Dalam proses
penyelenggaraan penataan ruang, tahapan yang paling krusial adalah pada pengawasan dan pengendalian
pemanfaatan ruang. Oleh karena itu, sebuah daerah boleh saja telah memiliki
rencana yang baik, namun jika tidak memperhatikan pengendalian dan
pengawasannya, maka tetap saja akan menimbulkan persoalan.
Mengapa
pengendalian itu diperlukan? Dalam “Kupas Tuntas Penataan Ruang” yang
diterbitkan Direktorat Jenderal Penataan Ruang disebutkan bahwa fungsi
pengendalian adalah agar tercapai keseimbangan pemanfaatan ruang, yaitu
pemanfaatan ruang yang sesuai dengan perencanaan penataan ruang yang telah
ditetapkan.
Karena
kenyataan menunjukkan, bahwa di banyak daerah, walaupun RTRW sudah selesai dan
ditetapkan, namun masih saja ada pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan
peruntukan. Pada PP No. 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang di
Pasal 147, dinyatakan bahwa, “Pelaksanaan pengendalian pemanfaatan ruang
diselenggarakan untuk menjamin terwujudnya penataan ruang yang sesuai dengan
rencana tata ruang.” Selanjutnya dalam pelaksanaan pengendalian tersebut,
terdapat empat instrumen yang tersedia, yaitu : peraturan zonasi, perizinan,
pemberian insentif dan disinsentif serta pengenaan sanksi.
Dalam hal
penerapan dari instrumen tersebut, sejumlah persoalan masih menjadi kendala.
Dan karenanya, upaya pengendalian pemanfaatan ruang yang dilakukan masih
terlihat lemah. Oleh sebab itu, perlu memperhatikan beberapa hal berikut di
antaranya :
Pertama, Jika kita
konsisten menjadikan pengendalian pemanfaatan ruang sebagai upaya untuk
mewujudkan tertib tata ruang, maka regulasi yang ada mesti menjadi panduan dan
pedoman dalam hal pemanfatan ruang. Jadi, kalau pun peraturan zonasi dan RDTR
belum ada, tapi karena keduanya merupakan satu kesatuan dengan RTRW, maka
fungsi pengendalian tetap harus dilakukan demi menghindari semakin maraknya
pelanggaran tata ruang. Hal tersebut dapat dilihat dalam pasal 153, PP No.15
Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang yang menyatakan bahwa
peraturan zonasi kabupaten/kota merupakan penjabaran dari ketentuan umum
peraturan zonasi yang ditetapkan dalam
rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota.
Kedua, Pada
Undang-Undang Penataan Ruang No.26 tahun 2007, disebutkan bahwa pemanfaatan
ruang mengacu pada fungsi ruang yang ditetapkan dalam rencana tata ruang. Namun
dalam kenyataan, masih sering kita temukan penggunaan dan pemanfaatan ruang
yang tidak sesuai dengan peruntukannya. Sebagai contoh, dalam Perda No.4 tahun
2015 tentang RTRW Kota Makassar ditetapkan bahwa Kecamatan Tamalanrea sebagai
kawasan peruntukan ruang untuk pusat kegiatan pendidikan tinggi dan penelitian.
Tapi kenyataan yang terjadi saat ini, telah tumbuh pula kegiatan-kegiatan jasa
perdagangan serta jasa hiburan. Pertanyaannya, apakah fungsi pengendalian telah
dilakukan pada wilayah tersebut? Padahal, beberapa poin dalam Pasal 37 UU. No.26/2007, telah dengan jelas
disebutkan, antara lain; izin pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan
rencana tata ruang wilayah dibatalkan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah
menurut kewenangan masing-masing (Poin 2), izin pemanfaatan ruang yang
dikeluarkan dan/atau diperoleh dengan tidak melalui prosedur yang benar, batal
demi hukum (Poin 3), izin pemanfaatan ruang yang diperoleh melalui prosedur
yang benar, tetapi kemudian terbukti tidak sesuai dengan rencana tata ruang
wilayah, dibatalkan oleh pemerintah dan pemerintah daerah sesuai kewenangannya
(Poin 4), serta pada poin 7 dinyatakan bahwa setiap pejabat pemerintah yang berwenang
menerbitkan izin pemanfaatan ruang, dilarang menerbitkan izin yang tidak sesuai
dengan rencana tata ruang. Dengan regulasi seperti itu, apakah masih tidak
memungkinkan pengendalian itu dilaksanakan?
Ketiga, Terkait
masalah disinsentif, sepertinya terdapat hal yang kontradiktif. Karena, di satu
sisi, disinsentif disebutkan sebagai perangkat untuk mencegah, membatasi
pertumbuhan atau mengurangi kegiatan yang tidak sejalan dengan rencana tata
ruang, tapi pada sisi yang lain, seperti membuka celah terjadinya pelanggaran
tata ruang. Oleh sebab itu, menurut hemat saya, instrumen disinsentif ini
semestinya tidak perlu ada dalam aturan tentang penataan ruang sehingga tertib
tata ruang betul-betul bisa diwujudkan.
Keempat, Dalam
rangka pengendalian pemanfaatan ruang, pemerintah telah membentuk PPNS
(Penyidik Pegawai Negeri Sipil) Bidang Penataan Ruang yang bertugas menyelidiki
pelanggaran penataan ruang. Namun, seperti disampaikan oleh Burhanuddin, ST,
MSP selaku Kepala Seksi Pengendalian Pemanfaatan Ruang Dinas Tata Ruang dan
Permukiman Sulawesi Selatan, pada Sosialisasi Pedoman Penyusunan RTR Kawasan
Strategis dan RDTR, mengatakan bahwa tugas pengendalian di lapangan sering
terkendala karena kekuatan hukum yang dimiliki oleh PPNS Penataan Ruang masih
lemah. Karena itu, diperlukan aturan yang kuat bagi posisi, tugas serta
kewenangan PPNS dalam menjalankan fungsinya secara efektif.
Kelima,
Memaksimalkan fungsi dan kerja dari Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah
(BKPRD), khususnya dalam upaya pengendalian pemanfaatan ruang. Sehingga tidak
hanya sebatas koordinasi dan konsultasi teknis pekerjaan tata ruang. Olehnya
itu, diperlukan kerja yang lebih komprehensif dalam memahami berbagai
permasalahan penataan ruang yang semakin kompleks,
Dari uraian
di atas, kita berharap fungsi pengendalian pemanfaatan ruang dapat berjalan
dengan sebaik-baiknya, sebagaimana yang diinginkan bersama. Jika tidak, maka
yang dikuatirkan akan terjadi konflik penataan ruang, yang pada gilirannya bisa
menimbulkan perebutan dan penguasaan atas ruang. Seperti halnya yang
diungkapkan oleh Prof.Dr.Ir. Tommy Eisenring dalam sebuah tulisan pengantarnya,
saat mengutip Henri Lefebvre, dengan memunculkan dua tipe penguasaan ruang yang
disebutnya sebagai ‘ruang abstrak’ (ruang-ruang terencana yang dikuasai oleh
pengguna moda produksi kapitalis – sektor formal) dan ‘ruang diferensial’
(ruang-ruang tak terencana yang dikuasai oleh pengguna moda produksi pra
kapitalis – sektor informal). Wallahu
a’lam bisshawab.
FAJAR Makassar, Desember 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar