Berbagai
persoalan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara telah mengiringi perjalanan
kita selama ini. Meski sebagian sudah dapat teratasi, namun masih menyisakan
sejumlah persoalan yang belum terselesaikan, kendatipun era reformasi telah
lewat dua puluh tahun. Salah satu ‘penyakit’ yang masih jadi momok dalam
penyelenggaraan pemerintahan, adalah perlakuan pejabat publik yang terkait
masalah korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan lainnya. Hal ini tentu sangat erat
kaitannya dengan minusnya pembentukan karakter (character building) dan budaya, sebagai sebuah bangsa.
Lantas, apa
sesungguhnya yang keliru di negeri ini? Boleh jadi benar, yang diujarkan oleh
budayawan Radhar Panca Dahana dalam karyanya “Kebudayaan dalam Politik - Kritik Pada Demokrasi” yang menyatakan
bahwa, begitu minornya posisi kebudayaan dalam semua jargon pembangunan modern
saat ini, telah membuat bangsa ini jatuh pada titik terdalam jurang rusaknya
karakter atau kepribadian. Standar atau acuan moral dan mental bangsa kita yang
selama ini membuat bangsa lain di dunia – selama lebih dari dua millennium –
menaruh respek bahkan menjadikannya contoh, kini justru berbalik menjadi rasa
malu, cemoohan atau bahan lelucon di kalangan masyarakat Internasional.
Pada sisi
lain, secara statistik, negeri kita merupakan Negara Muslim terbesar di dunia.
Idealnya, jumlah mayoritas tersebut, sejatinya memberikan dampak dan pengaruh
yang luas terhadap berbagai upaya perubahan serta perbaikan. Namun kenyataannya
tidak demikian. Pada bukunya, “Islam
dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan”, Prof.Dr.Ahmad Syafii
Maarif,MA mengatakan, sudah sejak lama kita merisaukan kesenjangan yang parah
antara jumlah mayoritas umat Islam Indonesia dan kualitas kehidupan mereka yang
tertinggal jauh di buritan pada hampir semua bidang.
Oleh sebab
itu, untuk melangkah ke depan, masalah kualitas ini harus mendapatkan perhatian
yang sungguh-sungguh dari para pemimpin
Islam Indonesia, agar kesenjangan itu secara berangsur dan sadar dapat
dipertautkan. Memang saja, penganut Islam kuantitatif telah bertahan sekian
lama hingga hari ini. Bertahun-tahun setelah Indonesia merdeka sampai era
reformasi saat ini, namun tidak banyak mengalami perubahan mendasar.
Pertanyaannya, apakah Islam tidak memiliki upaya-upaya transformatif dalam
sistem nilainya? Ataukah umat Islam sendiri yang berjarak dengan sistem
nilainya?
Terkait hal
tersebut, maka salah satu yang perlu dibaca ulang, adalah bagaimana pengaruh
Madrasah Ramadhan terhadap perubahan individual dan sosial masyarakat. Bagi
kaum Muslimin, Madrasah Ramadhan sejatinya, dijadikan sebagai momentum untuk
melakukan penempaan dan perbaikan diri. Sebab, di dalamnya, sarat dengan
berbagai unsur yang berdimensi spiritual dan ruhaniah, yang sangat dibutuhkan
oleh manusia.
Bila manusia
terpisah dengan dimensi ruhaniahnya, maka kemanusiaannya menjadi kemanusiaan
yang berpenyakit. Jean Jaques Rousseau pernah berujar, “Semakin banyak orang pandai, semakin sulit dicari orang jujur.” Ia
beranggapan, semua penyakit kemanusiaan timbul karena manusia hanya mempertajam
akalnya saja dan mengesampingkan panggilan hati nuraninya atau sisi ruhaninya.
Demikian kutipan dalam “Renungan-Renungan
Sufistik”-nya Dr.Jalaluddin Rakhmat.
Di dalam
Al-Quran dan banyak hadis, disebutkan bahwa Ramadhan adalah bulan yang agung
dan mulia di sisi Allah SWT. Meski begitu, dalam prakteknya, Ramadhan yang kita
jalani hanya terkesan semarak dalam aspek lahiriahnya. Tentu hal itu disebabkan
pemaknaan kita terhadap Ramadhan.
Karena itu,
Allamah Syaikh Asad Muhammad Qashir mengatakan, “Seringkali yang menyebabkan
orang tidak menghargai sesuatu dengan sepantasnya, adalah karena dia tidak
memiliki pengenalan yang baik terhadap sesuatu tersebut. Banyak manusia yang
saat bulan Ramadhan menghampirinya, saat dia berada di dalam bulan suci
Ramadhan, dan saat dia akan meninggalkannya, maka perasaan, pikiran serta
sikapnya tidak berbeda dengan bulan-bulan lainnya. Penyebab utama keadaan
seperti itu, adalah karena dia tidak mengenal Ramadhan dengan sebaik-baik
pengenalan.”
Beberapa hal
yang penting dicermati kembali dalam Madrasah Ramadhan, untuk menambah
pengenalan dan pengetahuan kita tentangnya, agar kita mampu mencerap energi
positif dalam melakukan perubahan dan perbaikan, baik secara individual maupun komunal,
antara lain:
Pertama, Ramadhan bulan Al-Quran. Keagungan dan
kemuliaan Ramadhan, tidak terletak pada puasanya, melainkan karena di dalamnya
diturunkan Al-Quran sebagai pedoman bagi umat manusia. Sekiranya manusia dan
khususnya kaum Muslimin, konsisten menjadikan Quran sebagai sistem nilai serta
jalan hidupnya, maka pastilah akan memberikan kebahagiaan dalam kehidupan
individu dan masyarakatnya. Sebab, Al-Quran merupakan panduan sempurna untuk
sepanjang zaman, yang berlaku secara universal.
Kedua, Rasulullah SAW manifestasi Al-Quran.
Terkait Quran, tentu tidak dapat dipisahkan dengan Sang Pembawa kitab suci
tersebut. Islam sebagai risalah terakhir di akhir zaman yang diturunkan Tuhan
kepada Nabi-Nya yang mulia, tidak hanya sebatas konsepsi idealita yang
sempurna, namun sekaligus menggambarkan realita sesungguhnya yang terungkap
dalam diri Rasulullah SAW. Itu sebabnya, beliau menjadi teladan sempurna dari
keseluruhan nilai dari kandungan Al-Quran. Surah Al-Ahzab 21 menyebutkan, “Sungguh, telah ada pada diri Rasulullah,
suri teladan yang baik bagimu…” Tuhan juga berfirman, “Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan menjadi rahmat
bagi seluruh alam.” (QS.Al-Anbiya:107)
Ketiga, Malam Lailatul Qadr. Malam ini
digambarkan sebagai malam yang lebih mulia dari seribu bulan. Di dalamnya,
terdapat banyak keagungan, keberkahan dan keutamaan. Direktur Rumi Institute,
Muhammad Nur Jabir, menyebut Lailatul Qadr sebagai fenomena yang terjadi di
dalam diri, di batin kita. Bukan fenomena pada realitas eksternal. Karenanya,
mencari Lailatul Qadr bukan di luar diri, tapi di dalam diri, di alam malakut
diri sendiri. Dengan begitu, bila ada orang yang mendapatkan anugerah Lailatul
Qadr, berarti ia telah mendapatkan kadar eksistensi dirinya melalui
ibadah-ibadah yang ia lakukan di bulan Ramadhan.
Keempat, Kedudukan Takwa. Tujuan utama
pelaksanaan ibadah puasa di bulan suci Ramadhan, adalah meraih derajat takwa.
Takwa adalah suatu kekuatan batin dan daya spiritual yang kokoh, yang terbit
pada jiwa manusia dari pengamalan dan latihan yang berkesinambungan. Imam Ali
bin Abi Thalib Kw berkata, “Takwa adalah
pangkal akhlak.” Dan karenanya, ia tidak berjarak dengan realitas
sosialnya. Itu sebabnya, Nabi SAW sebagai manifestasi manusia takwa, diutus ke
bumi untuk menyempurnakan akhlak manusia.
Dari uraian
di atas, maka Madrasah Ramadhan, sejatinya menawarkan optimisme serta harapan
akan perubahan dan perbaikan. Jika saja setiap individu Muslim di negeri ini,
memiliki pengenalan yang tepat terhadap posisi Madrasah Ramadhan dalam
pembentukan diri, maka tentu akan melahirkan, manusia-manusia suci nan fitrawi,
yang akan melakukan proses transformasi nilai-nilai, dalam rangka memperbaiki
kondisi bangsa ini, yang notabene dihuni oleh mayoritas kaum Muslimin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar