Jumat, 10 Desember 2021

Bencana Hidrometeorologi dan Pengabaian Tata Ruang

Tanggal 8 November lalu, diperingati Hari Tata Ruang Nasional seperti biasa pada setiap tahunnya. Namun kali ini, serasa sepi pemberitaan. Media-media mainstream pun tidak ada yang meliputnya. Pada momentum tersebut, kampus-kampus pengampuh jurusan Planologi/Perencanaan Wilayah dan Kota (PWK), tampaknya juga miskin ide dan gagasan-gagasan yang transformatif serta kritis dalam merespon berbagai persoalan yang terkait dengan bidang tata ruang. Apakah fenomena ini adalah isyarat makin terpinggirnya dan terabaikannya persoalan tata ruang? Atau jangan-jangan tata ruang memang belum dianggap sesuatu yang penting bagi publik. Tata ruang seolah hanya menjadi perbincangan kalangan elit; para penentu kebijakan, kaum profesional serta akademisi saja. 

Padahal sejatinya, wacana tata ruang mestinya sudah lebih terbuka serta menjadi konsumsi publik, karena berhubungan dengan aktivitas kehidupan masyarakat sehari-hari. Tata ruang juga merupakan elemen penting dalam proses pembangunan yang sedang berlangsung, seiring dinamika dan problematikanya. Termasuk dalam hal ini, menyangkut persoalan kebencanaan yang terus menghantui. 

Dunia saat ini dihadapkan pada ancaman bencana sebagai dampak dari perubahan iklim. Dalam laporan Enviromental Research Letters, menurut para peneliti, air laut akan naik dalam waktu berabad-abad mendatang, yang menyebabkan kota-kota akan terendam air laut. Penulis utama laporan tersebut yang juga merupakan Kepala ilmuwan dari Climate Central, Ben Strauss menyebutkan sekitar 5% dari populasi dunia saat ini, tinggal di daratan di bawah permukaan laut. Yang mana tingkat air pasang diperkirakan akan meningkat karena karbondioksida yang telah ditambahkan ke atmosfer oleh aktivitas manusia. Hal ini dipertegas oleh survey bahwa lebih dari 99,9 persen makalah ilmiah setuju bahwa manusia menyebabkan perubahan iklim. Menurut Strauss, konsentrasi CO2 sekarang 50% lebih tinggi dari tahun 1800. Sementara suhu rata-rata permukaan bumi juga terus meningkat 1,1 derajat celcius. 

Conservation Internasional Indonesia menuliskan publikasi Jurnal Frontiers 15 April 2021 lalu yang menyimpulkan, hanya 3% daratan di Bumi masih utuh secara ekologis (ecologically intact). Keutuhan ekologis ini diukur dari tiga parameter yaitu integritas habitat, integritas fauna dan integritas fungsional, yang dipakai untuk menilai pengaruh manusia terhadap lahan.  Dari persentase tersebut, kawasan konservasi dan lindung hanya menyumbang 11%, dan itupun bisa bertahan karena sebagian besar dikelola oleh masyarakat adat di seluruh dunia.

Sekarang ini, kita telah memasuki musim hujan. Ancaman bencana terus saja hadir di hadapan kita. BNPB menyebutkan, selama 20 tahun terakhir, 98% kejadian bencana di Indonesia adalah bencana hidrometeorologi. Bencana hidrometeorologi khususnya banjir, longsor dan banjir bandang, kini silih berganti terjadi di berbagai daerah dalam beberapa bulan terakhir di tanah air. Bahkan di Kalimantan Barat, air menggenangi lebih 35.000 rumah warga selama sebulan. Dan tragisnya, kejadian serupa seakan sudah menjadi pemandangan rutin tahunan. Lantas, apakah rentetan peristiwa tersebut mengejutkan kita? Rasanya tidak lagi. Yang justru mengagetkan, jika masih ada yang terkejut dengan bencana tahunan itu. Sebab, telah menjadi ‘kelaziman’ negeri kita selama ini. Demikian itulah realitasnya, sebagai konsekuensi logis dari rusak parahnya ekologi dan lingkungan kita dalam waktu yang sudah begitu lama.

Negeri kita ini, memang memiliki wilayah yang sangat rentan dengan bencana. Global Climate Risk Index 2021 menempatkan Indonesia dalam rangking 3 dunia untuk risiko bencana. Olehnya itu, pemerintah daerah mesti segera bersiap untuk melakukan langkah pencegahan dan mitigasi terhadap peningkatan potensi bencana hidrometeorologi, khususnya banjir, longsor dan banjir bandang. Dalam konteks pencegahan dan mitigasi terhadap risiko bencana tersebut, maka tata ruang menjadi sangat penting mendapatkan perhatian serius. Hal ini sejalan pula yang telah ditegaskan dalam UU.24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, bahwa tata ruang merupakan sebuah bentuk mitigasi nonstruktural. 

Bencana banjir, longsor dan banjir bandang, umumnya terjadi karena degradasi ekologis dan lingkungan, di mana kerusakan tersebut disebabkan oleh aktivitas eksploitasi seperti alih fungsi lahan, deforestasi dan lain-lainnya, yang kesemuanya berujung pada pengabaian tata ruang. Bencana yang terus melanda adalah konsekuensi logis dari perubahan tata ruang akibat pembangunan yang tak berkelanjutan dan tanpa pengendalian. Saat banjir besar melanda Kalsel, Direktur Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan KLHK Karliansyah, menyebut jumlah penurunan hutan di Kalimantan Selatan cukup drastis, yakni selama periode 1990 hingga 2019 sebesar 62,8 persen. 

Ironisnya, pernyataan Menteri KLHK Siti Nurbaya beberapa waktu lalu yang menyatakan ‘pembangunan besar-besaran era Presiden Jokowi tidak boleh berhenti atas nama emisi karbon atau atas nama deforestasi’, seakan menyentak kesadaran kita. Apakah ini contoh ecological suicide yang yang diujarkan JO Simmonds? Karena, para pemimpin yang seharusnya bertugas menjaga kelestarian alam dan lingkungan, justru merusaknya dengan berbagai kebijakannya. Menukil istilah Prof.Dr.Supriyoko, mereka yang mestinya menjadi Pembina (lingkungan), malah menjadi pembinasa (lingkungan). 

Political will pemerintah dalam mengarusutamakan tata ruang dan lingkungan sepertinya belum terasa. Memang sangat disayangkan, bahwa masih begitu rendahnya kadar kecerdasan planologis dan ekologis para elit di puncak kekuasaan. Prof.Eko Budihardjo mendaku bahwa pembangunan wilayah dan kota selama ini cenderung mengabaikan daya dukung dan daya tampung lingkungan serta menafikan kajian jejak ekologis (ecological footprint). Akibatnya, bencana terus saja melanda seolah tanpa henti. Semoga saja ada perubahan berarti dan perbaikan sungguh-sungguh di waktu mendatang! 

Koran SINDO, Desember 2021

Selasa, 30 November 2021

Mengarusutamakan Tata Ruang (Catatan untuk Plt.Gubernur Sulsel)

Pada konteks pembangunan skala nasional, Sulawesi Selatan menduduki posisi yang penting sebagai penopang ketahanan pangan nasional. Problemnya kemudian, lumbung pangan Sulsel diperkirakan akan mengalami gangguan dan situasi sulit, karena tantangan global berupa dampak perubahan iklim (climate change) yang dihadapi dunia saat ini, sangat mungkin memberikan pengaruh yang begitu luas dalam berbagai aktivitas kehidupan. Salah satu implikasinya yang mesti diantisipasi oleh Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan, adalah ancaman bencana hidrometeorologi yang dapat terjadi.

Kepala BMKG Prof. Dwikorita Karnawati telah menyampaikan Peringatan Dini untuk Waspada akan datangnya La Nina menjelang akhir tahun ini. Berdasar kajian La Nina tahun 2020 lalu, hasil kajian BMKG menunjukkan bahwa curah hujan mengalami peningkatan pada November-Desember-Januari terutama di wilayah Sumatra bagian selatan, Jawa, Bali hingga NTT, Kalimantan bagian selatan dan Sulawesi bagian selatan. Karena itu, La Nina tahun ini diprediksikan relatif sama dan akan berdampak pada peningkatan curah hujan bulanan berkisar antara 20-70 persen di atas normal.

Itu sebabnya, pemerintah daerah diingatkan agar segera bersiap untuk melakukan langkah pencegahan dan mitigasi terhadap peningkatan potensi bencana hidrometeorologi seperti banjir, longsor, dan banjir bandang. Berkaitan dengan pencegahan dan mitigasi terhadap risiko bencana tersebut, maka tata ruang menjadi sangat penting mendapatkan perhatian lebih. Seperti diketahui, tata ruang adalah sebuah bentuk mitigasi nonstruktural yang disebutkan dalam UU.24 Tahun 2007 mengenai Penanggulangan Bencana.

Karenanya, sekaitan dengan Hari Tata Ruang Nasional yang diperingati pada 8 November 2021 lalu, saya bermaksud menyampaikan beberapa catatan untuk Plt.Gubernur Sulawesi Selatan Bapak Andi Sudirman Sulaiman, mengenai beberapa hal terkait bidang tata ruang, yang mesti menjadi perhatian serius, antara lain:

Pertama, UU.23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah telah menyebutkan bahwa penataan ruang merupakan salah satu urusan pemerintahan bersifat wajib yang berkaitan dengan pelayanan dasar. Dengan begitu, Pemprov Sulsel harus konsisten mengarusutamakan tata ruang sebagai “panglima pembangunan” atau “pedoman pembangunan”, agar tidak ada lagi proyek pembangunan dilaksanakan tanpa berbasis perencanaan. Selama ini, dokumen tata ruang seakan hanya jadi tumpukan kertas di instansi-instansi terkait, yang seringkali diabaikan dan dilanggar. Sebab, tidak jarang rencana tata ruang harus diubah atau direvisi hanya untuk mengakomodasi dan mewujudkan visi, misi dan janji-janji kampanye kepala daerah saat berkontestasi dalam pilkada. Hal semacam itu merupakan preseden yang sangat buruk dalam dunia perencanaan, di mana tata ruang sebagai pedoman pembangunan mesti menyerah pada kepentingan kekuasaan.

Kedua, dalam regulasi tata ruang disebutkan bahwa pengaturan penataan ruang dilakukan untuk mewujudkan ketertiban dalam penyelenggaraan penataan ruang serta mewujudkan keadilan bagi seluruh pemangku kepentingan. Namun faktanya, pelanggaran tata ruang dan ketidakadilan dalam pemanfaatan ruang, masih saja terus terjadi. Pemilik modal dengan kekuatan kapitalnya, sangat mudah menguasai ruang-ruang strategis bahkan tak jarang menggunakannya tidak sesuai peruntukan. Sementara kaum marginal semakin terpinggirkan karena tidak punya kuasa dalam penguasaan ruang. Oleh sebab itu, pemerintah harus mampu menunjukkan upaya konkret dalam meretas persoalan ini.

Ketiga, Pemprov perlu melakukan langkah-langkah progresif dan strategis, terutama dalam pengendalian pemanfaatan ruang dan pengawasan penataan ruang. Sebab, aspek inilah yang sangat lemah dijalankan dari keseluruhan proses penyelenggaraan penataan ruang, sehingga pelanggaran tata ruang terus berlangsung. Dalam Permendagri No.115 tahun 2017 mengenai Mekanisme Pengendalian Pemanfaatan Ruang Daerah, dinyatakan bahwa Gubernur bertanggung jawab terhadap pengendalian pemanfaatan ruang di daerah provinsi sesuai dengan kewenangannya. Dengan demikian, kepala daerah harus memastikan tidak terjadi pelanggaran tata ruang, agar tertib tata ruang dapat terwujud. Sekadar mengingatkan saja, RPJPD Sulawesi Selatan 2005-2025, dengan jelas menyebutkan kalau masih terjadi inkonsistensi terhadap penegakan Perda RTRW. Hal senada juga tertuang dalam Perda No.1 Tahun 2019 RPJMD Sulsel 2018-2023, yang menyatakan bahwa ketaatan pada RTRW masih rendah. Ini dikarenakan beberapa hal, yaitu; Rencana Tata Ruang (RTR) belum dijadikan sebagai acuan pelaksanaan pembangunan, belum terintegrasinya program prioritas RTR dalam dokumen perencanaan daerah serta belum optimalnya pelaksanaan pengendalian pemanfaatan ruang. Kondisi ini, mengkorfimasi adanya kecenderungan pengabaian tata ruang yang sudah puluhan tahun. Dengan demikian, maka pengawasan penataan ruang mesti dioptimalkan demi menjamin terlaksananya penegakan hukum bidang penataan ruang serta juga  untuk meningkatkan kualitas penyelenggaraan penataan ruang.

Keempat, membuktikan implementasi pelibatan masyarakat dalam penyelenggaraan penataan ruang, benar-benar terwujud. Tidak hanya sebatas norma yang tertera dalam berbagai regulasi penataan ruang. Konsultasi publik pada produk rencana tata ruang selama ini yang sifatnya formalitas dan seremonial harus diubah. Perlu dibuat lebih terbuka agar dapat mengakomodasi berbagai pandangan dan masukan dari berbagai lapisan masyarakat. Sehingga produk tata ruang yang dihasilkan tidak menjadi produk elit melainkan sebagai produk kesepakatan bersama dari berbagai kalangan dan stakeholder demi terciptanya tata ruang yang manusiawi dan berkeadilan.

Kelima, memastikan sosialisasi Peraturan Daerah (Perda) tentang tata ruang dan penyebarluasan informasi penataan ruang kepada masyarakat, sungguh-sungguh terlaksana  serta terkawal secara baik. Karena sampai hari ini, proses tersebut belum pernah berjalan secara efektif. Akibatnya, masyarakat seringkali jadi korban dalam pelaksanaan proyek-proyek pembangunan, karena ketidaktahuannya akan informasi tata ruang.  

Pada akhirnya, dengan komitmen dan konsistensi penyelengaraan tata ruang yang benar serta upaya mengarusutamakan tata ruang, saya berharap akan dapat mencegah atau paling tidak meminimalisir dampak risiko dari bencana hidrometeorologi yang akan terjadi dan terus mengintai. Semoga!

Harian Rakyat Sulsel, November 2021

Kamis, 02 September 2021

Kemerdekaan dan Nasib Hutan Indonesia

Peringatan 76 tahun usia kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) telah kita rayakan. Namun, setiap kali momentum itu datang, selalu saja memunculkan pertanyaan. Sungguhkah masyarakat kita merasakan dan menikmati kemerdekaan itu? Berbagai pertanyaan semacamnya, terus mengiringi perayaan kemerdekaan Indonesia pada setiap tahunnya. Budayawan Radhar Panca Dahana pernah mendakukan, ketika teriakan-teriakan “merdeka!” itu terserukan di banyak mimbar, serangkaian pawai berderak, bendera dikibarkan, panggung dibuka dan segala kemeriahan dilakukan dalam peringatan kemerdekaan, sesungguhnya dalam waktu yang bersamaan kita bingung -bahkan tak tahu- apa makna kemerdekaan itu. Dan berlawanan dengan semangat globalisasi, universalitas makna kemerdekaan kini luntur, laiknya warna sepuhan.

Kemerdekaan akan mengalami pengikisan makna, saat berbagai kebijakan dan penyelenggaraan pembangunan tidak sungguh-sungguh diorientasikan pada pencapaian kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Meskipun, selalu didengungkan bahwa pembangunan adalah upaya untuk mengisi kemerdekaan di era sekarang ini. Masalahnya, apakah pembangunan tersebut betul-betul diperuntukkan bagi kepentingan seluruh rakyat Indonesia? Di antara yang dapat menjadi faktor pemicu lunturnya makna kemerdekaan itu, ialah seringnya soal ekologi lingkungan dan ruang hidup rakyat tidak dijadikan prioritas penting dalam pembangunan. Padahal, Prof.Otto Soemarwoto menegaskan dalam bukunya, “Ekologi Lingkungan Hidup dan Pembangunan” bahwa pembangunan mempengaruhi dan dipengaruhi oleh lingkungan hidup. Dan karenanya, pembangunan tidak saja menghasilkan manfaat, melainkan juga membawa risiko. Namun sayangnya, ekologi pembangunan yang merupakan interaksi antara pembangunan dan lingkungan hidup, sangat minim untuk dicermati secara holistik. Di sinilah paradoksnya. Satu sisi dikampanyekan tentang pembangunan berkelanjutan, tetapi di sisi lain, pengabaian terhadap lingkungan hidup masih saja terus berlangsung. 

Dalam konteks percepatan pembangunan yang sementara dilakukan, tentu kita masih ingat dengan lahirnya Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK). Mungkin inilah satu-satunya UU yang paling banyak menuai sorotan dan kontroversi dari masyarakat. Sejak mahasiswa, kalangan buruh, kelompok masyarakat sipil, akademisi, hingga ormas keagamaan seperti NU, Muhammadiyah dan MUI, secara serentak bereaksi. Tetapi eksekutif-legislatif ketika itu, tetap saja tak bergeming. Para pemerhati hukum menyebutnya sebagai ‘tren buruk’ pembentukan legislasi di negeri merdeka ini.

Seperti sebelumnya telah diprediksi banyak kalangan bahwa produk hukum tersebut, akan menimbulkan berbagai dampak. Maka belakangan, turunan kebijakannya pun satu per satu mulai bersoal. Dan yang ingin dicermati dalam kaitan ini, ialah lahirnya PP 23/2021 tentang Penyelengaraan Kehutanan, yang oleh berbagai kalangan  dinilai tidak pro terhadap lingkungan serta upaya menjaga hutan tetap lestari. Sementara, aspek lingkungan adalah salah satu pilar utama dalam konsep pembangunan berkelanjutan. Jika pembangunan tidak memprioritaskan aspek keberlanjutan, maka akibatnya akan berefek pada rusaknya lingkungan sebagai sebuah ekosistem. Prof.Oekan S.Abdullah mengatakan, salah satu persoalan lingkungan yang kita hadapi selama ini ialah cara kita memperlakukan lingkungan atau lebih tepatnya cara kita menempatkan lingkungan dalam kerangka pembangunan berkelanjutan. Lingkungan seringkali hanya dilihat dan diperlakukan sekadar sebagai ruang dan sumber daya yang dapat dieksploitasi sedemikian rupa demi kepentingan-kepentingan yang terbatas dan berjangka pendek. Dengan cara pandang seperti itu, maka tidak mengherankan jika kerusakan lingkungan terjadi di mana-mana serta memberi dampak yang begitu besar. Hal ini sudah seringkali terjadi, terutama pada sektor strategis, seperti kehutanan, kelautan, pertanian, dan juga pertambangan. 

Hutan adalah merupakan elemen penting dalam menjaga kelestarian lingkungan. Itu sebabnya, mengapa banyak kalangan yang menyorot turunan UUCK tentang kehutanan tersebut. Greenpeace Indonesia menyebut PP 23/2021 berpotensi meningkatkan  deforestasi. Ini bisa saja terjadi, karena hilangnya ketentuan mengenai kewajiban pemerintah menetapkan dan mempertahankan luas kawasan hutan minimal 30 persen dari luas Daerah Aliran Sungai (DAS) dan/atau pulau dengan sebaran yang proporsional. Sebelumnya, aturan ini ada pada Pasal 18 ayat (2) UU No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK), sebetulnya juga telah menghapus ketentuan senada dalam UU No.26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Dengan tidak diaturnya batas minimal yang dibarengi kemudahan pemberian hak pengelolaan di sektor hutan ini, memungkinkan luasan kawasan hutan di tiap daerah akan terus mengalami penyusutan di masa akan datang. 

Laporan KPK Direktorat Penelitian dan Pengembangan - Bidang Pencegahan, menggambarkan bahwa penelitian tentang deforestasi nasional yang dilakukan oleh Margono dkk di tahun 2014, menemukan adanya pembukaan hutan sebesar 6,02 juta hektar (ha) hutan primer alami dan terdegradasi, selama periode tahun 2000–2012. Laju kehilangan hutan primer selama periode ini meningkat rata-rata sebesar 47.000 hektar per tahun (ha/tahun) sehingga pada tahun 2012 mencapai seluas 840.000 ha. Menurut Margono dkk, sebagian besar konversi hutan ini berlangsung di hutan primer yang telah terdegradasi, yang secara umum disebabkan oleh penebangan untuk tujuan komersial. Sebagian yang cukup besar dari hilangnya tutupan hutan itu (40%) terjadi di wilayah yang ditetapkan sebagai hutan lindung atau lahan gambut yang menurut peraturan perundang-undangan di Indonesia dilarang atau dibatasi secara ketat untuk dilakukan pembukaan hutan.

Hal lain yang juga mengkhawatirkan, adalah menyangkut penggunaan kawasan hutan, di mana terjadi perubahan kebijakan. Pada peraturan sebelumnya, PP 24/2010 tentang Penggunaan Kawasan Hutan, disebutkan “Penggunaan Kawasan Hutan melalui Izin Pinjam Pakai (IPPKH)”. Sementara pada PP 23/2021 diubah menjadi “Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan (PPKH)”. Pertanyaannya, tidakkah hal ini semakin memudahkan para pemodal dalam menguasai hutan? Lalu, bagaimana kaitan PPKH ini dengan KKPR (Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang) dan Persetujuan Lingkungan yang diatur dalam UUCK sendiri? Disamping itu, juga menyangkut nilai Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari PPKH yang kompensasinya hanya berkisar antara Rp.11,5 juta – Rp.15,5 juta per hektar. Sementara, sebuah kerugian negara yang begitu besar ditunjukkan dari laporan kajian KPK akibat PNBP yang tidak dipungut. Selama tahun 2003 sampai 2014, Pemerintah memungut PNBP dengan agregat sebesar Rp. 31,0 trilyun dari Dana Reboisasi (DR) dan komponen hutan alam dari Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH). Namun, menurut model perhitungan dalam kajian, Pemerintah seharusnya memungut penerimaan agregat sebesar Rp. 93,9–118,0 trilyun dari DR dan PSDH selama tahun 2003–2014. Angka-angka tersebut menunjukkan bahwa total kerugian negara akibat pemungutan penerimaan DR dan PSDH yang kurang maksimal, mencapai Rp. 62,8–86,9 trilyun atau rata-rata sebesar Rp. 5,24–7,24 trilyun per tahun. 

Pada gilirannya, konsep “ruang” direduksi menjadi sekadar ruang investasi yang dapat diperdagangkan. Konsentrasi penguasaan ruang untuk investasi akan semakin cepat dan massif. Di saat yang sama, penyingkiran ruang-ruang hidup rakyat mungkin terus terjadi. Padahal, kata seorang geografer, Doreen Massey, “Ruang dan wilayah (Space and Place) merupakan bagian penting dalam kehidupan masyarakat. Tapi, kini kita berada di Era Kapital (Capitalocene) ujar Suraya A. Afiff, Akademisi Departemen Antropologi Universitas Indonesia. Era di mana kehidupan dipengaruhi cara pandang dominan yang menempatkan relasi manusia dengan alam dan makhluk lainnya dalam logika kapitalisme. Menurut Suraya, logika kapitalisme memandang alam dan manusia sebagai dua entitas terpisah, ecologies without humans, and humans relations without ecologies. Pemisahan ini membuat alam dijadikan sekedar objek/target yang dihargai oleh manusia secara murah. Lewat cara pandang seperti itulah kapital/modal dapat bekerja secara efektif.

Tampaknya, orientasi perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup kita telah mengalami pergeseran paradigma, yang sepertinya mengangkangi tujuannya yang tertera pada UU.32/2009 (UU-PPLH), demi kepentingan ekonomi atau investasi. Hal ini, sekaligus pula menegaskan betapa pembangunan berkelanjutan (sustainable development) di negeri ini, sungguh-sungguh masih sebatas jargon dan retorika. Mungkin benar yang dikatakan Fritjof Capra bahwa kegagalan pembangunan berkelanjutan yang terjadi saat ini, sebagian besar bersumber pada perilaku manusia yang tidak bertanggung jawab dan hanya mementingkan diri sendiri.

Itulah sekelumit problem yang sempat disorot dari PP 23/2021, dengan sebuah pertanyaan yang menyertai, akankah hutan Indonesia tetap lestari dan terjaga? Akhirnya, bila kebijakan yang dilahirkan oleh penguasa negeri ini masih terus tidak senafas dengan nilai-nilai yang terekam pada konstitusi dan falsafah negara, maka  kemerdekaan Indonesia yang diperingati setiap tahunnya, akan terus memantik tanya karena telah mengalami degradasi makna.

                                                         FAJAR Makassar, Awal September 2021


Kamis, 24 Juni 2021

Pancasila dan Penataan Ruang Indonesia

Di zaman sekarang, ketika arus globalisasi telah memengaruhi berbagai aspek kehidupan sebagian besar masyarakat Indonesia, ideologi Pancasila terus terabaikan dan menjadi semakin terpinggirkan. Masuknya ideologi yang pro kapitalis, bisa terbaca dari berbagai kebijakan, seperti pengelolaaan sumber daya alam, lingkungan, tata ruang, dan lain sebagainya, yang tidak didasarkan lagi pada Pancasila. Pelbagai perundang-undangan yang ada pada sektor strategis, memperlihatkan hal tersebut. Pengelolaan sumber daya alam, ruang dan lingkungan yang selama ini dilakukan, telah menciptakan ketidakadilan dan ketidakjujuran. Ironisnya, masyarakat yang hidup di daerah yang kaya sumber daya alam dan lingkungan, sering kali tidak mendapatkan apa-apa, bahkan termarginalkan. Begitu kata Mansour Fakih dalam “Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi”.

Pada bukunya, “Pendidikan yang Berkebudayaan” Yudi latif menyatakan, salah satu contoh terbaik dalam pengembangan kebudayaan yang merupakan hasil persilangan antara cerlang budaya lokal dan unsur-unsur positif dari luar adalah usaha bangsa Indonesia untuk merumuskan dasar filosofi negaranya, yakni Pancasila. Dalam usaha merumuskan dasar filosofi negara Indonesia merdeka itu, Soekarno mengatakan bahwa “kita harus dapat meletakkan negara itu atas suatu meja statis yang dapat mempersatukan segenap elemen di dalam bangsa itu, tetapi juga harus mempunyai tuntunan dinamis ke arah mana kita gerakkan rakyat, bangsa dan negara ini.”

Pancasila merupakan rumusan pandangan hidup  yang dapat diterima oleh semua suku, agama, budaya, golongan, dan kelas dalam masyarakat Indonesia sebagai dasar ideal bersama, untuk di atasnya secara bersama-sama membangun satu Negara Republik Indonesia serta mengembangkan bangsa dan masyarakat di dalamnya. Berdasarkan hal itu, maka merongrong Pancasila berarti merongrong konsensus dasar segenap bangsa Indonesia yang beraneka ragam itu, yang bertekad untuk membangun satu kehidupan kemasyarakatan bersama. Dalam “Kuasa dan Moral”-nya, Romo Franz Magnis Suseno mengungkapkan, kehebatan rumusan Pancasila justru terletak dalam kenyataan bahwa rumusan ‘singkat-padat’, itu ternyata memadai, ternyata dapat mengungkapkan secara singkat segala pokok yang oleh segenap golongan di Indonesia dapat dikenali kembali sebagai miliknya.

Sebagai falsafah dan ideolog negara, Sang Proklamator menegaskan bahwa Pancasila adalah isi jiwa bangsa Indonesia, sekaligus dimaknai sebagai nilai-nilai yang menjadi cita-cita normatif dalam penyelenggaraan negara. Maka sejatinya, nilai-nilai pada setiap butir Pancasila, sepatutnya dijadikan pedoman dasar dalam melangsungkan kehidupan bernegara. Karenanya, harus mewarnai setiap rumusan kebijakan dan aturan apapun – termasuk regulasi mengenai penataan ruang - yang akan diterapkan kepada seluruh rakyat Indonesia.

Lalu, mungkinkah mengaitkan tata ruang dengan nilai-nilai Pancasila? Kenapa tidak! Justru yang jadi pertanyaan mendasar, mengapa nilai-nilai Pancasila yang merupakan modal bangsa, tidak dijadikan spirit penataan ruang kita, tidak dijadikan pondasi bangunan tata ruang kita? Mestinya, pertanyaan semacam itu, mengusik kita sebagai warga bangsa Indonesia yang bergerak di bidang penataan ruang.  Karena itulah, lima prinsip utama atau nilai dasar Pancasila yang oleh Yudi Latif disebut sebagai titik temu, titik tumpu, titik tuju, negara-bangsa Indonesia, sejatinya diinternalisasi dan ditransformasikan menjadi landasan etis-filosofis penataan ruang kita.

Pertanyaannya kemudian, sudahkah kita melaksanakan Pancasila secara benar? Apakah Pancasila telah dijadikan landasan etis di dalam kehidupan kita sebagai bangsa, termasuk dalam menata ruang kita? Di bukunya “Makna Pemerintahan” Prof. Ryaas Rasyid mengatakan, sebagai suatu sistem kepercayaan dan ideologi, Pancasila hanya bisa bermakna jika nilai-nilainya tercermin di dalam tingkah laku abdi negara dan warga masyarakat secara keseluruhan. Oleh karena itu, nilai-nilai Pancasila seyogianya bersifat omnipresent. Idealnya, Pancasila hadir di dalam praktek kekuasaan negara, menjiwai setiap kebijakan pemerintah, menjadi landasan dalam berbagai interaksi politik, serta menyemangati hubungan-hubungan ekonomi, sosial dan budaya bangsa Indonesia. Kalau gerakan memasyarakatkan Pancasila tidak secara konsepsional dan konsisten diarahkan pada perwujudan idealisme ini, niscaya bangsa Indonesia akan gagal mewujudkan cita-cita kemerdekaannya. Sebab itu, perlu selalu dijaga agar Pancasila tidak diturunkan derajatnya menjadi sekadar sebuah kata atau kumpulan kata-kata untuk penghias pidato, pelengkap suatu upacara atau menjadi bingkai untuk pengesahan sejumlah dokumen.

Ringkasnya, upaya memberi makna pada keberadaan Pancasila, berkenaan dengan sejauh mana ia dapat secara langsung dihubungkan dengan hal-hal kongkret  yang dihadapi oleh negara dan masyarakat sehari-hari, dalam konteks ini menyangkut penyelenggaraan penataan ruang kita. Proses internalisasi dan implementasi nilai-nilai Pancasila dalam upaya penyelenggaraan penataan ruang, kiranya dapat memberi arah dan orientasi yang lebih jelas dalam rangka menatap masa depan tata ruang Indonesia di waktu mendatang. Sehingga kita tak perlu lagi bertanya, Quo Vadis Tata Ruang Indonesia? Wallahu a’lam bisshawab.

FAJAR Makassar, Juni 2021

Rabu, 09 Juni 2021

Reformasi, Mahasiswa, dan Problem Tata Ruang

Peristiwa Reformasi 1998 yang terjadi di Indonesia, tak bisa dilepaskan dari aksi mahasiswa pada 23 tahun silam. Gerakan ini menjadi monumental karena berhasil melengserkan penguasa ketika itu, setelah menduduki kursi presiden selama 32 tahun. Mahasiswa adalah sebuah struktur unik dalam tatanan kemasyarakatan politik maupun budaya. Unik karena kebebasan berpikir, berpendapat, dan membentuk perbedaan, senantiasa menyertai rangkaian proses pembelajaran dan pendidikan yang dijalaninya. Sehingga, suara moral dan kritis, selalu saja ditunggu oleh masyarakat. Newfield mengistilahkannya sebagai a prophetic minority, yakni kelompok minoritas dalam masyarakat bangsa yang masih muda, tetapi mereka memainkan peran propetik. Peran mereka bagaikan Nabi dan bukan Kyai atau Pendeta yang terjebak rutinitas. Mereka adalah “Nabi” secara kolektif yang mencela kebobrokan dan membela kebenaran. Begitu Dawam Rahardjo menyebutnya.

Dalam buku “Mahasiswa Menggugat”, Ignas Kleden mengatakan bahwa kebangkitan Mahasiswa Indonesia 1998 bukan saja fenomenal secara politik tetapi memukau secara sosiologis, karena teori rekayasa bagaikan terbanting hancur berkeping-keping. Bagaimana menjelaskan bahwa mereka yang dilarang berpolitik selama lebih dari dua dasawarsa, sekonyong-konyong menggemparkan dunia sebagai Wunderkinder Politik (anak-anak ajaib dalam politik)? Karena itu, Arief Budiman-aktivis mahasiswa era 1966 berkata, tidak berlebihan kalau memang pada tahun 1998 itu, bila mahasiswa terpilih sebagai “bintang lapangan” bagi terjadinya proses reformasi di Indonesia. Sedang diktatur yang sudah berkuasa lebih dari 30 tahun bisa terguling. Dan sejak itu, kemungkinan-kemungkinan baru terbuka bagi negara ini, meskipun kemungkinan ini masih membutuhkan perjuangan lagi untuk bisa dijadikan realitas. 

Lantas, mengapa suara-suara mahasiswa hampir dalam setiap episode sejarah pergolakan tatanan politik masyarakat kita, senantiasa memperoleh tempat ‘istimewa’ di hati masyarakat? Padahal, pelaku sejarah itu banyak, tidak hanya mahasiswa. Idi Subandy Ibrahim mendaku bahwa dalam keadaan sistem politik yang sudah terlalu lama dinilai tertutup dan lembaga-lembaga formal terkooptasi atau bahkan berkoalisi dengan status quo, mahasiswa biasanya tampil untuk menata puing-puing impian masyarakat yang terpinggirkan dalam ruang publik. Di sinilah, kepedulian dan suara kritis mereka dinantikan. Menurut Arbi Sanit dalam “Pergolakan Melawan Kekuasaan”, sebagai kekuatan moral, mahasiswa telah memainkan peran utamanya  yakni membangkitkan kesadaran masyarakat terhadap kelalaian penguasa di dalam tugasnya menyelenggarakan pemerintahan  atas nama rakyat.

Mahasiswa Planologi dan Problem Tata Ruang

Pada bukunya “Rekayasa Sosial: Reformasi atau Revolusi?” Dr.Jalaluddin Rakhmat menguraikan beberapa teori ilmu sosial tentang sebab-musabab terjadinya perubahan sosial, antara lain: Pertama, ada yang berpendapat bahwa masyarakat berubah karena ideas; pandangan hidup, pandangan dunia dan nilai-nlai. Max Weber adalah salah satu penganut pendapat tersebut. Dalam “The Sosiologi of Religion”, ia banyak menekankan betapa berpengaruhnya ide terhadap suatu masyarakat. Kedua, perubahan bisa terjadi karena munculnya social movement (gerakan sosial). Dan Kang Jalal pernah berujar bahwa, “Perubahan sosial itu sendiri dapat terjadi walaupun hanya sebagian kecil dari masyarakat yang menghendakinya, asal mereka memiliki komitmen dan altruisme atau semangat syahadah yang tinggi.”

Berdasarkan teori tersebut, maka dunia kampus melalui mahasiswa dan para akademisinya, sejatinya menjadi garda terdepan dalam upaya menciptakan dan mendorong perubahan-perubahan ke arah perbaikan, dengan memberi respon serta perhatian yang sungguh-sungguh terhadap berbagai persoalan kebangsaan yang dialami Indonesia akhir-akhir ini.

Ironisnya belakangan ini, dunia intelektual dan dunia kampus kita mengalami “krisis”, yang oleh Mohammad Sobary diistilahkan dengan “kemarau”. Baginya, dunia intelektual kita diterjang musim “kemarau” (dan mungkin berkepanjangan), karena demi hidup yang memang susah, para intelektual kita diam-diam terjebak pada hal-hal yang lebih banyak bersifat teknis-praktis. Dan perlahan tapi pasti, hal itu membuat mereka terperangkap dalam “sumur kering” pemikiran.

Situasi tersebut berimplikasi pula pada perkembangan selanjutnya dari gerakan mahasiswa pasca reformasi hingga saat ini. Mahasiswa seakan kehilangan momentum. Hal tersebut boleh jadi diakibatkan sejumlah kebijakan negara serta kunkungan dari birokrasi kampus atau kalangan mahasiswa sendiri yang mengalami disorientasi, sehingga tidak mampu lagi menjalankan peran dan fungsinya secara efektif.

Kondisi yang sama juga dialami Mahasiswa Planologi atau Mahasiswa Perencanaan Wilayah dan Kota se-Indonesia. Akibatnya, respon aktif serta penyikapan yang dilakukan terhadap berbagai persoalan tata ruang yang berlangsung di negeri ini, jarang sekali didengarkan oleh publik. Spirit aktivisme dan aktualisasi peran Mahasiswa Perencanaan, tampaknya belum terealisasi secara optimal. Keinginan menjadi Pemikir-Pejuang-Pembaharu yang dikrarkan pun, tidak mewujud dan membumi hingga kini. Padahal, jika memerhatikan berbagai sengkarut penataan ruang yang terjadi, maka sejatinya Mahasiswa Perencanaan-lah yang semestinya berperan secara aktif dan progresif dalam menawarkan ide dan gagasan melalui gerakan-gerakan intelektual, sosial dan moralnya untuk mengarahkan pada upaya-upaya perubahan bagi penataan ruang ke arah yang lebih baik dan benar.

Pada konteks ini, Mahasiswa Perencanaan Indonesia sudah sepantasnya menjadi elan vital perubahan untuk perbaikan penataan ruang kita. Suara moral, suara kritis secara proaktif dan progresif, harus terus dikumandangkan. Namun perlu diingat, daya kritis analitis hanya bisa terjaga, bila Mahasiswa Perencanaan Indonesia beserta lembaga-lembaganya, berkomitmen dan secara konsisten terus merawat independensi, integritas serta idealismenya. Dengan cara seperti itu, aktualisasi peran dan fungsinya dapat terakselerasi dengan tepat dalam upaya untuk terus menyuarakan, memperjuangkan serta mengawal terwujudnya penyelenggaraan penataan ruang yang manusiawi, berkeadilan, berkebudayaan dan berkelanjutan.

Bila suara moral dan suara kritis tersebut tak lagi terdengar, maka itu jadi penanda kuat bahwa kaum intelektual – mahasiswa dan akademisi – sebenarnya tidak lagi memainkan perannya dengan tepat, karena tengah mengidap penyakit kronis. Mereka tidak lagi menjadi penjaga suara ruh dalam melantunkan tembang-tembang surgawi untuk memberikan perimbangan bagi hidup keduniaan yang semrawut. Ali Syariati pernah menyindir peran intelektual yang problematik semacam itu dengan menegaskan, “Seorang intelektual tidak harus lahir dari bangku kuliah dan menara gading kelompok ilmuwan, tapi bahkan mereka yang ummi sekalipun bila dia “hadir” di tengah masyarakat sebagai nabi-nabi sosial, yang turut membebaskan beban derita yang memasung umat manusia, maka dialah intelektual sejati.” Wallahu a’lam bisshawab.

Makassar, Mei 2021

Kamis, 15 April 2021

Minimnya Planner Sebagai Intelektual Gadfly (Refleksi 50 Tahun IAP Indonesia)

Pada buku, “Pengkhianatan Kaum Cendekiawan” karya Julien Benda, Wiratmo Soekito menulis kata pengantar yang menceritakan tentang sebuah peristiwa yang disebut “L’Affaire Dreyfus” atau “Peristiwa Dreyfus” di negeri Prancis pada 1894. Perlakuan terhadap Dreyfus yang dianggap bertentangan dengan perikeadilan, memantik reaksi dan respon dari para cerdik-cendekia, lalu menyatukan sikap dengan mengumumkan “Manifesto des Intellectuels”.

Sastrawan dan budayawan D.Zawawi Imron, dalam bukunya “Gumam-Gumam Dari Dusun”,  menyatakan bahwa Kepedulian kaum intelektual pada “Peristiwa Dreyfus” di atas, kemudian dicatat sebagai “sejarah” yang memantapkan kedudukan kaum intelektual sebagai kelompok penting di tengah-tengah masyarakat, baik sebagai pemangku nilai-nilai, penjaga peradaban, perawat kebudayaan maupun sebagai pelindung masyarakat dari kesewenang-wenangan. Kaum intelektual dipercaya sebagai pengemban amanat nurani masyarakat.

13 April 2021, Ikatan Ahli Perencanaan (IAP) Indonesia, genap berusia 50 tahun. Para Planner atau Perencana sebagai sekumpulan kaum terdidik dan profesional yang berhimpun di dalamnya, boleh jadi telah banyak berkiprah dan berkarya dalam pembangunan dan penataan ruang di Indonesia. Namun sayangnya, daya kritis Planner/Perencana terhadap problematika penataan ruang, masih sangat rendah dan perlu dipertanyakan. Mengapa demikian? Karena, kontribusi peran pada aspek ini memang terbilang kurang. Padahal, jika kita cermati “Kode Etik Perencana Indonesia” yang disebut sebagai “kaidah kehormatan” yang berlandaskan nilai-nilai luhur masyarakat dan bangsa Indonesia dengan berdasarkan Falsafah Pancasila dan UUD 45, telah menegaskan tanggung jawab Perencana terhadap publik atau masyarakat yang paling utama, ialah: “Melayani seluruh golongan dan lapisan masyarakat, mendahulukan kepentingan umum di atas kepentingan golongan maupun kepentingan pribadi, dan berdasar keyakinan profesi, berani membela yang benar serta memberikan kritik dan koreksi terhadap hal-hal yang merugikan masyarakat.”

Pertanyaannya, mengapa implementasi kode etik tersebut, sepertinya tidak menampakkan wujudnya yang konkrit? Apa sesungguhnya yang menjadi kendala? Tidak adakah keberanian para Perencana dalam menjalankan peran mulia itu? Sejumlah pertanyaan tersebut kerapkali mengusik nurani saya, apatah lagi ketika menyaksikan berbagai problem-problem planologis dan keruangan, terus saja berlangsung di sekitar kita. Realitas objektif itu, menunjukkan begitu banyak Perencana yang sibuk dengan kerja profesionalnya, tetapi tidak memahami makna terdalam dari profesinya. Punya perhatian besar pada peningkatan kapasitas keilmuan dan kompetensinya, berhitung besaran renumerasi yang mesti diperoleh, mengumpulkan materi untuk mengangkat status sosialnya, namun lupa akan komitmen dan tanggung jawabnya.

Dalam konteks profesi tersebut, hari-hari ini, kita masih disuguhi dengan bermacam problema keruangan yang kurang manusiawi dan tidak berkeadilan.   Sangat memprihatinkan memang, karena keadilan di negeri ini, masih menjadi “barang langka” pada perwujudan dan manifestasinya. Sebab itu, ketidakadilan ruang dan juga berbagai kerancuan lainnya, masih terus kita saksikan dalam proses pembangunan dan penataan ruang kita. Sebagai contoh di Kota Makassar, sejumlah proyek pembangunan yang bersoal dan terkait dengan penataan ruang, yang mestinya disorot oleh para Perencana, di antaranya:  reklamasi mega proyek Makassar New Port (MNP) yang berdampak pada masyarakat nelayan, dibongkarnya bangunan yang memiliki nilai sejarah seperti Stadion Mattoangin yang konon akan disulap menjadi stadion bertaraf internasional, rencana pembangunan gedung perkantoran twin tower di kawasan reklamasi Center Point of Indonesia (CPI), rencana jalan tol pesisir Losari-Tanjung Bira, dan tol layang dalam kota yang telah mengorbankan ribuan pohon, di mana saat hujan turun, mengubah Jalan A.P.Pettarani menjadi sungai dalam kota. Ironisnya, dari semua proyek problematik yang disebutkan, respon serta suara kritis para Planner/Perencana di daerah ini – personal maupun institusional - begitu sangat minim dijumpai, jika tak ingin dikatakan tidak ada sama sekali.

Sebagai Intelektual Gadfly

Bercermin dari fenomena yang telah diuraikan sebelumnya, maka salah satu peran Perencana yang dikemukakan Raws, the planner as reader of and reactor to power structures (Perencana sebagai pembaca dan pemberi respon terhadap struktur kekuasaan), sangat menarik bila dikaitkan dengan tipe “the gadfly” dalam pemikiran Justin E.H.Smith tentang, “Six Types of Philosophers”. Tipe “the gadfly” teramat penting untuk diperankan oleh Planner/Perencana, terutama bila memperhatikan konteks penyelenggaraan penataan ruang yang berlangsung saat ini. Mengapa penting? Karena, inilah sebentuk pengkhidmatan yang dapat berfungsi sebagai sosial kontrol, namun jarang sekali diperankan oleh kalangan Perencana ketika menjalankan praktek keprofesiannya.

Pada kajian virtual “Filsafat sebagai Way of Life”, Dr.Jalaluddin Rakhmat menguraikan tentang Gadfly ini. Gadfly ialah orang yang mengintervensi status quo suatu masyarakat atau komunitas, dengan mengemukakan pertanyaan-pertanyaan baru yang berpotensi ‘mengganggu’, dan biasanya diarahkan kepada pemegang kekuasaan. Gadfly adalah mereka yang aktif dalam aktivitas sosial, dan selalu melakukan kritik pada pemegang otoritas, dengan menyampaikan kebenaran. Sebab itulah, bagi aktivis, filosof dan Gadfly semacam Dr.Cornel West, lantas menegaskan prinsipnya, “There is a price to pay for speaking the truth. There is a bigger price for living a lie.” Memang ada resikonya berkata yang benar. Tapi resiko yang lebih besar saat kita hidup dalam kebohongan. Tampaknya, Cornel West mengikuti jejak pendahulunya sang filsuf besar Socrates. Socrates adalah orang yang pertama menyebut diri sebagai Gadfly. Ia berujar, “I am that gadfly which God has attached to the state, and all day long and in all place am always fastening upon you, arousing and persuading and reproaching you.” Aku adalah lalat pengganggu yang Tuhan telah berikan pada negara, di sepanjang hari dan di semua tempat selalu bersamamu, menggerakkan dan membujukmu tapi juga menjatuhkanmu.

Menjadi Perencana sebagai Intelektual Gadfly, tentu bukanlah peran yang mudah, sebab mesti siap menghadapi berbagai konsekuensi dan resiko. Dengan komitmen dan idealisme yang dimiliki, ia harus konsisten menyuarakan serta mempersoalkan realitas penataan ruang yang problematik. Karena tidak banyak Perencana yang mau melakoni, maka memilih peran Gadfly, ibarat menyusuri jalan sunyi dan terasing. Mungkin inilah sebagian dari konsekuensi yang harus dilalui. Tapi kata Soe Hok Gie: “Lebih baik diasingkan dari pada menyerah pada kemunafikan.”

Sebagai Intelektual Gadfly, seorang Planner/Perencana tidak boleh berdiam diri, tanpa kepekaan, tanpa kepedulian atau sebatas berlaku menjadi the mandarin dan the courtier (dua tipe ini adalah gambaran ilmuwan publik yang mewakili kepentingan elit) seperti dalam kategori Justin Smith. Karena pada dasarnya, sudah menjadi tanggung jawab para intelektual untuk berbicara tentang kebenaran dan mengungkap kebohongan. Begitu lontaran Noam Chomsky, seorang kritikus sosial dan intelektual paling penting pada masa kini. Akhirnya, saat memikirkan profesi ini, saya kadang bertafakkur sembari bertanya, akankah kita temukan lagi Planner yang memilih sebagai Intelektual Gadfly? Sementara dalam realitasnya, kebanyakan Planner lebih terpesona bergerilya “proyek” untuk meneguhkan ketenarannya sendiri! Wallahu a’lam bisshawab.

FAJAR Makassar, April 2021

Kamis, 18 Maret 2021

Ironi Pembangunan dan Degradasi Ekologis

Seperti lazimnya dipahami, tujuan utama dari suatu pemerintahan adalah membentuk sebuah tatanan masyarakat ideal. Yakni sejahtera, makmur dan adil. Karena itu, segala kebijakan dan aturan yang dijalankan, sesungguhnya (hakikatnya) hanyalah sebuah perantara (instrumen), yang bilamana instrumen ini tidak digunakan dalam rangka menebarkan kebaikan serta mencapai tujuan mulia, maka ia akan menjadi tidak bernilai. Dalam perpektif Islam, pemerintahan akan bernilai, ketika menjadi wasilah untuk melaksanakan hukum-hukum Ilahiah dalam menegakkan tatanan Islam yang adil. Sehingga, orang-orang yang bertanggung jawab atas pemerintahan tersebut memperoleh nilai tambah dan maqam yang mulia.

Dalam sebuah pemerintahan, “Pembangunan” adalah kata kunci yang sangat penting. Karena, pembangunan merupakan salah satu konsep yang paling banyak digunakan, tetapi sekaligus juga diperdebatkan dalam upaya mengembangkan kehidupan manusia. Perdebatan yang muncul sangat beragam, mulai dari isu menentukan tolok ukur keberhasilan pembangunan, menetapkan prioritas, strategi dan tahapan pembangunan, pemberdayaan dan partisipasi masyarakat, hingga topik kelangsungan hidup generasi mendatang. Dr.Jalaluddin Rakhmat menyebut Pembangunan (development) adalah sejenis rekayasa sosial yang juga dapat dimaknai sebagai perubahan sosial yang direncanakan. Di negara-negara dunia ketiga, rekayasa sosial model pembangunan ini, memang terjadi secara besar-besaran setelah era 1970-an.

Perubahan sosial pasca Gerakan Reformasi 1998 yang berhasil menumbangkan rezim Orde Baru, tampaknya belum banyak mengubah wajah pembangunan nasional. Beberapa persoalan seperti; struktur ekonomi masyarakat yang timpang, kesenjangan pembangunan antarwilayah, pembangunan yang hanya berorientasi pertumbuhan, terlalu mengandalkan eksploitasi sumber daya alam untuk ekspor bahan mentah, dan ketergantungan pada utang luar negeri yang besar untuk membiayai pembangunan. Semuanya itu belum dapat diselesaikan, bahkan ada kecenderungan terus berlanjut. 

Kesemua persoalan tersebut berhimpitan dengan problem utama pembangunan yang menghinggapi negara-negara dunia ketiga, seperti Indonesia, ialah tergerusnya “kemandirian” dan “kedaulatan” sebagai sebuah bangsa. Secara bersamaan, terjadi penguasaan kapital oleh negara-negara maju dari masa penjajahan hingga saat ini. Dalam konteks ini, salah satu model penguasaan dimaksud adalah kehadiran lembaga-lembaga donor internasional. Lembaga-lembaga tersebut tiada lain merupakan kepanjangan tangan dari kepentingan kapitalis-kapitalis asing yang ada di negara maju. Seperti dikatakan John Perkins dalam bukunya Confession of an Economic Hit Man, tidak ada niat sedikit pun dari negara maju untuk membuat kalian berkembang dan maju, tetapi justru mereka berupaya terus untuk mendorong para pemimpin dunia ketiga agar menjadi jaringan luas yang mengutamakan kepentingan komersial negara maju.

Lalu, bagaimana dengan pembangunan yang berlangsung hari-hari ini? Untuk memahami seperti apa pembangunan ke depan, maka penting kiranya mencermati apa yang ingin diraih sesuai Visi Indonesia 2045, yakni: 1. Indonesia, menjadi negara maju, dengan ekonomi berkelanjutan. 2. Perekonomian Indonesia masuk 5 Besar ekonomi dunia. 3. Indonesia telah keluar dari jebakan Negara Berpendapatan Menengah (Middle Income Trap) 4. Tingkat kemiskinan mendekati 0 persen. 5. PDB mencapai USD 7 Trilliun, peringkat ke-4 PDB dunia. 6. Tenaga kerja berkualitas.

Jika kita memerhatikan apa yang dicanangkan dari enam poin tersebut, maka sepertinya paradigma serta orientasi pembangunan kita, masih juga berada pada pusaran pertumbuhan ekonomi. Masalahnya kemudian, terbebaskah kita dari problem utama pembangunan seperti yang sudah diuraikan? Atau sebaliknya, justru negeri ini makin terjerat oleh beban yang mesti dipikulnya. Bagi Perkins, tolok ukur perekonomian nasional terbukti tak bisa dipercaya. Seperti yang sering terjadi, nilai tukar uang yang stabil, neraca perdagangan yang bagus, inflasi yang rendah, dan angka pertumbuhan GDP Indonesia yang mengesankan, semua itu hanya mencerminkan kondisi sebagian kecil penduduknya yang kaya. Sementara sebagian besarnya terpinggirkan dari arus utama perekonomian yang terukur. Merekalah yang menanggung beban luar biasa berat. Krisis yang terjadi mengirimkan sebuah pesan kuat bahwa niat sejati IMF dan Bank Dunia bukanlah untuk mengelola perekonomian, melainkan lebih untuk memperkaya korporatokrasi dengan mengorbankan orang lain.

Bila demikian halnya, jangan-jangan, apa yang diceritakan Wartawan Senior Harian Kompas Budiarto Shambazy, dalam kata pengantar buku “Pengakuan Bandit Ekonomi”, betul-betul juga terjadi dan menjadi kenyataan. Ia mengisahkan saat Charlie Illingworth (Bos Perkins) mengingatkan John Perkins bahwa Presiden AS Richard Nixon menginginkan kekayaan alam Indonesia diperas sampai kering. Jika betul seperti itu, maka konsekuensinya, dampak pada berbagai aspek dan dimensi kehidupan kebangsaan yang kita jalani, tentu saja akan terus mengintai. Salah satu dampak yang sangat dikhawatirkan, ialah terjadinya degradasi ekologis dan lingkungan hidup.

David Goldblatt dalam “Analisa Ekologi Kritis” mengatakan bahwa institusi-institusi kapitalisme merupakan penyebab-penyebab struktural utama yang menimbulkan degradasi lingkungan, sementara industrialisme, sebagaimana yang dipahami oleh Anthony Giddens, merupakan penyebab langsung dari degradasi. Meski begitu, Goldblatt percaya bahwa dalam transisi historis dari pertanian-kapitalis ke industrialisme-kapitalis, adalah pantas untuk menyebut industrialisme sebagai suatu penyebab struktural dari degradasi lingkungan ketimbang semata-mata sebagai suatu penyebab langsung. Fenomena ini juga merupakan sebuah indikator nyata bahwa tidak adanya political will dan lemahnya bargaining position pemerintah sebuah negara berkembang terhadap kapitalisme global, turut andil memperparah krisis lingkungan.

Isu pembangunan dan lingkungan memang sudah menjadi agenda penting masyarakat dunia di forum regional serta internasional. Namun sayangnya, di negeri ini kadar kesadaran ekologis para elit kekuasaan, masih sangat rendah. Padahal kenyataannya, menurut Prof.Otto Soemarwoto, pembangunan mempengaruhi dan dipengaruhi oleh lingkungan hidup. Keteledoran selama ini berakibat, bencana banjir, tanah longsor dan banjir bandang yang terjadi di berbagai daerah sejak Desember 2020 hingga saat ini, terus saja berulang dan telah menjelma menjadi “tragedi” tahunan.

Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyebutkan bahwa di Kalimantan Selatan terjadi penurunan drastis luas hutan selama periode 1990 hingga 2019 sebesar 62,8 persen. Eksploitasi sumber daya alam dan lingkungan secara besar-besaran yang terjadi di negeri ini, menyebabkan kerusakan ekologis terus menerus meningkat. Ini isyarat alam yang begitu nyata, dengan memberi indikasi kuat bahwa aktivitas-aktivitas selama ini sudah melampaui daya dukung dan daya tampung lingkungannya. Hal tersebut merupakan sebentuk pembangkangan pada konstitusi UUD 1945 Pasal 28H, yang dengan jelas menyebutkan, “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat…….”  Seolah menegaskan firman Tuhan, “Telah nampak kerusakan di daratan dan lautan, akibat perbuatan tangan manusia….” (QS. Ar-Rum: 41). Tuhan pun sudah mengingatkan, betapa Dia tidak senang pada orang-orang yang sering membuat kerusakan, “Dan mereka berbuat kerusakan di muka bumi, sementara Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (QS. Al-Maidah: 64).

Selama paradigma pembangunan yang dianut terlalu menekankan pada pembangunan ekonomi semata, sementara aspek lingkungan dan sosial kurang diprioritaskan, maka pembangunan berkelanjutan hanya sebatas slogan dan pada saat yang sama degradasi ekologis akan terus terjadi. Mungkin karena itu, Dr. Mansour Fakih dalam buku “Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi”, berpendapat bahwa developmentalisme sejak diciptakan juga telah menjadi bagian dari masalah lingkungan hidup. Jalan keluar yang ditawarkan, yakni pembangunan berkelanjutan, tidak memuaskan karena bertentangan dengan ide pertumbuhan dan keuntungan yang melekat pada dasar ideologinya. Akibatnya developmentalisme akan menjadi bagian dari masalah lingkungan hidup daripada sebagai jalan keluar. Dan ironisnya, yang sering kali tidak disadari oleh para pemimpin pemerintahan di berbagai tempat, ialah apa yang pernah didakukan Joseph E.Stiglitz, “Development is about transforming the lives of people, not just transforming economies.” Pembangunan itu adalah mentransformasi kehidupan masyarakat/rakyat, bukan sekadar melakukan transformasi ekonomi. Wallahu a’lam bisshawab.

FAJAR Makassar, Maret 2021

Minggu, 31 Januari 2021

Problematika Tata Ruang dan “Bencana Pembangunan”

Penataan ruang adalah pedoman untuk pembangunan. Begitu yang sering disebutkan tentang tata ruang. Tapi anehnya, atas nama pembangunan pula, tata ruang kerapkali diabaikan dan dilanggar. Kebijakan dan regulasinya pun diutak-atik dan diubah secara parsial hanya untuk tujuan dan kepentingan tertentu. Namun, perubahan yang dilakukan, cenderung hanya menyasar aturan-aturan teknis untuk memuluskan kepentingan yang akan dituju oleh rezim penguasa yakni: Investasi. Siapa saja dan dari mana saja investor yang telah dihamparkan karpet merah itu? Entahlah!

Padahal, jika sekiranya memang sungguh-sungguh ingin melakukan perubahan fundamental terhadap penyelenggaraan penataan ruang, mengapa dilakukan sebagian-sebagian saja? Semestinya, sekalian saja mengubah atau merevisi secara menyeluruh  pedoman penataan ruang kita selama ini, yakni UU.26 Tahun 2007 (UUPR). Sebagai awal, kita bisa menelisik tujuan penyelenggaraan penataan ruang yang tertuang pada Pasal 3. Di sana disebutkan bahwa: “Penyelenggaraan penataan ruang bertujuan untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional.” Tujuan ini setidaknya memunculkan pertanyaan, apakah penataan ruang kita, sungguh-sungguh sudah menjadikan wawasan nusantara dan ketahanan nasional sebagai landasannya? Lalu, mengapa ketimpangan, kesenjangan atau disparitas antarwilayah, antardaerah serta ketidakadilan ruang masih mejadi problem besar hingga saat ini? Pada dasarnya, Wawasan Nusantara itu mengajarkan bahwa kita hendaknya tidak sampai kehilangan kesadaran bahwa Indonesia ini meliputi wilayah, kebudayaan, bahasa yang beragam, dan dalam kemajemukan itu rakyat, bangsa, negara dan wilayah Nusantara merupakan kesatuan utuh dan setara yang tidak bisa dipisah-pisahkan. Karena itu, sejatinya tidak boleh ada perlakuan yang timpang dan tidak adil terhadap penggunaan ruang, baik ruang antarwilayah maupun ruang antardaerah. Contoh jamak yang sudah lama berlangsung dan mengusik sisi kemanusiaan kita, misalnya, satu sisi terjadi penguasaan secara mudah dan leluasa terhadap lahan, tanah (ruang) jutaan hektar oleh korporasi atau segelintir orang, sementara sisi lainnya, masyarakat adat yang sudah sekian lama berjuang untuk mendapatkan hak wilayahnya, tak juga kunjung memperoleh pengakuan. Hal-hal semacam ini semestinya sudah harus dihentikan.

Problem berikut ialah seperti apa pelibatan dan partisipasi rakyat/publik dalam penataan ruang? Pada Pasal 65 ayat 1 dan 2 UUPR, dengan jelas dinyatakan bahwa penyelenggaraan penataan ruang dilakukan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah dengan melibatkan peran masyarakat. Namun, dalam prakteknya masih sebatas seremonial dan sifatnya formalitas, seperti tampak dalam kegiatan konsultasi publik produk tata ruang. Dari kenyataan demikian, bila partisipasi rakyat dikaitkan dengan demokrasi formal/prosedural, maka tampaknya ada relevansinya, apa yang pernah dibilangkan Noam Chomsky dalam “How the World Works” bahwa pada kurun waktu yang panjang, keterlibatan publik dalam perencanaan dan implementasi kebijakan selalu saja terpinggirkan. Inilah masyarakat yang dikendalikan oleh bisnis.

Problem lainnya yang tak kalah mengkhawatirkan ialah timbulnya apa yang saya sebut sebagai “Bencana Pembangunan”. Ada dua jenis yang saya maksudkan “bencana pembangunan”. Pertama, pekerjaan atau kegiatan pembangunan yang secara nyata melanggar aturan tata ruang, namun tetap saja didiamkan, tanpa ada tindakan. Kedua, pekerjaan/kegiatan pembangunan yang tidak berbasis dalam dokumen perencanaan atau yang dimasukkan dan dicantumkan pada dokumen perencanaan saat proyek pembangunan tersebut tengah berlangsung. Faktor seperti inilah yang memicu apa yang diistilahkan oleh JO.Simmonds sebagai ecological suicide. Meminjam istilah tersebut, maka saya bisa katakan bila saat bersamaan terjadi pula spatial-planning suicide dan development-planning suicide.  Keduanya merupakan penyumbang besar terjadinya bencana hidrometeorologi seperti banjir, longsor dan banjir bandang. Khusus, untuk jenis kedua dari “bencana pembangunan” yang telah disinggung, sepertinya akan banyak kita jumpai di waktu-waktu mendatang, karena sudah terlegitimasi dengan disisipkannya pasal 34A yang problematik itu ke dalam UUPR jalur omnibus law cipta kerja. Dalam ketentuan tersebut, secara eksplisit memberikan pembenaran bahwa pemanfaatan ruang tetap dapat dilaksanakan meski tidak termuat dalam rencana tata ruang dan/atau rencana zonasi, dengan alasan terdapat perubahan kebijakan nasional yang bersifat strategis. Model penerapan sistem kebijakan tata ruang semacam itu, akhirnya memantik tanya, sebetulnya tata ruang kita menganut sistem kebijakan yang mana? Apakah Regulatory System ataukah Discretionary System atau gabungan dari keduanya?

Demikianlah sebagian dari problematika tata ruang yang kita alami. Lantas, perlukah kita merumuskan ulang Visi Tata Ruang Indonesia untuk waktu mendatang? Wallahu a’lam bisshawab.

Rezim Yang Ambigu dan Problem Lingkungan di Indonesia

Permasalahan lingkungan hidup, telah mendapat perhatian besar di hampir semua negara. Ini terutama terjadi sejak dasawarsa 1970-an setelah d...