Kamis, 10 Januari 2019

Teologi Lingkungan Hidup (Sebuah Perspektif atas Krisis Ekologi)


Hari Bumi dan Hari Lingkungan Hidup, yang diperingati masyarakat dunia setiap tahunnya adalah momentum untuk mengingatkan ulang, akan pentingnya lingkungan bagi kelangsungan kehidupan di atas bumi ini, di tengah berbagai krisis ekologi yang terjadi. Persoalan lingkungan, merupakan masalah global yang memerlukan perhatian dari semua pihak. Pada dunia Islam, permasalahan lingkungan pun melanda, termasuk Indonesia yang berpenduduk Muslim terbesar. Karena itu, tulisan ini dimaksudkan sebagai otokritik, sekaligus merupakan upaya untuk menggugah kembali, peran kaum muslimin dalam merespon berbagai persoalan dan isu penting yang melingkupi kehidupan, seperti; kesenjangan dan kemiskinan, pendidikan dan kualitas manusia, hak azasi manusia, serta juga masalah lingkungan. Sebab, kecenderungan yang terlihat dari tingkat kesadaran masyarakat Islam, terhadap krisis ekologi dan pemeliharaan lingkungan, nampaknya masih terlampau kecil.
Lalu, apa arti ‘Ekologi’ yang kondisinya, tengah merisaukan ini? Pada buku   “Hukum Tata Lingkungan”, Koesnadi Hardjasoemantri mengutip Mattews, yang mengemukakan bahwa fokus kajian ekologi adalah “The interrelationship between living organism and their environment.” Hal senada diujarkan Prof. Otto Soemarwoto, dalam “Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan” bahwa, “Ekologi adalah ilmu tentang hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya. Oleh karena itu, permasalahan lingkungan hidup pada hakikatnya adalah permasalahan ekologi.”
Islam dan Lingkungan Hidup
Prof.Dr. Emil Salim dalam tulisan pengantarnya pada buku “Menanam Sebelum Kiamat” menggambarkan betapa beberapa negara Barat non Muslim, telah memunculkan tokoh-tokoh yang memiliki andil besar dalam masalah lingkungan.  Sebut saja, Gro Harlen Brundtland, mantan Perdana Menteri Norwegia. Ia dikenal sebagai Ketua Komisi Brundtland yang memadukan lingkungan dengan pembangunan dalam konsep Sustainable Development, Pembangunan Berkelanjutan (1987). Demikian juga dengan Kanada yang melahirkan Maurice Strong, Ketua Sidang PBB pertama tentang Lingkungan Hidup Manusia, yang sekaligus menjadi motor penggerak kesepakatan Konferensi Dunia tentang Lingkungan dan Pembangunan di Rio de Janeiro, Brazil (1992). Pertanyaannya, bagaimana dengan Islam dan kaum Muslimin? Apakah secara teologis Islam kurang memberi perhatian soal lingkungan hidup? Persoalannya boleh jadi, karena kebanyakan kaum Muslim tidak melihat masalah lingkungan sebagai masalah agama. Oleh sebab itu, tidak dapat dipungkiri, jika respon umat Islam terhadap problem lingkungan, masih relatif rendah.
Fenomena tersebut seolah menunjukkan ada jarak antara sistem nilai Islam dengan sikap penganutnya. Apa penyebab umat Islam sepertinya kurang peduli terhadap lingkungan hidup?  Apakah karena proses transformasi dan internalisasi  nilai-nilai teologis, yang dilakukan oleh para tokoh umat, masih kurang maksimal? Mengapa tidak ada gerakan massif yang muncul terhadap persoalan lingkungan, seperti halnya yang dilakukan pada isu-isu politik belakangan ini? Padahal, bila ditelisik lebih dalam dari aspek teologis, ternyata, Islam memiliki khazanah pengetahuan dan kearifan terhadap lingkungan, yang begitu luas. Seyyed Mohsen Miri menyebut, salah satu prinsip filsafat lingkungan  hidup Islam ialah bahwa alam semesta diciptakan berdasarkan keseimbangan dan harmoni antar-anggota alam tersebut. Tentang hal itu, Allah berfirman: “Kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pengasih sesuatu yang tidak seimbang.” (QS. Al-Mulk:3) Tuhan pun sejak awal mengingatkan, “Dan janganlah kalian membuat kerusakan di muka bumi setelah Allah menciptakannya/memperbaikinya dengan baik.” (QS. Al-A’raf:56) Dengan demikian, bila ada manusia yang melakukan kerusakan terhadap alam dan lingkungan, maka sesungguhnya ia telah mengingkari tugas kosmiknya sebagai khalifah yang menjaga serta melestarikan alam semesta ini. “Telah nampak kerusakan di daratan dan lautan, akibat perbuatan tangan manusia….” (QS. Ar-Rum:41) Di ayat lain disebutkan, “Dan mereka berbuat kerusakan di muka bumi, sementara Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (QS. Al-Maidah:64)
Lantas, mengapa ada kesenjangan antara nilai dan cita-cita Islam dengan perilaku kaum muslimin terhadap masalah lingkungan? Adakah kesalahan mendasar yang terjadi atas hubungan manusia dengan alam? Bagi Prof. Seyyed Hossein Nasr, krisis ekologis dan pelbagai jenis kerusakan bumi, yang telah berlangsung sejak lama, berakar pada krisis spiritual dan eksistensial manusia modern. Dalam “Man and Nature: The Spiritual Crisis in Modern Man”, Nasr menyebutkan bahwa pada pandangan modernisme, kosmos telah mati dan hanyalah sebagai kumpulan onggokan benda mati, materi yang tidak bernyawa, tak berperasaan, tidak bernilai, kecuali semata-mata nilai keuntungan ekonomis. Ia juga menulis, “Krisis lingkungan bisa dikatakan disebabkan oleh penolakan manusia untuk melihat Tuhan sebagai ‘Lingkungan’ yang nyata, yang mengelilingi manusia dan memelihara kehidupannya. Kerusakan lingkungan merupakan akibat dari upaya manusia modern untuk memandang lingkungan alam sebagai tatanan realitas yang secara ontologis berdiri sendiri, terpisah dari Lingkungan Ilahiah yang tanpa berkah pembebasan-Nya lingkungan menjadi sekarat dan mati.”
Terkait dengan itu, Husain Heriyanto pada sebuah tulisannya, menggambarkan kekhawatitan sejumlah cendekiawan dunia tentang masa depan Bumi dan tumbuhnya kesadaran akan kebutuhan kosmologi baru yang berdimensi spiritual, yang kemudian melahirkan gerakan lingkungan yang bersifat radikal dan mendasar. Adalah Arne Naess, filsuf asal Norwegia, sebagai penggagas dari gerakan ini, yang disebutnya dengan Deep Ecology (Ekologi Dalam). Gerakan ini tidak lagi berwatak antroposentris sebagaimana pada Shallow Ecology, namun berkarakter ekosentris, yang memandang manusia sebagai bagian integral tak terpisahkan dari alam kosmos. Husain juga menyinggung Gary Gardner dalam Invoking the Spirit: Religion and Spirituality in the Quest  for A Sustainable World, yang mendesak para environmentalist (pemerhati dan aktivis lingkungan) untuk menjalin kerja sama dengan kaum agamawan, menyelamatkan rumah ekologis kita, Bumi tercinta. 
Namun disayangkan, dengan kenyataan yang kita saksikan, bahwa di antara pemuka agama Islam, hanya segelintir saja yang peduli, bersuara lantang dan mau memperjuangkan ajaran Islam mengenai lingkungan, serta mengkritik langkah-langkah institusi pemerintahan dan lembaga swasta yang membahayakan kondisi lingkungan.  Padahal, secara teologi, Islam sangat menekankan upaya merperbaiki cara pandang dan sikap hidup manusia untuk melestarikan lingkungan. Yang mesti disadari manusia dalam kedudukannya sebagai khalifah, tentu harus mengikuti setiap tindakan Sang Pemilik Kuasa dalam menyikapi berbagai persoalan. Sebagai wakil Tuhan, tanpa keselarasan atas pengetahuan dan kehendak Tuhan, maka secara mendasar, merupakan upaya merampas kuasa Otoritas Yang Mutlak sambil menuruti kuasa yang lain. “Dan sungguh, Kami telah menempatkan kamu di bumi dan di sana Kami sediakan (sumber) penghidupan untukmu. Tetapi sedikit sekali kamu bersyukur.” (QS. Al-A’raf : 10)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Rezim Yang Ambigu dan Problem Lingkungan di Indonesia

Permasalahan lingkungan hidup, telah mendapat perhatian besar di hampir semua negara. Ini terutama terjadi sejak dasawarsa 1970-an setelah d...