Jumat, 18 Januari 2019

Manusia dan Fitrahnya

Islam memiliki pandangan yang optimistik tentang manusia. Dalam ajaran Islam, manusia yang lahir dalam keadaan fitri, suci dan bersih adalah merupakan makhluk terpuji dan dimuliakan meskipun pada kondisi-kondisi tertentu manusia dipandang sebagai makhluk yang rendah. Dalam bukunya Perspektif Al-Quran tentang Manusia dan Agama, Murtadha Muthahhari telah menunjukkan bagaimana Islam dan Al-Quran memandang manusia. Berikut ini adalah sebagian ayat-ayat Al-Quran yang dikutip dan dianalisis olehnya berkenaan dengan masalah tersebut :
·        Manusia adalah khalifah Tuhan di bumi.
Ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di bumi.” Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan khalifah di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah…………” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (QS.2:30).
Dan Dia-lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi………., untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. (QS.6:165)
·        Manusia mempunyai kecenderungan dekat dengan Tuhan. Dengan kata lain, manusia sadar akan kehadiran Tuhan jauh di dasar sanubari mereka. Jadi segala keraguan dan keingkaran kepada Tuhan muncul ketika manusia menyimpang dari fitrah mereka sendiri.
Ingatlah, ketika Tuhanmu mengeluarkan anak-anak keturunan Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Benar (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi.” (QS.30:43)
Oleh karena itu hadapkanlah wajahmu kepada keyakinan yang lurus sebelum datang dari Allah suatu hari  yang tidak dapat ditolak kedatangannya. (QS.30:43)
·        Manusia dalam fitrahnya memiliki sekumpulan unsur surgawi yang luhur, yang berbeda dengan unsur-unsur badani yang ada pada binatang, tumbuhan dan benda-benda tak bernyawa. Unsur-unsur itu merupakan suatu senyawa antara alam nyata dan metafisis, antara rasa dan nonrasa(materi), antara jiwa dan raga.
(Dialah) yang menciptakan segala sesuatu dengan sebaik-baiknya, dan yang memulai penciptaan manusia dari lempung, kemudian Dia menjadikan keturunannya dari saripati air yang hina (air mani), kemudian menyempurnakannya dan meniupkan ke dalam (tubuh)nya ruh-Nya…(QS.32:7-9)
·        Penciptaan manusia benar-benar telah diperhitungkan secara teliti, bukan suatu kebetulan. Karenanya manusia merupakan suatu makhluk pilihan.
Kemudian Tuhannya memilihnya, menerima tobatnya dan membimbingnya. (QS.20:122)
·        Manusia bersifat bebas dan merdeka. Mereka diberi kepercayaan penuh oleh Tuhan, diberkahi dengan risalah yang diturunkan melalui para nabi, dan dikaruniai rasa tanggung jawab. Mereka diperintahkan untuk mencari nafkah di muka bumi dengan inisiatif dan jerih payah mereka sendiri, mereka pun bebas memilih kesejahteraan atau kesengsaraan bagi dirinya.
Sesungguhnya telah Kami tawarkan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, tetapi mereka semua enggan memikulnya dan mereka khawatir akan mengkhianatinya. Manusialah yang mau memikul amanat itu, sungguh ia sangat zalim dan bodoh. (QS.33:72)
Sesengguhnya  Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur  yang hendak Kami uji (dengan perintah dan larangan), karena itu Kami jadikan ia mendengar dan melihat, ke jalan lurus Kami telah membimbingnya, ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir. (QS.76:2-3)
·         Manusia dikaruniai pembawaan yang mulia dan martabat. Tuhan, pada kenyataannya, telah menganugrahi manusia keunggulan-keunggulan atas makhluk-makhluk lain. Manusia akan menghargai dirinya sendiri hanya jika mereka mampu merasakan kemuliaan dan martabat tersebut, serta mau melepaskan diri mereka dari kepicikan segala jenis kerendahan budi, penghambaan dan hawa nafsu.
Sesungguhnya Kami telah muliakan anak-anak Adam, Kami angkat mereka di darat dan di lautan…., dan Kami lebihkan mereka  dengan kelebihan yang telah Kami ciptakan. (QS.17:70)
·        Manusia memiliki kesadaran moral. Mereka dapat membedakan yang baik dari yang jahat melalui inspirasi fitri yang ada pada mereka.
Demi jiwa dan penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah telah mengilhamkan ke dalam jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketaqwaannya. (QS.91:7-8)
·        Jiwa manusia tidak akan pernah damai, kecuali dengan mengingat Allah. Keinginan mereka tidak terbatas, mereka tidak pernah puas dengan apa yang telah mereka peroleh. Di lain pihak, mereka lebih berhasrat untuk ditinggikan ke arah perhubungan dengan Tuhan Yang Maha Abadi.
(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hatinya menjadi tentram dengan mengingat Allah. (QS.13:28)
Hai manusia, sesungguhnya kamu telah bekerja dengan sungguh-sungguh untuk mencapai Tuhanmu, maka kamu pasti menemukan-Nya. (QS.84:6)
·        Segala bentuk karunia duniawi diciptakan untuk kepentingan manusia. Jadi manusia berhak memanfaatkan itu semua dengan cara yang sah.
Dialah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu….. (QS.2:29)
Dan Dia telah merundukkan untukmu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. (QS.45:13)
·        Tuhan menciptakan manusia agar mereka menyembah-Nya. Tunduk patuh kepada Tuhan menjadi tanggung jawab manusia.
Aku tidak menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka menyembah-Ku. (QS.51:56)
Demikianlah pandangan Islam dan Al-Quran tentang manusia, disamping hal positif terdapat pula sisi negatif pada dirinya. Manusia berulang-kali diangkat derajatnya, berulang-kali pula direndahkan. Mereka dinobatkan jauh menggungguli alam surga, bumi dan bahkan para malaikat, tetapi pada saat yang sama, mereka bisa tak lebih berarti dibandingkan dengan setan terkutuk dan binatang jahannam sekalipun. Manusia dihargai sebagai makhluk yang mampu menaklukkan alam, namun bisa juga mereka merosot menjadi “yang paling rendah dari segala yang rendah.”
Manusia memiliki dua “diri”, diri hewani dan diri insani. Akan tetapi, nilai manusia ditentukan oleh diri insaninya, bukan oleh diri hewaninya. Manusia, meskipun dia seekor hewan dan harus memperhatikan keperluan-keperluan kehidupan hewaninya, namun dia tidak datang ke dunia ini untuk hidup sebagai hewan, melainkan  dia datang ke dunia ini justru untuk menggunakan kehidupan hewaninya bagi penyempurnaan kehidupan kemanusiaan.
Pada setiap dari dua sisi kehidupannya – hewani dan insan – manusia mempunyai berbagai kebutuhan, yang mana dasar-dasarnya telah tersedia pada dirinya. Manusia menginginkan kelangsungan hidupnya, dan untuk itu mau tidak mau dia juga harus terikat dengan keperluan-keperluan kehidupan – hewani – tersebut. Akan tetapi, manusia harus ingat, kehidupan hewani hanya merupakan mukadimah dan bukan tujuan, hanya cabang dan bukan pokok atau utama. Sebab itu, jika seseorang menganggap kehidupan hewani sebagai sesuatu yang pokok, dan bekerja siang dan malam untuk memenuhi keinginan-keinginan dan kecenderungan-kecenderungan hewaninya, serta menjadikan makan, minum, bersolek dan memperturutkan hawa nafsunya sebagai tujuan, maka berarti dia telah terjerumus ke dalam kesesatan. Sebab, dia telah mencampakkan ruh malakut dan akal kemanusiaannya. Individu semacam ini tidak dapat dihitung sebagai manusia, melainkan hewan yang berwajah manusia. Dia mempunyai akal, namun akalnya sudah dikucilkan sedemikian rupa sehingga tidak mampu lagi mengenal dan mengikuti nilai-nilai dan keutamaan-keutamaan kemanusiaan. Dia mempunyai mata dan telinga namun tidak dapat melihat dan mendengar kebenaran. Al-Quran menyebut individu semacam ini sebagai hewan, bahkan lebih sesat dari hewan. Karena, hewan tidak punya akal yang akibatnya  dia tidak dapat memahami sesuatu. Sementara individu ini mempunyai akal, namun dia tidak dapat memahami sesuatu. Sekaitan dengan hal ini, kita dapat merujuk dalam Al-Quran surah Al-Qashash [28] : 50 dan surah Al-A’raf [7] : 179.
Betapa meruginya orang yang mengorbankan diri malakut dan kesempurnaan kemanusiaannya demi keinginan-keinginan diri dan kehidupan hewaninya. Dia menukar diri kemanusiaannya dengan kelezatan-kelezatan hewani. Dalam Ghurar al-Hikam, Amirul mukminin Ali bin Abi Thalib kw berkata, “Orang yang tertipu adalah orang yang sibuk dengan urusan dunianya dan menyia-nyiakan bagian akhiratnya.” Senada dengan itu, dalam Nahjul Balaghah Imam Ali berkata , “Sungguh merupakan sebuah perniagaan yang amat merugikan ketika seseorang memandang dunia sebagai sesuatu yang berharga bagi dirinya, dan kemudian dia menukarnya dengan apa yang dimilikinya di sisi Allah SWT.”
Jika manusia merujuk kepada fitrahnya yang suci dan kesempurnaan dirinya, dan jauh dari hawa nafsunya, maka dia dengan baik akan mengenal nilai-nilai akhlak yang mulia dan juga nilai-nilai kebalikannya yang rendah. Semua manusia pada setiap zaman demikian keadaannya. Jika sebagian manusia tidak dapat memahami nilai-nilai seperti ini, itu tidak lain disebabkan hawa nafsunya telah memadamkan cahaya akalnya. Dan Al-Quran Al-Karim telah mengatakan bahwa pengenalan  dan pemahaman terhadap nilai-nilai utama dan nilai-nilai rendah merupakan sesuatu yang fitri bagi manusia. Para Nabi as diutus untuk membangunkan fitrah manusia. Mereka datang membimbing dan membantu manusia dalam mengenal nilai-nilai keutamaan, dalam melaksanakan nilai-nilai tersebut untuk meniti tangga-tangga kesempurnaan, dan dalam mencapai kedudukan yang dekat dengan Allah SWT. Mereka diutus untuk mengarahkan manusia kepada kedudukan tinggi kemanusiaan dan pentingnya menjaga serta menghidupkan nilai-nilai tinggi kemanusiaan. Mereka datang untuk mengatakan kepada manusia bahwa Anda bukan seekor hewan, melainkan seorang manusia yang lebih mulia dari malaikat sekalipun. Urusan-urusan duniawi tidak sepadan dengan kedudukan malakut Anda. Anda jangan sampai jual diri Anda dengannya. Dalam Tuhaf al-Uqul, dikisahkan seseorang bertanya kepada Imam As-Sajjad, “Siapakah manusia yang paling mulia dan paling tinggi?” Imam As-Sajjad menjawab, “Manusia yang paling mulia dan paling tinggi adalah manusia yang tidak memandang dunia sebanding dengan kemuliaan dirinya.” 
Oleh karena itu, pada gilirannya  kehidupan manusia, secara umum terbagi atas tiga model kehidupan, yaitu :
1.     Model Kehidupan Tumbuh-tumbuhan, dimana yang dipikirkan hanyalah seputar kenikmatan jasadi. Bagaimana mendapatkan makanan yang enak, berpakaian yang bagus dan berketurunan.
2.     Model Kehidupan Hewani, yakni disamping kehidupan tumbuh-tumbuhan, dia juga memiliki gerak iradah. Dengan kelebihan ini, ia dapat memenuhi keinginan-keinginannya yang lebih besar. Tapi dalam aspek nilai, dia tidak dapat memperoleh nilai-nilai mulia yang lebih tinggi dari tabiatnya.
3.     Model Kehidupan Insani, dimana selain yang terdapat pada dua model sebelumnya, dia memiliki akal yang mengarahkannya pada kehidupan berakal dan berbudi serta penyembahan kepada Sang Khaliq. Oleh sebab itu, jika ada manusia yang tidak dalam kehidupan berakal, berbudi dan menyembah Tuhan, maka kehidupannya tidak lebih dari kehidupan tumbuh-tumbuhan atau hewani, bahkan menurut Al-Quran boleh jadi lebih rendah dari keduanya atau bahkan lebih rendah dari batu.
Akhirnya, makhluk manusia sendirilah yang harus menetapkan sikap dan menentukan nasib akhir mereka sendiri dan ingin menjadi seperti apa. Oleh Tuhan kita terlahir sebagai manusia, maka akankah kita kembali lagi sebagai manusia? Wallahu a’lam bisshawab.
Makassar, Juli 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Rezim Yang Ambigu dan Problem Lingkungan di Indonesia

Permasalahan lingkungan hidup, telah mendapat perhatian besar di hampir semua negara. Ini terutama terjadi sejak dasawarsa 1970-an setelah d...