Islam adalah agama yang mencakup seluruh aspek kehidupan manusia,
yang datang dari Allah SWT. Ia merupakan ajaran yang membawa semua bentuk
kesempurnaan bagi manusia. Ajaran Islam dapat diterapkan di seluruh tempat
serta mampu memberikan manfaat bagi manusia di atas muka bumi ini. Atas dasar
ini, agama Islam membawa keberuntungan bagi umat manusia di sepanjang masa dan
sejarah, serta menjunjung tinggi nilai-nilai kesempurnaan insan.
Ibadah haji bagi kaum Muslim, merupakan sebuah peristiwa yang
sangat dirindukan. Sebab, haji yang merupakan salah satu pilar Rukun Islam yang
lima, juga sekaligus menjadi jalan menuju kesempurnaan ibadah. Allah SWT
berfirman, “Mengerjakan haji adalah
kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan
perjalanan ke Baitullah.” Itulah saat-saat yang begitu dinantikan seluruh
kaum Muslimin.
Bahkan di negeri kita ini, masyarakat rela antri puluhan tahun
untuk menunaikan ibadah yang satu ini. Sebuah pertemuan akbar sedunia untuk
menunjukkan kebesaran Islam. Inilah sisi-sisi politik yang merupakan salah satu
makna dari ibadah haji yang tidak sama dengan ibadah-ibadah lain. Dari aspek
ini, yang jika dipahami secara cermat, dapat menjadi kesempatan terbaik bagi
umat Islam, untuk bertatap muka dan membahas berbagai persoalan dan
problematika umat, serta membentuk kesatuan dalam menghadapi musuh-musuh kaum Muslimin.
Jamaah haji dari bermacam-macam bangsa dan negara, berzikir dengan
bahasa yang sama. Pakaian mereka adalah pakaian ihram yang sama. Tak ada beda
raja dengan hamba sahaya, pembesar dengan rakyat jelata, ilmuwan dengan orang
biasa. Semua gelar yang membanggakan, sekarang ditinggalkan; segala pakaian
atau kekayaan yang sering ditampakkan, kini dilepaskan; seluruh pangkat
kebesaran yang sering ditonjolkan, sekarang dilepaskan. Semua sama di hadapan
Allah Rabbul Alamin, semua kecil di depan penguasa Alam Semesta. Suatu
konfigurasi kekuatan raksasa yang menakjubkan, mencerminkan kesatuan ummah yang
berpadu dalam akidah dan ibadah.
Abul A’la al-Maududi dalam makna haji lainnya menulis bahwa di
dunia ini, manusia biasanya melakukan dua jenis perjalanan. Perjalanan pertama
dilakukan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Perjalanan kedua adalah yang
dikerjakan untuk kesenangan dan melihat keindahan alam. Dalam kedua perjalanan
tersebut, manusia dituntut melakukannya disebabkan kebutuhan dan
keinginan-keinginannya. Dia meninggalkan rumah, menghabiskan waktu atau
sejumlah uang demi maksudnya serta kebutuhan-kebutuhannya sendiri.
Namun, kedudukan perjalanan haji, sangat berbeda dengan
perjalanan-perjalanan lainnya. Perjalanan ini sama sekali tidak dimaksudkan
untuk meraih tujuan serta hasrat-hasrat seseorang. Ia ditujukan hanya untuk
Allah, dan untuk melaksanakan kewajiban yang telah ditetapkan Allah. Karena
itu, tidak seorang pun dapat mempersiapkan dirinya, untuk melaksanakan
perjalanan haji kecuali ia telah memiliki cinta kepada Allah, dan merasakan
dengan sangat bahwa tugas yang dicanangkan Allah adalah wajib atasnya.
Oleh karenanya, bagi yang merencanakan untuk berhaji, dengan
berpisah dari keluarganya untuk suatu periode waktu tertentu, meninggalkan
bisnis dan usahanya, membelanjakan harta serta menanggung lelahnya perjalanan,
maka dengan pengorbanannya itu, menunjukkan suatu bukti bahwa di dalam hatinya
ada ketakwaan kepada Allah dan cinta untuk-Nya.
Ibadah haji bukanlah sebuah perjalanan biasa untuk tujuan-tujuan
duniawi. Ia merupakan perjalanan menuju Allah. Mereka tengah berangkat menuju
Rumah Allah. Olehnya itu, semua yang dikerjakan haruslah dilakukan dengan
sempurna. Seperti halnya orang-orang suci yang berangkat menuju Allah sepanjang
hidup mereka, di mana tidak satu pun langkah yang menyimpang dari yang telah
disiapkan, sebagai suatu program untuk berhubungan dengan Allah.
Para jamaah haji, kini dalam statusnya “Kembali kepada Allah”.
Pada tempat di mana mereka pergi, yaitu ‘miqat’
mereka melantunkan labbaik kepada
Allah yang itu berarti, mereka menjawab panggilan-Nya. Sejatinya, ketika
melaksanakan ibadah haji, seseorang mesti menyadari bahwa haji merupakan sebuah
panggilan untuk merendahkan diri di hadapan Allah. Ini termanifestasi dengan
jelas dalam ritual-ritual haji, yang menunjukkan bentuk penghambaan kepada
Allah serta menolak penghambaan kepada selain-Nya.
Namun, sebuah ironi yang sekaligus kenyataan yang ada dalam
masyarakat kita, bahwa kehajian mereka tidak identik dengan perilaku mereka.
Haji seringkali menjadi ternoda disebabkan sifat buruk dan tangan-tangan yang
kotor dengan urusan duniawi. Berapa banyak manusia yang telah pergi haji,
tetapi kelakuan mereka sama seperti mereka belum berhaji. Orang-orang seperti
ini, telah pergi menunaikan ibadah haji tapi sayangnya belum menjadi haji.
Karena, dalam diri mereka masih mengutamakan kepentingan-kepentingan dunia
dibandingkan akhirat.
Dalam bukunya “Reformasi Sufistik”, Dr. Jalaluddin Rakhmat
mengingatkan kita akan beberapa hal, antara lain:
Pertama, orang
tidak boleh dengan mudah terpesona melihat kesalehan dalam ibadat. Tidak jarang
kesalehan seperti itu menyembunyikan kepribadian yang tercela. Ia menjadikan
kesalehan sebagai kosmetik untuk menghias wajahnya yang bercacat. Orang yang
dipuji sebagai orang saleh, seringkali merasa diri paling utama, paling benar
dan paling baik dari orang-orang di sekitarnya.
Kedua, ibadah
ritual hanyalah wajah lahiriah dari keberagamaan orang. Ia adalah bagian
eksoteris yang mudah dilihat dan karena itu, mudah dimanipulasi untuk
memberikan kesan yang diharapkan. Dengan ibadah ritual, seseorang dapat
memperoleh keuntungan sosial, finansial atau politik.
Ketiga, inti
keberagamaan seseorang adalah akhlaknya. Ritus-ritus peribadatan ditetapkan
untuk mengantarkan orang kepada ketinggian akhlak.
Terkait hal itu, pada suatu hari, para sahabat membincangkan
seseorang yang mereka kenal sangat saleh dan rajin beribadah. Mereka gambarkan
sifat-sifatnya di hadapan Nabi SAW. Beliau diam. Belum selesai membicarakannya,
orang itu muncul. Sahabat berteriak. “Itulah orangnya! Nabi SAW bersabda, “Kalian telah membicarakan seseorang yang
tampak di wajahnya sentuhan setan.”
Ketika orang itu mendekat, Rasulullah bertanya kepadanya. “Demi
Allah, apakah Anda berkata dalam hati saat berdiri di depan majelis ini, “Tidak
ada seorang pun di sini yang lebih utama dan lebih baik dari diriku.” Ia
menjawab, “Memang benar begitu.” Segera ia meninggalkan majelis Nabi.
Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya,
orang ini dan kelompoknya membaca Al-Quran, tetapi bacaan mereka hanya sampai
pada tenggorokannya saja. Mereka terlepas dari agama, seperti terlepasnya anak
panah dari busurnya. Sekiranya orang ini tiada, maka tidak seorang pun di
antara umatku akan pecah.”
Ibadah haji sesungguhnya mengungkapkan inti ajaran Islam: tauhidul ibadah dan tauhidul ummah, mempersatukan pengabdian dan mempersatukan ummah.
Demikian istilah Jalaluddin Rakhmat dalam bukunya yang lain. Kita bisa
bayangkan, setiap hari jutaan manusia beribadah dengan cara yang sama dan
membaca dengan bacaan yang sama.
Karenanya, dari kesatuan ibadah inilah lahir kesatuan ummah. Islam
bukan saja mengajarkan bahwa semua manusia adalah sama di hadapan Allah, tetapi
Islam juga mengutuk sikap yang melebihkan satu kelompok manusia atas kelompok
yang lain. Merasa mempunyai derajat yang lebih tinggi daripada orang lain
karena keturunan, kekuasaan, pengetahuan dan yang lainnya.
Akhirnya, harapan kita semua, seorang yang telah berhaji sudah
semestinya adalah manusia yang menjadikan Allah sebagai tujuan hidupnya. Mereka
yang menyadari bahwa jalan Allah adalah jalan umat manusia. Sehingga haji
mabrur adalah mereka yang menunaikan haji dengan niat yang tulus, mensucikan
diri ketika berangkat, dan saat kembali hatinya telah bersih, condong kepada
keadilan, kebenaran, kemanusiaan serta persatuan. Wallahu a’lam bisshawab.
Makassar, September 2015