Islam
memiliki pandangan yang optimistik tentang manusia. Dalam ajaran Islam, manusia
yang lahir dalam keadaan fitri, suci dan bersih adalah merupakan makhluk
terpuji dan dimuliakan meskipun pada kondisi-kondisi tertentu manusia dipandang
sebagai makhluk yang rendah. Dalam bukunya Perspektif
Al-Quran tentang Manusia dan Agama, Murtadha Muthahhari telah menunjukkan
bagaimana Islam dan Al-Quran memandang manusia. Berikut ini adalah sebagian
ayat-ayat Al-Quran yang dikutip dan dianalisis olehnya berkenaan dengan masalah
tersebut :
· Manusia adalah khalifah Tuhan di bumi.
Ketika Tuhanmu berfirman kepada para
malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di bumi.” Mereka
berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan khalifah di bumi itu orang yang akan
membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah…………” Tuhan berfirman:
“Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (QS.2:30).
Dan Dia-lah yang menjadikan kamu
penguasa-penguasa di bumi………., untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya
kepadamu. (QS.6:165)
· Manusia mempunyai kecenderungan dekat dengan
Tuhan. Dengan kata lain, manusia sadar akan kehadiran Tuhan jauh di dasar
sanubari mereka. Jadi segala keraguan dan keingkaran kepada Tuhan muncul ketika
manusia menyimpang dari fitrah mereka sendiri.
Ingatlah, ketika Tuhanmu mengeluarkan
anak-anak keturunan Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian
terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka
menjawab: “Benar (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi.” (QS.30:43)
Oleh karena itu hadapkanlah wajahmu kepada
keyakinan yang lurus sebelum datang dari Allah suatu hari yang tidak dapat ditolak kedatangannya. (QS.30:43)
· Manusia dalam fitrahnya memiliki sekumpulan
unsur surgawi yang luhur, yang berbeda dengan unsur-unsur badani yang ada pada
binatang, tumbuhan dan benda-benda tak bernyawa. Unsur-unsur itu merupakan
suatu senyawa antara alam nyata dan metafisis, antara rasa dan nonrasa(materi),
antara jiwa dan raga.
(Dialah) yang menciptakan segala sesuatu
dengan sebaik-baiknya, dan yang memulai penciptaan manusia dari lempung,
kemudian Dia menjadikan keturunannya dari saripati air yang hina (air mani),
kemudian menyempurnakannya dan meniupkan ke dalam (tubuh)nya ruh-Nya…(QS.32:7-9)
· Penciptaan manusia benar-benar telah
diperhitungkan secara teliti, bukan suatu kebetulan. Karenanya manusia
merupakan suatu makhluk pilihan.
Kemudian Tuhannya memilihnya, menerima
tobatnya dan membimbingnya. (QS.20:122)
· Manusia bersifat bebas dan merdeka. Mereka
diberi kepercayaan penuh oleh Tuhan, diberkahi dengan risalah yang diturunkan
melalui para nabi, dan dikaruniai rasa tanggung jawab. Mereka diperintahkan
untuk mencari nafkah di muka bumi dengan inisiatif dan jerih payah mereka
sendiri, mereka pun bebas memilih kesejahteraan atau kesengsaraan bagi dirinya.
Sesungguhnya telah Kami tawarkan amanat
kepada langit, bumi dan gunung-gunung, tetapi mereka semua enggan memikulnya
dan mereka khawatir akan mengkhianatinya. Manusialah yang mau memikul amanat
itu, sungguh ia sangat zalim dan bodoh. (QS.33:72)
Sesengguhnya
Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur yang hendak Kami uji (dengan perintah dan
larangan), karena itu Kami jadikan ia mendengar dan melihat, ke jalan lurus
Kami telah membimbingnya, ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir.
(QS.76:2-3)
· Manusia dikaruniai pembawaan yang mulia dan
martabat. Tuhan, pada kenyataannya, telah menganugrahi manusia
keunggulan-keunggulan atas makhluk-makhluk lain. Manusia akan menghargai
dirinya sendiri hanya jika mereka mampu merasakan kemuliaan dan martabat
tersebut, serta mau melepaskan diri mereka dari kepicikan segala jenis
kerendahan budi, penghambaan dan hawa nafsu.
Sesungguhnya Kami telah muliakan anak-anak
Adam, Kami angkat mereka di darat dan di lautan…., dan Kami lebihkan
mereka dengan kelebihan yang telah Kami
ciptakan. (QS.17:70)
· Manusia memiliki kesadaran moral. Mereka
dapat membedakan yang baik dari yang jahat melalui inspirasi fitri yang ada
pada mereka.
Demi jiwa dan penyempurnaannya (ciptaannya), maka
Allah telah mengilhamkan ke dalam jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketaqwaannya. (QS.91:7-8)
· Jiwa manusia tidak akan pernah damai, kecuali
dengan mengingat Allah. Keinginan mereka tidak terbatas, mereka tidak pernah
puas dengan apa yang telah mereka peroleh. Di lain pihak, mereka lebih
berhasrat untuk ditinggikan ke arah perhubungan dengan Tuhan Yang Maha Abadi.
(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hatinya
menjadi tentram dengan mengingat Allah. (QS.13:28)
Hai manusia, sesungguhnya kamu telah bekerja
dengan sungguh-sungguh untuk mencapai Tuhanmu, maka kamu pasti menemukan-Nya. (QS.84:6)
· Segala bentuk karunia duniawi diciptakan
untuk kepentingan manusia. Jadi manusia berhak memanfaatkan itu semua dengan
cara yang sah.
Dialah Allah, yang menjadikan segala yang ada
di bumi untuk kamu….. (QS.2:29)
Dan Dia telah merundukkan untukmu apa yang
ada di langit dan apa yang ada di bumi. (QS.45:13)
· Tuhan menciptakan manusia agar mereka
menyembah-Nya. Tunduk patuh kepada Tuhan menjadi tanggung jawab manusia.
Aku tidak menciptakan jin dan manusia,
melainkan supaya mereka menyembah-Ku. (QS.51:56)
Demikianlah pandangan Islam dan
Al-Quran tentang manusia, disamping hal positif terdapat pula sisi negatif pada
dirinya. Manusia berulang-kali diangkat derajatnya, berulang-kali pula
direndahkan. Mereka dinobatkan jauh menggungguli alam surga, bumi dan bahkan
para malaikat, tetapi pada saat yang sama, mereka bisa tak lebih berarti dibandingkan
dengan setan terkutuk dan binatang jahannam sekalipun. Manusia dihargai sebagai
makhluk yang mampu menaklukkan alam, namun bisa juga mereka merosot menjadi
“yang paling rendah dari segala yang rendah.”
Manusia
memiliki dua “diri”, diri hewani dan diri insani. Akan tetapi, nilai manusia
ditentukan oleh diri insaninya, bukan oleh diri hewaninya. Manusia, meskipun
dia seekor hewan dan harus memperhatikan keperluan-keperluan kehidupan
hewaninya, namun dia tidak datang ke dunia ini untuk hidup sebagai hewan,
melainkan dia datang ke dunia ini justru
untuk menggunakan kehidupan hewaninya bagi penyempurnaan kehidupan kemanusiaan.
Pada setiap
dari dua sisi kehidupannya – hewani dan insan – manusia mempunyai berbagai
kebutuhan, yang mana dasar-dasarnya telah tersedia pada dirinya. Manusia
menginginkan kelangsungan hidupnya, dan untuk itu mau tidak mau dia juga harus
terikat dengan keperluan-keperluan kehidupan – hewani – tersebut. Akan tetapi,
manusia harus ingat, kehidupan hewani hanya merupakan mukadimah dan bukan
tujuan, hanya cabang dan bukan pokok atau utama. Sebab itu, jika seseorang
menganggap kehidupan hewani sebagai sesuatu yang pokok, dan bekerja siang dan
malam untuk memenuhi keinginan-keinginan dan kecenderungan-kecenderungan
hewaninya, serta menjadikan makan, minum, bersolek dan memperturutkan hawa
nafsunya sebagai tujuan, maka berarti dia telah terjerumus ke dalam kesesatan.
Sebab, dia telah mencampakkan ruh malakut dan akal kemanusiaannya. Individu
semacam ini tidak dapat dihitung sebagai manusia, melainkan hewan yang berwajah
manusia. Dia mempunyai akal, namun akalnya sudah dikucilkan sedemikian rupa
sehingga tidak mampu lagi mengenal dan mengikuti nilai-nilai dan
keutamaan-keutamaan kemanusiaan. Dia mempunyai mata dan telinga namun tidak
dapat melihat dan mendengar kebenaran. Al-Quran menyebut individu semacam ini
sebagai hewan, bahkan lebih sesat dari hewan. Karena, hewan tidak punya akal
yang akibatnya dia tidak dapat memahami
sesuatu. Sementara individu ini mempunyai akal, namun dia tidak dapat memahami
sesuatu. Sekaitan dengan hal ini, kita dapat merujuk dalam Al-Quran surah
Al-Qashash [28] : 50 dan surah Al-A’raf [7] : 179.
Betapa
meruginya orang yang mengorbankan diri malakut dan kesempurnaan kemanusiaannya
demi keinginan-keinginan diri dan kehidupan hewaninya. Dia menukar diri
kemanusiaannya dengan kelezatan-kelezatan hewani. Dalam Ghurar al-Hikam, Amirul mukminin Ali bin Abi Thalib kw berkata, “Orang yang tertipu adalah orang yang sibuk
dengan urusan dunianya dan menyia-nyiakan bagian akhiratnya.” Senada dengan
itu, dalam Nahjul Balaghah Imam Ali
berkata , “Sungguh merupakan sebuah
perniagaan yang amat merugikan ketika seseorang memandang dunia sebagai sesuatu
yang berharga bagi dirinya, dan kemudian dia menukarnya dengan apa yang
dimilikinya di sisi Allah SWT.”
Jika manusia
merujuk kepada fitrahnya yang suci dan kesempurnaan dirinya, dan jauh dari hawa
nafsunya, maka dia dengan baik akan mengenal nilai-nilai akhlak yang mulia dan
juga nilai-nilai kebalikannya yang rendah. Semua manusia pada setiap zaman
demikian keadaannya. Jika sebagian manusia tidak dapat memahami nilai-nilai
seperti ini, itu tidak lain disebabkan hawa nafsunya telah memadamkan cahaya
akalnya. Dan Al-Quran Al-Karim telah mengatakan bahwa pengenalan dan pemahaman terhadap nilai-nilai utama dan
nilai-nilai rendah merupakan sesuatu yang fitri bagi manusia. Para Nabi as
diutus untuk membangunkan fitrah manusia. Mereka datang membimbing dan membantu
manusia dalam mengenal nilai-nilai keutamaan, dalam melaksanakan nilai-nilai
tersebut untuk meniti tangga-tangga kesempurnaan, dan dalam mencapai kedudukan
yang dekat dengan Allah SWT. Mereka diutus untuk mengarahkan manusia kepada
kedudukan tinggi kemanusiaan dan pentingnya menjaga serta menghidupkan
nilai-nilai tinggi kemanusiaan. Mereka datang untuk mengatakan kepada manusia
bahwa Anda bukan seekor hewan, melainkan seorang manusia yang lebih mulia dari
malaikat sekalipun. Urusan-urusan duniawi tidak sepadan dengan kedudukan
malakut Anda. Anda jangan sampai jual diri Anda dengannya. Dalam Tuhaf al-Uqul, dikisahkan seseorang
bertanya kepada Imam As-Sajjad, “Siapakah
manusia yang paling mulia dan paling tinggi?” Imam As-Sajjad menjawab, “Manusia
yang paling mulia dan paling tinggi adalah manusia yang tidak memandang dunia
sebanding dengan kemuliaan dirinya.”
Oleh karena
itu, pada gilirannya kehidupan manusia,
secara umum terbagi atas tiga model kehidupan, yaitu :
1. Model
Kehidupan Tumbuh-tumbuhan, dimana yang dipikirkan hanyalah seputar kenikmatan
jasadi. Bagaimana mendapatkan makanan yang enak, berpakaian yang bagus dan
berketurunan.
2. Model
Kehidupan Hewani, yakni disamping kehidupan tumbuh-tumbuhan, dia juga memiliki
gerak iradah. Dengan kelebihan ini, ia dapat memenuhi keinginan-keinginannya
yang lebih besar. Tapi dalam aspek nilai, dia tidak dapat memperoleh
nilai-nilai mulia yang lebih tinggi dari tabiatnya.
3. Model
Kehidupan Insani, dimana selain yang terdapat pada dua model sebelumnya, dia
memiliki akal yang mengarahkannya pada kehidupan berakal dan berbudi serta
penyembahan kepada Sang Khaliq. Oleh sebab itu, jika ada manusia yang tidak
dalam kehidupan berakal, berbudi dan menyembah Tuhan, maka kehidupannya tidak
lebih dari kehidupan tumbuh-tumbuhan atau hewani, bahkan menurut Al-Quran boleh
jadi lebih rendah dari keduanya atau bahkan lebih rendah dari batu.
Akhirnya,
makhluk manusia sendirilah yang harus menetapkan sikap dan menentukan nasib
akhir mereka sendiri dan ingin menjadi seperti apa. Oleh Tuhan kita terlahir
sebagai manusia, maka akankah kita kembali lagi sebagai manusia? Wallahu a’lam bisshawab.
Makassar,
Juli 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar