ada manusia yang tidak dalam kehidupan berakal, berbudi dan menyembah Tuhan, maka kehidupannya tidak lebih dari kehidupan tumbuh-tumbuhan atau hewani, bahkan menurut Al-Quran boleh jadi lebih rendah dari keduanya atau bahkan lebih rendah dari batu.
Akhirnya, makhluk manusia sendirilah yang harus menetapkan sikap dan menentukan nasib akhir mereka sendiri dan ingin menjadi seperti apa. Oleh Tuhan kita terlahir sebagai manusia, maka akankah kita kembali lagi sebagai manusia? Wallahu a’lam bisshawab.
Makassar, Juli 2015

Pentingnya Penyucian Diri

Tujuan terbesar para Nabi as adalah mendidik dan menyucikan jiwa manusia. Allah SWT telah berfirman dalam Al-Quran Al-Karim, “Sesungguhnya Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika  Allah mengutus di antara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan Hikmah. Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata.” (QS. Ali Imran : 164)
Para Nabi datang untuk mengajarkan jalan penyucian diri kepada manusia, dan membantu serta membimbing mereka di dalam urusan  yang amat penting dan menentukan ini. Para Nabi diutus untuk membersihkan jiwa manusia dari akhlak-akhlak yang buruk dan sifat-sifat kebinatangan serta sebaliknya menumbuhkan akhlak yang baik dan sifat-sifat yang utama.
Para Nabi datang dalam rangka membantu manusia untuk mengenal akhlak yang tercela sekaligus mengontrol dan mengendalikan kecenderungan-kecenderungan hawa nafsunya. Mereka pun menjauhkan manusia dari berbagai keburukan dan kemunkaran dengan cara memberikan peringatan dan ancaman. Namun di sisi lain, para Nabi pun datang untuk menumbuhkan akhlak yang utama dan sifat-sifat yang terpuji pada diri manusia dengan cara memberikan petunjuk dan dorongan. Rasulullah SAW telah bersabda, “Kalian harus berpegang teguh kepada akhlak yang mulia. Karena dengan tujuan inilah aku telah diutus Allah SWT.”
Pada diri manusia, meskipun tidak lebih dari satu hakikat, namun mempunyai berbagai dimensi wujud. Allah SWT berfirman di dalam Al-Quran, “Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan Yang memulai penciptaan manusia dari tanah. Kemudian Dia menjadikan keturunannya dari saripati air yang hina (air mani). Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalam  (tubuh)nya ruh (ciptaan)-Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati (tetapi) sedikit sekali kamu bersyukur.” (QS. As-Sajadah : 7-9) Dari ayat tersebut telah digambarkan bahwa manusia adalah sebuah hakikat, namun mempunyai beberapa peringkat wujud.
Dalam diri manusia, terdapat diri jasmani, diri tumbuhan, diri kebinatangan dan diri kemanusiaan. Nah, yang mempunyai nilai dan harga  hanyalah diri kemanusiaan. Sesuatu yang menjadikan manusia menjadi manusia dan menjadikannya lebih unggul dari seluruh hewan lainnya. Allah SWT telah menggambarkan penciptaan manusia dalam Al-Quran sebagai berikut, “Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (yang berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh(rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Mahasucilah Allah, Pencipta Yang Paling Baik.” (QS. Al-Mukminun : 12-14).
Mahasuci Allah sebaik-baiknya pencipta. Dengan perantaraan ruh malakut inilah, Allah SWT telah menempatkan manusia kepada derajat yang sedemikian tinggi, sehingga turun perintah Allah SWT kepada para malaikat, “Maka apabila Kami telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan ke dalamnya ruh (ciptaan)Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud.” (QS. Al-Hijr : 29)
Dengan kedudukan manusia seperti itu, maka jika manusia hendak membangun dirinya maka dia harus membangun dan mengembangkan diri kemanusiaannya, bukan diri kebinatangan atau diri jasmaninya. Dan tujuan para nabi telah membantu dan memperkuat manusia dalam membangun dan mengembangkan sisi kemanusiaan tersebut. Para Nabi as berkata kepada manusia, “Janganlah kamu melupakan dirimu. Yaitu diri kemanusiaanmu. Karena jika kamu mengorbankan diri kemanusiaanmu demi kecenderungan-kecenderungan hewanimu, niscaya bahaya yang amat besar akan menimpamu.”
Terkait dengan pembinaan dan penyucian diri (jiwa) ini, Sayyid Kamal Haidari dalam At-Tarbiyyah ar-Ruhiyyah : Buhuts fi Jihad an-Nafs, mengulas sebuah surah yang amat relevan dalam hal ini, yakni surah Asy-Syams : “Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha penyayang, Demi matahari dan cahayanya di pagi hari, dan bulan apabila mengiringinya, dan siang apabila menampakkannya, dan malam apabila menutupinya, dan langit serta pembinaannya, dan bumi serta penghamparannya, dan jiwa serta penyempurnaannya, maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.”
Dari ayat-ayat yang penuh berkah tersebut, terdapat sejumlah catatan penting yang menunjukkan seberapa besar perhatian Al-Quran terhadap masalah penyucian diri serta  akhlak yang baik. Di antaranya adalah sebagai berikut :
Pertama, Allah SWT mendahului dengan enam atau tujuh sumpah, sebelum mengutarakan pesan, yaitu firman Allah SWT ‘Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu’. Ini menunjukkan begitu pentingnya masalah pembinaan diri, yang mengandung ajakan kepada manusia agar berpegang pada akhlak yang baik dan menjauhi akhlak yang buruk.
Kedua, Jiwa (nafs) dalam ayat ini adalah jiwa manusia. Hal ini berdasarkan firman Allah SWT: Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya. Jadi yang dimaksud bukan jiwa secara keseluruhan, baik tetumbuhan, binatang, maupun manusia, melainkan hanya manusia. Karena dialah yang diberi tugas (mukallaf) yang perbuatannya bisa menghasilkan pahala dan hukuman.
Ketiga, Ayat 9 dan 10 dari surah Asy-Syams ini menegaskan sebuah hakikat penting, bahwa manusia dapat menumbuhkan dan menyempurnakan jiwanya melalui pencarian akhlak yang baik. Jika tidak begitu, tentu kedua ayat tersebut tidak akan menunjukkan keberuntungan bagi orang yang menyucikan jiwanya dan kerugian  bagi orang yang mengotorinya.
Keempat, Dari kedua ayat tersebut juga, menampakkan metodologi Al-Quran - yang berbeda dengan literatur dan buku-buku ilmu akhlak yang lain - dalam mengajak manusia pada perbuatan-perbuatan baik atau amal-amal saleh dan akhlak yang baik. Metode yang digunakan Al-Quran adalah penegasan dan fokusnya pada pelaku dan penyandang sifat, bukan pada perbuatan dan sifat. Oleh karena itu, ayat tersebut (9 dan 10) memuji pelaku penyucian jiwa, bukan penyucian jiwa itu sendiri, dan mencela orang yang mengotori jiwa, bukan pengotoran itu sendiri.
Kelima, Al-Quran ketika mengajak manusia pada akhlak yang baik, membekalinya dengan berbagai fasilitas yang memungkinkannya mencari akhlak tersebut. Allah SWT telah menyediakan bagi manusia apa yang dibutuhkannya dalam perjalanan ini. Dia membekali kita dengan hujjah batiniah, yaitu akal yang tersembunyi atau fitrah yang ada bersama manusia sejak awal penciptaannya. Kemudian melalui akal ini, Dia menjelaskan kepada kita apa perbuatan baik itu dan apa perbuatan buruk itu, sebagaimana Dia mengilhamkan di dalam fitrah kita, apa ketakwaan itu dan apa kedurhakaan itu. Selain itu, Allah juga membekali dengan hujjah lahiriah, yaitu para rasul, para nabi, para imam dan para ulama yang saleh.
Dari penjelasan di atas telah menunjukkan pentingnya penyucian jiwa atau diri, untuk mengantarkan manusia menuju pada fitrah kemanusiaannya. Dalam tahapan penyucian diri ini, ada tiga pekerjaan yang harus dilakukan :
1.     Menyucikan diri dari keyakinan-keyakinan yang batil dan pemikiran-pemikiran yang menyimpang.
2.     Menyucikan diri dari akhlak-akhlak yang buruk.
3.     Meninggalkan dosa dan maksiat.
Keyakinan-keyakinan batil dan pemikiran-pemikiran sesat membuat diri menjadi gelap dan menyimpang dari jalan yang lurus. Orang yang memiliki keyakinan yang batil tidak mengenal jalan kesempurnaan. Mereka melangkah di dalam lembah kesesatan dan pada gilirannya, tentu tidak akan sampai pada tujuan. Apabila hati gelap, bagaimana mungkin bisa menjadi pusat pancaran cahaya suci Ilahi? Demikian juga akhlak yang buruk, dia akan memperkuat sifat-sifat kebinatangan dan secara perlahan-lahan memadamkan ruh kemanusiaan manusia. Individu seperti ini tidak akan dapat mencapai tujuan kemanusiaannya, yaitu memperoleh kesempurnaan dan kedekatan dengan Allah SWT. Begitu juga perbuatan dosa dan maksiat akan menggelapkan dan mengotori diri serta menjauhkannya dari jalan menuju kesempurnaan. Individu semacam ini pun tidak akan dapat sampai kepada tujuan akhirnya. Oleh karena itu, penyucian diri bagi kita adalah sesuatu yang amat penting dan menentukan.
Rasulullah SAW bersabda, “Kebersihan/kesucian adalah sebahagian dari iman.” Maksudnya adalah sebagian dari iman akan diperoleh dengan perantara kebersihan lahir dan sebagian lainnya dengan perantara kebersihan dan mensucikan batin dengan jalan amal-amal saleh dan akhlak yang terpuji. Thaharah dan kesucian memiliki empat tingkatan yaitu :
Pertama, Membersihkan lahir dari ketercemaran dan kotoran-kotoran. Kedua, Menjaga anggota badan dari kejahatan dan dosa-dosa. Ketiga, Membersihkan hati dari akhlak buruk dan tercela. Keempat, Membersihkan batin dari segala sesuatu selain Tuhan. Thaharah dan kesucian ini adalah thaharah para Nabi dan Shiddiqin. Dan thaharah pada setiap tingkatan-tingkatannya adalah sebagian dari perbuatan-perbuatan yang berkaitan dengan tingkatan tersebut. Hal ini adalah maqam-maqam iman, di mana setiap maqam memiliki tingkatan-tingkatan. Seorang hamba tidak akan mencapai maqam tertinggi kecuali melewati tingkatan yang paling rendah. Dan seseorang yang tidak sanggup membersihkan hati dari sifat-sifat tercela dan menyuburkannya dengan akhlak terpuji, maka dia tidak dapat meraih kebersihan batin dan menghiasinya dengan berbagai perbuatan-perbuatan yang terpuji.
Firman Tuhan dalam surah Asy-Syams yang telah diulas di atas, “Sungguh beruntung orang yang mensucikan jiwanya dan sungguh merugi orang yang mengotorinya” telah memberikan pemahaman kepada kita bahwa asas masalah yang membuat segala sesuatunya menjadi benar dan baik adalah penyucian jiwa, karena itu dengannya keberuntungan dan kebahagiaan dapat diraih. Dan sebaliknya, yang menjadikan segala sesuatu menyimpang dan buruk adalah pengotoran jiwa dengan mengikuti kehendak syaitan dan hawa nafsu.
Oleh sebab itu, tidak ada jalan lain untuk meraih keselamatan kecuali dalam sepanjang kehidupan memperhatikan dua masalah mendasar ini, karena sedikit saja kita luput dari perhatian terhadap masalah kesucian jiwa ini maka boleh jadi segala sesuatunya keluar dari kendali diri kita dan penyesalan tidak berarti lagi bagi diri kita. Wallahu a’lam bisshawab.
Makassar, Juli 2015

Tujuan Kehidupan

Di zaman modern sekarang ini, kita sering menemukan manusia yang kehilangan jati dirinya. Mereka sama sekali tidak memahami tujuan serta asal muasal dirinya, alhasil menjadikannya terombang ambing dalam setiap pilihan aktivitasnya.
Berbeda dengan orang yang berakal dan bijaksana, tentu saja tidak akan mungkin melakukan sebuah pekerjaan tanpa tujuan. Terlebih lagi Allah SWT sebagai Zat Yang Maha Bijaksana, pastilah menciptakan sesuatu tidak sia-sia atau tanpa tujuan, melainkan memiliki tujuan. Oleh sebab itu, segala sesuatu tentu memiliki tujuan. Lalu, tujuan seperti apakah itu? Dan apakah tujuan itu bersifat mendasar dalam diri manusia?
Ada beberapa makna dari tujuan penciptaan manusia yang saya pahami, yang saling terkait satu dengan yang lainnya. Dalam Al-Quran surah Az-Dzariyat : 56, Allah SWT berfirman, “Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah.” Jadi salah satu tujuan penciptaan manusia adalah beribadah kepada Allah. Dengan ibadah, seorang manusia bisa mencapai derajat kedekatan Ilahi (Maqam Qurb).
Semakin dekat manusia dengan Tuhan maka semakin banyak pula sifat kesempurnaan Tuhan yang terjelma dan bertajalli dalam dirinya. Karena dibandingkan dengan makhluk yang lain, hanya manusia yang mampu menyerap asma/sifat Tuhan, baik asma jalaliyah maupun asma jamaliyah secara sempurna. Hal ini disebabkan, manusia memiliki kelebihan sebagai makhluk hidup yang rasional dimana ruhnya yang dinisbatkan  kepada Tuhan (QS. Shad: 72), menjadikan kesempurnaan yang diraihnya lebih tinggi dari ciptaan lainnya. Dengan demikian, tujuan penciptaan manusia untuk menggapai kesempurnaan dapat terealisasi.
Kesempurnaan di sini dapat diartikan dengan teraktualisasinya segala potensi yang ada pada diri manusia atau setiap makhluk. Bila hal ini bisa dilakukan, maka tujuan penciptaan lainnya dapat diraih yaitu agar manusia menjadi Khalifatullah atau wakil Allah di bumi melalui maqam insaniahnya atau maqam kemanusiaannya. Yang dengan maqam inilah manusia ditempatkan Tuhan pada derajat yang tinggi, sehingga karenanya para malaikat diperintahkan sujud pada manusia.(QS. Al-Hijr : 29)
Allah SWT menciptakan manusia dalam sebaik-baik bentuk. Selanjutnya Tuhan memberikan karunia serta menanamkan kecenderungan kesempurnaan pada dirinya, dan juga kemampuan manusia bergerak menuju kesempurnaan. Artinya, tujuan penciptaan tersebut bersifat fitrawi dan mendasar pada diri manusia. Dan karena itu, setiap manusia pastilah ingin meraih kesempurnaan dan juga ingin menggapai sumber kesempurnaan. Sebagaimana halnya, seluruh makhluk ciptaan akan bergerak kembali menuju sumber segala keberadaan.
Seperti diketahui, manusia mempunyai dua kehidupan; Pertama, kehidupan duniawi yang berkaitan dengan tubuhnya atau badannya. Kedua, kehidupan spiritual dan batiniah yang terkait dengan jiwanya. Dari tiap-tiap kehidupan tersebut akan mengalami kesempurnaan dan kebahagiaan atau kesengsaraan dan kemerosotan.
Saat manusia terbuai dalam kesenangan duniawi, maka ia bisa saja lalai dari kehidupan ruhani dan batinnya. Tuhan sudah memperingatkan dalam surah Ar-Rum ayat 7, “Mereka mengetahui yang lahir (tampak) dari kehidupan dunia, sedangkan terhadap (kehidupan) akhirat mereka lalai.” Jadi, manusia bergeser dari tujuan penciptaannya, manakala manusia tidak lagi merujuk pada fitrahnya yang suci, kesempurnaan dirinya dan memperturutkan hawa nafsunya.
Dalam konteks inilah, manusia perlu mengenali dirinya. Imam Ali Kw berkata, “Barangsiapa yang memuliakan dirinya maka dia akan memandang rendah keinginan-keinginan hawa nafsunya.” Atau dalam redaksi yang lain Imam Ali Zainal Abidin mengatakan, “Manusia yang paling tinggi dan paling mulia adalah manusia yang tidak memandang dunia sebanding dengan kemuliaan dirinya.” Para Nabi as berkata kepada manusia, “Janganlah kamu melupakan dirimu. Yaitu diri kemanusiaanmu. Karena jika kamu korbankan diri kemanusiaan demi kecenderungan-kecenderungan hewani, niscaya bahaya amat besar akan menimpamu.”
Allah yang menciptakan manusia dengan keagungan, meletakkan berbagai rahasia dan aturan dalam penciptaan jasad dan ruhnya. Tuhan menyediakan alam materi untuk diambil manfaatnya oleh manusia, maka tidak mungkin Dia lalai dari kesempurnaan hakiki, dan tujuan eksistensial manusia serta tidak menyediakan jalan menuju pada tujuan.
Untuk sampai pada tujuan yang ingin dicapai, manusia sudah pasti memerlukan jalan dan petunjuk. Tanpa itu, manusia tidak akan mampu mencapai kesempurnaan hakiki. Kalau manusia hanya mengandalkan dirinya sendiri, ia tidak akan mampu mengenal aturan hidup dan jalan kebahagiaan, apalagi menjalankannya. Oleh karena itu, manusia membutuhkan Tuhan semesta alam dan para utusan-Nya.
Allah SWT memberikan sarana berupa hidayah takwini yang ada pada semua makhluk dan hidayah tasyri’i yang khusus diberikan untuk manusia. “Tuhan kami adalah (Tuhan) yang telah memberikan kepada tiap-tiap sesuatu bentuk kejadiannya, kemudian memberinya petunjuk.” (QS. Thaha: 50) Hidayah takwini pada manusia berupa akal dan fitrah, sedangkan hidayah tasyri’i ialah pengutusan para nabi dan rasul.
Makassar, Mei 2015

Memaknai [Lagi] Kemerdekaan (Refleksi HUT Proklamasi Kemerdekaan RI ke-71)


Segenap rakyat Indonesia telah merayakan HUT Proklamasi Kemerdekaan yang ke-71. Sebuah usia yang tidak lagi muda. Berbagai acara dan kegiatan sudah mulai dilakukan oleh lapisan masyarakat dalam rangka menyambut hajatan hari kemerdekaan tersebut. Semangat patriotisme dan nasionalisme cukup terlihat, meskipun mayoritasnya masih sebatas simbolik. Karena itulah kita perlu memaknai kemerdekaan ini, dalam tataran yang lebih substansial. Lewat tulisan sederhana ini, penulis ingin merefleksikan makna kemerdekaan paling tidak dalam dua hal, yaitu :
Pertama, Para Founding Fathers negara kita sadar betul bahwa kemerdekaan yang telah diraih oleh Bangsa Indonesia adalah merupakan anugerah dari Tuhan. Sebab itulah, mereka menegaskan dalam Mukaddimah UUD 1945 dengan kalimat, “Atas berkat rahmat Allah SWT….” Hal ini menunjukkan bahwa para pahlawan, pejuang kemerdekaan serta pendiri negara ini memiliki kesadaran teologis yang tinggi dengan menempatkan aspek ketuhanan, sebagai faktor utama yang sangat menentukan dalam meraih kemerdekaan.
Oleh karenanya, sebagai wujud rasa syukur akan anugerah dan rahmat Tuhan tersebut, maka sebagai sebuah bangsa, kita harus bersungguh-sungguh merawat dan menjaga kemerdekaan ini. Indonesia harus melepaskan diri dari keterjajahan bangsa lain, baik secara ekonomi, politik ataupun pada aspek yang lainnya. Agar kita betul-betul memiliki kedaulatan dan memiliki harga diri. Indonesia sebagai bangsa yang besar dan dikarunia Tuhan sumber daya alam yang melimpah, mesti mensejajarkan diri dan tidak minder terhadap negara-negara besar lainnya.
Berkenaan hal ini, Yudi Latif dalam “Hegemoni Budaya” mengajak kita untuk sekali-kali mungkin ada baiknya mendengarkan Soekarno. Pada Amanat Proklamasi-nya, Soekarno menghimbau, “…..Betapa perlunya kita harus berani memerangi diri kita sendiri. Semula kita mencita-citakan, bahwa di alam kebebasan dan kemerdekaan, kita akan dapat mengembangkan segala daya cipta kita untuk membangun sehebat-hebatnya: …membangun satu industri modern yang sanggup mempertinggi taraf hidup rakyat kita, membangun satu pertanian modern guna mempertinggi hasil bumi, membangun satu kebudayaan nasional yang menunjukkan kepribadian bangsa Indonesia. Tetapi puluhan tahun kemudian, kita mengalami… bukan industrialisasi yang tepat, tetapi industrialisasi tambal sulam; mengalami bukan membubung tingginya kebudayaan nasional yang patut dibanggakan tetapi gila-gilanya rock and roll,… mengalami bukan daya cipta sastra Indonesia yang bernilai, tetapi banjirnya literatur komik.”
Selanjutnya Soekarno mengingatkan, “Contoh-contoh tersebut adalah cermin daripada menurunnya kesadaran nasional kita dan menurunnya kekuatan jiwa nasional kita. Apakah kelemahan jiwa kita? Kelemahan jiwa kita ialah, bahwa kita kurang percaya kepada diri kita sendiri, sebagai bangsa sehingga kita menjadi bangsa penjiplak luar negeri, kurang percaya mempercayai satu sama lain, padahal kita ini, pada asalnya ialah rakyat gotong royong. Kurang berjiwa gigih melainkan terlalu lekas mau enak dan ‘cari gampangnya saja’. Dan itu semua, karena makin menipisnya ‘rasa harkat nasional’ – makin menipisnya rasa ‘national dignity’ – makin menipisnya rasa bangga dan rasa hormat terhadap kemampuan dan kepribadian bangsa sendiri dan rakyat sendiri.”
Kedua, Bahwa persatuan dan kesatuan bangsa adalah merupakan hal yang fundamental, sekaligus buah dari perjuangan yang dilakukan oleh para pahlawan kita. Mereka dengan latar belakang yang berbeda berjuang merebut kemerdekaan tanpa batas agama, suku, maupun daerah. Oleh karenanya, kita semua sebagai komponen bangsa ini, harus berkomitmen menjaga keutuhan NKRI. Untuk itu, seluruh anasir yang bermaksud merongrong dan mencabik-cabik persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia harus dilawan. Kelompok-kelompok radikal dan intoleran tidak boleh dibiarkan berkembang, jika tidak ingin menyimpang ‘bom waktu’ terjadinya perpecahan antar anak bangsa. Demikian halnya mereka yang mengklaim diri sebagai pejuang HAM, pejuang kemanusiaan, tetapi didanai dan bekerja atas nama negara-negara donor/asing dalam melakukan pengkhianatan secara terselubung terhadap bangsanya sendiri.
Kemerdekaan yang diperoleh oleh NKRI, memang sangat kental dengan perpaduan antara nilai-nilai spiritualitas, religiusitas, dengan nilai kejuangan dan patriotisme. Karenanya, sebagai rasa syukur atas karunia Tuhan serta jerih payah, pengorbanan para pejuang dan pahlawan kemerdekaan, maka sudah semestinya para pemimpin di negeri ini pada berbagai levelnya, menjadikan nilai-nilai Ilahiah/ketuhanan dan kejuangan sebagai inspirasi dalam menata negeri dan daerahnya masing-masing.
Rasulullah SAW saja sebagai utusan Tuhan, manusia sempurna (Insan Kamil), yang juga merupakan pemimpin teladan sejagat raya, tidak pernah melepaskan diri dari tuntunan Ilahiah dalam menjalankan tugasnya serta menata pemerintahannya kala itu. Lisan suci beliau mengajarkan kepada kita agar selalu terpaut dengan Sang Maha Pencipta, “Allahumma la takilni ila nafsi tharfata ‘ainin wa ashlih li sya’ni kullahu”, Ya Allah jangan sekejap pun Engkau biarkan aku mengurusi masalahku sendiri dan sukseskanlah urusanku seluruhnya.
Sayyidina Ali bin Abi Thalib Kw mencontohkannya saat mengingatkan Malik Asytar An-Nakha’iy, menjelang pengangkatannya menjadi Gubernur Mesir. Berikut cuplikan dari pesannya yang panjang : “Insafkanlah hatimu agar selalu memperlakukan semua rakyatmu dengan kasih sayang, cinta dan kelembutan hati. Mereka sesungguhnya hanya satu di antara dua: saudaramu dalam agama atau makhluk Tuhan seperti dirimu sendiri. Dan jangan menganggap dirimu sebagai seorang diktator yang harus ditaati segala perintahnya. Sebab, yang demikian itu adalah penyebab rusaknya jiwa, melemahnya agama dan hilangnya kekuasaan. Awas! Jangan coba-coba berpacu dengan Allah dalam keagungan-Nya, atau ingin menyerupai-Nya dalam kekuasaan-Nya. Sebab, Allah SWT akan merendahkan siapa saja yang mengagungkan dirinya dan menghinakan siapa saja yang membanggakannya. Jadikanlah kesukaanmu yang sangat pada segala sesuatu yang paling dekat dengan kebenaran, paling luas dalam keadilan, dan paling meliputi kepuasan rakyat banyak. Sebab, kemarahan rakyat banyak mampu mengalahkan kepuasan kaum elit. Adapun kemarahan kaum elit dapat diabaikan dengan adanya kepuasan rakyat banyak.”
Pada akhirnya, kemerdekaan tidak hanya membutuhkan sekadar kemeriahan dan kenangan indah, akan tetapi kemerdekaan juga membutuhkan dukungan, semangat, pikiran, kemampuan yang maksimal, keikhlasan dan pengorbanan untuk mewujudkan realitas-realitas baru yang bisa membuat bangsa Indonesia merasakan kesejahteraan dan kebahagiaan lahir-batin, baldatun thayyibatun wa Rabbun ghafur. Wallahu a’lam bisshawab.
Makassar, Agustus 2016

Rezim Yang Ambigu dan Problem Lingkungan di Indonesia

Permasalahan lingkungan hidup, telah mendapat perhatian besar di hampir semua negara. Ini terutama terjadi sejak dasawarsa 1970-an setelah d...