Mungkin
tak terlalu salah jika dikatakan
Bahwa
kepeloporan Mahasiswa Indonesia
Dalam
menuntut reformasi sekarang ini
Telah
mulai memasuki tahap munculnya gejala bandwagon effects.
Biarpun
dimetaforakan sebagai “beramai-ramai ikut rombongan”,
Gejala
itu tak selamanya kekurangan kesejatian.
(Prof.
Dr. Nurcholish Madjid)
Prawacana
Dunia
kemahasiswaan memang senantiasa menarik untuk dikaji dan diperbincangkan.
Lebih-lebih lagi bila ia dikaitkan dengan fungsi dan peranannya dengan berbagai
gelar-gelar heroik yang disandangnya. Secara lebih jelas, dapat dikatakan bahwa
peran mahasiswa sangat besar dalam menciptakan suatu perubahan, bahkan ia
terkadang ‘ditakuti’ karena kemampuannya memobilisir gerakan massa yang dahsyat
seperti yang telah dibuktikan sejarah. Realitas sejarah seperti aktivitas dan
peran revolusi 1945, bahkan pada masa transisi dari orde lama ke orde baru
tahun 1966, tidak memungkinkan penguasa mengabaikan mereka. Terlebih potensi
mereka pada masa depan baik dinamika, penguasaan sains dan teknologi, maupun
watak yang lebih terbuka akan perubahan tersebut.
Gerakan
mahasiswa tampaknya memang sudah menjadi tuntutan zaman. Ia timbul-tenggelam
dalam pergolakan bangsa-bangsa yang ingin menata kehidupan demokrasinya secara
lebih beradab antara lain dengan mengikutsertakan suara-suara kaum mudanya.
Bukankah fenomena gejolak mahasiswa di tanah air yang eskalasinya sangat luas
ini, mengingatkan kita kembali pada sinyalemen seorang pengamat gerakan
mahasiswa, Philip G. Albach,
bahwa aktivitas kemahasiswaan di Dunia Ketiga tetap merupakan suatu faktor
penting.
Pentingnya
peran mahasiswa ini layak digaris-bawahi kembali, bersamaan saat kita
menyaksikan gemuruh gerakan mahasiswa yang berakhir dengan runtuhnya kekuasaan
32 tahun rezim ‘dari pada’ Soeharto pada 21 Mei 1998 silam. Tiba-tiba saja
segala nilai berbalik cepat. Mahasiswa seakan menemukan identitasnya. Keyakinan
lama yang sudah terlanjur terpateri mengenai lumpuhnya kesadaran politik
mahasiswa negeri ini akibat Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi
Kemahasiswaan (NKK/BKK) tahun 1978 – sebagai warisan Daoed Joesoef yang tidak
disukai mahasiswa itu – ternyata langsung ambruk berantakan.
Kalau
kita melihat sejenak peran gerakan mahasiswa dalam konteks semangat zamannya,
maka kita bisa menengok kembali pada kurun waktu yang amat menentukan dalam
sejarah bangsa kita. Munculnya angkatan 08, angkatan 28 hingga angkatan 98 di
pentas politik, baik yang berhasil maupun kurang berhasil ataupun yang gagal
total, kiranya senantiasa dilandasi semangat untuk melakukan kritik terhadap “status
quo” dan mengharapkan kehidupan baru
yang lebih baik dan dengan impian harapan yang lebih baru pula.
Mahasiswa,
Peran dan Perubahan Paradigma
Mahasiswa
adalah sebuah struktur unik dalam tatanan kemasyarakatan politik maupun budaya.
Unik, karena mahasiswa adalah masyarakat itu sendiri yang hanya dibedakan oleh
sebuah kurun waktu yang lamanya kurang lebih 4 atau 5 tahun (masa dimana sebuah
komponen anggota masyarakat menjadi mahasiswa). Unik, karena kebebasan
berpikir, berpendapat, dan membentuk perbedaan tidak akan pernah dirasakan oleh
siapa pun juga, yang tidak menyandang status itu, apalagi di sebuah negara yang
senang membuat skenario dimana kekuasaan adalah sutradaranya.
Newfield
menyebutnya sebagai a prophetic minority, yakni kelompok minoritas dalam
masyarakat bangsa yang masih muda, tetapi mereka memainkan peran propetik.
Peran mereka bagaikan Nabi dan bukan Kyai atau Pendeta yang terjebak rutinitas.
Mereka adalah “Nabi” secara kolektif yang mencela kebobrokan dan membela
kebenaran (Dawam Rahardjo, 1993).
Diskursus
tentang peran mahasiswa dalam dinamika perpolitikan suatu bangsa memang tidak
pernah basi. Ia selalu menarik diperdebatkan, bukan semata-mata karena
konstruksi politik tentang sejarah yang diperankannya terus menerus mangalami
metamorfosa ke dalam narasi besar (grand narative), bahkan mewujud dalam
bentuk mitos, sebagaimana wacana yang direproduksi orde baru dengan menempatkan
keberhasilan generasi ’66 secara simbolik dalam rangka memberikan perimbangan
dan legitimasi kekuasaan. Akan tetapi, lebih signifikan dari itu semua adalah
perlawanan mahasiswa yang hampir dipastikan terjadi disetiap zamannya itu
memiliki bobot, derajat dan karakter yang berbeda-beda.
Mengapa
suara-suara mahasiswa hampir dalam setiap episode sejarah pergolakan tatanan
politik masyarakat kita senantiasa memperoleh tempat ‘istimewa’ di hati
masyarakat? Padahal, pelaku sejarah itu banyak, tidak hanya mahasiswa.
Bagaimanapun, dalam keadaan sistem politik yang sudah terlalu lama dinilai
tertutup dan lembaga-lembaga formal terkooptasi atau bahkan berkoalisi dengan status
quo, mahasiswa biasanya tampil untuk menata puing-puing impian masyarakat
yang terpinggirkan dalam ruang publik.
Di
sinilah romantisme kemahasiswaan itu menjadi signifikan, sehingga tidak sedikit
mahasiswa yang menghabiskan “usia produktif”-nya karena harus diculik, diteror,
diintimidasi atau keluar masuk penjara, demi kepentingan orang lain yang belum
tentu peduli dengannya. Orang lain itu, mungkin petani, buruh, tukang becak
atau rakyat kecil yang terpinggirkan atau bisa juga politisi pragmatis yang tak
punya hati.
Ideologi
“kepedulian” yang tanpa pamrih inilah yang membuat keterlibatan mahasiswa tak
bisa dihapuskan begitu saja dalam sejarah. Bahkan gerakan budaya tanding
anak-anak muda di negara-negara maju pada ujung 1960-an, sebagian menunjukkan
bukti historis bagaimana golongan muda ini ingin keluar dari alienasi dalam
ruang publik.
Kepedulian
dan keprihatinan mahasiswa boleh jadi tercipta karena dilandasi oleh asumsi dan
keyakinan bahwa sebuah gerakan mustahil dapat mewujudkan perubahan tanpa
melibatkan dukungan rakyat kebanyakan, sebagaimana berlangsung di Filipina,
Korea Selatan, dan negara-negara lainnya, maka untuk mendorong perubahan perlu
kerjasama dengan massa rakyat.
Dengan
demikian, gerakan tidak lagi memitoskan diri sebagai satu-satunya oposisi
efektif dan mampu melakukan perubahan dengan sendirian, namun justru koalisi
dengan rakyat kebanyakan menjadi pilihan
utama. Paling tidak, hal itu mulai terlihat pada dekade akhir 1980-an dan di
awal 1990-an yang ditandai oleh model-model gerakan yang populis, dengan
mengangkat isu-isu di lintasan struktur marginal. Misalnya saja, merujuk studi Edward Aspinall, Student Dissent in
Indonesia in 1980-s (1993) ditunjukkan bahwa tidak kurang 155 demonstrasi
mahasiswa terjadi selama periode 1987 – 1990.
Berkenaan
dengan perubahan yang akan dilakukan, dalam teori-teori ilmu sosial disebutkan
beberapa sebab-musabab terjadinya perubahan sosial.
Pertama, ada yang berpendapat bahwa masyarakat berubah karena ideas ;
pandangan hidup, pandangan dunia dan nilai-nlai. Max Weber adalah salah satu penganut pendapat tersebut. Dalam The
Sosiologi of Religion dan The
Protestant Ethic and The Spirit of Capitalism, ia banyak menekankan
betapa berpengaruhnya ide terhadap suatu masyarakat.
Kedua, yang mempengaruhi terjadinya perubahan dalam sejarah sebenarnya
adalah great individuals (tokoh-tokoh besar) yang sering pula di sebut heroes
(para pahlawan). Thomas Carlyle
(1795 – 1881) menulis buku yang berjudul On Heroes, Hero Worship, and the
Heroic in History (Para Pahlawan, Pemujaan-Pahlawan, dan Kepahlawanan dalam
Sejarah). Ia pernah menyatakan, “Sejarah dunia adalah biografi orang-orang
besar …….” Oleh sebab itu, menurut pemikir semacam Carlyle, perubahan terjadi
karena munculnya seorang tokoh yang dapat menarik simpati para pengikutnya yang
setia.
Ketiga, perubahan bisa terjadi karena munculnya social movement (gerakan
sosial). Dr. Jalaluddin Rakhmat, MSc
pernah mengatakan bahwa, “Perubahan sosial itu sendiri dapat terjadi
walaupun hanya sebagian kecil dari masyarakat yang menghendakinya, asal mereka
memiliki komitmen dan altruisme atau semangat syahadah yang tinggi.”
Berkaitan
dengan perubahan yang sedang berlangsung, lantas bagaimana dengan paradigma dan
peranan mahasiswa di masa depan? Adalah tuntutan sejarah – sekaligus keharusan
sejarah – jika mahasiswa harus memperbaharui orientasi dan motivasi
perjuangannya. Perubahan ini selain merupakan fitrah dialektika pembaharuan itu
sendiri, disamping pula karena masalah kehidupan yang dihadapinya juga semakin
massif dan mondial. Sayyidina Ali bin
Abi Thalib k.w. mengatakan, “Cukuplah sebagai tanda kearifan
seseorang, yaitu pengetahuannya tentang (tanda-tanda) zamannya.” Dengan
memahami tanda-tanda zaman kita tidak mudah terpedaya oleh berbagai peristiwa,
kita dapat memberikan makna, dan yang lebih penting supaya dapat memberikan
reaksi yang tepat dalam kurun waktu yang tepat.
Karenanya,
strategi yang paling tepat untuk menyongsong masa depan adalah mengambil
pelajaran dari masa lalu dan memahami tanda-tanda zaman ini. John Naisbitt dan Patricia Aburdeen menamai tanda-tanda
zaman ini dengan megatrends (aliran-aliran besar). Dan sejarah
mengajarkan bahwa manusia-manusia besar adalah mereka yang mampu menjawab
tantangan zamannya dengan tepat.
Dengan
memperhatikan hal tersebut, maka model-model penguatan mahasiswa selama ini
yang tidak jarang hanya mampu memproduksi gerakan-gerakan sporadis, sudah
semestinya bergeser kearah bentuk pemahaman dan pemikiran yang sifatnya
ideologis agar dapat menjadi basis yang kuat dalam menjalankan peran dan fungsi
sebagai mahasiswa di masa yang akan datang.
Agar
dapat berpikir ideologis, Ali Syari’ati
mengusulkan tiga tahapan yang harus dilalui. Pertama, adalah
tahap ketika orang mengerti dan menerima kenyataan alam, eksistensi dan
manusia. Pada tahap kedua, suatu cara tertentu telah dipakai untuk
memahami dan menilai semua hal dan gagasan yang membentuk lingkungan mental dan
sosial. Pada tahap ketiga, harus muncul usulan, metode, pendekatan dan
cita-cita yang dapat dipakai untuk mengubah status quo. Pada tahap
ketiga itulah ideologi harus menunaikan misinya dengan mempersenjatai
pendukungnya dengan usulan, tujuan dan cita-cita serta rencana-rencana praktis.
Ideologi menuntut kaum intelektual untuk merasa terpanggil. Tapi ideologi akan
selalu dimulai dengan tahap kritik, yakni kritik terhadap status quo
yang tercermin dalam berbagai aspek kondisi masyarakat – kultural, ekonomi,
politik dan moral.
Kecuali
bila kita menjadikan kampus sebagai istana emas berbenteng beton yang
seolah-olah terpisah dan terisolir dari masyarakat umum. Lebih-lebih lagi
ketika kepentingan masyarakat tidak terwakili bahkan tak tersuarakan sama
sekali, sementara kampus dengan masyarakat ilmiahnya tidak lagi menjadi elemen
stimulan dan katalisator bagi kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Fenomena
ini yang disebut Julien Benda
sebagai ‘Pengkhianatan Kaum Intelektual’. Bahwasanya kaum intelektual telah
berkhianat terhadap tanggung jawab moralnya dengan mengabdikan diri pada
kepentingan-kepentingan khusus demi status quo kelas-kelas tertentu di
dalam masyarakat.
Mahasiswa
Planologi antara Peran dan Profesionalitas
Berkaitan
dengan pembahasan sebelumnya, maka Mahasiswa Planologi (Perencanaan Wilayah dan
Kota) pun, sebagai bagian dari komunitas mahasiswa secara keseluruhan perlu
menata dirinya dalam memasuki abad 21 ini. Karena selama ini, fenomena di tengah-tengah
Mahasiswa Perencanaan, menunjukkan berkembangnya pemikiran yang dikotomis
antara perannya sebagai mahasiswa di satu sisi dan tuntutan profesionalitas di
bidang ilmu pengetahuan yang digelutinya di sisi lain.
Padahal
jika ditelusuri lebih dalam, keduanya tidak saling menafikan. Pada konteks
inilah seorang mahasiswa – apapun bidang studi yang dipilih – harus memahami
betul akan ‘dirinya’, yaitu menyangkut pengetahuan tentang visi, misi,
orientasi perjuangan dan identitasnya, di mana pada gilirannya akan
mengantarkan dia sampai pada proses implementasi peran dan fungsinya di
tengah-tengah masyarakat. Dengan begitu, dia akan mampu menjaga dan memelihara
komitmen idealisme yang dimilikinya serta tidak mudah terjebak oleh sikap
mayoritas mahasiswa yang terjangkit penyakit hedonisme, pragmatisme dan
konsumerisme.
Penjara
besar orde baru melalui sistem pendidikannya yang mengkerangkeng kesadaran
mahasiswa, ternyata berhasil juga mengalienasi Mahasiswa Planologi. Di tengah
kenyataan seperti itu, tindakan yang dilakukan mahasiswa dihadapkan pada dua
pilihan dilematis. Pertama, mahasiswa akan mengundurkan diri ke “dunia
dalam” (inner world), yang bersifat subjektif dan sangat pribadi. Mereka
cenderung memalingkan diri dari dunia luar (pragmatism) kepada sumber
daya pribadi, dengan memberikan penilaian sangat subjektif atas semua peristiwa
di sekelilingnya, sehingga semangat idealisme berada dibawah bayang-bayang
pragmatisme.
Inheren
dengan merosotnya peran ideal yang dimilikinya, penguasa dan birokrasi kampus
telah membentuk penampilan mahasiswa lebih menjaga jarak dengan aktivitas
politik dan bertindak pasif. Kepasifan manusia seperti ini, sebagaimana
dijelaskan Erich Fromm (1996)
merupakan salah satu simpton dari seluruh sindrom yang sering disebut “sindrom
keterasingan”. Menjadi pasif artinya, dia tidak menghubungkan dirinya dengan
dunia secara aktif dan dipaksa untuk tunduk kepada berhala-berhala yang pada
akhirnya menyebabkan dunia kemahasiswaan akan mengalami kemerosotan sebagaimana
diungkapkan Daniel Levy.
Kedua, mahasiswa keluar dari “dunia dalam” dan memberontak terhadap
setiap manifestasi sosial-politik. Aktualisasi ini dilakukan lewat
kelompok-kelompok studi sampai pada gerakan mahasiswa radikal. Kesadaran
mahasiswa berpijak dari keberadaannya di perguruan tinggi atau dengan
bacaan-bacaan dari berbagai literatur, sehingga mereka dapat melakukan tindakan
analisis terhadap kondisi lingkungan kemasyarakatan terutama dikaitkan dengan
nilai-nilai idealistik yang telah mereka dapatkan.
Kondisi
realitas Mahasiswa Planologi dewasa ini, masih menyisakan mayoritas mahasiswa
yang tenggelam dibawah bayang-bayang jargon “Planologi sebagai Primadona”
sehingga lupa melakukan introspeksi terhadap posisi dan perannya selama ini.
Dan mahasiswa-mahasiswa seperti itulah nantinya, jika gelar kesarjanaan sudah
diraih, tidak jarang dari mereka akan melacurkan profesinya dengan mudah.
Karena itu, tampaknya diskursus perubahan terhadap paradigma dan pemikiran di
kalangan Mahasiswa Planologi menjadi signifikan bila kita sepakat ingin mengisi
peran-peran strategis secara profesional di masa depan.
Penutup
Menyadari
akan peran besar pemuda pada masa lalu dan potensi besar mahasiswa untuk
memiliki masa depan, maka pengembangan kelompok komunitas intelektual muda ini
tetap merupakan salah satu program dari sistem politik yang pernah tumbuh di
Indonesia. Meskipun sorotan tajam memang sering ditujukan kepada mahasiswa,
namun tetap diakui bahwa mahasiswa selalu tampil di pentas politik dan
mengambil peran penting dalam berbagai peristiwa besar di negeri ini. Mereka
memiliki moral force dan kewibawaan intelektual yang merupakan kekuatan
besar. Peran ini bahkan “nyaris legendaris”, sehingga ketika karena sesuatu
sebab peran itu tak dapat diwarisinya, mahasiswa merasa memiliki beban moral
atas harapan dan tuntutan masyarakat.
Gerakan
moral mahasiswa yang semula bersifat sporadis dan kurang diperhitungkan,
akhirnya membesar dan berdampak amat luas. Sejarah pun akan mencatat ternyata
anak-anak muda bangsa ini – langsung atau tidak – telah menunjukkan perannya
yang krusial dalam konteks sejarah bangsanya. Mereka pun berhasil menggulung
kekuasaan yang dinilai telah begitu lama beroperasi tanpa kritik, bahkan
mahasiswa telah menjelma menjadi ‘kritik’ itu sendiri, karena mereka masih punya
mata hati. Dengan cinta mereka menghadapi anarki dari sebuah struktur kekuasaan
despotik, meskipun tak jarang taruhannya nyawa.
Dalam
konteks kekinian, tampaknya Indonesia sedang mengalami perubahan menuju suatu
kehidupan yang lebih baik. Gerakan perubahan ini perlu mendapat perhatian dari
para mahasiswa, sebab kalau tidak, maka kita hanya akan melihat kilasan-kilasan
gambar Indonesia yang sepotong-sepotong saja.
Oleh
sebab itu, upaya mahasiswa merekonstruksi pemikiran serta berbagai paradigma
dalam dunia kemahasiswaan sesuai dengan tuntutan zaman menjadi hal yang sangat
mendasar. Karena hanya dengan langkah seperti itu, mahasiswa mampu tampil
memainkan peran-peran strategis pada setiap zamannya. Mengakhiri tulisan ini
saya ingin mengutip ucapan Mirabeau,
salah satu arsitek Revolusi Prancis yang mengatakan, “Ada orang-orang yang
tidak pernah mengubah pikirannya. Itulah orang-orang yang tidak pernah berpikir
sama sekali.” Wallahu a’lam bisshawwab.
Makassar-Bandung, Maret 2000
Tidak ada komentar:
Posting Komentar