Minggu, 31 Januari 2021

Problematika Tata Ruang dan “Bencana Pembangunan”

Penataan ruang adalah pedoman untuk pembangunan. Begitu yang sering disebutkan tentang tata ruang. Tapi anehnya, atas nama pembangunan pula, tata ruang kerapkali diabaikan dan dilanggar. Kebijakan dan regulasinya pun diutak-atik dan diubah secara parsial hanya untuk tujuan dan kepentingan tertentu. Namun, perubahan yang dilakukan, cenderung hanya menyasar aturan-aturan teknis untuk memuluskan kepentingan yang akan dituju oleh rezim penguasa yakni: Investasi. Siapa saja dan dari mana saja investor yang telah dihamparkan karpet merah itu? Entahlah!

Padahal, jika sekiranya memang sungguh-sungguh ingin melakukan perubahan fundamental terhadap penyelenggaraan penataan ruang, mengapa dilakukan sebagian-sebagian saja? Semestinya, sekalian saja mengubah atau merevisi secara menyeluruh  pedoman penataan ruang kita selama ini, yakni UU.26 Tahun 2007 (UUPR). Sebagai awal, kita bisa menelisik tujuan penyelenggaraan penataan ruang yang tertuang pada Pasal 3. Di sana disebutkan bahwa: “Penyelenggaraan penataan ruang bertujuan untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional.” Tujuan ini setidaknya memunculkan pertanyaan, apakah penataan ruang kita, sungguh-sungguh sudah menjadikan wawasan nusantara dan ketahanan nasional sebagai landasannya? Lalu, mengapa ketimpangan, kesenjangan atau disparitas antarwilayah, antardaerah serta ketidakadilan ruang masih mejadi problem besar hingga saat ini? Pada dasarnya, Wawasan Nusantara itu mengajarkan bahwa kita hendaknya tidak sampai kehilangan kesadaran bahwa Indonesia ini meliputi wilayah, kebudayaan, bahasa yang beragam, dan dalam kemajemukan itu rakyat, bangsa, negara dan wilayah Nusantara merupakan kesatuan utuh dan setara yang tidak bisa dipisah-pisahkan. Karena itu, sejatinya tidak boleh ada perlakuan yang timpang dan tidak adil terhadap penggunaan ruang, baik ruang antarwilayah maupun ruang antardaerah. Contoh jamak yang sudah lama berlangsung dan mengusik sisi kemanusiaan kita, misalnya, satu sisi terjadi penguasaan secara mudah dan leluasa terhadap lahan, tanah (ruang) jutaan hektar oleh korporasi atau segelintir orang, sementara sisi lainnya, masyarakat adat yang sudah sekian lama berjuang untuk mendapatkan hak wilayahnya, tak juga kunjung memperoleh pengakuan. Hal-hal semacam ini semestinya sudah harus dihentikan.

Problem berikut ialah seperti apa pelibatan dan partisipasi rakyat/publik dalam penataan ruang? Pada Pasal 65 ayat 1 dan 2 UUPR, dengan jelas dinyatakan bahwa penyelenggaraan penataan ruang dilakukan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah dengan melibatkan peran masyarakat. Namun, dalam prakteknya masih sebatas seremonial dan sifatnya formalitas, seperti tampak dalam kegiatan konsultasi publik produk tata ruang. Dari kenyataan demikian, bila partisipasi rakyat dikaitkan dengan demokrasi formal/prosedural, maka tampaknya ada relevansinya, apa yang pernah dibilangkan Noam Chomsky dalam “How the World Works” bahwa pada kurun waktu yang panjang, keterlibatan publik dalam perencanaan dan implementasi kebijakan selalu saja terpinggirkan. Inilah masyarakat yang dikendalikan oleh bisnis.

Problem lainnya yang tak kalah mengkhawatirkan ialah timbulnya apa yang saya sebut sebagai “Bencana Pembangunan”. Ada dua jenis yang saya maksudkan “bencana pembangunan”. Pertama, pekerjaan atau kegiatan pembangunan yang secara nyata melanggar aturan tata ruang, namun tetap saja didiamkan, tanpa ada tindakan. Kedua, pekerjaan/kegiatan pembangunan yang tidak berbasis dalam dokumen perencanaan atau yang dimasukkan dan dicantumkan pada dokumen perencanaan saat proyek pembangunan tersebut tengah berlangsung. Faktor seperti inilah yang memicu apa yang diistilahkan oleh JO.Simmonds sebagai ecological suicide. Meminjam istilah tersebut, maka saya bisa katakan bila saat bersamaan terjadi pula spatial-planning suicide dan development-planning suicide.  Keduanya merupakan penyumbang besar terjadinya bencana hidrometeorologi seperti banjir, longsor dan banjir bandang. Khusus, untuk jenis kedua dari “bencana pembangunan” yang telah disinggung, sepertinya akan banyak kita jumpai di waktu-waktu mendatang, karena sudah terlegitimasi dengan disisipkannya pasal 34A yang problematik itu ke dalam UUPR jalur omnibus law cipta kerja. Dalam ketentuan tersebut, secara eksplisit memberikan pembenaran bahwa pemanfaatan ruang tetap dapat dilaksanakan meski tidak termuat dalam rencana tata ruang dan/atau rencana zonasi, dengan alasan terdapat perubahan kebijakan nasional yang bersifat strategis. Model penerapan sistem kebijakan tata ruang semacam itu, akhirnya memantik tanya, sebetulnya tata ruang kita menganut sistem kebijakan yang mana? Apakah Regulatory System ataukah Discretionary System atau gabungan dari keduanya?

Demikianlah sebagian dari problematika tata ruang yang kita alami. Lantas, perlukah kita merumuskan ulang Visi Tata Ruang Indonesia untuk waktu mendatang? Wallahu a’lam bisshawab.

Rezim Yang Ambigu dan Problem Lingkungan di Indonesia

Permasalahan lingkungan hidup, telah mendapat perhatian besar di hampir semua negara. Ini terutama terjadi sejak dasawarsa 1970-an setelah d...