Jumat, 11 Januari 2019

Fenomena Dunia Kemahasiswaan (Sebuah Tinjauan Terhadap Peran Mahasiswa)


Mungkin tak terlalu salah jika dikatakan
Bahwa kepeloporan Mahasiswa Indonesia
Dalam menuntut reformasi sekarang ini
Telah mulai memasuki tahap munculnya gejala bandwagon effects.
Biarpun dimetaforakan sebagai “beramai-ramai ikut rombongan”,
Gejala itu tak selamanya kekurangan kesejatian.
(Prof. Dr. Nurcholish Madjid)

Prawacana
Dunia kemahasiswaan memang senantiasa menarik untuk dikaji dan diperbincangkan. Lebih-lebih lagi bila ia dikaitkan dengan fungsi dan peranannya dengan berbagai gelar-gelar heroik yang disandangnya. Secara lebih jelas, dapat dikatakan bahwa peran mahasiswa sangat besar dalam menciptakan suatu perubahan, bahkan ia terkadang ‘ditakuti’ karena kemampuannya memobilisir gerakan massa yang dahsyat seperti yang telah dibuktikan sejarah. Realitas sejarah seperti aktivitas dan peran revolusi 1945, bahkan pada masa transisi dari orde lama ke orde baru tahun 1966, tidak memungkinkan penguasa mengabaikan mereka. Terlebih potensi mereka pada masa depan baik dinamika, penguasaan sains dan teknologi, maupun watak yang lebih terbuka akan perubahan tersebut.
Gerakan mahasiswa tampaknya memang sudah menjadi tuntutan zaman. Ia timbul-tenggelam dalam pergolakan bangsa-bangsa yang ingin menata kehidupan demokrasinya secara lebih beradab antara lain dengan mengikutsertakan suara-suara kaum mudanya. Bukankah fenomena gejolak mahasiswa di tanah air yang eskalasinya sangat luas ini, mengingatkan kita kembali pada sinyalemen seorang pengamat gerakan mahasiswa, Philip G. Albach, bahwa aktivitas kemahasiswaan di Dunia Ketiga tetap merupakan suatu faktor penting.
Pentingnya peran mahasiswa ini layak digaris-bawahi kembali, bersamaan saat kita menyaksikan gemuruh gerakan mahasiswa yang berakhir dengan runtuhnya kekuasaan 32 tahun rezim ‘dari pada’ Soeharto pada 21 Mei 1998 silam. Tiba-tiba saja segala nilai berbalik cepat. Mahasiswa seakan menemukan identitasnya. Keyakinan lama yang sudah terlanjur terpateri mengenai lumpuhnya kesadaran politik mahasiswa negeri ini akibat Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK) tahun 1978 – sebagai warisan Daoed Joesoef yang tidak disukai mahasiswa itu – ternyata langsung ambruk berantakan.
Kalau kita melihat sejenak peran gerakan mahasiswa dalam konteks semangat zamannya, maka kita bisa menengok kembali pada kurun waktu yang amat menentukan dalam sejarah bangsa kita. Munculnya angkatan 08, angkatan 28 hingga angkatan 98 di pentas politik, baik yang berhasil maupun kurang berhasil ataupun yang gagal total, kiranya senantiasa dilandasi semangat untuk melakukan kritik terhadap “status quo”  dan mengharapkan kehidupan baru yang lebih baik dan dengan impian harapan yang lebih baru pula.
Mahasiswa, Peran dan Perubahan Paradigma
Mahasiswa adalah sebuah struktur unik dalam tatanan kemasyarakatan politik maupun budaya. Unik, karena mahasiswa adalah masyarakat itu sendiri yang hanya dibedakan oleh sebuah kurun waktu yang lamanya kurang lebih 4 atau 5 tahun (masa dimana sebuah komponen anggota masyarakat menjadi mahasiswa). Unik, karena kebebasan berpikir, berpendapat, dan membentuk perbedaan tidak akan pernah dirasakan oleh siapa pun juga, yang tidak menyandang status itu, apalagi di sebuah negara yang senang membuat skenario dimana kekuasaan adalah sutradaranya.
Newfield menyebutnya sebagai a prophetic minority, yakni kelompok minoritas dalam masyarakat bangsa yang masih muda, tetapi mereka memainkan peran propetik. Peran mereka bagaikan Nabi dan bukan Kyai atau Pendeta yang terjebak rutinitas. Mereka adalah “Nabi” secara kolektif yang mencela kebobrokan dan membela kebenaran (Dawam Rahardjo, 1993).
Diskursus tentang peran mahasiswa dalam dinamika perpolitikan suatu bangsa memang tidak pernah basi. Ia selalu menarik diperdebatkan, bukan semata-mata karena konstruksi politik tentang sejarah yang diperankannya terus menerus mangalami metamorfosa ke dalam narasi besar (grand narative), bahkan mewujud dalam bentuk mitos, sebagaimana wacana yang direproduksi orde baru dengan menempatkan keberhasilan generasi ’66 secara simbolik dalam rangka memberikan perimbangan dan legitimasi kekuasaan. Akan tetapi, lebih signifikan dari itu semua adalah perlawanan mahasiswa yang hampir dipastikan terjadi disetiap zamannya itu memiliki bobot, derajat dan karakter yang berbeda-beda.
Mengapa suara-suara mahasiswa hampir dalam setiap episode sejarah pergolakan tatanan politik masyarakat kita senantiasa memperoleh tempat ‘istimewa’ di hati masyarakat? Padahal, pelaku sejarah itu banyak, tidak hanya mahasiswa. Bagaimanapun, dalam keadaan sistem politik yang sudah terlalu lama dinilai tertutup dan lembaga-lembaga formal terkooptasi atau bahkan berkoalisi dengan status quo, mahasiswa biasanya tampil untuk menata puing-puing impian masyarakat yang terpinggirkan dalam ruang publik.
Di sinilah romantisme kemahasiswaan itu menjadi signifikan, sehingga tidak sedikit mahasiswa yang menghabiskan “usia produktif”-nya karena harus diculik, diteror, diintimidasi atau keluar masuk penjara, demi kepentingan orang lain yang belum tentu peduli dengannya. Orang lain itu, mungkin petani, buruh, tukang becak atau rakyat kecil yang terpinggirkan atau bisa juga politisi pragmatis yang tak punya hati.
Ideologi “kepedulian” yang tanpa pamrih inilah yang membuat keterlibatan mahasiswa tak bisa dihapuskan begitu saja dalam sejarah. Bahkan gerakan budaya tanding anak-anak muda di negara-negara maju pada ujung 1960-an, sebagian menunjukkan bukti historis bagaimana golongan muda ini ingin keluar dari alienasi dalam ruang publik.
Kepedulian dan keprihatinan mahasiswa boleh jadi tercipta karena dilandasi oleh asumsi dan keyakinan bahwa sebuah gerakan mustahil dapat mewujudkan perubahan tanpa melibatkan dukungan rakyat kebanyakan, sebagaimana berlangsung di Filipina, Korea Selatan, dan negara-negara lainnya, maka untuk mendorong perubahan perlu kerjasama dengan massa rakyat.
Dengan demikian, gerakan tidak lagi memitoskan diri sebagai satu-satunya oposisi efektif dan mampu melakukan perubahan dengan sendirian, namun justru koalisi dengan  rakyat kebanyakan menjadi pilihan utama. Paling tidak, hal itu mulai terlihat pada dekade akhir 1980-an dan di awal 1990-an yang ditandai oleh model-model gerakan yang populis, dengan mengangkat isu-isu di lintasan struktur marginal. Misalnya saja, merujuk studi Edward Aspinall, Student Dissent in Indonesia in 1980-s (1993) ditunjukkan bahwa tidak kurang 155 demonstrasi mahasiswa terjadi selama periode 1987 – 1990.
Berkenaan dengan perubahan yang akan dilakukan, dalam teori-teori ilmu sosial disebutkan beberapa sebab-musabab terjadinya perubahan sosial.
Pertama, ada yang berpendapat bahwa masyarakat berubah karena ideas ; pandangan hidup, pandangan dunia dan nilai-nlai. Max Weber adalah salah satu penganut pendapat tersebut. Dalam The Sosiologi of Religion dan The Protestant Ethic and The Spirit of Capitalism, ia banyak menekankan betapa berpengaruhnya ide terhadap suatu masyarakat.
Kedua, yang mempengaruhi terjadinya perubahan dalam sejarah sebenarnya adalah great individuals (tokoh-tokoh besar) yang sering pula di sebut heroes (para pahlawan). Thomas Carlyle (1795 – 1881) menulis buku yang berjudul On Heroes, Hero Worship, and the Heroic in History (Para Pahlawan, Pemujaan-Pahlawan, dan Kepahlawanan dalam Sejarah). Ia pernah menyatakan, “Sejarah dunia adalah biografi orang-orang besar …….” Oleh sebab itu, menurut pemikir semacam Carlyle, perubahan terjadi karena munculnya seorang tokoh yang dapat menarik simpati para pengikutnya yang setia.
Ketiga, perubahan bisa terjadi karena munculnya social movement (gerakan sosial). Dr. Jalaluddin Rakhmat, MSc pernah mengatakan bahwa, “Perubahan sosial itu sendiri dapat terjadi walaupun hanya sebagian kecil dari masyarakat yang menghendakinya, asal mereka memiliki komitmen dan altruisme atau semangat syahadah yang tinggi.”
Berkaitan dengan perubahan yang sedang berlangsung, lantas bagaimana dengan paradigma dan peranan mahasiswa di masa depan? Adalah tuntutan sejarah – sekaligus keharusan sejarah – jika mahasiswa harus memperbaharui orientasi dan motivasi perjuangannya. Perubahan ini selain merupakan fitrah dialektika pembaharuan itu sendiri, disamping pula karena masalah kehidupan yang dihadapinya juga semakin massif dan mondial. Sayyidina Ali bin Abi Thalib k.w. mengatakan, “Cukuplah sebagai tanda kearifan seseorang, yaitu pengetahuannya tentang (tanda-tanda) zamannya.” Dengan memahami tanda-tanda zaman kita tidak mudah terpedaya oleh berbagai peristiwa, kita dapat memberikan makna, dan yang lebih penting supaya dapat memberikan reaksi yang tepat dalam kurun waktu yang tepat.
Karenanya, strategi yang paling tepat untuk menyongsong masa depan adalah mengambil pelajaran dari masa lalu dan memahami tanda-tanda zaman ini. John Naisbitt dan Patricia Aburdeen menamai tanda-tanda zaman ini dengan megatrends (aliran-aliran besar). Dan sejarah mengajarkan bahwa manusia-manusia besar adalah mereka yang mampu menjawab tantangan zamannya dengan tepat.
Dengan memperhatikan hal tersebut, maka model-model penguatan mahasiswa selama ini yang tidak jarang hanya mampu memproduksi gerakan-gerakan sporadis, sudah semestinya bergeser kearah bentuk pemahaman dan pemikiran yang sifatnya ideologis agar dapat menjadi basis yang kuat dalam menjalankan peran dan fungsi sebagai mahasiswa di masa yang akan datang.
Agar dapat berpikir ideologis, Ali Syari’ati mengusulkan tiga tahapan yang harus dilalui. Pertama, adalah tahap ketika orang mengerti dan menerima kenyataan alam, eksistensi dan manusia. Pada tahap kedua, suatu cara tertentu telah dipakai untuk memahami dan menilai semua hal dan gagasan yang membentuk lingkungan mental dan sosial. Pada tahap ketiga, harus muncul usulan, metode, pendekatan dan cita-cita yang dapat dipakai untuk mengubah status quo. Pada tahap ketiga itulah ideologi harus menunaikan misinya dengan mempersenjatai pendukungnya dengan usulan, tujuan dan cita-cita serta rencana-rencana praktis. Ideologi menuntut kaum intelektual untuk merasa terpanggil. Tapi ideologi akan selalu dimulai dengan tahap kritik, yakni kritik terhadap status quo yang tercermin dalam berbagai aspek kondisi masyarakat – kultural, ekonomi, politik dan moral.
Kecuali bila kita menjadikan kampus sebagai istana emas berbenteng beton yang seolah-olah terpisah dan terisolir dari masyarakat umum. Lebih-lebih lagi ketika kepentingan masyarakat tidak terwakili bahkan tak tersuarakan sama sekali, sementara kampus dengan masyarakat ilmiahnya tidak lagi menjadi elemen stimulan dan katalisator bagi kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Fenomena ini yang disebut Julien Benda sebagai ‘Pengkhianatan Kaum Intelektual’. Bahwasanya kaum intelektual telah berkhianat terhadap tanggung jawab moralnya dengan mengabdikan diri pada kepentingan-kepentingan khusus demi status quo kelas-kelas tertentu di dalam masyarakat.
Mahasiswa Planologi antara Peran dan Profesionalitas
Berkaitan dengan pembahasan sebelumnya, maka Mahasiswa Planologi (Perencanaan Wilayah dan Kota) pun, sebagai bagian dari komunitas mahasiswa secara keseluruhan perlu menata dirinya dalam memasuki abad 21 ini. Karena selama ini, fenomena di tengah-tengah Mahasiswa Perencanaan, menunjukkan berkembangnya pemikiran yang dikotomis antara perannya sebagai mahasiswa di satu sisi dan tuntutan profesionalitas di bidang ilmu pengetahuan yang digelutinya di sisi lain.
Padahal jika ditelusuri lebih dalam, keduanya tidak saling menafikan. Pada konteks inilah seorang mahasiswa – apapun bidang studi yang dipilih – harus memahami betul akan ‘dirinya’, yaitu menyangkut pengetahuan tentang visi, misi, orientasi perjuangan dan identitasnya, di mana pada gilirannya akan mengantarkan dia sampai pada proses implementasi peran dan fungsinya di tengah-tengah masyarakat. Dengan begitu, dia akan mampu menjaga dan memelihara komitmen idealisme yang dimilikinya serta tidak mudah terjebak oleh sikap mayoritas mahasiswa yang terjangkit penyakit hedonisme, pragmatisme dan konsumerisme.
Penjara besar orde baru melalui sistem pendidikannya yang mengkerangkeng kesadaran mahasiswa, ternyata berhasil juga mengalienasi Mahasiswa Planologi. Di tengah kenyataan seperti itu, tindakan yang dilakukan mahasiswa dihadapkan pada dua pilihan dilematis. Pertama, mahasiswa akan mengundurkan diri ke “dunia dalam” (inner world), yang bersifat subjektif dan sangat pribadi. Mereka cenderung memalingkan diri dari dunia luar (pragmatism) kepada sumber daya pribadi, dengan memberikan penilaian sangat subjektif atas semua peristiwa di sekelilingnya, sehingga semangat idealisme berada dibawah bayang-bayang pragmatisme.
Inheren dengan merosotnya peran ideal yang dimilikinya, penguasa dan birokrasi kampus telah membentuk penampilan mahasiswa lebih menjaga jarak dengan aktivitas politik dan bertindak pasif. Kepasifan manusia seperti ini, sebagaimana dijelaskan Erich Fromm (1996) merupakan salah satu simpton dari seluruh sindrom yang sering disebut “sindrom keterasingan”. Menjadi pasif artinya, dia tidak menghubungkan dirinya dengan dunia secara aktif dan dipaksa untuk tunduk kepada berhala-berhala yang pada akhirnya menyebabkan dunia kemahasiswaan akan mengalami kemerosotan sebagaimana diungkapkan Daniel Levy.
Kedua, mahasiswa keluar dari “dunia dalam” dan memberontak terhadap setiap manifestasi sosial-politik. Aktualisasi ini dilakukan lewat kelompok-kelompok studi sampai pada gerakan mahasiswa radikal. Kesadaran mahasiswa berpijak dari keberadaannya di perguruan tinggi atau dengan bacaan-bacaan dari berbagai literatur, sehingga mereka dapat melakukan tindakan analisis terhadap kondisi lingkungan kemasyarakatan terutama dikaitkan dengan nilai-nilai idealistik yang telah mereka dapatkan.
Kondisi realitas Mahasiswa Planologi dewasa ini, masih menyisakan mayoritas mahasiswa yang tenggelam dibawah bayang-bayang jargon “Planologi sebagai Primadona” sehingga lupa melakukan introspeksi terhadap posisi dan perannya selama ini. Dan mahasiswa-mahasiswa seperti itulah nantinya, jika gelar kesarjanaan sudah diraih, tidak jarang dari mereka akan melacurkan profesinya dengan mudah. Karena itu, tampaknya diskursus perubahan terhadap paradigma dan pemikiran di kalangan Mahasiswa Planologi menjadi signifikan bila kita sepakat ingin mengisi peran-peran strategis secara profesional di masa depan.
Penutup
Menyadari akan peran besar pemuda pada masa lalu dan potensi besar mahasiswa untuk memiliki masa depan, maka pengembangan kelompok komunitas intelektual muda ini tetap merupakan salah satu program dari sistem politik yang pernah tumbuh di Indonesia. Meskipun sorotan tajam memang sering ditujukan kepada mahasiswa, namun tetap diakui bahwa mahasiswa selalu tampil di pentas politik dan mengambil peran penting dalam berbagai peristiwa besar di negeri ini. Mereka memiliki moral force dan kewibawaan intelektual yang merupakan kekuatan besar. Peran ini bahkan “nyaris legendaris”, sehingga ketika karena sesuatu sebab peran itu tak dapat diwarisinya, mahasiswa merasa memiliki beban moral atas harapan dan tuntutan masyarakat.
Gerakan moral mahasiswa yang semula bersifat sporadis dan kurang diperhitungkan, akhirnya membesar dan berdampak amat luas. Sejarah pun akan mencatat ternyata anak-anak muda bangsa ini – langsung atau tidak – telah menunjukkan perannya yang krusial dalam konteks sejarah bangsanya. Mereka pun berhasil menggulung kekuasaan yang dinilai telah begitu lama beroperasi tanpa kritik, bahkan mahasiswa telah menjelma menjadi ‘kritik’ itu sendiri, karena mereka masih punya mata hati. Dengan cinta mereka menghadapi anarki dari sebuah struktur kekuasaan despotik, meskipun tak jarang taruhannya nyawa.
Dalam konteks kekinian, tampaknya Indonesia sedang mengalami perubahan menuju suatu kehidupan yang lebih baik. Gerakan perubahan ini perlu mendapat perhatian dari para mahasiswa, sebab kalau tidak, maka kita hanya akan melihat kilasan-kilasan gambar Indonesia yang sepotong-sepotong saja.
Oleh sebab itu, upaya mahasiswa merekonstruksi pemikiran serta berbagai paradigma dalam dunia kemahasiswaan sesuai dengan tuntutan zaman menjadi hal yang sangat mendasar. Karena hanya dengan langkah seperti itu, mahasiswa mampu tampil memainkan peran-peran strategis pada setiap zamannya. Mengakhiri tulisan ini saya ingin mengutip ucapan Mirabeau, salah satu arsitek Revolusi Prancis yang mengatakan, “Ada orang-orang yang tidak pernah mengubah pikirannya. Itulah orang-orang yang tidak pernah berpikir sama sekali.” Wallahu a’lam bisshawwab.
Makassar-Bandung, Maret 2000

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Rezim Yang Ambigu dan Problem Lingkungan di Indonesia

Permasalahan lingkungan hidup, telah mendapat perhatian besar di hampir semua negara. Ini terutama terjadi sejak dasawarsa 1970-an setelah d...