Kamis, 18 Maret 2021

Ironi Pembangunan dan Degradasi Ekologis

Seperti lazimnya dipahami, tujuan utama dari suatu pemerintahan adalah membentuk sebuah tatanan masyarakat ideal. Yakni sejahtera, makmur dan adil. Karena itu, segala kebijakan dan aturan yang dijalankan, sesungguhnya (hakikatnya) hanyalah sebuah perantara (instrumen), yang bilamana instrumen ini tidak digunakan dalam rangka menebarkan kebaikan serta mencapai tujuan mulia, maka ia akan menjadi tidak bernilai. Dalam perpektif Islam, pemerintahan akan bernilai, ketika menjadi wasilah untuk melaksanakan hukum-hukum Ilahiah dalam menegakkan tatanan Islam yang adil. Sehingga, orang-orang yang bertanggung jawab atas pemerintahan tersebut memperoleh nilai tambah dan maqam yang mulia.

Dalam sebuah pemerintahan, “Pembangunan” adalah kata kunci yang sangat penting. Karena, pembangunan merupakan salah satu konsep yang paling banyak digunakan, tetapi sekaligus juga diperdebatkan dalam upaya mengembangkan kehidupan manusia. Perdebatan yang muncul sangat beragam, mulai dari isu menentukan tolok ukur keberhasilan pembangunan, menetapkan prioritas, strategi dan tahapan pembangunan, pemberdayaan dan partisipasi masyarakat, hingga topik kelangsungan hidup generasi mendatang. Dr.Jalaluddin Rakhmat menyebut Pembangunan (development) adalah sejenis rekayasa sosial yang juga dapat dimaknai sebagai perubahan sosial yang direncanakan. Di negara-negara dunia ketiga, rekayasa sosial model pembangunan ini, memang terjadi secara besar-besaran setelah era 1970-an.

Perubahan sosial pasca Gerakan Reformasi 1998 yang berhasil menumbangkan rezim Orde Baru, tampaknya belum banyak mengubah wajah pembangunan nasional. Beberapa persoalan seperti; struktur ekonomi masyarakat yang timpang, kesenjangan pembangunan antarwilayah, pembangunan yang hanya berorientasi pertumbuhan, terlalu mengandalkan eksploitasi sumber daya alam untuk ekspor bahan mentah, dan ketergantungan pada utang luar negeri yang besar untuk membiayai pembangunan. Semuanya itu belum dapat diselesaikan, bahkan ada kecenderungan terus berlanjut. 

Kesemua persoalan tersebut berhimpitan dengan problem utama pembangunan yang menghinggapi negara-negara dunia ketiga, seperti Indonesia, ialah tergerusnya “kemandirian” dan “kedaulatan” sebagai sebuah bangsa. Secara bersamaan, terjadi penguasaan kapital oleh negara-negara maju dari masa penjajahan hingga saat ini. Dalam konteks ini, salah satu model penguasaan dimaksud adalah kehadiran lembaga-lembaga donor internasional. Lembaga-lembaga tersebut tiada lain merupakan kepanjangan tangan dari kepentingan kapitalis-kapitalis asing yang ada di negara maju. Seperti dikatakan John Perkins dalam bukunya Confession of an Economic Hit Man, tidak ada niat sedikit pun dari negara maju untuk membuat kalian berkembang dan maju, tetapi justru mereka berupaya terus untuk mendorong para pemimpin dunia ketiga agar menjadi jaringan luas yang mengutamakan kepentingan komersial negara maju.

Lalu, bagaimana dengan pembangunan yang berlangsung hari-hari ini? Untuk memahami seperti apa pembangunan ke depan, maka penting kiranya mencermati apa yang ingin diraih sesuai Visi Indonesia 2045, yakni: 1. Indonesia, menjadi negara maju, dengan ekonomi berkelanjutan. 2. Perekonomian Indonesia masuk 5 Besar ekonomi dunia. 3. Indonesia telah keluar dari jebakan Negara Berpendapatan Menengah (Middle Income Trap) 4. Tingkat kemiskinan mendekati 0 persen. 5. PDB mencapai USD 7 Trilliun, peringkat ke-4 PDB dunia. 6. Tenaga kerja berkualitas.

Jika kita memerhatikan apa yang dicanangkan dari enam poin tersebut, maka sepertinya paradigma serta orientasi pembangunan kita, masih juga berada pada pusaran pertumbuhan ekonomi. Masalahnya kemudian, terbebaskah kita dari problem utama pembangunan seperti yang sudah diuraikan? Atau sebaliknya, justru negeri ini makin terjerat oleh beban yang mesti dipikulnya. Bagi Perkins, tolok ukur perekonomian nasional terbukti tak bisa dipercaya. Seperti yang sering terjadi, nilai tukar uang yang stabil, neraca perdagangan yang bagus, inflasi yang rendah, dan angka pertumbuhan GDP Indonesia yang mengesankan, semua itu hanya mencerminkan kondisi sebagian kecil penduduknya yang kaya. Sementara sebagian besarnya terpinggirkan dari arus utama perekonomian yang terukur. Merekalah yang menanggung beban luar biasa berat. Krisis yang terjadi mengirimkan sebuah pesan kuat bahwa niat sejati IMF dan Bank Dunia bukanlah untuk mengelola perekonomian, melainkan lebih untuk memperkaya korporatokrasi dengan mengorbankan orang lain.

Bila demikian halnya, jangan-jangan, apa yang diceritakan Wartawan Senior Harian Kompas Budiarto Shambazy, dalam kata pengantar buku “Pengakuan Bandit Ekonomi”, betul-betul juga terjadi dan menjadi kenyataan. Ia mengisahkan saat Charlie Illingworth (Bos Perkins) mengingatkan John Perkins bahwa Presiden AS Richard Nixon menginginkan kekayaan alam Indonesia diperas sampai kering. Jika betul seperti itu, maka konsekuensinya, dampak pada berbagai aspek dan dimensi kehidupan kebangsaan yang kita jalani, tentu saja akan terus mengintai. Salah satu dampak yang sangat dikhawatirkan, ialah terjadinya degradasi ekologis dan lingkungan hidup.

David Goldblatt dalam “Analisa Ekologi Kritis” mengatakan bahwa institusi-institusi kapitalisme merupakan penyebab-penyebab struktural utama yang menimbulkan degradasi lingkungan, sementara industrialisme, sebagaimana yang dipahami oleh Anthony Giddens, merupakan penyebab langsung dari degradasi. Meski begitu, Goldblatt percaya bahwa dalam transisi historis dari pertanian-kapitalis ke industrialisme-kapitalis, adalah pantas untuk menyebut industrialisme sebagai suatu penyebab struktural dari degradasi lingkungan ketimbang semata-mata sebagai suatu penyebab langsung. Fenomena ini juga merupakan sebuah indikator nyata bahwa tidak adanya political will dan lemahnya bargaining position pemerintah sebuah negara berkembang terhadap kapitalisme global, turut andil memperparah krisis lingkungan.

Isu pembangunan dan lingkungan memang sudah menjadi agenda penting masyarakat dunia di forum regional serta internasional. Namun sayangnya, di negeri ini kadar kesadaran ekologis para elit kekuasaan, masih sangat rendah. Padahal kenyataannya, menurut Prof.Otto Soemarwoto, pembangunan mempengaruhi dan dipengaruhi oleh lingkungan hidup. Keteledoran selama ini berakibat, bencana banjir, tanah longsor dan banjir bandang yang terjadi di berbagai daerah sejak Desember 2020 hingga saat ini, terus saja berulang dan telah menjelma menjadi “tragedi” tahunan.

Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyebutkan bahwa di Kalimantan Selatan terjadi penurunan drastis luas hutan selama periode 1990 hingga 2019 sebesar 62,8 persen. Eksploitasi sumber daya alam dan lingkungan secara besar-besaran yang terjadi di negeri ini, menyebabkan kerusakan ekologis terus menerus meningkat. Ini isyarat alam yang begitu nyata, dengan memberi indikasi kuat bahwa aktivitas-aktivitas selama ini sudah melampaui daya dukung dan daya tampung lingkungannya. Hal tersebut merupakan sebentuk pembangkangan pada konstitusi UUD 1945 Pasal 28H, yang dengan jelas menyebutkan, “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat…….”  Seolah menegaskan firman Tuhan, “Telah nampak kerusakan di daratan dan lautan, akibat perbuatan tangan manusia….” (QS. Ar-Rum: 41). Tuhan pun sudah mengingatkan, betapa Dia tidak senang pada orang-orang yang sering membuat kerusakan, “Dan mereka berbuat kerusakan di muka bumi, sementara Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (QS. Al-Maidah: 64).

Selama paradigma pembangunan yang dianut terlalu menekankan pada pembangunan ekonomi semata, sementara aspek lingkungan dan sosial kurang diprioritaskan, maka pembangunan berkelanjutan hanya sebatas slogan dan pada saat yang sama degradasi ekologis akan terus terjadi. Mungkin karena itu, Dr. Mansour Fakih dalam buku “Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi”, berpendapat bahwa developmentalisme sejak diciptakan juga telah menjadi bagian dari masalah lingkungan hidup. Jalan keluar yang ditawarkan, yakni pembangunan berkelanjutan, tidak memuaskan karena bertentangan dengan ide pertumbuhan dan keuntungan yang melekat pada dasar ideologinya. Akibatnya developmentalisme akan menjadi bagian dari masalah lingkungan hidup daripada sebagai jalan keluar. Dan ironisnya, yang sering kali tidak disadari oleh para pemimpin pemerintahan di berbagai tempat, ialah apa yang pernah didakukan Joseph E.Stiglitz, “Development is about transforming the lives of people, not just transforming economies.” Pembangunan itu adalah mentransformasi kehidupan masyarakat/rakyat, bukan sekadar melakukan transformasi ekonomi. Wallahu a’lam bisshawab.

FAJAR Makassar, Maret 2021

Rezim Yang Ambigu dan Problem Lingkungan di Indonesia

Permasalahan lingkungan hidup, telah mendapat perhatian besar di hampir semua negara. Ini terutama terjadi sejak dasawarsa 1970-an setelah d...