Dalam era
sains modern dan masyarakat teknologis, ada dua prinsip yang mengarahkan semua
usaha dan pemikiran setiap orang dalam rencana kerja, yaitu; Pertama,
kepercayaan manusia pada dua variabel, “produktivitas” dan “efisiensi”. Kedua,
prinsip dengan semboyan, “Sesuatu harus dikerjakan karena secara teknis mungkin
dikerjakan”. Prinsip tersebut sesungguhnya mengabaikan nilai-nilai yang
dikembangkan dalam tradisi humanis. Tradisi humanis mengajarkan bahwa, “Sesuatu
harus dikerjakan karena dibutuhkan manusia.” Demikianlah diungkapkan oleh Erich
Fromm dalam The Revolution of Hope-nya.
Dari kutipan
di atas, kita mencoba untuk memahami apa yang dimaksudkan dengan humanis atau humanisme. Secara sederhana, humanis
bisa dimaknai sesuatu yang berhubungan dengan manusia. Karenanya, pendekatan
humanis merupakan pendekatan manusiawi atau yang berfokus pada dimensi
manusianya. Pada ranah filsafat, humanisme
terkadang disebutkan sebagai aliran pemikiran yang mengedepankan nilai dan
kedudukan manusia serta menjadikannya kriteria dalam berbagai hal. Dalam ilmu
psikologi, dikenal aliran psikologi
humanistik yang disebut sebagai revolusi ketiga
dalam psikologi, di mana menjelaskan aspek eksistensi manusia yang
positif dan menentukan, yang tidak dilakukan di era sebelumnya pada aliran
psikoanalisis dan psikologi behaviorisme.
Pada
perkembangan pembangunan dan penataan ruang yang terjadi selama ini,
pengetahuan mengenai manusia, seringkali tidak menjadi prioritas untuk
dijadikan sebagai salah satu pendekatan. Bahasan Manusia kerapkali hanya
terdapat dalam angka-angka statistik pada aspek kependudukan. Padahal,
pendekatan humanis, adalah sebuah pendekatan yang terkait dengan diri kita
sendiri, di mana manusia adalah objek dan sekaligus sebagai subjek perencanaan
dan pembangunan. Karenanya, dalam kesempatan lain, Erich Fromm mendakukan bahwa
manusia sebagai perencana, harus menyadari peranannya sebagai bagian dari
seluruh sistem. Manusia sebagai pembangun dan penganalisis sistem, mesti
menjadikan dirinya sendiri sebagai obyek sistem yang ia analisis. Ini berarti
bahwa pengetahuan manusia tentang kodratnya dan kemungkinan-kemungkinan
manifestasinya seyogyanya menjadi salah satu data dasar bagi berbagai
perencanaan.
Saat ini,
kecenderungan pembangunan dan penataan ruang kita, masih mementingkan aspek
ekonomi ketimbang memperhatikan faktor manusia, sosial serta budaya. Dan bahkan
alam serta lingkungan pun, seringkali diabaikan. Padahal pembangunan dan
penataan ruang yang tidak humanis, sangat berpotensi menyebabkan konflik sosial
serta krisis lingkungan. Konflik tersebut akan terjadi, manakala pembangunan
dan penataan ruang menemui kegagalan dalam menciptakan kehidupan yang manusiawi
(humanis). Sebagian kecil dari hal itu, bisa kita temukan di berbagai kota dan
daerah, di antaranya: ketidakadilan dalam penguasaan dan pemanfaatan ruang,
semakin berkurangnya ruang publik atau ruang terbuka yang dapat digunakan
masyarakat berinteraksi secara nyaman, sarana transportasi yang terus bersoal;
dari masalah kemacetan, area parkir yang langka serta fungsi pedestrian yang
tidak semestinya. Boleh jadi, problematika semacam inilah yang menginspirasi
lahirnya gerakan-gerakan kritis para intelektual dan aktivis perkotaan, seperti
Henri Lefebvre, David Harvey dan juga Neil Smith. “Right to the City” atau Hak atas Kota misalnya, merupakan sebuah
perspektif gerakan dalam melawan proses
pembangunan perkotaan ala Neoliberalisme, seperti privatisasi dan
komersialisasi ruang perkotaan serta
mendominasinya kawasan industri dan perdagangan. Masyarakat akhirnya mengalami
krisis ruang publik. Mungkin benar yang diujarkan oleh Yasraf Amir Piliang,
bahwa salah satu alasan orang menyenangi cyberspace,
karena ia dianggap dapat menggantikan keberadaan ruang publik (public space), yang telah semakin
menghilang di dalam masyarakat kita.
Pendekatan Humanis Sebuah Kemestian
Dengan
merujuk apa yg diuraikan sebelumnya, maka nampaknya pendekatan humanis ini,
menjadi pilihan yang mesti dijadikan pertimbangan serius dalam semua proses
pembangunan dan penataan ruang kita. Sebab, bagi Ali Syariati, akan sia-sia
saja bila para insinyur, arsitek, atau planner, dengan dasar prinsip teknik dan
teknologi yang tinggi serta canggih, berbicara mengenai ruang atau rumah yang
paling baik dan cocok, sebelum memahami karakter, kepribadian dan kebutuhan
pokok manusia yang akan menghuni. Memahami manusia, memang bukan perkara mudah,
bahkan merupakan masalah paling rumit di alam semesta. Karena itu, memerlukan
curahan perhatian yang besar.
Oleh karena
itu, pemerintah atau penguasa sebagai penyelenggara pembangunan dan penataan
ruang, harus lebih peka dan cermat dalam mengungkap keinginan serta kebutuhan
manusia (masyarakat) di daerahnya masing-masing. Tidak mereflikasi kecongkakan
Joseph Condrad pada bukunya Nostromo: A
Tale of the Seabord, yang dinukil Budayawan D.Zawawi Imron dalam “Gumam-Gumam Dari Dusun-Indonesia di Mata
Seorang Santri”. Joseph menulis : “Kita (yakni orang Barat atau penjajah)
akan menjalankan urusan dunia, tak peduli apakah dunia suka atau tidak. Kita
akan menentukan segala-galanya.”
Pendekatan
Pembangunan dan penataan ruang, sangat membutuhkan rujukan nilai-nilai
transenden dan hati nurani, agar dalam era globalisasi ini, tak ada manusia
yang terpinggirkan dan merasa dihina. Dengan demikian, irama pembangunan dan
penataan ruang kita akan terasa lebih manusiawi. Wallahu a’lam bisshawab.
FAJAR Makassar, Februari 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar