Kamis, 30 Mei 2019

Madrasah Ramadhan untuk Perbaikan Bangsa


Berbagai persoalan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara telah mengiringi perjalanan kita selama ini. Meski sebagian sudah dapat teratasi, namun masih menyisakan sejumlah persoalan yang belum terselesaikan, kendatipun era reformasi telah lewat dua puluh tahun. Salah satu ‘penyakit’ yang masih jadi momok dalam penyelenggaraan pemerintahan, adalah perlakuan pejabat publik yang terkait masalah korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan lainnya. Hal ini tentu sangat erat kaitannya dengan minusnya pembentukan karakter (character building) dan budaya, sebagai sebuah bangsa.
Lantas, apa sesungguhnya yang keliru di negeri ini? Boleh jadi benar, yang diujarkan oleh budayawan Radhar Panca Dahana dalam karyanya “Kebudayaan dalam Politik - Kritik Pada Demokrasi” yang menyatakan bahwa, begitu minornya posisi kebudayaan dalam semua jargon pembangunan modern saat ini, telah membuat bangsa ini jatuh pada titik terdalam jurang rusaknya karakter atau kepribadian. Standar atau acuan moral dan mental bangsa kita yang selama ini membuat bangsa lain di dunia – selama lebih dari dua millennium – menaruh respek bahkan menjadikannya contoh, kini justru berbalik menjadi rasa malu, cemoohan atau bahan lelucon di kalangan masyarakat Internasional.
Pada sisi lain, secara statistik, negeri kita merupakan Negara Muslim terbesar di dunia. Idealnya, jumlah mayoritas tersebut, sejatinya memberikan dampak dan pengaruh yang luas terhadap berbagai upaya perubahan serta perbaikan. Namun kenyataannya tidak demikian. Pada bukunya, “Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan”, Prof.Dr.Ahmad Syafii Maarif,MA mengatakan, sudah sejak lama kita merisaukan kesenjangan yang parah antara jumlah mayoritas umat Islam Indonesia dan kualitas kehidupan mereka yang tertinggal jauh di buritan pada hampir semua bidang.
Oleh sebab itu, untuk melangkah ke depan, masalah kualitas ini harus mendapatkan perhatian yang sungguh-sungguh  dari para pemimpin Islam Indonesia, agar kesenjangan itu secara berangsur dan sadar dapat dipertautkan. Memang saja, penganut Islam kuantitatif telah bertahan sekian lama hingga hari ini. Bertahun-tahun setelah Indonesia merdeka sampai era reformasi saat ini, namun tidak banyak mengalami perubahan mendasar. Pertanyaannya, apakah Islam tidak memiliki upaya-upaya transformatif dalam sistem nilainya? Ataukah umat Islam sendiri yang berjarak dengan sistem nilainya?
Terkait hal tersebut, maka salah satu yang perlu dibaca ulang, adalah bagaimana pengaruh Madrasah Ramadhan terhadap perubahan individual dan sosial masyarakat. Bagi kaum Muslimin, Madrasah Ramadhan sejatinya, dijadikan sebagai momentum untuk melakukan penempaan dan perbaikan diri. Sebab, di dalamnya, sarat dengan berbagai unsur yang berdimensi spiritual dan ruhaniah, yang sangat dibutuhkan oleh manusia.
Bila manusia terpisah dengan dimensi ruhaniahnya, maka kemanusiaannya menjadi kemanusiaan yang berpenyakit. Jean Jaques Rousseau pernah berujar, “Semakin banyak orang pandai, semakin sulit dicari orang jujur.” Ia beranggapan, semua penyakit kemanusiaan timbul karena manusia hanya mempertajam akalnya saja dan mengesampingkan panggilan hati nuraninya atau sisi ruhaninya. Demikian kutipan dalam “Renungan-Renungan Sufistik”-nya Dr.Jalaluddin Rakhmat.
Di dalam Al-Quran dan banyak hadis, disebutkan bahwa Ramadhan adalah bulan yang agung dan mulia di sisi Allah SWT. Meski begitu, dalam prakteknya, Ramadhan yang kita jalani hanya terkesan semarak dalam aspek lahiriahnya. Tentu hal itu disebabkan pemaknaan kita terhadap Ramadhan.
Karena itu, Allamah Syaikh Asad Muhammad Qashir mengatakan, “Seringkali yang menyebabkan orang tidak menghargai sesuatu dengan sepantasnya, adalah karena dia tidak memiliki pengenalan yang baik terhadap sesuatu tersebut. Banyak manusia yang saat bulan Ramadhan menghampirinya, saat dia berada di dalam bulan suci Ramadhan, dan saat dia akan meninggalkannya, maka perasaan, pikiran serta sikapnya tidak berbeda dengan bulan-bulan lainnya. Penyebab utama keadaan seperti itu, adalah karena dia tidak mengenal Ramadhan dengan sebaik-baik pengenalan.”
Beberapa hal yang penting dicermati kembali dalam Madrasah Ramadhan, untuk menambah pengenalan dan pengetahuan kita tentangnya, agar kita mampu mencerap energi positif dalam melakukan perubahan dan perbaikan, baik secara individual maupun komunal, antara lain:
Pertama, Ramadhan bulan Al-Quran. Keagungan dan kemuliaan Ramadhan, tidak terletak pada puasanya, melainkan karena di dalamnya diturunkan Al-Quran sebagai pedoman bagi umat manusia. Sekiranya manusia dan khususnya kaum Muslimin, konsisten menjadikan Quran sebagai sistem nilai serta jalan hidupnya, maka pastilah akan memberikan kebahagiaan dalam kehidupan individu dan masyarakatnya. Sebab, Al-Quran merupakan panduan sempurna untuk sepanjang zaman, yang berlaku secara universal.
Kedua, Rasulullah SAW manifestasi Al-Quran. Terkait Quran, tentu tidak dapat dipisahkan dengan Sang Pembawa kitab suci tersebut. Islam sebagai risalah terakhir di akhir zaman yang diturunkan Tuhan kepada Nabi-Nya yang mulia, tidak hanya sebatas konsepsi idealita yang sempurna, namun sekaligus menggambarkan realita sesungguhnya yang terungkap dalam diri Rasulullah SAW. Itu sebabnya, beliau menjadi teladan sempurna dari keseluruhan nilai dari kandungan Al-Quran. Surah Al-Ahzab 21 menyebutkan, “Sungguh, telah ada pada diri Rasulullah, suri teladan yang baik bagimu…” Tuhan juga berfirman, “Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan menjadi rahmat bagi seluruh alam.” (QS.Al-Anbiya:107)
Ketiga, Malam Lailatul Qadr. Malam ini digambarkan sebagai malam yang lebih mulia dari seribu bulan. Di dalamnya, terdapat banyak keagungan, keberkahan dan keutamaan. Direktur Rumi Institute, Muhammad Nur Jabir, menyebut Lailatul Qadr sebagai fenomena yang terjadi di dalam diri, di batin kita. Bukan fenomena pada realitas eksternal. Karenanya, mencari Lailatul Qadr bukan di luar diri, tapi di dalam diri, di alam malakut diri sendiri. Dengan begitu, bila ada orang yang mendapatkan anugerah Lailatul Qadr, berarti ia telah mendapatkan kadar eksistensi dirinya melalui ibadah-ibadah yang ia lakukan di bulan Ramadhan.
Keempat, Kedudukan Takwa. Tujuan utama pelaksanaan ibadah puasa di bulan suci Ramadhan, adalah meraih derajat takwa. Takwa adalah suatu kekuatan batin dan daya spiritual yang kokoh, yang terbit pada jiwa manusia dari pengamalan dan latihan yang berkesinambungan. Imam Ali bin Abi Thalib Kw berkata, “Takwa adalah pangkal akhlak.” Dan karenanya, ia tidak berjarak dengan realitas sosialnya. Itu sebabnya, Nabi SAW sebagai manifestasi manusia takwa, diutus ke bumi untuk menyempurnakan akhlak manusia.
Dari uraian di atas, maka Madrasah Ramadhan, sejatinya menawarkan optimisme serta harapan akan perubahan dan perbaikan. Jika saja setiap individu Muslim di negeri ini, memiliki pengenalan yang tepat terhadap posisi Madrasah Ramadhan dalam pembentukan diri, maka tentu akan melahirkan, manusia-manusia suci nan fitrawi, yang akan melakukan proses transformasi nilai-nilai, dalam rangka memperbaiki kondisi bangsa ini, yang notabene dihuni oleh mayoritas kaum Muslimin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Rezim Yang Ambigu dan Problem Lingkungan di Indonesia

Permasalahan lingkungan hidup, telah mendapat perhatian besar di hampir semua negara. Ini terutama terjadi sejak dasawarsa 1970-an setelah d...