Kamis, 25 April 2019

Perempuan dan Keteladanan dalam Al-Quran

Dalam Islam, perempuan memiliki kedudukan tinggi sebagai manusia, karena perempuan dan laki-laki tidak berbeda dalam sisi kemanusiaan. Manusia di dalam Al-Quran juga disebutkan sebagai khalifah Allah SWT yang memperoleh kemuliaan.
Dengan demikian, setiap pujian kepada manusia yang terdapat di dalam Al-Quran dan hadis, pasti berkenaan dengan seluruh manusia, baik perempuan maupun laki-laki. Di dalam Al-Quran, tidak terdapat ayat yang mencela kewanitaan seorang perempuan. Oleh karena itu, perempuan dan laki-laki menurut perspektif Islam, adalah dua manusia yang sama.
Allah SWT dalam banyak firman-Nya telah menerangkan mengenai hal ini di antaranya: Surah An-Nahl[16]:97 “Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik. Dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik daripada apa yang telah mereka kerjakan.” Ali Imran[3]:195 “Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu baik laki-laki atau perempuan (karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain.”, serta  Al-Ahzab[33]:35  “Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.”
Al-Quran menjelaskan para perempuan utama sepanjang sejarah, seperti juga menjelaskan para lelaki utama serta memuji mereka. Sebagai contoh, berkenaan dengan Sayyidah Maryam as yang mengatakan: “Hai Maryam! Sesungguhnya Allah telah memilih kamu, menyucikan kamu dan melebihkan kamu atas segala perempuan di dunia (yang semasa dengan kamu).” (QS.Ali Imran[3]:42). Demikian pula Allah berfirman mengenai Asiyah istri Firaun dalam Surah At-Tahrim[66]:11. Dan berkenaan dengan para perempuan tersebut, Rasulullah SAW pernah bersabda: “Para penghulu perempuan surga ada empat orang: Khadijah putri Khuwailid, Maryam putri Imran, Asiyah putri Mazahim dan  Fatimah putri Muhammad.”
Dalam pandangan Al-Quran, manusia saleh adalah teladan bagi seluruh manusia. seorang laki-laki atau pria teladan adalah contoh bagi seluruh manusia bukan hanya untuk laki-laki saja. Begitu pula dengan perempuan teladan, adalah contoh yang harus diikuti oleh seluruh manusia dan bukan untuk perempuan saja. Hal ini telah dijelaskan dengan seterang-terangnya dalam Al-Quran.
Di dalam surah At-Tahrim ayat 10-12, ditampilkan empat perempuan sebagai pelajaran (i’tibar) bagi umat manusia. Dua di antaranya sebagai teladan kebaikan dan dua lainnya merupakan contoh dalam keburukan. Di sini tidak ada pembicaraan tentang jenis kelamin laki-laki atau perempuan, karena masing-masing dapat mengambil pelajaran dari sejarah kemanusiaan yang disajikan Al-Quran.
Berkaitan dengan contoh keburukan, Al-Quran mengisahkan dua perempuan yang berperangai buruk, yaitu istri Nabi Luth as dan istri Nabi Nuh as. Allah SWT berfirman: “Allah membuat istri Nuh dan istri Luth perumpamaan bagi orang-orang kafir. Keduanya berada di bawah pengawasan  dua orang hamba yang di antara hamba-hamba Kami, lalu kedua istri itu berkhianat kepada suaminya, maka kedua suaminya itu tiada dapat membantu mereka sedikitpun dari (siksa) Allah, dan dikatakan kepada keduanya, masuklah ke neraka bersama orang-orang yang masuk neraka.” (QS.At-Tahrim[66]:10)
Al-Quran juga mengemukakan dua contoh perempuan baik sebagai teladan. Pertama, Allah SWT berfirman: “Dan Allah membuat istri Firaun (sebagai) perumpamaan bagi orang-orang yang beriman, ketika dia berkata: “Ya Tuhanku, bangunkanlah untukku di sisi-Mu sebuah rumah dalam surga dan selamatkanlah aku dari Firaun dan perbuatannya, dan selamatkanlah aku dari kaum yang zalim.” (QS.At-Tahrim[66]:11). Kedua, Perempuan teladan lainnya yang disebutkan adalah Maryam as. Allah SWT berfirman tentang keteladanan Maryam as: “Dan ingatlah Maryam putri Imran yang memelihara kehormatannya, maka Kami tiupkan ke dalam rahimnya sebagian dari ruh (ciptaan) Kami, dan dia membenarkan kalimat Tuhan dan kitab-kitab-Nya. Dan adalah dia termasuk orang-orang yang taat.” (QS.At-Tahrim[66]:12).
Kiranya dapat dipahami bahwa empat kisah yang disebutkan dalam surah At-Tahrim tersebut, bukanlah merupakan pelajaran bagi kaum perempuan saja, tetapi sekaligus untuk kaum laki-laki juga. Karena seperti telah disinggung bahwa manusia teladan adalah merupakan teladan atau contoh untuk seluruh manusia, tidak dikhususkan laki-laki atau perempuan saja.   
Makassar, Juni 2015

FATIMAH AZ-ZAHRA : Penghulu Wanita Sepanjang Zaman (Sisi Kehidupan Putri Kinasih Rasulullah SAW)

Salah satu peristiwa monumental dalam sejarah Islam adalah peristiwa kelahiran dan sekaligus syahadah seorang wanita suci nan agung, putri Kinasih Al-Musthafa SAW yakni Fatimah Az-Zahra. Kita menyebutnya monumental karena pada diri beliau terdapat sejumlah keagungan sebagaimana ayahandanya Muhammad SAW, yang seyogyanya kita teladani dalam kehidupan. Tapi, siapakah Fatimah? Jawaban yang dibutuhkan bukan sekadar jawaban biografis. Melainkan lebih dari itu. Artinya, kita tidak cukup untuk menjawab bahwa Fatimah adalah putri Rasulullah SAW, istri dari Sayyidina Ali bin Abi Thalib, Ibu dari Sayyidina Hasan, Sayyidina Husain, Sayyidah Zainab dan Sayyidah Ummu Kultsum. Jawaban yang kita inginkan tentu saja adalah jawaban yang mampu memuaskan dahaga intelektual, spiritual, emosional atau bahkan sosiopolitis kaum muslimin terutama bagi para pecinta dan pengikutnya.
Ini berarti kita menginginkan jawaban-jawaban yang sanggup menguak misteri kehidupan Az-Zahra. Tapi, mampukah kita? Syaikh Ibrahim Amini dalam kata pengantar bukunya “Fatimah Az-Zahra: Wanita Teladan Sepanjang Masa”, mengakui betapa sulitnya untuk menulis buku tentang Fatimah Az-Zahra. Alasannya, Pertama, kehidupan Fatimah relatif pendek dan Kedua, tidak sampainya biografi yang lengkap perihal kehidupan Az-Zahra. Kesulitan untuk menguraikan kehidupan Fatimah juga diakui penulis lainnya seperti Ali Syariati, oleh karenanya, setelah sedikit menjelaskan tentang Fatimah, Syariati berkomentar pendek : Fatimah is Fatimah.
Berangkat dari kesadaran itulah lewat naskah yang singkat ini akan diungkapkan sekelumit kehidupan Fatimah yang pernah dideskripsikan atau disampaikan kepada kita, kaum muslimin.
Adalah tidak dapat diingkari oleh siapapun  bahwa Sayyidah Fatimah Az-Zahra adalah wanita terkemuka sepanjang zaman, tidak hanya bagi kalangan muslimin saja, tapi juga seluruh umat manusia. Nabi SAW menyebut Fatimah Az-Zahra putrinya, sebagai Sayyidah Nisa al-Alamin atau penghulu wanita sejagad raya. Ketika ditanya, bagaimana dengan Sayyidah Maryam? Nabi menjelaskan, dia adalah penghulu wanita pada zamannya, tapi Fatimah adalah penghulu wanita sepanjang zaman.
Berikut beberapa hadits Nabi mengenai Sayyidah Fatimah Az-Zahra sebagaimana diriwayatkan dalam kitab-kitab hadits,
·      Imam Bukhari dalam Kitab Shahihnya meriwayatkan dari Siti Aisyah  “Suatu hari ketika kami para isteri Rasulullah sedang kumpul-kumpul bersama Rasulullah, dan belum ada satu pun di antara kami yang meninggalkan tempat, tiba-tiba Fatimah datang menghadap Rasulullah SAW, sungguh jalannya sama persis dengan jalannya Rasulullah. Ketika Nabi SAW melihatnya, Nabi menyambutnya dengan hangat dan berkata kepadanya: “Selamat datang putriku”. Kemudian Nabi SAW mendudukkannya di sebelah kirinya atau di sebelah kanannya, lalu Nabi membisikkan sesuatu, Fatimah menangis tersedu-sedu. Ketika Nabi melihat putrinya itu menangis, Ia pun kembali membisikkan sesuatu. Aneh, Fatimah malah tertawa. Aku bertanya kepadanya: “Kami adalah para isteri Rasulullah, tapi justru engkau yang dititipi rahasia oleh Rasulullah. Tapi engkau malah menangis. Ketika Rasulullah pergi, aku bertanya kepada Fatimah: “Apa yang dibisikkan Rasulullah kepadamu. “Fatimah berkata: Aku tidak akan membongkar rahasia Rasulullah selama hidupnya”. Ketika Rasulullah SAW meninggal, aku berkata kepada Fatimah: “Engkau dahulu janji padaku akan memberitahuku.” Fatimah menjawab: “Ya, sekarang aku bisa menjelaskannya kepadamu.” Adapun bisikan pertama ialah, Rasulullah SAW menjelaskan kepadaku bahwa biasanya jibril datang kepadanya untuk mentadaruskan Al-Quran setahun sekali. Tapi tahun ini, kata Rasulullah kepadaku, Jibril datang dua kali, itu berarti ajalku sudah dekat, karena itu wahai Fatimah, takutlah pada Allah dan bersabarlah. Sesungguhnya aku adalah pendahulu yang paling baik. Itu yang membuatku menangis. Ketika Nabi melihat kesedihanku, Nabi kembali membisikku dan berkata kepadaku: “Wahai Fatimah! Mengapa engkau harus bersedih, tidakkah engkau senang bahwa engkau adalah penghulu wanita muslimah atau penghulu wanita umat ini.”
     Redaksi di atas adalah redaksi dalam kitab Shahih Bukhari. Sedangkan dalam kitab Shahih Muslim, ada tambahan kalimat setelah kalimat terakhir Bukhari, yaitu “Sesungguhnya engkau wahai Fatimah, adalah orang pertama dalam keluargaku yang menyusulku.”
·      Imam Bukhari juga meriwayatkan, sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: “Fatimah adalah buah hatiku. Barangsiapa yang membuatnya marah, maka ia telah membuatku marah.” Sementara itu, Imam Muslim dalam Shahihnya meriwayatkan bahwa Nabi SAW bersabda: “Sesungguhnya Fatimah adalah buah hatiku, Barangsiapa mengganggunya, ia telah menggangguku.” Sedangkan Turmudzi menambahkan: “Barangsiapa membuatnya senang, telah membuatku senang.”
     Hadits-hadits demikian, juga diriwayatkan oleh Al-Nasai, Ahmad bin Hambal, Al-Hakim, Abu Nuaim dan beberapa perawi lain.
·      Al-Hakim meriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib bahwa Rasulullah SAW berkata kepada Fatimah: “Hai Fatimah! Sesungguhnya jika engkau murka kepada seseorang, maka Allah pun akan murka kepadanya.”
      Hadits dengan redaksi ini juga diriwayatkan oleh Ibn Al-Atsir dalam Kitabnya Usudul-Ghabah, Ibn Hajar dalam Al-Ishabah dan Al-Tahzib dan Al Muttaqi al-Hindi dalam Kanzul Ummal.
Dari beberapa hadis yang disampaikan di atas, menunjukkan bagaimana keutamaan Sayyidah Fathimah Az-Zahra, sekaligus pula menunjukkan kedalaman hubungan antara Rasulullah SAW dengan Fathimah yang sangat signifikan dalam menjalankan peranan wanita utama Islam ini dalam membentuk gerakan-gerakan Rasulullah SAW, serta juga peranannya dalam membantu misi Rasulullah SAW.
Dr. Jalaluddin Rakhmat mendakukan bahwa melalui kelahiran Fatimah Az-Zahra, Islam ingin mengajarkan betapa pentingnya kedudukan perempuan dalam pandangan Islam. Karena itu, bukan sebatas slogan kalau Rasulullah SAW mengatakan bahwa sorga berada di bawah telapak kaki ibu. Juga bukan sekadar slogan kalau beliau menyatakan bahwa orang yang pertama kali harus kita berikan perbuatan baik adalah Ibu.
Dalam berbagai ajaran Islam, perempuan mendapat penghormatan yang tidak pernah diberikan oleh seluruh agama lain di dunia ini. Itulah sebabnya, kelak setelah kelahirannya, pada saat anak perempuan dipandang rendah, Nabi mengangkat Fatimah. Ketika kehadiran anak wanita dianggap bencana, Nabi menyebut Fatimah sebagai “Al-Kautsar” (anugerah yang banyak).
Pada masyarakat jahiliyah yang bangga menguburkan anak perempuannya hidup-hidup, Nabi menegakkan hak-hak anak secara terbuka. Belum pernah pemimpin dunia memperlakukan anaknya seperti perlakuan Nabi kepada Fatimah. Hubungan batin di antara keduanya dicatat sejarah sebagai pelajaran abadi untuk umat manusia.
Dari bimbingan ayahandanya, terbentuk kepribadian dan keteladanan pada diri Fatimah. Ia mewarisi kepribadian Maryam binti Imran yang di dalam Al-Quran dilukiskan sebagai wanita suci. Waktunya dipenuhi dengan zikir dan ibadat. Fatimah juga mewarisi karakter ibunya sendiri. Khadijah binti Khuwailid. Dia hidup sederhana di samping suaminya. Ali bin Abi Thalib. Seperti Khadijah, Fatimah mempersembahkan apapun yang dimilikinya untuk Islam.
Fatimah juga menghimpun akhlak Asiyah binti Mazahim. Hari-hari terakhir dalam kehidupannya dipenuhi perjuangan menegakkan keadilan. Kalau Asiyah menentang kezaliman suaminya, Fatimah berjuang menentang kezaliman yang dilakukan lawan suaminya, karena dia tidak dapat berkompromi dengan pelanggaran kebenaran. Tampaknya, pada Fatimahlah seharusnya wanita Muslimah mendefinisikan dirinya.
 Makassar, Agustus 2015

Tata Ruang dan Kebencanaan

Cuaca ekstrem yang melanda Sulawesi Selatan beberapa waktu yang lalu, telah memicu terjadinya bencana yang melumpuhkan sebagian wilayah metropolitan mamminasata dan beberapa daerah lainnya. Ini merupakan kali kedua setelah kejadian yang sama terjadi sekitar akhir Desember 2018 lalu. Sebetulnya di awal Desember, Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Wilayah IV Makassar, telah menyampaikan peringatan dini terkait musim hujan yang akan memasuki fase puncak. Curah hujan dengan intensitas tertinggi sudah diprediksi terjadi di bulan Desember dan Januari ini. Karenanya, daerah-daerah telah diingatkan untuk sedini mungkin melakukan langkah antisipasi, terutama pada wilayah rawan bencana.
Pada kesempatan lain, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Sulawesi Selatan juga telah melansir data jumlah dan dampak kejadian bencana alam yang terjadi selama 2018. Dari 217 kali kejadian bencana, banjir dan tanah longsor termasuk yang paling sering terjadi pada 2018 lalu. Jumlah korban terdampak sebanyak 13.729 jiwa dan 11.650 unit rumah terendam.
Tragedi banjir besar yang terjadi beberapa waktu lalu, tepatnya pada 22 Januari 2019, menerjang wilayah Sulawesi Selatan di 70-an Kecamatan pada 13 Kabupaten/Kota. Hingga akhir Januari, setidaknya 79 orang dinyatakan meninggal dalam kejadian ini.  Pada sepuluh tahun terakhir, ini merupakan banjir terparah yang pernah ada. Sangat parah karena cakupan wilayah terdampak bencana yang begitu luas.
Dari dua kejadian terakhir bencana besar yang melanda Sulawesi Selatan tersebut, kita dapat simpulkan sementara bahwa ada persoalan dalam proses pembangunan yang dilakukan selama ini. Sebab, bila dicermati jenis bencana yang terjadi serta banyaknya daerah dan titik wilayah terdampak, yang belum pernah mengalami bencana sebesar saat ini, maka bisa diduga faktor penyebabnya tidak semata karena cuaca buruk. Alih fungsi lahan dan hutan, penambangan tak terkendali dan penyempitan aliran sungai adalah sebagian di antara penyebab terjadinya banjir besar tersebut.
Berbicara bencana, perlu dilihat dalam dua kategori. Pertama, bencana yang tidak mampu dicegah.  Contohnya, gempa bumi, tsunami, liquifaksi, gunung berapi, angin puting beliung. Kedua, bencana yang dapat dicegah. Umumnya jenis bencana ini, diakibatkan oleh perlakuan manusia terhadap alam, seperti banjir, longsor, banjir bandang, kebakaran hutan. Nah, bencana yang melanda Sulsel beberapa waktu lalu, sebagian besarnya disebabkan bencana kategori kedua. Lalu, apa yang perlu dilakukan dalam hal mitigasinya?
Optimalisasi Mitigasi
Mitigasi adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun melalui penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana. Bila untuk bencana jenis pertama, yang mungkin dilakukan dalam  mitigasinya, hanya sebatas mengurangi dampak yang ditimbulkan dari bencana tersebut. Maka untuk bencana kategori kedua, proses mitigasi bisa dilakukan dengan cara mencegah atau menghentikan faktor-faktor penyebab terjadinya krisis ekologi dan kerusakan/degradasi lingkungan.
Problem utama dan mendasar yang dihadapi dalam kaitan ini, bahwa sistem perencanaan kita belum berbasis kebencanaan. Baik pada sistem perencanaan pembangunan (Development Planning) maupun sistem perencanaan tata ruang (Spatial Planning). Dengan kata lain, pada kebanyakan dokumen rencana jangka panjang, rencana jangka menengah serta juga rencana tata ruang, aspek kebencanaan tidak menjadi perhatian serius, yang butuh dijelaskan dengan uraian terperinci. Jika pun sudah terakomodasi dalam dokumen-dokumen perencanaan tersebut, maka tahap implementasinya yang menjadi soal.
Sebagai ilustrasi, kajian cepat yang dilakukan Direktorat Jenderal Tata Ruang – Kementerian ATR, menunjukkan hal ini. Dalam Perda 16/2011 RTRW Kota Palu 2010-2030, tidak dijelaskan secara khusus Kawasan Rawan Bencana (KRB) gempa. Yang ada kawasan rawan gelombang pasang/tsunami. Anehnya, pada kondisi faktual yang ditemukan, wilayah/kelurahan yang disebut sebagai KRB gelombang pasang/tsunami, justru telah berkembang menjadi kawasan perdagangan dan jasa yang padat dengan aktivitas. Akibat kurangnya perhatian dalam perencanaan tata ruang/spasial terhadap aspek kebencanaan, menyebabkan dampak yang ditimbulkan begitu besar.
Karenanya, apapun langkah yang akan diambil dalam mengatasi banjir, selama normalisasi pada daerah hulu terhadap pelanggaran tata ruang dan kerusakan lingkungan, tidak dibereskan, maka hasilnya akan sia-sia. Karenanya, beberapa hal berikut perlu dicermati semua pihak, sebagai antisipasi terjadinya bencana di kemudian hari, di antaranya: komitmen untuk selalu taat pada rencana tata ruang, pemanfaatan ruang yang eksploitatif, khususnya pada area pertambangan harus dihentikan, serta pengendalian pemanfaatan ruang mesti konsisten ditegakkan. Kesemuanya itu akan menjadikan daya tampung dan daya dukung lingkungan akan tetap terjaga.
Dalam refleksi yang lain, Muhammad Nur Jabir-Direktur Rumi Institute,  mendakukan bahwa kali ini hujan benar-benar mengajak nurani kemanusiaan kita. Mencoba mengoyak-ngoyak keangkuhan yang tak berarti. Dan selalu bertanya, “Sampai kapan kita akan membiarkan air hujan merenggut nyawa?” Apakah kita masih belum bisa belajar, dari setiap musim penghujan yang akan menjebak kita dalam kecemasan! Bila menengok tragedi bencana yang baru saja terjadi, sekali lagi menjadi peringatan keras buat kita, bahwa penataan ruang tidak boleh diabaikan. Lantas, mungkinkah mitigasi bencana dioptimalkan? Sangat tergantung pada manusianya. Apakah ia mau menjadikan tata ruang sebagai instrumen penting dalam upaya memitigasi bencana ataukah tidak. Wallahu a’lam bisshawab.
Fajar Makassar, Januari 2019

Tata Ruang dan Literasi Sulsel

Di suatu akhir pekan, tepatnya Sabtu 19 Januari 2019, KNPI Provinsi Sulawesi Selatan menggelar Dialog Publik dengan tema, “Intervensi Kebijakan Publik dalam Pembangunan Daerah Berbasis Literasi”. Perbincangan ini menjadi inisiasi awal, yang bisa dimaknai sebagai refleksi kegelisahan dari kaum muda dan juga sejumlah komunitas literasi Sulsel, melihat masih rendahnya perhatian pemerintah daerah, terkait dengan pengembangan literasi di Sulawesi Selatan.
Padahal, dalam satu dekade terakhir, khususnya beberapa tahun belakangan ini, geliat literasi semakin menemukan momentumnya. Komunitas literasi bermunculan di berbagai tempat dan daerah. Yang menakjubkan, karena umumnya komunitas yang lahir tersebut, digawangi oleh kalangan muda, dengan latar yang berbeda-beda. Seolah ingin melanjutkan tradisi literasi leluhur orang Sulawesi Selatan. Prof.Mr.Dr.Andi Zainal Abidin Farid,SH dalam “Capita Selecta Sejarah Sulawesi Selatan”, menyebutkan adanya beragam lontarak Bugis-Makassar, yang memuat berbagai bidang ilmu pengetahuan, seperti : sejarah, filsafat dan pandangan hidup, pertanian, kebudayaan, obat-obatan, hukum adat, dan lain-lain. Hal tersebut menunjukkan, betapa majunya tradisi literasi ketika itu. 
Bukankah daerah kita ini, pernah melahirkan atau memiliki Surek I La Galigo. Sebuah hasil karya terbesar orang-orang Bugis pada masa pra-Islam. Istilah Surek atau surat pada karya tersebut, bagi Prof. Zainal Abidin Farid adalah merupakan istilah yang justru lebih tua dari lontarak. Belum lagi, karya-karya literasi dari sejumlah ulama dan pemuka agama, yang merupakan perintis awal penyebaran Islam di Sulawesi Selatan. Sebut saja di antaranya, Sayyid Jamaluddin al-Akbar al-Husaini di Tosora Wajo, Sayyid Jalaluddin di Cikoang Takalar, Sayyid Alwi bin Sahl Jamalullail di Mandar, yang juga adalah salah satu guru Imam Lapeo. Dan mungkin yang paling masyhur di masyarakat Sulawesi Selatan ialah, Syekh Yusuf al-Makassari, yang pernah menorehkan karya semisal Fusushul Hikam atau Futuhat al-Makkiyah-nya Ibn ‘Arabi.
Menarik untuk dicermati, bahwa komunitas literasi yang tumbuh belakangan ini, umumnya diinisiasi secara mandiri, lalu dikelola dan digerakkan oleh kalangan muda terdidik. Yang oleh Alwy Rachman, Budayawan Sulsel dan sekaligus Tokoh Literasi, menamainya sebagai “gerakan kultural.”  Pada mereka, mungkin saja telah bersemai pemahaman dan kesadaran secara kolektif, akan pentingnya tradisi literasi ini, untuk terus dikembangkan. Karena dengannya, dapat meniscayakan terciptanya sebuah peradaban dan kebudayaan ke arah yang lebih baik dan lebih maju.    
Terkait dengan kebijakan publik yang diharapkan, sejumlah pertanyaan berikut, mungkin bisa dielaborasi, di antaranya: apakah fenomena gerakan literasi ini, juga dibaca dan dicermati oleh penguasa/penyelenggara pemerintahan? Apakah literasi, juga dianggap penting oleh pemerintahan sekarang ini, sehingga memungkinkan dimasukkan sebagai salah satu program prioritas pembangunan Provinsi Sulawesi Selatan? Bisakah aktivitas literasi diakomodasi dalam perencanaan tata ruang Sulawesi Selatan? Sudahkah kegiatan literasi memiliki pijakan dalam dokumen perencanaan kita?
Seperti diketahui, ada dua dokumen yang selalu menjadi pedoman setiap daerah dalam proses pembangunan, yaitu dokumen perencanaan pembangunan (RPJP(D), RPJM(D), RKP) dan dokumen perencanaan spasial ( Rencana Umum Tata Ruang, Rencana Rinci Tata Ruang). Di sinilah problemnya, karena setelah ditelusuri dokumen-dokumen tersebut, ternyata tidak ditemukan deskripsi tentang literasi di dalamnya.
Pada RPJPD Sulawesi Selatan 2005-2025, sesungguhnya ada dua “Misi” di dalamnya, yang hemat saya bisa menjadi dasar untuk menghidupkan kegiatan/aktivitas literasi di Sulawesi Selatan. Pertama, mewujudkan peningkatan kualitas manusia Sulawesi Selatan. Kedua, mewujudkan masyarakat Sulawesi Selatan sebagai komunitas pembelajar. Demikian halnya, dalam Rancangan Awal RPJMD Sulawesi Selatan 2018-2023, yang bahkan menyebut salah satu prioritas pembangunan daerah adalah pembangunan manusia. Namun sayangnya, saat ditelisik turunan programnya, semua hanya terkait dengan pendidikan yang bersifat formal. Di antara program tersebut: (a). peningkatan mutu pendidikan menengah dan khusus, (b). peningkatan kualitas pendidik dan tenaga kependidikan, serta (c). pengembangan pendidikan vokasional. Sementara kegiatan literasi, tidak dilihat sebagai aset besar dalam rangka membangun dan meningkatkan kualitas manusia.
Lantas, bagaimana dengan tata ruang untuk literasi kita? Literasi dan tata ruang, dua hal yang saling membutuhkan. Tata ruang masih perlu terus diliterasikan, agar masyarakat mengerti pentingnya tata ruang. Sementara literasi membutuhkan ruang dalam geliat aktivitasnya. Nah, Semua kegiatan manusia tentu membutuhkan ruang, termasuk aktivitas literasi. Tapi secara umum, tata ruang kita bisa dikatakan belum berpihak pada giat literasi. Karena tradisi literasi, belum dipahami sebagai kebutuhan esensial manusia. Ruang kita, belum banyak ditata sesuai dengan hal-hal substansial yang diperlukan bagi manusia. Sebab, kecenderungan pembangunan dan penataan ruang kita, masih mementingkan aspek ekonomi, ketimbang memperhatikan faktor manusia, sosial serta budaya. Padahal pembangunan dan penataan ruang  yang tidak manusiawi/humanis, sangat berpotensi menciptakan problematika sosial.
Dosen Filsafat STF Driyarkara B.Herry-Priyono, menyebutkan bahwa sekitar tiga dasawarsa terakhir, sebuah drama sedang melanda dunia. Apa yang biasa disebut dengan ‘ruang publik’ sedang mengalami transformasi. Karena merupakan arena terbuka, ia sedang menjadi ranah yang diperebutkan  untuk dibentuk menjadi apa saja, tergantung pada kekuatan mana yang memiliki sumber daya paling kuat untuk menguasainya. Salah satu gejalanya adalah dengan mudahnya para kapitalis dan pemilik modal, menguasai ruang/lahan yang begitu luas, untuk digunakan membangun pusat-pusat perbelanjaan serta perumahan elit. Di lain sisi, ruang-ruang untuk berkembangnya tradisi literasi tidak difasilitasi, karena boleh jadi dianggap tidak menguntungkan secara ekonomis. Saya membayangkan seluruh kabupaten/kota yang ada di Sulawesi Selatan, terbangun ruang-ruang publik yang memadai, berupa taman-taman kota yang diperuntukkan bagi hidupnya kembali tradisi literasi kita, yang pernah mengukir sejarah dalam peradaban dan kebudayaan Sulawesi Selatan.
Dalam menata ruang untuk kepentingan pengembangan tradisi literasi, maka respon serta komitmen (political will) dari kepala daerah dengan kedudukan dan posisinya yang begitu strategis, sangatlah menentukan. Dengan demikian, upaya membincangkan tema dialog di atas, akan serasa menemukan konteksnya. Karenanya, berbarengan dengan itu, untuk sebuah gerakan literasi yang progresif dan massif di masa mendatang, diperlukan “interupsi” dari kalangan muda, pegiat literasi serta komunitas literasi yang ada, untuk mendorong upaya intervensi kebijakan dalam menciptakan ruang-ruang produktif bagi kemajuan literasi di daerah kita ini.
Sejatinya memang, literasi mesti terakomodasi dalam sistem dan kebijakan perencanaan kita. Baik pada perencanaan pembangunan maupun perencanaan tata ruang. Karena, melalui literasi, kebutuhan manusia akan perolehan dan perluasan pengetahuan menjadi terpenuhi. Yang dengan pengetahuan tersebut, akan mengantarkan manusia pada makrifat hakiki dan pengenalan tentang dirinya sebagai manusia. Wallahu a’lam bisshawab.
RADAR Makassar, Januari 2019

Tata Ruang dan Perkembangan Kota (Catatan Hari Tata Ruang Nasional, 8 November 2018)

Hari Tata Ruang Nasional, yang diperingati setiap tahunnya, sejatinya menjadi pemantik berbagai pihak untuk makin peduli terhadap penataan ruang yang lebih baik. Kepedulian ini penting, sebab tata ruang terkait dengan penataan segala sesuatu yang berada di dalam ruang sebagai wadah penyelenggaraaan kehidupan.   
Kota-kota besar dan metropolitan di Indonesia, seperti Makassar, seiring dengan perkembangannya yang semakin pesat pada beberapa dasawarsa terakhir, kini berada dalam level pemanfaatan ruang yang semakin kompleks. Kompleksitas yang jika terus meningkat, akan memicu bertambahnya persoalan yang harus dihadapi oleh pengelola dan penduduk kota. Bahkan, bila tidak cermat ditangani, akan terjadi penumpukan persoalan yang pada akhirnya melahirkan problem lanjutan yang kian menyusahkan. Dari yang bersifat fisik hingga nonfisik, lonjakan penduduk/urbanisasi, degradasi lingkungan, pemukiman kumuh, disparitas antar wilayah di dalam kota, buruknya sistem pelayanan, kerumitan mobilitas dan lain sebagainya.
Memasuki era milenium, dengan ikut sertanya Indonesia  ke dalam berbagai kesepakatan global, maka kota-kota di Indonesia dituntut untuk mempersiapkan diri dalam menangkap peluang serta kemampuan mengantisipasi tantangan yang akan dihadapi. Sejalan dengan itu, pada era otonomi daerah, ketika kebijakan desentralisasi mulai digulirkan, kesempatan kota-kota dan daerah untuk menata kembali arah perkembangannya mulai terbuka. Artinya, dengan diberi otoritas untuk menentukan dirinya sendiri, kota-kota yang tersebar di berbagai wilayah, memiliki hak dan memperoleh kesempatan untuk melakukan evaluasi dan introspeksi.
Berkembangnya kota-kota di Indonesia, telah memacu peningkatan kegiatan pembangunan kota dalam bentuk-bentuk pembangunan baru yang berskala besar, seperti pembangunan gedung-gedung multi-fungsi, superblock yang menggabungkan tempat untuk perkantoran, pusat perdagangan dan apartemen, beserta berbagai fasilitas penunjang lainnya. Hal ini merupakan tantangan untuk menyesuaikan perkembangan tersebut dengan potensi sumber daya dan daya dukung lingkungan.
Dengan kondisi demikian, diperlukan instrumen yang dapat dijadikan pedoman dalam pembangunan dan perkembangan kota, agar perkembangan yang terjadi tidak lepas kendali. Dalam “Kupas Tuntas Penataan Ruang” disebutkan bahwa salah satu ketentuan yang mengatur perihal pembangunan di negara kita, yaitu Rencana Pembangunan dengan Pendekatan Ruang, sebagaimana diatur dalam UU. No.26 tahun 2007, yang menghasilkan dokumen Rencana Umum Penataan Ruang dan Rencana Rinci Penataan Ruang.
Artinya, untuk menentukan arah perkembangan sebuah kota, mesti memperhatikan acuan resmi yaitu Rencana Tata ruang Wilayah (RTRW) serta Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi (RDTR-PZ). Namun ironisnya, kedua instrumen tata ruang tersebut, seringkali berhenti pada tingkat rencana. Sementara, dari waktu ke waktu pelanggaran tata ruang, selalu saja masih terjadi.
Pada buku “Mewariskan Kota Layak Huni”, Nirwono Yoga menyebutkan dua bentuk pelanggaran mencolok yang selalu terjadi di berbagai kota besar, sepanjang lima tahun terakhir, yaitu :
Pertama, proses privatisasi ruang publik. Dengan dalih kota membutuhkan pemasukan dana untuk mendongkrak PAD, pemerintah kota seolah sah-sah saja ketika memutuskan wilayah yang peruntukannya RTH (taman, pemakaman, jalur hijau, daerah resapan/tangkapan air), kemudian berubah fungsi menjadi bangunan komersial yang soliter. Di berbagai kota besar, berapa banyak plaza dan kompleks perumahan mewah berdiri tanpa mengindahkan sedikit pun kewajiban mereka untuk menyediakan fasos dan fasum. Hal ini pula dialami Kota Makassar yang kehilangan sejumlah fasum-fasos.
Kedua, proses yang disebut McGee dengan istilah mega-urbanization, yakni perkembangan jumlah penduduk di berbagai kota besar yang makin melebar ke daerah pinggiran bahkan ke wilayah kota-kota kedua. Yang ujung-ujungnya menyebabkan terjadinya proses pengalihan fungsi lahan kota pinggiran, baik untuk permukiman maupun untuk industri.
Dari problematika tersebut, maka pilihan rasional yang mesti ditempuh adalah kembali menjadikan instrumen dan produk tata ruang sebagai ‘panglima’ dalam pembangunan, agar perkembangan kota kita bisa lebih baik dan lebih terarah. Bila merujuk pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), kota masa depan yang diharapkan adalah kota yang berkelanjutan dan berdaya saing untuk kesejahteraan masyarakat. Yang meliputi tiga hal yaitu Kota Cerdas (smart city – kota inovatif, kreatif, berbasis teknologi informasi dan komunikasi), Kota Layak Huni (livable city  kota layak huni, berkeadilan, mengakui keragaman) serta Kota Hijau (green city – kota produktif, hijau, berketahanan iklim). Akankah Makassar menjadi salah satu di antara kota masa depan? Wallahu a’lam bisshawab.
FAJAR Makassar, November 2018

Politik dan Produk Perencanaan dalam Pembangunan Daerah

“Kota terbaik bagi kamu adalah tempat di mana
kehidupan dirimu diatur secara sistem.”
(Sayyidina Ali bin Abi Thalib Kw)
Meningkatnya kebutuhan serta pertumbuhan penduduk yang begitu pesat, meniscayakan semua daerah untuk melakukan percepatan pembangunan di segala bidang. Bahkan, atas nama pembangunan tersebut, terkadang setiap kepala daerah berlomba untuk mendapatkan sebanyak-banyaknya penghargaan bagi daerahnya. Meski tidak jarang semua itu hanya sebatas mengejar prestise ketimbang prestasi, sebab seringkali tidak berkorelasi dengan pembangunan daerah yang sudah dilakukan.
Berkaitan dengan tema kali ini, mungkin memunculkan pertanyaan, di manakah urgensi pembahasan antara politik dan produk perencanaan dalam pembangunan daerah?
Sebelum menjawab itu, saya ingin mendahuluinya dengan nukilan penjelasan dalam “Filsafat Politik Islam”nya Yamani. Ia menguraikan tentang pembagian klasik filsafat, khususnya filsafat Islam, yang terbagi atas dua bagian. Pertama, filsafat teoritis atau biasa disebut al-hikmah al-nazhariyyah. Kedua, filsafat praktis atau disebut juga al-hikmah al-‘amaliyyah. Yang pertama terkait dengan hakikat segala sesuatu sebagaimana adanya, sedangkan yang kedua menyangkut segala sesuatu sebagaimana seharusnya atau apa yang seharusnya dilakukan. Bila filsafat teoritis terkait dengan fisika, metafisika dan psikologi. Maka filsafat praktis berkaitan antara lain dengan etika, ekonomi dan politik. Nah, politik dalam konteks ini adalah mengatur pengelolaan suatu kota (politea)/daerah atau negara, yang sering juga disebut dengan pengaturan kekuasaan.
Sayyid Musa Kazhim dalam sebuah tulisannya, mendakukan bahwa istilah politik saat pertama kali diujarkan, tidak pernah ia terpisah dari etika. Ibarat dua sisi mata uang. Barulah belakangan ini, politik jauh melenceng dari etika. Sekarang politik menjadi semacam pragmatisme. Padahal, dalam “The Republic”, Plato jelas-jelas mengaitkan politik (pengaturan kekuasaan) dengan etika. Begitu pula dengan muridnya Aristoteles. Boleh jadi, dari kedua pemikir terkemuka inilah terbetik istilah ‘etika politik’. Baginya, etika dan politik itu sama-sama mengajarkan bagaimana bertindak tepat dan hidup bahagia. Karena, Aristoteles percaya bahwa tujuan manusia adalah kebahagiaan. Karenanya, kita perlu memahami ‘politik’ sebagai sesuatu yang berdimensi normatif, yang dapat dimaknai sebagai upaya manusia meraih kesempurnaannya atau perjalanan menuju maslahatnya. Selanjutnya, etika politik kemudian merumuskan pentingnya mengelola kekuasaan lewat sebuah pemerintahan (government). Sementara sebuah pemerintahan membutuhkan aturan (rules of conduct) atau konstitusi (constitution), kedaulatan (sovereignty), pengesahan (legitimacy), peradilan (jurisdiction) dan penegakan hukum (law enforcement) sebagai tongak-tonggaknya.
Sekarang, kita akan coba menelisik hubungan antara politik dengan produk perencanaan. Pembangunan di sebuah daerah, tentu tidak bisa dilakukan tanpa adanya sebuah panduan atau pedoman. Pada titik ini, produk perencanaan menjadi sangat penting kedudukannya. Secara umum, sebuah daerah dalam melakukan pembangunan, paling tidak membutuhkan dua buah produk perencanaan sebagai pedoman dasar. Yaitu, Perencanaan Pembangunan berupa Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) dan Perencanaan Spasial yang berupa Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW).
Dari produk perencanaan tersebut, kita dapat mengetahui dan memahami arah, orientasi serta tujuan pembangunan sebuah daerah. Keduanya harus selalu tersinkronisasi, karena kepada keduanya seorang kepala daerah mesti menjadikan rujukan dalam melaksanakan pembangunan di daerahnya. Jadi sebetulnya, Kepala Daerah tidak boleh semaunya membuat atau merumuskan visi-misinya kecuali berpedoman kepada produk perencanaan di atas.
Hal tersebut terungkap dengan jelas dalam UU. No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yang kemudian diamandemen lewat UU. No.9 Tahun 2015, pada Pasal 265,  di mana disebutkan bahwa: “RPJPD menjadi pedoman dalam perumusan visi, misi dan program calon kepala daerah.” Dalam konteks ini, proses politik akan berlangsung antara kepala daerah terpilih dengan DPRD sebagai repsentasi wakil rakyat untuk mendapatkan pengesahan.
Legitimasi atau pengesahan menjadi penting karena berkaitan dengan penerimaan khalayak terhadap ketetapan-ketetapan dan peraturan yang ada dalam suatu masyarakat. Berkenaan dengan itu, Pasal 261 pada UU. 23/2014 tersebut, menjelaskan pula bahwa salah satu pendekatan yang digunakan dalam perencanaan pembangunan daerah, adalah pendekatan politis, di samping pendekatan lainnya yaitu teknokratis, partisipatif, serta atas-bawah dan bawah-atas. Hal tersebut dilakukan dalam rangka menerjemahkan visi dan misi kepala daerah terpilih ke dalam dokumen perencanaan pembangunan jangka menengah yang dibahas bersama DPRD.
Penyelarasan di antara dokumen perencanaan seperti Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM), RPJMN dengan RPJMD, atau yang lainnya, sangat penting ditempuh untuk memastikan arah pembangunan yang sedang dilakukan, tidak melenceng dari yang semestinya. Sebab, masih banyak daerah, yang kurang cermat dalam meletakkan antara visi-misi daerah dengan visi-misi kepala daerahnya.
Visi-misi daerah yang tertuang dalam RPJPD, seringkali tidak dijadikan pedoman oleh calon kepala daerah, saat merumuskan visi-misinya yang nantinya akan diadaptasi ke dalam RPJMD, padahal sudah diperintahkan oleh undang-undang. Mengapa visi-misi ini menjadi sangat urgen? Karena, dari situlah kita bisa mendapatkan gambaran kondisi yang diinginkan pada akhir periode perencanaan serta upaya-upaya yang harus dilaksanakan untuk mewujudkannya.
Selanjutnya, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN), mengamanatkan bahwa di antara tujuan dari perencanaan pembangunan adalah mendukung koordinasi antarpelaku pembangunan serta menjamin terciptanya integrasi, sinkronisasi dan sinergi, baik antardaerah, antarruang, antarwaktu, antarfungsi pemerintah maupun antara pusat dan daerah. Penyelarasan dokumen perencanaan mesti terus dikerjakan agar keberlangsungan pembangunan dapat tercipta, sebagaimana  harapan yang tertuang dalam Peraturan Presiden No.59 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB)/Sustainable Development Goals (SDGs).
Demikian halnya dengan rencana spasial/ruang. Meski sudah banyak yang sependapat bahwa permasalahan kota-kota dan daerah di Indonesia, sebetulnya dapat diselesaikan melalui penataan ruang yang lebih baik, tetapi tidak semua kepala daerah memiliki pemahaman yang baik soal tata ruang. Tidak jarang dari mereka melakukan pembangunan tanpa ada perencanaan ke depannya, padahal untuk menciptakan ruang yang nyaman, maka penataan ruang semestinya direncanakan secara matang serta memiliki landasan konseptual yang jelas. Sayangnya, yang terjadi di daerah-daerah di Indonesia justru sebaliknya, penataan ruang cenderung prematur, terkesan praktis dan tanpa konsep yang jelas. Sebagai contoh, seperti yang diketahui, masih banyak kepala daerah yang belum mengenal dan memahami berbagai konsep pembangunan perkotaan. Sehingga, akan dihadapkan pada  problematika ruang yang rumit dan pelik di daerahnya, yang pada akhirnya akan menjadikan semakin sulit dalam menemukan solusi yang tepat dari persoalan penataan ruang.  
Sekiranya seluruh kepala daerah mengerti dan memahami tujuan dari pembangunan serta untuk siapa sebenarnya pembangunan itu?  Maka sejatinya, kepala daerah yang juga merupakan aparat pemerintahan, sudah sepatutnya taat pada regulasi dan aturan, serta berupaya untuk tidak menafikannya apatah lagi melanggarnya. Sebab, kalau aturan jadi mainan, maka masyarakat dan pembangunan juga akan menghadapi berbagai persoalan.
Namun ironisnya, peraturan acap kali kebablasan. Di satu sisi, ia jadi totalitarian; di mana menuntut ketundukan mutlak dari segenap warga masyarakat kepada penguasa, tapi di sisi yang lain, ia jadi anarkis; karena mencampakkan aturan. Di sinilah komitmen dari pemerintah atau kepala daerah dapat dilihat, sejauh mana mereka menjalankan aturan yang terkait dengan produk perencanaan dalam membangun daerahnya.
Perlu dipahami, bahwa dalam politik yang benar, tujuan yang baik menuntut cara yang benar. Tujuan yang baik mustahil dicapai lewat cara-cara yang menyimpang. Sayangnya memang, dalam sistem politik yang mengalami reduksi dan distorsi, kerap kali keberpihakan pemerintah atau kepala daerah sangat tergantung kepada kepentingan. Namun, perlu ditegaskan, olah dan metode berpolitik yang patut serta reasonable, sejatinya menjadi komitmen para pemegang kekuasaan dalam menjalankan amanat yang diberikan oleh rakyat, bukan dengan ‘segala cara’ ala Niccolo Machiavelli.
Olehnya itu, dibutuhkan political will dari pemerintah atau kepala daerah dalam menjalankan kebijakan pembangunan dan kebijakan spasial, untuk senantiasa berpedoman kepada produk perencanaan yang ada, agar supaya roda pembangunan dapat bergerak dengan dinamis serta berada di jalur yang benar. Dengan begitu, politik sebagai bagian dari filsafat praktis, telah menempatkan sesuatu sebagaimana seharusnya.
Menjadikan produk perencanaan yang tersinkronisasi, sebagai pedoman dan panduan dalam pembangunan daerah, mesti terus diperjuangkan. Sejatinya, Pemerintah/Kepala Daerah harus konsisten menjalankannya, agar pembangunan daerah bisa terwujud seperti yang diharapkan. Jika tidak, maka pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan hanya sebatas jargon dan slogan, sebab akan sangat sulit untuk diraih. Wallahu a’lam bisshawab.
FAJAR Makassar, September 2017

Muhasabah Diri di Tahun Baru Islam

Setiap tanggal 1 Muharram, menjadi penanda bagi kaum Muslimin akan datangnya awal tahun baru Islam. Momentum ini, menegaskan kepada kita akan sebuah fase perjalanan telah dilewati, dan bersiap memasuki fase waktu berikutnya. Mungkin yang tepat kita lakukan dalam kaitan ini, ialah melakukan evaluasi dan muhasabah diri. Sejauh mana kita umat Islam, telah mengamalkan nilai-nilai ajaran Islam dengan baik, di negeri tercinta ini.
Sebagai agama kemanusiaan, Islam seperti diyakini, memiliki tuntunan filosofis dalam rangka menyelamatkan arah perubahan sejarah peradaban manusia. Dalam filsafat penciptaan, Allah SWT yang merupakan Causa Prima ‘menitiskan’ derivasi kemuliaan cinta-Nya kepada Nur Muhammad, sebagai kerangka dasar lahirnya penciptaan semua fenomena alam. Dari sinilah tajalliyat Allah di bumi diawali dan diakhiri. Oleh karena manusia merupakan Khalifatullah di bumi, maka dengan demikian tanggung jawab penyelamatan peradaban umat manusia ada di pundak mereka.
Islam diturunkan Tuhan untuk mengubah dunia, dalam bentuknya sebagai agama yang mempunyai landasan nilai-nilai dalam kehidupan, berhadapan dengan berbagai kemerosotan pada dimensi kehidupan masyarakat. Konsepsi Islam tentang perubahan, bukanlah sesuatu yang bersifat deterministik. Akan tetapi, ia merupakan hasil dari kondisi-kondisi alamiah, yang pada batas tertentu, dapat ditundukkan oleh kehendak dan pilihan manusia.
Karenanya, sebuah perubahan bergerak dari kehendak dan pilihan, bukan keterpaksaan. Sebab itu, dalam pandangan Islam, manusia adalah pencipta perubahan. Al-Quranul Karim mengemukakan: “Sesungguhnya Allah sekali-kali tidak akan mengubah nikmat yang telah dianugerahkan-Nya kepada suatu kaum, sampai kaum itu mau mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS.Al-Anfal:53) dalam firman lain, “Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sampai mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS.Ar-Ra’d:11)
Lantas, bagaimana dengan umat Islam di negeri ini, yang jumlahnya mayoritas? Adakah kualitas kehidupan umat, sudah sebanding dengan kuantitasnya? Tampaknya, dalam kenyataan yang ada, hal kesenjangan inilah yang masih merisaukan berbagai pihak. Lalu, kapankah kita menjadi umat terbaik seperti yang digambarkan Quran dalam Surah Ali Imran 110? Tentu saja bila berbicara mengenai kualitas umat, tidak mungkin dipisahkan dengan kualitas dari individu-individu Muslim. Menarik untuk direnungkan, penggalan puisi dari KH. Mustofa Bisri, yang berjudul “Selamat Tahun Baru Kawan”:
Kawan, sudah tahun baru lagi
Belum juga tibakah saatnya kita menunduk
Memandang diri sendiri
Bercermin firman Tuhan
Sebelum kita dihisab-Nya

Kawan, siapakah kita ini sebenarnya
Musliminkah
Mukminin
Muttaqin
Khalifah Allah
Umat Muhammadkah kita?
Khaira Ummatinkah kita?
Atau kita sama saja dengan makhluk lain
Atau bahkan lebih rendah lagi
Hanya budak-budak perut dan kelamin

Sejalan dengan puisi di atas, Allah SWT telah menerangkan dalam Surah Al-A’raf 179 dengan firman-Nya, “Dan sungguh, akan Kami isi neraka jahannam banyak dari kalangan jin dan manusia. Mereka memiliki hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah), dan mereka memiliki mata tapi tidak dipergunakannya untuk melihat tanda-tanda kekuasaan Allah, dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengarkan ayat-ayat Allah. Mereka seperti hewan ternak, bahkan lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.” 
Lazimnya memang, kualitas manusia akan sangat ditentukan oleh kekuatan (quwwah) yang ada pada diri manusia itu sendiri. Menurut Sayyid Kamal Haidari, ada beberapa jenis kekuatan yang membentuk jiwa (nafs) manusia. Pertama, Quwwatun Bahimiyyah atau kekuatan kebinatangan. Unsur inilah yang mendorong seseorang untuk mencari kepuasan lahiriah dan kenikmatan sensual. Kedua, Quwwatun Sab’iyyah atau kekuatan binatang buas. Kekuatan ini yang mewujud saat seseorang senang menyerang orang lain, memakan hak orang, membenci, menghancurkan dan mendengki orang lain. Ketiga, ada juga yang disebut para sufi dengan Quwwatun Syaithaniyyah/wahmiyyah. Yaitu kekuatan yang mendorong manusia untuk membenarkan segala kejahatan yang dilakukan. Misalnya, melakukan korupsi. Setan lalu membisikkan kalau ia tidak perlu merasa bersalah, karena itu dilakukan untuk membantu orang lain. Namun, Tuhan juga menetapkan pada diri manusia, percikan cahaya Tuhan yang dinamai Quwwatun Rabbaniyyah atau biasa pula diistilahkan Quwwatun Aqliyyah. Ini adalah bagian penting dari kepribadian manusia, sebab kekuatan ini terletak pada akal sehatnya.
Karena tahun baru Islam terkait dengan peristiwa hijrah Rasulullah SAW, maka sejatinya, saat momentum tersebut tiba, pengikut Rasul suci, mesti melakukan hal yang sama dalam bentuknya yang lain. Dengan potensi kekuatan yang dimiliki, setiap Muslim harus berhijrah dari keburukan kepada kebaikan, dari berbagai hal yang negatif menuju pada yang positif.
Jalaluddin Rakhmat dalam “Reformasi Sufistik”, menukil Al-Ghazali yang menjelaskan tiga gerbang yang mesti dilewati, ketika kita ingin mengaktualkan Islam. Gerbang pertama: apakah yang kita kerjakan itu betul-betul ajaran Islam, berdasarkan Al-Quran dan sunnah? Bila lulus, kita memasuki gerbang kedua: apakah yang akan kita amalkan itu, bermanfaat untuk kita dan kaum Muslim? Dari gerbang kedua, kita harus masuk ke gerbang ketiga dengan pertanyaan: apakah kita sudah menemukan cara terbaik untuk menjalankan amal itu?
Muhammad Abduh pernah mengatakan bahwa seringkali Islam tertutup oleh orang-orang Islam. Lebih tegasnya, keindahan syariat Islam kadangkala tertutup oleh cara orang mengamalkan ajaran Islam. Shalat Anda kurang bermakna, bila tidak dapat mencegah kekejian dan kemungkaran. Haji Anda tak berarti, jika Anda tidak meninggalkan rumah sempit egoisme dalam diri Anda. Bagaimana orang bisa tertarik menegakkan sistem pemerintahan Islam, bila yang tampil sebagai negara Islam adalah gambaran menakutkan tentang Islam.
Padahal Al-Quran menyebut umat Islam sebagai Khaira Ummah, umat yang terbaik. Rasulullah SAW memberi tuntunan pada kita, “Barangsiapa yang hari ini lebih baik dari hari kemarin, maka dialah orang yang beruntung. Siapa yang hari ini keadaannya sama dengan kemarin, maka dia dalam keadaan merugi. Dan siapa yang kondisinya hari ini lebih buruk dari sebelumnya, maka sesungguhnya dia celaka.”
Olehnya itu, saat ini adalah waktu yang tepat bagi umat Islam, secara progresif melakukan muhasabah diri. Menjalankan perubahan dan perbaikan dengan konsisten. Meningkatkan kualitasnya serta mengambil peran yang lebih nyata, agar dapat memberi pengaruh positif dalam upaya memajukan kehidupan berbangsa dan bernegara untuk Indonesia tercinta. “Demi Waktu. Sungguh, manusia berada dalam kerugian. Kecuali, orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh, serta saling menasihati untuk kebenaran dan kesabaran.” Selamat Tahun Baru Islam 1440 H.
Parepare, September 2018

DOA adalah INTI dan RUH IBADAH

Doa adalah salah satu ibadah yang sangat penting dalam upaya penyempurnaan ruhani serta taqarrub kepada Allah. Syaikh Husain Mazhahiri menyebutkan bahwa secara umum doa diartikan sebagai bentuk merendahkan diri dan inabah (kembali) kepada Allah.
Doa merupakan juga salah satu pengetahuan yang amat tinggi dan merupakan perbuatan yang amat penting serta menjadi kebiasaan para nabi, washi dan wali Allah. Sedangkan bagi para urafa, doa merupakan sesuatu yang paling lezat. Sebab, doa lisan demi mengungkapkan rahasia yang tersembunyi di lubuk hati kepada sang kekasih. Dalam doa Arafah, Sayyidina Husain menyebutkan, “Wahai yang membuat para kekasih-Nya merasakan manisnya saling berhubungan.” Dengan demikian, sejatinya, doa adalah sarana untuk berkomunikasi dengan Allah SWT.
Dalam kehidupan manusia, peran doa sangatlah penting. Karena doa merupakan sesuatu yang dapat menumbuhkan dalam jiwa manusia hubungan spiritual dengan Allah. Di mana manusia merasakan bahwa Allah dekat darinya, dari harapan, penderitaan, problema dan kebutuhannya, sehingga Allah akan membukakan pintu rahmat-Nya, lalu meringankan beban yang menimpanya serta menyelesaikan kesulitannya.
Dengan begitu, manusia akan menemukan kebutuhannya di sisi Tuhannya, yang tidak akan ditemukan pada selain Allah. Di dalam surah Al-Baqarah 186, kita menyaksikan kedekatan Allah Azza Wajalla kepada orang yang berdoa, manakala dia berdoa dan memohon kepada-Nya, “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku maka (jawablah), bahwasanya Aku dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia berdoa kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah)-Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.”
Jadi, Al-Quran Al-Karim memberikan perhatian yang khusus kepada doa, sekaligus mengecam orang-orang yang tidak menaruh perhatian terhadap doa. Allah SWT berfirman, “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Aku perkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku, mereka akan masuk neraka jahannam dalam keadaan hina dina.”(QS.Al-Mukmin:60). Syaikh Husain Mazhahiri menyebutkan tidak pernah di dalam Al-Quran, disebutkan suatu azab seperti penyebutan azab ini. Atau bisa juga dikatakan, bahwa jarang kita melihat suatu ancaman dalam bentuk seperti ini, sebagaimana yang ditujukan kepada orang yang meninggalkan doa.
Pentingnya doa bagi manusia juga dapat dilihat dari manfaat yang diperoleh. Sayyid Ali Khamenei menjelaskan beberapa manfaat doa, antara lain:
·      Pertama, saat berkomunikasi dengan Allah SWT, kita merasakan kedekatan dengan-Nya. Ini hasil dan manfaat dari doa. Di samping itu, doa akan mengusir kelalaian dari hati manusia, sehingga kita selalu mengingat Allah SWT dan tidak melupakannya, karena kelalaian dari-Nya adalah sumber semua kekhilafan dan penyimpangan.
·      Kedua, doa akan memantapkan dan menguatkan iman di dalam hati. Iman yang tidak akan goyah dan tetap teguh saat berhadapan dengan berbagai fenomena, kesulitan, kenikmatan dan seluruh kondisi yang dialami manusia. Sebagian orang yang memiliki keimanan, ketika mereka harus berhadapan dengan kekuatan dunia, kesenangan jasmani dan syahwat, maka iman mereka pun goyah dan hilang. Iman yang demikian adalah iman yang labil. Di sinilah doa sangat dibutuhkan. Dengan terus berdoa dan menghadapkan perhatian kepada Allah SWT, maka kita tidak kehilangan iman.
·      Ketiga, doa akan menumbuhkan sikap ikhlas dalam diri manusia. Ikhlas adalah mengerjakan segala sesuatu hanya demi Allah SWT. Semua pekerjaan dilakukannya hanya demi Allah SWT. Komunikasi dengan Allah SWT dan perasaan kedekatan dengan-Nya akan menumbuhkan jiwa keikhlasan dalam diri kita.
·      Keempat, doa adalah pembinaan diri sehingga melahirkan keutamaan akhlak pada diri manusia. Ketika manusia berada di hadapan Allah dan berkomunikasi dengan-Nya, maka sifat-sifat utama di dalam dirinya akan menguat. Oleh karenanya, doa menjadi sebuah tangga yang akan mengantarkan manusia menuju kesempurnaan. Doa juga dapat membersihkan sifat dan karakter buruk manusia; ketamakan, kesombongan, egoisme, permusuhan, kelemahan jiwa dan ketidaksabaran.
·      Kelima, doa akan mewujudkan rasa cinta kepada Allah di dalam hati manusia. Tuhan adalah perwujudan semua keindahan dan kebaikan. Karena itu, bercengkrama dan berkomunikasi dengan Allah SWT akan menumbuhkan benih-benih cinta di dalam hati.
·      Keenam, doa dapat menumbuhkan pengharapan pada manusia. Setiap orang pasti akan menghadapi berbagai peristiwa dan tantangan. Dengan doa, maka manusia  akan mendapatkan kekuatan dalam menghadapi tantangan tersebut. Dalam sebuah riwayat Nabi SAW bersabda, “Maukah kalian kutunjukkan senjata yang akan menyelamatkan kalian dari musuh-musuh kalian? Yaitu, kalian berdoa kepada Tuhan kalian siang dan malam, karena sesungguhnya senjata orang mukmin adalah doa.” Selalu mengingat dan merasakan ‘kedekatan’ dengan Allah dalam menghadapi semua peristiwa laksana mempersenjatai diri dengan senjata paling ampuh dan mematikan.
Meskipun doa memiliki kedudukan yang sangat penting seperti yang telah diuraikan, tidak berarti ikhtiar dan usaha-usaha yang mesti ditempuh oleh manusia dalam meraih sesuatu, menjadi ternafikan atau bahkan dilalaikan. Jadi, ikhtiar dan doa senantiasa beriringan dalam praktek dan pengamalannya.
Selanjutnya, adakah adab khusus serta waktu yang mustajab untuk memanjatkan doa? Imam Ja’far Shadiq berkata, “….sesungguhnya doa adalah pujian (al-tahmid) lalu sanjungan (al-tsanaa’), lalu pengakuan atas dosa, baru kemudian permohonan. Demi Allah, sesungguhnya seorang hamba tidak akan terbebas dari dosa melainkan dengan pengakuan.” Di kesempatan lain, Imam ditanya tentang apa urut-urutan doa itu? Beliau menjawab, “Engkau memulai (doa) dengan memuji Allah dan menyebutkan berbagai kenikmatan yang ada padamu, kemudian engkau mensyukurinya, kemudian bershalawat kepada Nabi SAW beserta keluarganya, lalu engkau sebutkan dosa-dosamu dan mengakui perbuatan dosa tersebut, kemudian engkau berlindung dari (melakukan) dosa-dosa tersebut. Demikianlah urutan doa yang dimaksud.”
Selain itu, dalam berdoa hendaknya memperhatikan berbagai keadaan dan waktu yang mulia, karena ini termasuk bagian dari tata cara berdoa. Waktu-waktu yang mustajab tersebut dapat kita ketahui dengan merujuk beberapa riwayat yang ada, antara lain: Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa berdoa seusai menunaikan shalat, maka doanya dikabulkan.” Berkata Imam Ja’far Shadiq, “Dikabulkan doa pada empat tempat; pada shalat witir, setelah shalat subuh, setelah shalat zhuhur, setelah shalat maghrib.” Dalam riwayat lain disebutkan, “Ketika turun hujan, seusai menunaikan shalat fardhu lima waktu, ketika berbuka puasa.”

Rezim Yang Ambigu dan Problem Lingkungan di Indonesia

Permasalahan lingkungan hidup, telah mendapat perhatian besar di hampir semua negara. Ini terutama terjadi sejak dasawarsa 1970-an setelah d...