“Kota
terbaik bagi kamu adalah tempat di mana
kehidupan
dirimu diatur secara sistem.”
(Sayyidina Ali bin Abi Thalib Kw)
Meningkatnya kebutuhan serta
pertumbuhan penduduk yang begitu pesat, meniscayakan semua daerah untuk
melakukan percepatan pembangunan di segala bidang. Bahkan, atas nama
pembangunan tersebut, terkadang setiap kepala daerah berlomba untuk mendapatkan
sebanyak-banyaknya penghargaan bagi daerahnya. Meski tidak jarang semua itu
hanya sebatas mengejar prestise ketimbang prestasi, sebab seringkali tidak
berkorelasi dengan pembangunan daerah yang sudah dilakukan.
Berkaitan dengan tema kali ini,
mungkin memunculkan pertanyaan, di manakah urgensi pembahasan antara politik
dan produk perencanaan dalam pembangunan daerah?
Sebelum menjawab itu, saya ingin
mendahuluinya dengan nukilan penjelasan dalam “Filsafat Politik Islam”nya Yamani. Ia menguraikan tentang
pembagian klasik filsafat, khususnya filsafat Islam, yang terbagi atas dua
bagian. Pertama, filsafat teoritis
atau biasa disebut al-hikmah
al-nazhariyyah. Kedua, filsafat
praktis atau disebut juga al-hikmah
al-‘amaliyyah. Yang pertama terkait dengan hakikat segala sesuatu
sebagaimana adanya, sedangkan yang kedua menyangkut segala sesuatu sebagaimana
seharusnya atau apa yang seharusnya dilakukan. Bila filsafat teoritis terkait
dengan fisika, metafisika dan psikologi. Maka filsafat praktis berkaitan antara
lain dengan etika, ekonomi dan politik. Nah, politik dalam konteks ini adalah
mengatur pengelolaan suatu kota (politea)/daerah
atau negara, yang sering juga disebut dengan pengaturan kekuasaan.
Sayyid Musa Kazhim dalam sebuah
tulisannya, mendakukan bahwa istilah politik saat pertama kali diujarkan, tidak
pernah ia terpisah dari etika. Ibarat dua sisi mata uang. Barulah belakangan
ini, politik jauh melenceng dari etika. Sekarang politik menjadi semacam
pragmatisme. Padahal, dalam “The
Republic”, Plato jelas-jelas mengaitkan politik (pengaturan kekuasaan)
dengan etika. Begitu pula dengan muridnya Aristoteles. Boleh jadi, dari kedua
pemikir terkemuka inilah terbetik istilah ‘etika politik’. Baginya, etika dan
politik itu sama-sama mengajarkan bagaimana bertindak tepat dan hidup bahagia.
Karena, Aristoteles percaya bahwa tujuan manusia adalah kebahagiaan. Karenanya,
kita perlu memahami ‘politik’ sebagai sesuatu yang berdimensi normatif, yang
dapat dimaknai sebagai upaya manusia meraih kesempurnaannya atau perjalanan
menuju maslahatnya. Selanjutnya, etika politik kemudian merumuskan pentingnya
mengelola kekuasaan lewat sebuah pemerintahan (government). Sementara sebuah pemerintahan membutuhkan aturan (rules of conduct) atau konstitusi (constitution), kedaulatan (sovereignty), pengesahan (legitimacy), peradilan (jurisdiction) dan penegakan hukum (law enforcement) sebagai
tongak-tonggaknya.
Sekarang, kita akan coba
menelisik hubungan antara politik dengan produk perencanaan. Pembangunan di
sebuah daerah, tentu tidak bisa dilakukan tanpa adanya sebuah panduan atau
pedoman. Pada titik ini, produk perencanaan menjadi sangat penting
kedudukannya. Secara umum, sebuah daerah dalam melakukan pembangunan, paling tidak
membutuhkan dua buah produk perencanaan sebagai pedoman dasar. Yaitu,
Perencanaan Pembangunan berupa Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) dan
Perencanaan Spasial yang berupa Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW).
Dari produk perencanaan tersebut,
kita dapat mengetahui dan memahami arah, orientasi serta tujuan pembangunan
sebuah daerah. Keduanya harus selalu tersinkronisasi, karena kepada keduanya
seorang kepala daerah mesti menjadikan rujukan dalam melaksanakan pembangunan
di daerahnya. Jadi sebetulnya, Kepala Daerah tidak boleh semaunya membuat atau
merumuskan visi-misinya kecuali berpedoman kepada produk perencanaan di atas.
Hal tersebut terungkap dengan
jelas dalam UU. No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yang kemudian
diamandemen lewat UU. No.9 Tahun 2015, pada Pasal 265, di mana disebutkan bahwa: “RPJPD menjadi
pedoman dalam perumusan visi, misi dan program calon kepala daerah.” Dalam
konteks ini, proses politik akan berlangsung antara kepala daerah terpilih
dengan DPRD sebagai repsentasi wakil rakyat untuk mendapatkan pengesahan.
Legitimasi atau pengesahan
menjadi penting karena berkaitan dengan penerimaan khalayak terhadap
ketetapan-ketetapan dan peraturan yang ada dalam suatu masyarakat. Berkenaan
dengan itu, Pasal 261 pada UU. 23/2014 tersebut, menjelaskan pula bahwa salah
satu pendekatan yang digunakan dalam perencanaan pembangunan daerah, adalah
pendekatan politis, di samping pendekatan lainnya yaitu teknokratis,
partisipatif, serta atas-bawah dan bawah-atas. Hal tersebut dilakukan dalam
rangka menerjemahkan visi dan misi kepala daerah terpilih ke dalam dokumen
perencanaan pembangunan jangka menengah yang dibahas bersama DPRD.
Penyelarasan di antara dokumen
perencanaan seperti Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) dan Rencana Pembangunan
Jangka Menengah (RPJM), RPJMN dengan RPJMD, atau yang lainnya, sangat penting
ditempuh untuk memastikan arah pembangunan yang sedang dilakukan, tidak
melenceng dari yang semestinya. Sebab, masih banyak daerah, yang kurang cermat
dalam meletakkan antara visi-misi daerah dengan visi-misi kepala daerahnya.
Visi-misi daerah yang tertuang
dalam RPJPD, seringkali tidak dijadikan pedoman oleh calon kepala daerah, saat
merumuskan visi-misinya yang nantinya akan diadaptasi ke dalam RPJMD, padahal
sudah diperintahkan oleh undang-undang. Mengapa visi-misi ini menjadi sangat
urgen? Karena, dari situlah kita bisa mendapatkan gambaran kondisi yang
diinginkan pada akhir periode perencanaan serta upaya-upaya yang harus
dilaksanakan untuk mewujudkannya.
Selanjutnya, Undang-Undang Nomor
25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN),
mengamanatkan bahwa di antara tujuan dari perencanaan pembangunan adalah
mendukung koordinasi antarpelaku pembangunan serta menjamin terciptanya
integrasi, sinkronisasi dan sinergi, baik antardaerah, antarruang, antarwaktu,
antarfungsi pemerintah maupun antara pusat dan daerah. Penyelarasan dokumen
perencanaan mesti terus dikerjakan agar keberlangsungan pembangunan dapat
tercipta, sebagaimana harapan yang
tertuang dalam Peraturan Presiden No.59 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan
Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB)/Sustainable Development Goals (SDGs).
Demikian halnya dengan rencana
spasial/ruang. Meski sudah banyak yang sependapat bahwa permasalahan kota-kota
dan daerah di Indonesia, sebetulnya dapat diselesaikan melalui penataan ruang
yang lebih baik, tetapi tidak semua kepala daerah memiliki pemahaman yang baik
soal tata ruang. Tidak jarang dari mereka melakukan pembangunan tanpa ada
perencanaan ke depannya, padahal untuk menciptakan ruang yang nyaman, maka
penataan ruang semestinya direncanakan secara matang serta memiliki landasan
konseptual yang jelas. Sayangnya, yang terjadi di daerah-daerah di Indonesia justru
sebaliknya, penataan ruang cenderung prematur, terkesan praktis dan tanpa
konsep yang jelas. Sebagai contoh, seperti yang diketahui, masih banyak kepala
daerah yang belum mengenal dan memahami berbagai konsep pembangunan perkotaan.
Sehingga, akan dihadapkan pada
problematika ruang yang rumit dan pelik di daerahnya, yang pada akhirnya
akan menjadikan semakin sulit dalam menemukan solusi yang tepat dari persoalan
penataan ruang.
Sekiranya seluruh kepala daerah
mengerti dan memahami tujuan dari pembangunan serta untuk siapa sebenarnya pembangunan
itu? Maka sejatinya, kepala daerah yang
juga merupakan aparat pemerintahan, sudah sepatutnya taat pada regulasi dan
aturan, serta berupaya untuk tidak menafikannya apatah lagi melanggarnya.
Sebab, kalau aturan jadi mainan, maka masyarakat dan pembangunan juga akan
menghadapi berbagai persoalan.
Namun ironisnya, peraturan acap
kali kebablasan. Di satu sisi, ia jadi totalitarian; di mana menuntut
ketundukan mutlak dari segenap warga masyarakat kepada penguasa, tapi di sisi
yang lain, ia jadi anarkis; karena mencampakkan aturan. Di sinilah komitmen
dari pemerintah atau kepala daerah dapat dilihat, sejauh mana mereka
menjalankan aturan yang terkait dengan produk perencanaan dalam membangun
daerahnya.
Perlu dipahami, bahwa dalam
politik yang benar, tujuan yang baik menuntut cara yang benar. Tujuan yang baik
mustahil dicapai lewat cara-cara yang menyimpang. Sayangnya memang, dalam
sistem politik yang mengalami reduksi dan distorsi, kerap kali keberpihakan
pemerintah atau kepala daerah sangat tergantung kepada kepentingan. Namun,
perlu ditegaskan, olah dan metode berpolitik yang patut serta reasonable, sejatinya menjadi komitmen
para pemegang kekuasaan dalam menjalankan amanat yang diberikan oleh rakyat,
bukan dengan ‘segala cara’ ala Niccolo Machiavelli.
Olehnya itu, dibutuhkan political will dari pemerintah atau
kepala daerah dalam menjalankan kebijakan pembangunan dan kebijakan spasial,
untuk senantiasa berpedoman kepada produk perencanaan yang ada, agar supaya
roda pembangunan dapat bergerak dengan dinamis serta berada di jalur yang benar.
Dengan begitu, politik sebagai bagian dari filsafat praktis, telah menempatkan
sesuatu sebagaimana seharusnya.
Menjadikan produk perencanaan
yang tersinkronisasi, sebagai pedoman dan panduan dalam pembangunan daerah,
mesti terus diperjuangkan. Sejatinya, Pemerintah/Kepala Daerah harus konsisten menjalankannya,
agar pembangunan daerah bisa terwujud seperti yang diharapkan. Jika tidak, maka
pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan hanya sebatas jargon dan slogan,
sebab akan sangat sulit untuk diraih. Wallahu
a’lam bisshawab.
FAJAR Makassar, September 2017