Hari Bumi dan Hari Lingkungan Hidup, yang diperingati masyarakat
dunia setiap tahunnya adalah momentum untuk mengingatkan ulang, akan pentingnya
lingkungan bagi kelangsungan kehidupan di atas bumi ini, di tengah berbagai
krisis ekologi yang terjadi. Persoalan lingkungan, merupakan masalah global
yang memerlukan perhatian dari semua pihak. Pada dunia Islam, permasalahan
lingkungan pun melanda, termasuk Indonesia yang berpenduduk Muslim terbesar.
Karena itu, tulisan ini dimaksudkan sebagai otokritik, sekaligus merupakan
upaya untuk menggugah kembali, peran kaum muslimin dalam merespon berbagai
persoalan dan isu penting yang melingkupi kehidupan, seperti; kesenjangan dan
kemiskinan, pendidikan dan kualitas manusia, hak azasi manusia, serta juga
masalah lingkungan. Sebab, kecenderungan yang terlihat dari tingkat kesadaran
masyarakat Islam, terhadap krisis ekologi dan pemeliharaan lingkungan,
nampaknya masih terlampau kecil.
Lalu, apa arti ‘Ekologi’ yang kondisinya, tengah merisaukan ini?
Pada buku “Hukum Tata Lingkungan”,
Koesnadi Hardjasoemantri mengutip Mattews, yang mengemukakan bahwa fokus kajian
ekologi adalah “The interrelationship
between living organism and their environment.” Hal senada diujarkan Prof.
Otto Soemarwoto, dalam “Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan” bahwa, “Ekologi adalah ilmu tentang hubungan timbal
balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya. Oleh karena itu, permasalahan
lingkungan hidup pada hakikatnya adalah permasalahan ekologi.”
Islam dan
Lingkungan Hidup
Prof.Dr. Emil Salim dalam tulisan pengantarnya pada buku “Menanam
Sebelum Kiamat” menggambarkan betapa beberapa negara Barat non Muslim, telah
memunculkan tokoh-tokoh yang memiliki andil besar dalam masalah
lingkungan. Sebut saja, Gro Harlen
Brundtland, mantan Perdana Menteri Norwegia. Ia dikenal sebagai Ketua Komisi
Brundtland yang memadukan lingkungan dengan pembangunan dalam konsep Sustainable Development, Pembangunan
Berkelanjutan (1987). Demikian juga dengan Kanada yang melahirkan Maurice
Strong, Ketua Sidang PBB pertama tentang Lingkungan Hidup Manusia, yang
sekaligus menjadi motor penggerak kesepakatan Konferensi Dunia tentang
Lingkungan dan Pembangunan di Rio de Janeiro, Brazil (1992). Pertanyaannya,
bagaimana dengan Islam dan kaum Muslimin? Apakah secara teologis Islam kurang
memberi perhatian soal lingkungan hidup? Persoalannya boleh jadi, karena
kebanyakan kaum Muslim tidak melihat masalah lingkungan sebagai masalah agama.
Oleh sebab itu, tidak dapat dipungkiri, jika respon umat Islam terhadap problem
lingkungan, masih relatif rendah.
Fenomena tersebut seolah menunjukkan ada jarak antara sistem nilai
Islam dengan sikap penganutnya. Apa penyebab umat Islam sepertinya kurang
peduli terhadap lingkungan hidup? Apakah
karena proses transformasi dan internalisasi
nilai-nilai teologis, yang dilakukan oleh para tokoh umat, masih kurang
maksimal? Mengapa tidak ada gerakan massif yang muncul terhadap persoalan
lingkungan, seperti halnya yang dilakukan pada isu-isu politik belakangan ini?
Padahal, bila ditelisik lebih dalam dari aspek teologis, ternyata, Islam
memiliki khazanah pengetahuan dan kearifan terhadap lingkungan, yang begitu
luas. Seyyed Mohsen Miri menyebut, salah satu prinsip filsafat lingkungan hidup Islam ialah bahwa alam semesta
diciptakan berdasarkan keseimbangan dan harmoni antar-anggota alam tersebut.
Tentang hal itu, Allah berfirman: “Kamu
sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pengasih sesuatu yang
tidak seimbang.” (QS. Al-Mulk:3) Tuhan pun sejak awal mengingatkan, “Dan janganlah kalian membuat kerusakan di
muka bumi setelah Allah menciptakannya/memperbaikinya dengan baik.” (QS.
Al-A’raf:56) Dengan demikian, bila ada manusia yang melakukan kerusakan
terhadap alam dan lingkungan, maka sesungguhnya ia telah mengingkari tugas
kosmiknya sebagai khalifah yang menjaga serta melestarikan alam semesta ini. “Telah nampak kerusakan di daratan dan
lautan, akibat perbuatan tangan manusia….” (QS. Ar-Rum:41) Di ayat lain
disebutkan, “Dan mereka berbuat kerusakan
di muka bumi, sementara Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat
kerusakan.” (QS. Al-Maidah:64)
Lantas, mengapa ada kesenjangan antara nilai dan cita-cita Islam
dengan perilaku kaum muslimin terhadap masalah lingkungan? Adakah kesalahan
mendasar yang terjadi atas hubungan manusia dengan alam? Bagi Prof. Seyyed
Hossein Nasr, krisis ekologis dan pelbagai jenis kerusakan bumi, yang telah
berlangsung sejak lama, berakar pada krisis spiritual dan eksistensial manusia
modern. Dalam “Man and Nature: The
Spiritual Crisis in Modern Man”, Nasr menyebutkan bahwa pada pandangan
modernisme, kosmos telah mati dan hanyalah sebagai kumpulan onggokan benda
mati, materi yang tidak bernyawa, tak berperasaan, tidak bernilai, kecuali
semata-mata nilai keuntungan ekonomis. Ia juga menulis, “Krisis lingkungan bisa dikatakan disebabkan oleh penolakan manusia
untuk melihat Tuhan sebagai ‘Lingkungan’ yang nyata, yang mengelilingi manusia
dan memelihara kehidupannya. Kerusakan lingkungan merupakan akibat dari upaya
manusia modern untuk memandang lingkungan alam sebagai tatanan realitas yang
secara ontologis berdiri sendiri, terpisah dari Lingkungan Ilahiah yang tanpa berkah pembebasan-Nya lingkungan
menjadi sekarat dan mati.”
Terkait dengan itu, Husain Heriyanto pada sebuah tulisannya,
menggambarkan kekhawatitan sejumlah cendekiawan dunia tentang masa depan Bumi
dan tumbuhnya kesadaran akan kebutuhan kosmologi baru yang berdimensi
spiritual, yang kemudian melahirkan gerakan lingkungan yang bersifat radikal
dan mendasar. Adalah Arne Naess, filsuf asal Norwegia, sebagai penggagas dari
gerakan ini, yang disebutnya dengan Deep
Ecology (Ekologi Dalam). Gerakan ini tidak lagi berwatak antroposentris
sebagaimana pada Shallow Ecology,
namun berkarakter ekosentris, yang memandang manusia sebagai bagian integral
tak terpisahkan dari alam kosmos. Husain juga menyinggung Gary Gardner dalam Invoking the Spirit: Religion and
Spirituality in the Quest for A
Sustainable World, yang mendesak para environmentalist
(pemerhati dan aktivis lingkungan) untuk menjalin kerja sama dengan kaum
agamawan, menyelamatkan rumah ekologis kita, Bumi tercinta.
Namun disayangkan, dengan kenyataan yang kita saksikan, bahwa di
antara pemuka agama Islam, hanya segelintir saja yang peduli, bersuara lantang
dan mau memperjuangkan ajaran Islam mengenai lingkungan, serta mengkritik
langkah-langkah institusi pemerintahan dan lembaga swasta yang membahayakan
kondisi lingkungan. Padahal, secara
teologi, Islam sangat menekankan upaya merperbaiki cara pandang dan sikap hidup
manusia untuk melestarikan lingkungan. Yang mesti disadari manusia dalam
kedudukannya sebagai khalifah, tentu harus mengikuti setiap tindakan Sang
Pemilik Kuasa dalam menyikapi berbagai persoalan. Sebagai wakil Tuhan, tanpa
keselarasan atas pengetahuan dan kehendak Tuhan, maka secara mendasar,
merupakan upaya merampas kuasa Otoritas Yang Mutlak sambil menuruti kuasa yang
lain. “Dan sungguh, Kami telah menempatkan
kamu di bumi dan di sana Kami sediakan (sumber) penghidupan untukmu. Tetapi
sedikit sekali kamu bersyukur.” (QS. Al-A’raf : 10)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar