Pembangunan
secara keseluruhan, pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat di segala bidang yang menyangkut kehidupan manusia. Dan salah satu
jargon pembangunan yang cukup sering kita dengarkan belakangan ini, ialah
pembangunan berkelanjutan atau sustainable development. Idealnya
memang, pembangunan harus terjaga keberlangsungannya, agar manfaatnya
betul-betul bisa dirasakan oleh seluruh masyarakat. Senada dengan hal itu,
komunitas perencana pun menggaungkan slogan penataan ruang yang berkelanjutan.
Mengapa gagasan ini menjadi penting untuk diungkapkan? Karena, pembangunan
dan penataan ruang selama ini, terkesan dilaksanakan secara terpisah dan
berdiri sendiri.
Apa yang dimaksud dengan pembangunan
berkelanjutan dan sejak kapan istilah tersebut muncul? Raditya Dwi Indrawan
dalam tulisannya menyebutkan bahwa pembangunan berkelanjutan diperkenalkan
pertama kali dalam World Conservation
Strategy (Strategi Konservasi Dunia) yang diterbitkan oleh United Nations
Environment Programme (UNEP), International Union
for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN) dan World Wide Fund for
Nature (WWF) pada 1980.
Pada laporan Brundtland dari PBB
(1987), disebutkan yang dimaksud pembangunan berkelanjutan adalah proses
pembangunan (lahan, kota, bisnis, masyarakat, dsb) yang berprinsip “memenuhi
kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi masa depan.”
Dalam pengertian yang lain, pembangunan berkelanjutan adalah suatu konsep
pembangunan yang dapat berlangsung secara terus menerus dan konsisten dengan
menjaga kualitas hidup, tidak merusak lingkungan serta mempertimbangkan
cadangan sumber daya yang ada untuk kebutuhan masa depan.
Sementara itu, dalam Buletin Tata
Ruang, Budimanta menuturkan bahwa pembangunan berkelanjutan adalah suatu cara
pandang mengenai kegiatan yang dilakukan secara sistematis dan terencana, dalam
kerangka peningkatan kesejahteraan, kualitas kehidupan dan lingkungan umat
manusia, tanpa mengurangi akses dan kesempatan kepada generasi yang akan datang
untuk menikmati dan memanfaatkannya.
Adapun tujuan dari pembangunan
berkelanjutan dalam pandangan Prof Emil Salim, adalah untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan dan aspirasi manusia.
Pembangunan yang berkelanjutan pada hakikatnya ditujukan untuk pemerataan antar
generasi pada masa kini maupun masa mendatang.
Sementara itu, Penyelenggaraan
penataan ruang secara umum juga bertujuan untuk mewujudkan ruang yang
aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan, sesuai yang tertera dalam Pasal 3
UU.No 26 Tahun 2007. Dengan demikian, baik penataan ruang berkelanjutan maupun
pembangunan berkelanjutan, menginginkan terjadinya kontinuitas, keberlangsungan
serta harmonisasi, yang menjadi misi utama dari keduanya. Hanya saja, idealitas
yang diharapkan tersebut, tidak semudah dalam membahas dan membicarakannya, di
saat akan diwujudkan atau direalisasikan.
Setidaknya, ada beberapa hal yang
menjadi tantangan, hambatan serta kendala, ketika penataan ruang dan
pembangunan berkelanjutan itu akan diimplementasikan, di antaranya :
Pertama,
masih sulitnya terjadi sinkronisasi antara berbagai rencana pembangunan yang
ada. Perencanaan yang terpadu dan holistik, sepertinya hanya sebatas di atas kertas.
Ego sektoral masih sangat kental dirasakan di antara instansi pelaksana
perencanaan pembangunan. Contoh sederhana saja yang sering kali kita jumpai
di tengah-tengah masyarakat, adalah betapa tidak terkordinasinya pekerjaan
perbaikan jalan, saluran drainase dan juga instalasi air bersih serta
telekomunikasi.
Kedua,
dalam proses pilkada atau suksesi kepala daerah, belum ada regulasi dari
penyelenggara pemilu, yang mengatur tentang wajibnya pasangan calon dalam
merumuskan visi dan misinya untuk menyelaraskan serta mengsinkronisasikan
dengan aturan dan regulasi perencanaan pembangunan yang sudah ada. Padahal,
visi-misi calon terpilihlah yang nantinya akan dimasukkan sebagai Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD). Akibat dari rumusan yang semata-mata
dibuat sesuai keinginan dan selera pasangan calon, tanpa mempertimbangkan
regulasi perencanaan pembangunan sebelumnya, maka alih-alih perencanaan
pembangunan tersebut bisa terlaksana secara berkelanjutan, yang terjadi
kemudian justru adalah kontradiksi antara satu rencana dengan rencana
pembangunan yang lain. Sehingga tidak jarang kita temukan, RPJMD suatu daerah
tidak sejalan dengan RPJPD-nya padahal sesuai aturan yang ada RPJMD mesti
merupakan penjabaran dari RPJPD, begitu pula terkadang tumpang tindih dengan
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)-nya.
Sejatinya, menurut Prof. Eko
Budihardjo dalam Buletin Tata Ruang seperti dikutip oleh Hadi Wahyono, bahwa
rencana tata ruang – sebagai salah satu tahapan penataan ruang –
adalah suatu bentuk kebijakan publik yang dapat mempengaruhi keberlangsungan
proses pembangunan berkelanjutan. Namun masih banyak masalah dan kendala dalam
implementasinya yang menimbulkan berbagai konflik kepentingan. Konflik yang
biasa terjadi antara lain : sektor formal dan informal atau sektor modern dan
tradisional di perkotaan. Contohnya: fasilitas publik seperti taman kota, harus
bersaing untuk tetap eksis dengan bangunan komersial yang akan dibangun, serta
bangunan bersejarah yang semakin menghilang berganti dengan bangunan modern
karena alasan ekonomi.
Selain itu, satu hal yang mesti
diperhatikan pula, adalah bahwa posisi penduduk atau masyarakat merupakan
bagian yang sangat penting dan titik sentral dalam penataan ruang dan
pembangunan berkelanjutan. Karena peran penduduk, sesungguhnya sebagai subjek
dan objek dari perencanaan dan pembangunan apapun. Sebab, jumlah penduduk yang
besar dengan pertumbuhan yang cepat, tetapi memiliki kualitas yang rendah, akan
memperlambat tercapainya kondisi ideal yang diinginkan.
Bila hal-hal tersebut di atas, selalu
saja terjadi dan terus dilakukan, maka penataan ruang dan pembangunan
berkelanjutan hanya akan ada secara konseptual, tapi tidak dapat terwujud dalam
realitas dengan sesungguhnya. Wallahu a’lam
bisshawab
FAJAR Makassar, November 2016