Tanggal 8
November 2020, kembali diperingati Hari Tata Ruang Nasional. Agenda tersebut
mulai digelar sejak tahun 1949 bertepatan dengan Hari Tata Kota se-dunia (World Town Planning Day). Di Indonesia,
mulai diperingati pada tahun 2008, setelah terbitnya payung hukum penataan
ruang berupa UU.24 Tahun 1992 kemudian diperbaharui lewat UU.26 Tahun 2007.
Beberapa tahun setelahnya, Presiden Republik Indonesia menetapkan tanggal 8 November
sebagai Hari Tata Ruang Nasional, melalui Kepres No.28 tahun 2013. Hal itu
dimaksudkan sebagai wujud komitmen negara untuk secara terus menerus
meningkatkan kesadaran dan peran serta
masyarakat di bidang penataan ruang.
Ironisnya,
penataan ruang Indonesia hingga saat ini, seakan tak memiliki arah dan
orientasi yang jelas. Terlalu mudah ‘diaduk-aduk’ oleh kepentingan kekuasaan.
Paling mutakhir, adalah dengan berlakunya UU.11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja
yang berdampak pada perubahan skema penataan ruang di Indonesia. Lantas, mau kemana sesungguhnya penataan
ruang kita?
Tata Ruang
dan Nilai-Nilai Pancasila
Pada bukunya “Wawasan Pancasila” Dr.Yudi Latif
menulis, dalam pidatonya di Perserikatan Bangsa-Bangsa, pada 30
September 1960, saat memperkenalkan Pancasila kepada dunia, Soekarno
mengingatkan pentingnya konsepsi dan cita-cita bagi suatu bangsa. Jika mereka
tak memilikinya atau jika konsepsi dan cita-cita itu menjadi kabur dan usang,
maka bangsa itu sedang dalam bahaya. Sebab itu, jauh sebelumnya sejak 18
Agustus 1945, Pancasila telah menjadi dasar falsafah negara (Philosophische grondslag), pandangan
hidup (Weltanschauung) bangsa, dan
ideologi negara Indonesia. Sayangnya, dalam realitas kehidupan kebangsaan kita,
implementasinya masih sangat minim.
Sebagai falsafah dan ideolog
negara, Sang Proklamator menyatakan bahwa Pancasila adalah isi jiwa bangsa
Indonesia, sekaligus dimaknai sebagai nilai-nilai yang menjadi cita-cita
normatif dalam penyelenggaraan negara. Maka sejatinya, nilai-nilai pada setiap
butir Pancasila, sepatutnya dijadikan pedoman dasar dalam melangsungkan
kehidupan bernegara. Karenanya, harus mewarnai setiap rumusan kebijakan dan
aturan apapun – termasuk regulasi mengenai penataan ruang - yang akan
diterapkan kepada seluruh rakyat Indonesia.
Lalu, bagaimana mengaitkan tata
ruang dengan nilai-nilai Pancasila? Dalam buku “Reformasi Perkotaan”, Prof.Eko Budihardjo menyatakan kalau sudah
beberapa dekade silam Koes Hadinoto merumuskan lima unsur dasar dalam
perencanaan kota, yang disebutnya dengan predikat “Pancasila Perencanaan Kota”,
yaitu Wisma (perumahan), Karya (lapangan kerja), Marga (jaringan jalan), Suka
(rekreasi, taman) dan Prasarana (air bersih, listrik, drainase, persampahan).
Pertanyaannya, mengapa
nilai-nilai Pancasila yang merupakan modal bangsa, tidak dijadikan spirit
penataan ruang kita? Untuk itu, lima prinsip utama atau nilai dasar Pancasila
yang oleh Yudi Latif disebut sebagai titik temu, titik tumpu, titik tuju,
negara-bangsa Indonesia, saya coba untuk internalisasikan secara sederhana
menjadi dasar filosofis penataan ruang, sebagai berikut:
Pertama, Tata Ruang
Indonesia mesti diletakkan pada fondasi yang paling fundamental, di atas
kerangka konsep Ilahiah/ketuhanan. Dengan keyakinan bahwa alam atau ruang
merupakan tajalli dan manifestasi Ilahiah. Karena itu, seharusnya dikelola
secara baik dan benar, berlandaskan pada nilai-nilai kebenaran dan kesucian.
Kedua,
Penyelenggaraan tata ruang adalah sebentuk penghambaan sekaligus pengkhidmatan
manusia sebagai khalifah. Sebab itu, meniscayakan dilakukan secara manusiawi,
dengan menekankan pada aspek-aspek mendasar kebutuhan manusia dalam menciptakan
peradaban.
Ketiga, Penataan
Ruang di Indonesia harus mampu menjadi unsur pemersatu yang menghimpun seluruh
wilayah dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Bukan sebaliknya, menciptakan
disparitas dan kesenjangan, baik antar wilayah, antar desa-kota serta antar
berbagai keragaman yang ada.
Keempat, Sangat
penting menjadikan perhatian bahwa dalam penataan ruang harus betul-betul
mengakomodasi secara luas pelibatan masyarakat/rakyat. Tidak dilakukan hanya
sebatas formalitas. Kenyataan menunjukkan bahwa kurang lebih 80% produk
perencanaan yang telah disusun, ternyata tidak terlaksana sebagaimana yang
direncanakan. Kesenjangan yang lebar antara idealisme-pragmatisme,
harapan-kenyataan, teori-praktek/implementasinya, merupakan masalah utama dalam
tata ruang. Bagi Prof.Eko Budihardjo penyebab pokok dari masalah tersebut
antara lain karena kurangnya peran serta aktif dari masyarakat luas dalam
proses pembangunan dan penataan ruang.
Kelima, Penataan
Ruang sudah seyogyanya dijalankan secara berkeadilan. Sebab selama ini, sangat
banyak contoh bagaimana kuasa-modal seringkali melakukan ‘perampasan’ ruang
yang menyebabkan terjadinya gentrifikasi dan segregasi spasial dalam
pemanfaatan ruang.
Proses internalisasi dan
implementasi nilai-nilai Pancasila dalam upaya penyelenggaraan penataan ruang,
kiranya dapat memberi arah dan orientasi yang lebih jelas dalam rangka menatap
masa depan tata ruang Indonesia di waktu mendatang. Sehingga kita tak perlu
lagi bertanya, Quo Vadis Tata Ruang Indonesia?
Wallahu a’lam bisshawab.