Penataan ruang adalah pedoman
untuk pembangunan. Begitu yang sering disebutkan tentang tata ruang. Tapi
anehnya, atas nama pembangunan pula, tata ruang kerapkali diabaikan dan
dilanggar. Kebijakan dan regulasinya pun diutak-atik dan diubah secara parsial
hanya untuk tujuan dan kepentingan tertentu. Namun, perubahan yang dilakukan,
cenderung hanya menyasar aturan-aturan teknis untuk memuluskan kepentingan yang
akan dituju oleh rezim penguasa yakni: Investasi. Siapa saja dan dari mana saja
investor yang telah dihamparkan karpet merah itu? Entahlah!
Padahal, jika sekiranya memang
sungguh-sungguh ingin melakukan perubahan fundamental terhadap penyelenggaraan
penataan ruang, mengapa dilakukan sebagian-sebagian saja? Semestinya, sekalian
saja mengubah atau merevisi secara menyeluruh
pedoman penataan ruang kita selama ini, yakni UU.26 Tahun 2007 (UUPR).
Sebagai awal, kita bisa menelisik tujuan penyelenggaraan penataan ruang yang
tertuang pada Pasal 3. Di sana disebutkan bahwa: “Penyelenggaraan penataan
ruang bertujuan untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman,
produktif dan berkelanjutan berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan
Nasional.” Tujuan ini setidaknya memunculkan pertanyaan, apakah penataan ruang
kita, sungguh-sungguh sudah menjadikan wawasan nusantara dan ketahanan nasional
sebagai landasannya? Lalu, mengapa ketimpangan, kesenjangan atau disparitas
antarwilayah, antardaerah serta ketidakadilan ruang masih mejadi problem besar
hingga saat ini? Pada dasarnya, Wawasan Nusantara itu mengajarkan bahwa kita
hendaknya tidak sampai kehilangan kesadaran bahwa Indonesia ini meliputi
wilayah, kebudayaan, bahasa yang beragam, dan dalam kemajemukan itu rakyat,
bangsa, negara dan wilayah Nusantara merupakan kesatuan utuh dan setara yang
tidak bisa dipisah-pisahkan. Karena itu, sejatinya tidak boleh ada perlakuan
yang timpang dan tidak adil terhadap penggunaan ruang, baik ruang antarwilayah
maupun ruang antardaerah. Contoh jamak yang sudah lama berlangsung dan mengusik
sisi kemanusiaan kita, misalnya, satu sisi terjadi penguasaan secara mudah dan
leluasa terhadap lahan, tanah (ruang) jutaan hektar oleh korporasi atau
segelintir orang, sementara sisi lainnya, masyarakat adat yang sudah sekian
lama berjuang untuk mendapatkan hak wilayahnya, tak juga kunjung memperoleh
pengakuan. Hal-hal semacam ini semestinya sudah harus dihentikan.
Problem berikut ialah seperti apa
pelibatan dan partisipasi rakyat/publik dalam penataan ruang? Pada Pasal 65
ayat 1 dan 2 UUPR, dengan jelas dinyatakan bahwa penyelenggaraan penataan ruang
dilakukan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah dengan melibatkan peran
masyarakat. Namun, dalam prakteknya masih sebatas seremonial dan sifatnya
formalitas, seperti tampak dalam kegiatan konsultasi publik produk tata ruang.
Dari kenyataan demikian, bila partisipasi rakyat dikaitkan dengan demokrasi
formal/prosedural, maka tampaknya ada relevansinya, apa yang pernah dibilangkan
Noam Chomsky dalam “How the World Works”
bahwa pada kurun waktu yang panjang, keterlibatan publik dalam perencanaan dan
implementasi kebijakan selalu saja terpinggirkan. Inilah masyarakat yang
dikendalikan oleh bisnis.
Problem lainnya yang tak kalah
mengkhawatirkan ialah timbulnya apa yang saya sebut sebagai “Bencana
Pembangunan”. Ada dua jenis yang saya maksudkan “bencana pembangunan”. Pertama, pekerjaan atau kegiatan
pembangunan yang secara nyata melanggar aturan tata ruang, namun tetap saja
didiamkan, tanpa ada tindakan. Kedua,
pekerjaan/kegiatan pembangunan yang tidak berbasis dalam dokumen perencanaan
atau yang dimasukkan dan dicantumkan pada dokumen perencanaan saat proyek
pembangunan tersebut tengah berlangsung. Faktor seperti inilah yang memicu apa
yang diistilahkan oleh JO.Simmonds sebagai ecological
suicide. Meminjam istilah tersebut, maka saya bisa katakan bila saat
bersamaan terjadi pula spatial-planning
suicide dan development-planning
suicide. Keduanya merupakan
penyumbang besar terjadinya bencana hidrometeorologi seperti banjir, longsor
dan banjir bandang. Khusus, untuk jenis kedua dari “bencana pembangunan” yang
telah disinggung, sepertinya akan banyak kita jumpai di waktu-waktu mendatang,
karena sudah terlegitimasi dengan disisipkannya pasal 34A yang problematik itu
ke dalam UUPR jalur omnibus law cipta kerja. Dalam ketentuan tersebut, secara
eksplisit memberikan pembenaran bahwa pemanfaatan ruang tetap dapat
dilaksanakan meski tidak termuat dalam rencana tata ruang dan/atau rencana
zonasi, dengan alasan terdapat perubahan kebijakan nasional yang bersifat
strategis. Model penerapan sistem kebijakan tata ruang semacam itu, akhirnya
memantik tanya, sebetulnya tata ruang kita menganut sistem kebijakan yang mana?
Apakah Regulatory System ataukah Discretionary System atau gabungan dari
keduanya?
Demikianlah
sebagian dari problematika tata ruang yang kita alami. Lantas, perlukah kita
merumuskan ulang Visi Tata Ruang Indonesia untuk waktu mendatang? Wallahu a’lam bisshawab.