Jumat, 31 Juli 2020

Memaknai (Kembali) Perjalanan Haji

Islam adalah agama yang mencakup seluruh aspek kehidupan manusia, yang datang dari Allah SWT. Ia merupakan ajaran yang membawa semua bentuk kesempurnaan bagi manusia. Ajaran Islam dapat diterapkan di seluruh tempat serta mampu memberikan manfaat bagi manusia di atas muka bumi ini. Atas dasar ini, agama Islam membawa keberuntungan bagi umat manusia di sepanjang masa dan sejarah, serta menjunjung tinggi nilai-nilai kesempurnaan insan.
Ibadah haji bagi kaum Muslim, merupakan sebuah peristiwa yang sangat dirindukan. Sebab, haji yang merupakan salah satu pilar Rukun Islam yang lima, juga sekaligus menjadi jalan menuju kesempurnaan ibadah. Allah SWT berfirman, “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah.” Itulah saat-saat yang begitu dinantikan seluruh kaum Muslimin.
Bahkan di negeri kita ini, masyarakat rela antri puluhan tahun untuk menunaikan ibadah yang satu ini. Sebuah pertemuan akbar sedunia untuk menunjukkan kebesaran Islam. Inilah sisi-sisi politik yang merupakan salah satu makna dari ibadah haji yang tidak sama dengan ibadah-ibadah lain. Dari aspek ini, yang jika dipahami secara cermat, dapat menjadi kesempatan terbaik bagi umat Islam, untuk bertatap muka dan membahas berbagai persoalan dan problematika umat, serta membentuk kesatuan dalam menghadapi musuh-musuh kaum Muslimin.
Jamaah haji dari bermacam-macam bangsa dan negara, berzikir dengan bahasa yang sama. Pakaian mereka adalah pakaian ihram yang sama. Tak ada beda raja dengan hamba sahaya, pembesar dengan rakyat jelata, ilmuwan dengan orang biasa. Semua gelar yang membanggakan, sekarang ditinggalkan; segala pakaian atau kekayaan yang sering ditampakkan, kini dilepaskan; seluruh pangkat kebesaran yang sering ditonjolkan, sekarang dilepaskan. Semua sama di hadapan Allah Rabbul Alamin, semua kecil di depan penguasa Alam Semesta. Suatu konfigurasi kekuatan raksasa yang menakjubkan, mencerminkan kesatuan ummah yang berpadu dalam akidah dan ibadah.
Abul A’la al-Maududi dalam makna haji lainnya menulis bahwa di dunia ini, manusia biasanya melakukan dua jenis perjalanan. Perjalanan pertama dilakukan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Perjalanan kedua adalah yang dikerjakan untuk kesenangan dan melihat keindahan alam. Dalam kedua perjalanan tersebut, manusia dituntut melakukannya disebabkan kebutuhan dan keinginan-keinginannya. Dia meninggalkan rumah, menghabiskan waktu atau sejumlah uang demi maksudnya serta kebutuhan-kebutuhannya sendiri.
Namun, kedudukan perjalanan haji, sangat berbeda dengan perjalanan-perjalanan lainnya. Perjalanan ini sama sekali tidak dimaksudkan untuk meraih tujuan serta hasrat-hasrat seseorang. Ia ditujukan hanya untuk Allah, dan untuk melaksanakan kewajiban yang telah ditetapkan Allah. Karena itu, tidak seorang pun dapat mempersiapkan dirinya, untuk melaksanakan perjalanan haji kecuali ia telah memiliki cinta kepada Allah, dan merasakan dengan sangat bahwa tugas yang dicanangkan Allah adalah wajib atasnya.
Oleh karenanya, bagi yang merencanakan untuk berhaji, dengan berpisah dari keluarganya untuk suatu periode waktu tertentu, meninggalkan bisnis dan usahanya, membelanjakan harta serta menanggung lelahnya perjalanan, maka dengan pengorbanannya itu, menunjukkan suatu bukti bahwa di dalam hatinya ada ketakwaan kepada Allah dan cinta untuk-Nya.
Ibadah haji bukanlah sebuah perjalanan biasa untuk tujuan-tujuan duniawi. Ia merupakan perjalanan menuju Allah. Mereka tengah berangkat menuju Rumah Allah. Olehnya itu, semua yang dikerjakan haruslah dilakukan dengan sempurna. Seperti halnya orang-orang suci yang berangkat menuju Allah sepanjang hidup mereka, di mana tidak satu pun langkah yang menyimpang dari yang telah disiapkan, sebagai suatu program untuk berhubungan dengan Allah.
Para jamaah haji, kini dalam statusnya “Kembali kepada Allah”. Pada tempat di mana mereka pergi, yaitu ‘miqat’ mereka melantunkan labbaik kepada Allah yang itu berarti, mereka menjawab panggilan-Nya. Sejatinya, ketika melaksanakan ibadah haji, seseorang mesti menyadari bahwa haji merupakan sebuah panggilan untuk merendahkan diri di hadapan Allah. Ini termanifestasi dengan jelas dalam ritual-ritual haji, yang menunjukkan bentuk penghambaan kepada Allah serta menolak penghambaan kepada selain-Nya.
Namun, sebuah ironi yang sekaligus kenyataan yang ada dalam masyarakat kita, bahwa kehajian mereka tidak identik dengan perilaku mereka. Haji seringkali menjadi ternoda disebabkan sifat buruk dan tangan-tangan yang kotor dengan urusan duniawi. Berapa banyak manusia yang telah pergi haji, tetapi kelakuan mereka sama seperti mereka belum berhaji. Orang-orang seperti ini, telah pergi menunaikan ibadah haji tapi sayangnya belum menjadi haji. Karena, dalam diri mereka masih mengutamakan kepentingan-kepentingan dunia dibandingkan akhirat.
Dalam bukunya “Reformasi Sufistik”, Dr. Jalaluddin Rakhmat mengingatkan kita akan beberapa hal, antara lain:
Pertama, orang tidak boleh dengan mudah terpesona melihat kesalehan dalam ibadat. Tidak jarang kesalehan seperti itu menyembunyikan kepribadian yang tercela. Ia menjadikan kesalehan sebagai kosmetik untuk menghias wajahnya yang bercacat. Orang yang dipuji sebagai orang saleh, seringkali merasa diri paling utama, paling benar dan paling baik dari orang-orang di sekitarnya.
Kedua, ibadah ritual hanyalah wajah lahiriah dari keberagamaan orang. Ia adalah bagian eksoteris yang mudah dilihat dan karena itu, mudah dimanipulasi untuk memberikan kesan yang diharapkan. Dengan ibadah ritual, seseorang dapat memperoleh keuntungan sosial, finansial atau politik.
Ketiga, inti keberagamaan seseorang adalah akhlaknya. Ritus-ritus peribadatan ditetapkan untuk mengantarkan orang kepada ketinggian akhlak.
Terkait hal itu, pada suatu hari, para sahabat membincangkan seseorang yang mereka kenal sangat saleh dan rajin beribadah. Mereka gambarkan sifat-sifatnya di hadapan Nabi SAW. Beliau diam. Belum selesai membicarakannya, orang itu muncul. Sahabat berteriak. “Itulah orangnya! Nabi SAW bersabda, “Kalian telah membicarakan seseorang yang tampak di wajahnya sentuhan setan.”
Ketika orang itu mendekat, Rasulullah bertanya kepadanya. “Demi Allah, apakah Anda berkata dalam hati saat berdiri di depan majelis ini, “Tidak ada seorang pun di sini yang lebih utama dan lebih baik dari diriku.” Ia menjawab, “Memang benar begitu.” Segera ia meninggalkan majelis Nabi. Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya, orang ini dan kelompoknya membaca Al-Quran, tetapi bacaan mereka hanya sampai pada tenggorokannya saja. Mereka terlepas dari agama, seperti terlepasnya anak panah dari busurnya. Sekiranya orang ini tiada, maka tidak seorang pun di antara umatku akan pecah.”
Ibadah haji sesungguhnya mengungkapkan inti ajaran Islam: tauhidul ibadah dan tauhidul ummah, mempersatukan pengabdian dan mempersatukan ummah. Demikian istilah Jalaluddin Rakhmat dalam bukunya yang lain. Kita bisa bayangkan, setiap hari jutaan manusia beribadah dengan cara yang sama dan membaca dengan bacaan yang sama.
Karenanya, dari kesatuan ibadah inilah lahir kesatuan ummah. Islam bukan saja mengajarkan bahwa semua manusia adalah sama di hadapan Allah, tetapi Islam juga mengutuk sikap yang melebihkan satu kelompok manusia atas kelompok yang lain. Merasa mempunyai derajat yang lebih tinggi daripada orang lain karena keturunan, kekuasaan, pengetahuan dan yang lainnya.
Akhirnya, harapan kita semua, seorang yang telah berhaji sudah semestinya adalah manusia yang menjadikan Allah sebagai tujuan hidupnya. Mereka yang menyadari bahwa jalan Allah adalah jalan umat manusia. Sehingga haji mabrur adalah mereka yang menunaikan haji dengan niat yang tulus, mensucikan diri ketika berangkat, dan saat kembali hatinya telah bersih, condong kepada keadilan, kebenaran, kemanusiaan serta persatuan. Wallahu a’lam bisshawab.
Makassar, September 2015

Rezim Yang Ambigu dan Problem Lingkungan di Indonesia

Permasalahan lingkungan hidup, telah mendapat perhatian besar di hampir semua negara. Ini terutama terjadi sejak dasawarsa 1970-an setelah d...