Kamis, 01 Oktober 2020

Sengkarut Tata Ruang dan Lingkungan Hidup dalam RUU Cipta Kerja

Tampaknya Pemerintah dan DPR bersikukuh untuk segera mengesahkan RUU (Rancangan Undang-Undang) Cipta Kerja dalam waktu dekat meski gelombang penolakan dari kelompok masyarakat masih terus berlanjut terhadap pembahasan dan rencana pengesahan Cipta Kerja yang problematik tersebut. Menjadi problematik karena baik substansi maupun proses perumusannya mengandung banyak persoalan sehingga menyebabkan munculnya berbagai reaksi dari berbagai kalangan di masyarakat.

RUU Cipta Kerja ini mungkin satu di antara RUU yang mendapat keistimewaan perlakuan dari Pemerintah-DPR. Seakan menegaskan upaya mengejar target untuk segera disahkan sehingga dalam masa reses dan pandemi pun DPR tetap melanjutkan pembahasannya. Bandingkan dengan RUU Masyarakat Adat yang sudah sekian lama tertunda pembahasannya, padahal telah diajukan sejak 2009. Ini mengesankan bahwa pemerintah seringkali abai terhadap hak-hak masyarakat adat, padahal negara sudah banyak mengambil keuntungan dan sumber daya dari masyarakat adat. Ditambah lagi, mereka sering kali mengalami perampasan wilayah, diskriminasi, kriminalisasi, hingga pelanggaran hak asasi.

Omnibus Law RUU Cipta Kerja menjadi perhatian dan mengundang reaksi berbagai komponen masyarakat karena RUU yang berisi 174 pasal ini menyisir 1200-an aturan pada 79 undang-undang multisektor. Hal ini disinyalir akan memberi dampak begitu luas dalam kehidupan masyarakat. Mengapa RUU ini menyebabkan gelombang penolakan yang cukup besar? Salah satunya karena ruang diskursus wacana sebagai bentuk keterbukaan dan partisipasi masyarakat yang diperintahkan dalam Pasal 5 dan Pasal 96 UU No.12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UUP3) tidak terakomodasi secara baik sehingga nyaris tak ada partisipasi, transparansi, dan terkesan terburu-buru. Akibatnya, problem-problem yang muncul di berbagai sektor tidak kunjung menemukan titik temu.

Sebagai contoh pada bidang pertanahan atau agraria. Menurut Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika, RUU ini akan memangkas tujuan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) tahun 1960, dengan menciptakan norma baru yang memberi seperangkat kemudahan dan keistimewaan kepada investor. Sementara di sisi lain, perlindungan kepada masyarakat rentan sangat minim. RUU ini juga merevisi aturan dalam UU No.41 tahun 2009 tentang perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan, mengubah peraturan dalam UUPA dengan mempersilahkan perusahaan untuk mengantongi hak atas tanah berupa hak guna usaha (HGU) langsung selama 90 tahun sejak permohonan awal, padahal sebelumnya dibatasi paling lama 25-30 tahun yang hanya boleh diperpanjang jika memenuhi syarat. Oleh sebab itu, Akademisi Sekolah Kajian Stratejik dan Global UI, Mia Siscawati, menyebut konsep ‘ruang’ dalam RUU Cipta kerja disempitkan menjadi ruang investasi yang memerlukan dua komponen, yaitu pengadaan lahan dan kawasan ekonomi.

 

Ironi Tata Ruang dan Lingkungan Hidup

Dari 79 Undang-Undang multisektor yang disasar, tata ruang dan lingkungan hidup adalah bidang yang terkena dampak RUU Cipta kerja yang menimbulkan polemik tersebut. Keduanya merupakan urusan pemerintahan yang bersifat wajib, tetapi seringkali terabaikan dalam berbagai aspeknya.

Dalam UU.26/2007 tentang Penataan Ruang, setidaknya ada sekitar 40-an pasal atau ketentuan yang terdampak RUU tersebut. Ada beberapa ketentuan yang sifatnya problematik, antara lain: Pertama, pada pasal 3 UU.26/2007 disebutkan bahwa tujuan penyelenggaraan penataan ruang adalah untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan berlandaskan wawasan nusantara dan ketahanan nasional. Pertanyaannya, mengapa ketentuan tentang kawasan perdesaan mesti dihapus pada RUU ini? Apakah perdesaan bukan bagian dari nusantara dan wilayah nasional sehingga tidak dianggap penting untuk ditata ruangnya sebagaimana wilayah lainnya.

Kedua, tampaknya RUU ini kurang senafas dengan prinsip desentralisasi, dekonsentrasi, dan otonomi daerah pada UU.23/2014 yang sudah berlangsung selama ini dengan menarik kewenangan pemerintah daerah terkait penyelenggaraan penataan ruang. Pasal 9 UU.26/2007 menyebutkan bahwa penyelenggaraan penataan ruang dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat. Dan yang dimaksud Pemerintah Pusat adalah Presiden Republik Indonesia sesuai pasal 1 poin 7.  Akibatnya, tugas dan wewenang penyelenggaraan penataan ruang berupa pengaturan, pembinaan, pelaksanaan, dan pengawasan tidak lagi dimiliki oleh pemerintah provinsi maupun kabupaten/kota dengan dihapusnya ketentuan pasal 10 dan 11. Bisa dibayangkan akan seperti apa persoalan tata ruang di berbagai daerah nantinya.

Ketiga, hal yang sangat krusial dalam RUU Cipta Kerja menyangkut perizinan sebab kluster ini terkait berbagai hal, di antaranya tata ruang, lingkungan hidup, kehutanan, pertanahan, dan lain sebagainya. Dalam bidang tata ruang, perizinan merupakan salah satu instrumen pengendalian pemanfaatan ruang yang pada RUU ini diubah menjadi kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang. Di antara potensi masalah yang akan muncul pada RUU sekaitan dengan perizinan adalah pasal 15 ayat 5 yang mengatur bahwa pelaku usaha dapat langsung melakukan kegiatan usahanya setelah mendapat kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang. Lalu pasal 18 angka 21 menyebut bahwa kewenangan persetujuan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang diberikan kepada Pemerintah Pusat. Pertanyaannya, lalu di mana proses partisipasi publik/masyarakat? Instrumen pengendalian lainnya yang tak kalah problematik ialah melemahnya penerapan sanksi terhadap pelanggaran tata ruang dengan menghilangkan sanksi pidananya. Padahal, di aturan sebelumnya yang diberlakukan adalah sanksi administrasi dan sanksi pidana penjara secara bersamaan. Dengan kenyataan seperti itu, rasanya kita sulit berharap tertib tata ruang dapat diwujudkan.

Keempat, salah satu alasan yang sering disebut mengapa diperlukan RUU ini ialah keinginan melakukan harmonisasi regulasi yang tumpang tindih. Namun, faktanya  sinkronisasi di antara beberapa ketentuan dalam UU.26/2007 tentang Penataan Ruang ini saja tidak berhasil dilakukan. Apalagi jika bermaksud melakukan harmonisasi 79 UU berbagai sektor hanya dengan sebuah Undang-Undang. Misalnya pasal 5 yang masih menyebut penataan ruang kawasan perdesaan. Padahal, ketentuan tentang perdesaan telah dihapus di pasal 1. Demikian halnya kewenangan penyelenggaraan penataan ruang untuk Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota yang dicabut di pasal 10 dan 11, tapi masih muncul di pasal 7 ayat 2, pasal 13 ayat 3 dan pasal 55 ayat 3. Perizinan yang diubah pada pasal 35 masih juga disebut di pasal 73 ayat 1.  

Pada aspek lingkungan hidup, tidak jauh berbeda dengan permasalahan yang muncul dalam penataan ruang. Sebab itu, Direktur Eksekutif Nasional WALHI, Nur Hidayati, mengatakan bahwa politik hukum kita memang belum berpihak pada lingkungan hidup. Baginya, UU.32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) merupakan salah satu UU yang progresif di Indonesia karena meletakkan prinsip-prinsip perlindungan dan pengelolaan Lingkungan Hidup yang cukup baik. Sayangnya, regulasi ini kemudian dikebiri pada RUU Cipta Kerja. Di antaranya dengan menghapus izin lingkungan serta mekanisme penilaian Amdal, minimnya partisipasi publik, pengawasan yang sentralistik, dan dihilangkannya pertanggungjawaban (sanksi) pidana korporasi. Lalu, ada indikasi kemudahan usaha dan investasi yang membolehkan pengabaian terhadap masalah lingkungan. Pengabaian ini menjadi kontradiktif dengan upaya pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB/SDGs) yang senantiasa digaungkan selama ini. Padahal, aspek lingkungan hidup merupakan salah satu dari pilar utama dalam implementasi TPB tersebut.

Dari fenomena seperti disebutkan, tidak heran bila Akademisi dan Pakar Hukum UGM, Dr. Zainal Arifin Mochtar, menyebutkan bahwa memang ada pertanyaan besar, terutama tentang politik hukum yang juga ada hubungannya dengan paradigma negara dalam mengusung RUU ini. Sementara itu, Pakar Aliansi Kebangsaan, Dr. Yudi Latif, berpandangan bahwa “Krisis yang terjadi saat ini karena kehidupan negara berjalan sebatas mengikuti rutinitas prosedur dan administrasi tanpa kejelasan arah dan tujuan. Banyak RUU dibuat dengan penalaran yang kusut; makin banyak peraturan makin meluas penyalahgunaan, elit negeri berlomba mengkhianati negara dan sesamanya yang membuat rasa saling percaya pudar. Hal itu mencerminkan terjadinya degenerasi dalam kapasitas nalar-etis bangsa kita”.

Jika karpet merah betul-betul digelar untuk para investor melalui RUU Cipta Kerja nantinya, maka konflik antara korporasi dan komunitas/masyarakat seperti yang terjadi belum lama ini pada Masyarakat Adat Laman Kinipan Kalimantan Tengah dan Masyarakat Nelayan Pulau Kodingareng di Perairan Sangkarrang Makassar, boleh jadi akan terus kita saksikan. Peristiwa ini menunjukkan telah terjadi perampasan ruang penghidupan masyarakat. Pertanyaannya, apakah negara mesti terus berhadapan dengan rakyatnya sendiri?

Sepertinya, para penguasa negeri ini, di semua tingkatan perlu membaca kitab “Nahjul Balaghah” dan belajar dari Sayyidina Ali bin Abi Thalib KW. Saat Sang Imam/Khalifah Rasulullah memberi tuntunan lewat surat perintahnya kepada Gubernur Mesir, Malik Asytar, tentang bagaimana mengelola dan menjalankan sistem pemerintahan yang baik dan benar, manusiawi, serta berkeadilan.

Wallahu a’lam bisshawab.


Rezim Yang Ambigu dan Problem Lingkungan di Indonesia

Permasalahan lingkungan hidup, telah mendapat perhatian besar di hampir semua negara. Ini terutama terjadi sejak dasawarsa 1970-an setelah d...