Selasa, 10 November 2020

Quo Vadis Tata Ruang Indonesia? (Refleksi Hari Tata Ruang Nasional)

Tanggal 8 November 2020, kembali diperingati Hari Tata Ruang Nasional. Agenda tersebut mulai digelar sejak tahun 1949 bertepatan dengan Hari Tata Kota se-dunia (World Town Planning Day). Di Indonesia, mulai diperingati pada tahun 2008, setelah terbitnya payung hukum penataan ruang berupa UU.24 Tahun 1992 kemudian diperbaharui lewat UU.26 Tahun 2007. Beberapa tahun setelahnya, Presiden Republik Indonesia menetapkan tanggal 8 November sebagai Hari Tata Ruang Nasional, melalui Kepres No.28 tahun 2013. Hal itu dimaksudkan sebagai wujud komitmen negara untuk secara terus menerus meningkatkan  kesadaran dan peran serta masyarakat di bidang penataan ruang.

Ironisnya, penataan ruang Indonesia hingga saat ini, seakan tak memiliki arah dan orientasi yang jelas. Terlalu mudah ‘diaduk-aduk’ oleh kepentingan kekuasaan. Paling mutakhir, adalah dengan berlakunya UU.11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang berdampak pada perubahan skema penataan ruang di Indonesia.  Lantas, mau kemana sesungguhnya penataan ruang kita?

 

Tata Ruang dan Nilai-Nilai Pancasila

Pada bukunya “Wawasan Pancasila” Dr.Yudi Latif  menulis, dalam pidatonya di Perserikatan Bangsa-Bangsa, pada 30 September 1960, saat memperkenalkan Pancasila kepada dunia, Soekarno mengingatkan pentingnya konsepsi dan cita-cita bagi suatu bangsa. Jika mereka tak memilikinya atau jika konsepsi dan cita-cita itu menjadi kabur dan usang, maka bangsa itu sedang dalam bahaya. Sebab itu, jauh sebelumnya sejak 18 Agustus 1945, Pancasila telah menjadi dasar falsafah negara (Philosophische grondslag), pandangan hidup (Weltanschauung) bangsa, dan ideologi negara Indonesia. Sayangnya, dalam realitas kehidupan kebangsaan kita, implementasinya masih sangat minim. 

Sebagai falsafah dan ideolog negara, Sang Proklamator menyatakan bahwa Pancasila adalah isi jiwa bangsa Indonesia, sekaligus dimaknai sebagai nilai-nilai yang menjadi cita-cita normatif dalam penyelenggaraan negara. Maka sejatinya, nilai-nilai pada setiap butir Pancasila, sepatutnya dijadikan pedoman dasar dalam melangsungkan kehidupan bernegara. Karenanya, harus mewarnai setiap rumusan kebijakan dan aturan apapun – termasuk regulasi mengenai penataan ruang - yang akan diterapkan kepada seluruh rakyat Indonesia.

Lalu, bagaimana mengaitkan tata ruang dengan nilai-nilai Pancasila? Dalam buku “Reformasi Perkotaan”, Prof.Eko Budihardjo menyatakan kalau sudah beberapa dekade silam Koes Hadinoto merumuskan lima unsur dasar dalam perencanaan kota, yang disebutnya dengan predikat “Pancasila Perencanaan Kota”, yaitu Wisma (perumahan), Karya (lapangan kerja), Marga (jaringan jalan), Suka (rekreasi, taman) dan Prasarana (air bersih, listrik, drainase, persampahan).

Pertanyaannya, mengapa nilai-nilai Pancasila yang merupakan modal bangsa, tidak dijadikan spirit penataan ruang kita? Untuk itu, lima prinsip utama atau nilai dasar Pancasila yang oleh Yudi Latif disebut sebagai titik temu, titik tumpu, titik tuju, negara-bangsa Indonesia, saya coba untuk internalisasikan secara sederhana menjadi dasar filosofis penataan ruang, sebagai berikut:

Pertama, Tata Ruang Indonesia mesti diletakkan pada fondasi yang paling fundamental, di atas kerangka konsep Ilahiah/ketuhanan. Dengan keyakinan bahwa alam atau ruang merupakan tajalli dan manifestasi Ilahiah. Karena itu, seharusnya dikelola secara baik dan benar, berlandaskan pada nilai-nilai kebenaran dan kesucian.

Kedua, Penyelenggaraan tata ruang adalah sebentuk penghambaan sekaligus pengkhidmatan manusia sebagai khalifah. Sebab itu, meniscayakan dilakukan secara manusiawi, dengan menekankan pada aspek-aspek mendasar kebutuhan manusia dalam menciptakan peradaban.

Ketiga, Penataan Ruang di Indonesia harus mampu menjadi unsur pemersatu yang menghimpun seluruh wilayah dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Bukan sebaliknya, menciptakan disparitas dan kesenjangan, baik antar wilayah, antar desa-kota serta antar berbagai keragaman yang ada.

Keempat, Sangat penting menjadikan perhatian bahwa dalam penataan ruang harus betul-betul mengakomodasi secara luas pelibatan masyarakat/rakyat. Tidak dilakukan hanya sebatas formalitas. Kenyataan menunjukkan bahwa kurang lebih 80% produk perencanaan yang telah disusun, ternyata tidak terlaksana sebagaimana yang direncanakan. Kesenjangan yang lebar antara idealisme-pragmatisme, harapan-kenyataan, teori-praktek/implementasinya, merupakan masalah utama dalam tata ruang. Bagi Prof.Eko Budihardjo penyebab pokok dari masalah tersebut antara lain karena kurangnya peran serta aktif dari masyarakat luas dalam proses pembangunan dan penataan ruang.

Kelima, Penataan Ruang sudah seyogyanya dijalankan secara berkeadilan. Sebab selama ini, sangat banyak contoh bagaimana kuasa-modal seringkali melakukan ‘perampasan’ ruang yang menyebabkan terjadinya gentrifikasi dan segregasi spasial dalam pemanfaatan ruang. 

Proses internalisasi dan implementasi nilai-nilai Pancasila dalam upaya penyelenggaraan penataan ruang, kiranya dapat memberi arah dan orientasi yang lebih jelas dalam rangka menatap masa depan tata ruang Indonesia di waktu mendatang. Sehingga kita tak perlu lagi bertanya, Quo Vadis Tata Ruang Indonesia?

Wallahu a’lam bisshawab.

 

Rezim Yang Ambigu dan Problem Lingkungan di Indonesia

Permasalahan lingkungan hidup, telah mendapat perhatian besar di hampir semua negara. Ini terutama terjadi sejak dasawarsa 1970-an setelah d...