Tampaknya Pemerintah dan DPR bersikukuh untuk segera
mengesahkan RUU (Rancangan Undang-Undang) Cipta Kerja dalam waktu dekat meski
gelombang penolakan dari kelompok masyarakat masih terus berlanjut terhadap
pembahasan dan rencana pengesahan Cipta Kerja yang problematik tersebut.
Menjadi problematik karena baik substansi maupun proses perumusannya mengandung
banyak persoalan sehingga menyebabkan munculnya berbagai reaksi dari berbagai
kalangan di masyarakat.
RUU Cipta Kerja ini
mungkin satu di antara RUU yang mendapat keistimewaan perlakuan dari
Pemerintah-DPR. Seakan menegaskan upaya mengejar target untuk segera disahkan sehingga
dalam masa reses dan pandemi pun DPR tetap melanjutkan pembahasannya.
Bandingkan dengan RUU Masyarakat Adat yang sudah sekian lama tertunda
pembahasannya, padahal telah diajukan sejak 2009. Ini mengesankan bahwa
pemerintah seringkali abai terhadap hak-hak masyarakat adat, padahal negara
sudah banyak mengambil keuntungan dan sumber daya dari masyarakat adat. Ditambah
lagi, mereka sering kali mengalami perampasan wilayah, diskriminasi,
kriminalisasi, hingga pelanggaran hak asasi.
Omnibus Law RUU Cipta
Kerja menjadi perhatian dan mengundang reaksi berbagai komponen masyarakat
karena RUU yang berisi 174 pasal ini menyisir 1200-an aturan pada 79
undang-undang multisektor. Hal ini disinyalir akan memberi dampak begitu luas
dalam kehidupan masyarakat. Mengapa RUU ini menyebabkan gelombang penolakan yang
cukup besar? Salah satunya karena ruang diskursus wacana sebagai bentuk
keterbukaan dan partisipasi masyarakat yang diperintahkan dalam Pasal 5 dan
Pasal 96 UU No.12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UUP3)
tidak terakomodasi secara baik sehingga nyaris tak ada partisipasi,
transparansi, dan terkesan terburu-buru. Akibatnya, problem-problem yang muncul
di berbagai sektor tidak kunjung menemukan titik temu.
Sebagai contoh pada bidang
pertanahan atau agraria. Menurut Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA)
Dewi Kartika, RUU ini akan memangkas tujuan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA)
tahun 1960, dengan menciptakan norma baru yang memberi seperangkat kemudahan
dan keistimewaan kepada investor. Sementara di sisi lain, perlindungan kepada
masyarakat rentan sangat minim. RUU ini juga merevisi aturan dalam UU No.41
tahun 2009 tentang perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan, mengubah
peraturan dalam UUPA dengan mempersilahkan perusahaan untuk mengantongi hak
atas tanah berupa hak guna usaha (HGU) langsung selama 90 tahun sejak
permohonan awal, padahal sebelumnya dibatasi paling lama 25-30 tahun yang hanya
boleh diperpanjang jika memenuhi syarat. Oleh sebab itu, Akademisi Sekolah
Kajian Stratejik dan Global UI, Mia Siscawati, menyebut konsep ‘ruang’ dalam
RUU Cipta kerja disempitkan menjadi ruang investasi yang memerlukan dua
komponen, yaitu pengadaan lahan dan kawasan ekonomi.
Ironi Tata Ruang dan
Lingkungan Hidup
Dari 79 Undang-Undang multisektor yang disasar, tata ruang dan
lingkungan hidup adalah bidang yang terkena dampak RUU Cipta kerja yang
menimbulkan polemik tersebut. Keduanya merupakan urusan pemerintahan yang
bersifat wajib, tetapi seringkali terabaikan dalam berbagai aspeknya.
Dalam UU.26/2007 tentang Penataan Ruang, setidaknya ada sekitar
40-an pasal atau ketentuan yang terdampak RUU tersebut. Ada beberapa ketentuan
yang sifatnya problematik, antara lain: Pertama, pada pasal 3 UU.26/2007
disebutkan bahwa tujuan penyelenggaraan penataan ruang adalah untuk mewujudkan
ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan
berlandaskan wawasan nusantara dan ketahanan nasional. Pertanyaannya, mengapa
ketentuan tentang kawasan perdesaan mesti dihapus pada RUU ini? Apakah
perdesaan bukan bagian dari nusantara dan wilayah nasional sehingga tidak
dianggap penting untuk ditata ruangnya sebagaimana wilayah lainnya.
Kedua, tampaknya RUU ini kurang senafas dengan prinsip
desentralisasi, dekonsentrasi, dan otonomi daerah pada UU.23/2014 yang sudah
berlangsung selama ini dengan menarik kewenangan pemerintah daerah terkait
penyelenggaraan penataan ruang. Pasal 9 UU.26/2007 menyebutkan bahwa penyelenggaraan
penataan ruang dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat. Dan yang dimaksud Pemerintah
Pusat adalah Presiden Republik Indonesia sesuai pasal 1 poin 7. Akibatnya, tugas dan wewenang penyelenggaraan
penataan ruang berupa pengaturan, pembinaan, pelaksanaan, dan pengawasan tidak
lagi dimiliki oleh pemerintah provinsi maupun kabupaten/kota dengan dihapusnya
ketentuan pasal 10 dan 11. Bisa dibayangkan akan seperti apa persoalan tata
ruang di berbagai daerah nantinya.
Ketiga, hal yang sangat krusial dalam RUU Cipta Kerja menyangkut
perizinan sebab kluster ini terkait berbagai hal, di antaranya tata ruang,
lingkungan hidup, kehutanan, pertanahan, dan lain sebagainya. Dalam bidang tata
ruang, perizinan merupakan salah satu instrumen pengendalian pemanfaatan ruang
yang pada RUU ini diubah menjadi kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang. Di
antara potensi masalah yang akan muncul pada RUU sekaitan dengan perizinan
adalah pasal 15 ayat 5 yang mengatur bahwa pelaku usaha dapat langsung
melakukan kegiatan usahanya setelah mendapat kesesuaian kegiatan pemanfaatan
ruang. Lalu pasal 18 angka 21 menyebut bahwa kewenangan persetujuan kesesuaian
kegiatan pemanfaatan ruang diberikan kepada Pemerintah Pusat. Pertanyaannya,
lalu di mana proses partisipasi publik/masyarakat? Instrumen pengendalian
lainnya yang tak kalah problematik ialah melemahnya penerapan sanksi terhadap
pelanggaran tata ruang dengan menghilangkan sanksi pidananya. Padahal, di
aturan sebelumnya yang diberlakukan adalah sanksi administrasi dan sanksi
pidana penjara secara bersamaan. Dengan kenyataan seperti itu, rasanya kita
sulit berharap tertib tata ruang dapat diwujudkan.
Keempat, salah satu alasan yang sering disebut mengapa diperlukan
RUU ini ialah keinginan melakukan harmonisasi regulasi yang tumpang tindih.
Namun, faktanya sinkronisasi di antara
beberapa ketentuan dalam UU.26/2007 tentang Penataan Ruang ini saja tidak
berhasil dilakukan. Apalagi jika bermaksud melakukan harmonisasi 79 UU berbagai
sektor hanya dengan sebuah Undang-Undang. Misalnya pasal 5 yang masih menyebut
penataan ruang kawasan perdesaan. Padahal, ketentuan tentang perdesaan telah
dihapus di pasal 1. Demikian halnya kewenangan penyelenggaraan penataan ruang
untuk Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota yang dicabut di pasal 10 dan 11,
tapi masih muncul di pasal 7 ayat 2, pasal 13 ayat 3 dan pasal 55 ayat 3. Perizinan
yang diubah pada pasal 35 masih juga disebut di pasal 73 ayat 1.
Pada aspek lingkungan
hidup, tidak jauh berbeda dengan permasalahan yang muncul dalam penataan ruang.
Sebab itu, Direktur Eksekutif Nasional WALHI, Nur Hidayati, mengatakan bahwa
politik hukum kita memang belum berpihak pada lingkungan hidup. Baginya,
UU.32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH)
merupakan salah satu UU yang progresif di Indonesia karena meletakkan prinsip-prinsip
perlindungan dan pengelolaan Lingkungan Hidup yang cukup baik. Sayangnya,
regulasi ini kemudian dikebiri pada RUU Cipta Kerja. Di antaranya dengan
menghapus izin lingkungan serta mekanisme penilaian Amdal, minimnya partisipasi
publik, pengawasan yang sentralistik, dan dihilangkannya pertanggungjawaban
(sanksi) pidana korporasi. Lalu, ada indikasi kemudahan usaha dan investasi
yang membolehkan pengabaian terhadap masalah lingkungan. Pengabaian ini menjadi
kontradiktif dengan upaya pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan
(TPB/SDGs) yang senantiasa digaungkan selama ini. Padahal, aspek lingkungan
hidup merupakan salah satu dari pilar utama dalam implementasi TPB tersebut.
Dari fenomena seperti
disebutkan, tidak heran bila Akademisi dan Pakar Hukum UGM, Dr. Zainal Arifin
Mochtar, menyebutkan bahwa memang ada pertanyaan besar, terutama tentang
politik hukum yang juga ada hubungannya dengan paradigma negara dalam mengusung
RUU ini. Sementara itu, Pakar Aliansi Kebangsaan, Dr. Yudi Latif, berpandangan bahwa “Krisis yang terjadi saat ini karena kehidupan negara berjalan sebatas
mengikuti rutinitas prosedur dan administrasi tanpa kejelasan arah dan tujuan.
Banyak RUU dibuat dengan penalaran yang kusut; makin banyak peraturan makin
meluas penyalahgunaan, elit negeri berlomba mengkhianati negara dan sesamanya
yang membuat rasa saling percaya pudar. Hal itu mencerminkan terjadinya
degenerasi dalam kapasitas nalar-etis bangsa kita”.
Jika karpet merah
betul-betul digelar untuk para investor melalui RUU Cipta Kerja nantinya, maka
konflik antara korporasi dan komunitas/masyarakat seperti yang terjadi belum
lama ini pada Masyarakat Adat Laman Kinipan Kalimantan Tengah dan Masyarakat
Nelayan Pulau Kodingareng di Perairan Sangkarrang Makassar, boleh jadi akan
terus kita saksikan. Peristiwa ini menunjukkan telah terjadi perampasan
ruang penghidupan masyarakat. Pertanyaannya, apakah negara mesti terus
berhadapan dengan rakyatnya sendiri?
Sepertinya, para penguasa negeri ini, di semua tingkatan perlu
membaca kitab “Nahjul Balaghah” dan
belajar dari Sayyidina Ali bin Abi Thalib KW. Saat Sang Imam/Khalifah
Rasulullah memberi tuntunan lewat surat perintahnya kepada Gubernur Mesir,
Malik Asytar, tentang bagaimana mengelola dan menjalankan sistem pemerintahan
yang baik dan benar, manusiawi, serta berkeadilan.
Wallahu a’lam bisshawab.