Selasa, 29 Januari 2019

Pendekatan Humanis dalam Pembangunan dan Penataan Ruang, Perlukah?

Dalam era sains modern dan masyarakat teknologis, ada dua prinsip yang mengarahkan semua usaha dan pemikiran setiap orang dalam rencana kerja, yaitu; Pertama, kepercayaan manusia pada dua variabel, “produktivitas” dan “efisiensi”. Kedua, prinsip dengan semboyan, “Sesuatu harus dikerjakan karena secara teknis mungkin dikerjakan”. Prinsip tersebut sesungguhnya mengabaikan nilai-nilai yang dikembangkan dalam tradisi humanis. Tradisi humanis mengajarkan bahwa, “Sesuatu harus dikerjakan karena dibutuhkan manusia.” Demikianlah diungkapkan oleh Erich Fromm dalam The Revolution of Hope-nya.
Dari kutipan di atas, kita mencoba untuk memahami apa yang dimaksudkan dengan humanis atau humanisme. Secara sederhana, humanis bisa dimaknai sesuatu yang berhubungan dengan manusia. Karenanya, pendekatan humanis merupakan pendekatan manusiawi atau yang berfokus pada dimensi manusianya. Pada ranah filsafat, humanisme terkadang disebutkan sebagai aliran pemikiran yang mengedepankan nilai dan kedudukan manusia serta menjadikannya kriteria dalam berbagai hal. Dalam ilmu psikologi, dikenal  aliran psikologi humanistik yang disebut sebagai revolusi ketiga  dalam psikologi, di mana menjelaskan aspek eksistensi manusia yang positif dan menentukan, yang tidak dilakukan di era sebelumnya pada aliran psikoanalisis dan psikologi behaviorisme.
Pada perkembangan pembangunan dan penataan ruang yang terjadi selama ini, pengetahuan mengenai manusia, seringkali tidak menjadi prioritas untuk dijadikan sebagai salah satu pendekatan. Bahasan Manusia kerapkali hanya terdapat dalam angka-angka statistik pada aspek kependudukan. Padahal, pendekatan humanis, adalah sebuah pendekatan yang terkait dengan diri kita sendiri, di mana manusia adalah objek dan sekaligus sebagai subjek perencanaan dan pembangunan. Karenanya, dalam kesempatan lain, Erich Fromm mendakukan bahwa manusia sebagai perencana, harus menyadari peranannya sebagai bagian dari seluruh sistem. Manusia sebagai pembangun dan penganalisis sistem, mesti menjadikan dirinya sendiri sebagai obyek sistem yang ia analisis. Ini berarti bahwa pengetahuan manusia tentang kodratnya dan kemungkinan-kemungkinan manifestasinya seyogyanya menjadi salah satu data dasar bagi berbagai perencanaan. 
Saat ini, kecenderungan pembangunan dan penataan ruang kita, masih mementingkan aspek ekonomi ketimbang memperhatikan faktor manusia, sosial serta budaya. Dan bahkan alam serta lingkungan pun, seringkali diabaikan. Padahal pembangunan dan penataan ruang yang tidak humanis, sangat berpotensi menyebabkan konflik sosial serta krisis lingkungan. Konflik tersebut akan terjadi, manakala pembangunan dan penataan ruang menemui kegagalan dalam menciptakan kehidupan yang manusiawi (humanis). Sebagian kecil dari hal itu, bisa kita temukan di berbagai kota dan daerah, di antaranya: ketidakadilan dalam penguasaan dan pemanfaatan ruang, semakin berkurangnya ruang publik atau ruang terbuka yang dapat digunakan masyarakat berinteraksi secara nyaman, sarana transportasi yang terus bersoal; dari masalah kemacetan, area parkir yang langka serta fungsi pedestrian yang tidak semestinya. Boleh jadi, problematika semacam inilah yang menginspirasi lahirnya gerakan-gerakan kritis para intelektual dan aktivis perkotaan, seperti Henri Lefebvre, David Harvey dan juga Neil Smith. “Right to the City” atau Hak atas Kota misalnya, merupakan sebuah perspektif gerakan  dalam melawan proses pembangunan perkotaan ala Neoliberalisme, seperti privatisasi dan komersialisasi  ruang perkotaan serta mendominasinya kawasan industri dan perdagangan. Masyarakat akhirnya mengalami krisis ruang publik. Mungkin benar yang diujarkan oleh Yasraf Amir Piliang, bahwa salah satu alasan orang menyenangi cyberspace, karena ia dianggap dapat menggantikan keberadaan ruang publik (public space), yang telah semakin menghilang di dalam masyarakat kita.
Pendekatan Humanis Sebuah Kemestian
Dengan merujuk apa yg diuraikan sebelumnya, maka nampaknya pendekatan humanis ini, menjadi pilihan yang mesti dijadikan pertimbangan serius dalam semua proses pembangunan dan penataan ruang kita. Sebab, bagi Ali Syariati, akan sia-sia saja bila para insinyur, arsitek, atau planner, dengan dasar prinsip teknik dan teknologi yang tinggi serta canggih, berbicara mengenai ruang atau rumah yang paling baik dan cocok, sebelum memahami karakter, kepribadian dan kebutuhan pokok manusia yang akan menghuni. Memahami manusia, memang bukan perkara mudah, bahkan merupakan masalah paling rumit di alam semesta. Karena itu, memerlukan curahan perhatian yang besar.
Oleh karena itu, pemerintah atau penguasa sebagai penyelenggara pembangunan dan penataan ruang, harus lebih peka dan cermat dalam mengungkap keinginan serta kebutuhan manusia (masyarakat) di daerahnya masing-masing. Tidak mereflikasi kecongkakan Joseph Condrad pada bukunya Nostromo: A Tale of the Seabord, yang dinukil Budayawan D.Zawawi Imron dalam “Gumam-Gumam Dari Dusun-Indonesia di Mata Seorang Santri”. Joseph menulis : “Kita (yakni orang Barat atau penjajah) akan menjalankan urusan dunia, tak peduli apakah dunia suka atau tidak. Kita akan menentukan segala-galanya.”
Pendekatan Pembangunan dan penataan ruang, sangat membutuhkan rujukan nilai-nilai transenden dan hati nurani, agar dalam era globalisasi ini, tak ada manusia yang terpinggirkan dan merasa dihina. Dengan demikian, irama pembangunan dan penataan ruang kita akan terasa lebih manusiawi. Wallahu a’lam bisshawab.
 FAJAR Makassar, Februari 2018

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Rezim Yang Ambigu dan Problem Lingkungan di Indonesia

Permasalahan lingkungan hidup, telah mendapat perhatian besar di hampir semua negara. Ini terutama terjadi sejak dasawarsa 1970-an setelah d...