Saat itu, DPRD Kota Makassar mungkin tengah membahas beberapa
Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) yang masuk dalam Prolegda yang
dijadualkan pada tahun 2016 ini. Salah satu di antaranya adalah Ranperda Kota
Dunia.
Sejumlah pertanyaan pun muncul terkait rancangan peraturan
daerah yang diajukan oleh
Pemerintah Kota Makassar itu. Seberapa
penting ranperda ini dibutuhkan untuk membangun kota Makassar? Tidak cukupkah
aturan dan regulasi yang telah ada? Adakah manfaat bagi masyarakat dalam
membahas Ranperda Kota Dunia ini?
Ada beberapa hal yang perlu dicermati berkenaan dengan masalah
Ranperda Kota Dunia ini, antara lain :
Pertama, Tidak
terlihat sinkronisasi kebijakan antara peraturan yang satu dengan yang lainnya,
termasuk dengan rancangan peraturan baru yang diusulkan. Jika berpijak pada
peraturan sebelumnya, Perda No.13 tahun 2006 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Panjang Daerah (RPJPD) Kota Makassar 2005–2025, di situ disebutkan bahwa Visi
Kota Makassar adalah “Makassar sebagai
Kota Maritim, Niaga, Pendidikan, Budaya dan Jasa yang Berorientasi Global,
Berwawasan Lingkungan dan paling bersahabat.” Namun kemudian, terjadi
perubahan dan pergeseran visi yang mestinya tidak boleh terjadi. Dalam Perda
No.5 tahun 2014 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kota Makassar 2014–2019 menjadi “Makassar Kota Dunia yang Nyaman Untuk
Semua.” Padahal dalam Perda ini sendiri dijelaskan bahwa RPJMD 2014-2019 berpedoman
pada RPJPD 2005-2025. Walhasil, visi itulah yang selanjutnya pula dijadikan
dasar capaian dalam perumusan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Makassar
2015-2034 yang kemudian disahkan menjadi Perda No.4 tahun 2015. Sekarang, oleh
Walikota Makassar diusulkan lagi menjadi peraturan tersendiri lewat Ranperda
Kota Dunia.
Kedua, Mengutip
pemberitaan yang ada tentang pertemuan pada 14 Maret 2016, DPRD Makassar telah
mengundang dua pakar dari Universitas Hasanuddin (Unhas), masing-masing
Prof.Aminuddin Ilmar (Guru besar Fakultas Hukum) dan Prof.Slamet Tri Sutomo
(Guru Besar Teknik Arsitektur dan Perencanaan Kota) untuk membedah naskah
akademik Ranperda Kota Dunia. Keduanya memberikan pandangan dan kritiknya
terkait hal tersebut. Antara lain yang disoal ialah naskah akademik dan
Ranperda yang tidak sinkron, defenisi kota dunia yang masih mengambang,
indikator kota dunia yang tidak jelas, begitu pula segi capaiannya serta
berbagai hal yang mungkin masih perlu dipertanyakan. Dengan realitas seperti
itu, mungkin ada baiknya DPRD Kota Makassar sebagai wakil rakyat untuk lebih
jeli melihat dan mengkaji secara cermat mengenai usulan-usulan serta rancangan
kebijakan dari pemerintah kota, seberapa besar urgensi dan relevansinya dalam
menyentuh kebutuhan masyarakat secara luas.
Ketiga, Sekiranya
Ranperda Kota Dunia ini tetap diteruskan pembahasannya oleh DPRD Kota Makassar,
dan kemudian akhirnya disahkan menjadi Perda yang baru, maka pertanyaannya
adalah bagaimana nantinya meletakkan Perda Kota Dunia ini bila disandingkan dengan RTRW Kota Makassar yang
belum setahun disahkan sebagai Perda. Padahal secara substansial, jika dilihat
sepintas, muatannya tidak jauh berbeda. Lantas mana di antara keduanya yang
akan menjadi panduan utama dalam perencanaan dan pembangunan Kota Makassar
selanjutnya. Hal ini bisa menyebabkan terjadinya tumpang tindih kebijakan dalam
implementasinya. Yang jauh lebih urgen dan mendesak, adalah merumuskan
kebijakan yang merupakan turunan dari Perda RTRW Kota Makassar, seperti aturan
mengenai Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) serta Peraturan Zonasi, agar tidak
menimbulkan masalah seperti kasus reklamasi pantai.
Keempat, Ada baiknya
Walikota dan DPRD Kota Makassar tidak terlalu menghabiskan tenaga, pikiran dan
juga dana untuk meneruskan pembahasan Ranperda Kota Dunia yang belum jelas
tersebut, sementara masih banyak persoalan yang lebih penting lainnya. Contoh
yang sangat nampak adalah terjadinya disparitas pembangunan antar kawasan dalam
lingkup wilayah Kota Makassar. Lihatlah bagaimana sepanjang pesisir pantai
Losari Makassar dipoles sedemikian rupa secara terus menerus, tetapi pada
daerah pinggiran yang berbatasan langsung dengan Kabupaten sekitarnya kurang
diperhatikan. Misalnya saja, infrastruktur jalan yang rusak parah yang
menghubungkan daerah pinggiran Makassar dengan Moncongloe Kabupaten Maros.
Begitu pula pemanfaatan ruas jalan yang berfungsi ganda (kendaraan bermotor dan
hewan ternak) pada poros yang menghubungkan Kota Makassar menuju Samata
Kabupaten Gowa. Fakta ini sekaligus juga menunjukkan bahwa perencanaan Kawasan
Terpadu Mamminasata pun, ternyata sampai sekarang belum berjalan efektif
seperti yang diharapkan. Belum lagi masalah persampahan, pelayanan air bersih,
dan lain-lainnya.
Dari uraian di atas, harapannya Walikota dan DPRD Makassar tidak
perlu lagi melanjutkan pembahasan Ranperda Kota Dunia ini. Mewujudkan Makassar
sebagai Kota Dunia tidak mesti dengan perda khusus, akan tetapi lebih baik menjadikan regulasi
dan peraturan yang telah ada sebagai acuan/rujukan dalam menjalankan proses
pembangunan di Kota Makassar. RPJPD, RPJMD, dan terutama RTRW Kota Makassar,
sudah cukup mengakomodasi untuk menjadikan Makassar sebagai kota yang mendunia,
asalkan saja implementasi dari peraturan daerah tersebut benar-benar
dilaksanakan. Penulis sadar bahwa pandangan yang berbeda dalam tulisan ini,
mungkin tidak memiliki arti bagi Bapak Walikota dan anggota DPRD Kota Makassar,
namun tetap saja penulis merasa perlu untuk utarakan dan suarakan.
Makassar, April
2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar