Seperti
lazimnya dipahami, tujuan utama dari suatu pemerintahan adalah membentuk sebuah
tatanan masyarakat ideal. Yakni sejahtera, makmur dan adil. Karena itu, segala
kebijakan dan aturan yang dijalankan, sesungguhnya (hakikatnya) hanyalah sebuah
perantara (instrumen), yang bilamana instrumen ini tidak digunakan dalam rangka
menebarkan kebaikan serta mencapai tujuan mulia, maka ia akan menjadi tidak
bernilai. Dalam perpektif Islam, pemerintahan akan bernilai, ketika menjadi wasilah untuk melaksanakan hukum-hukum
Ilahiah dalam menegakkan tatanan Islam yang adil. Sehingga, orang-orang yang
bertanggung jawab atas pemerintahan tersebut memperoleh nilai tambah dan maqam yang mulia.
Dalam sebuah
pemerintahan, “Pembangunan” adalah kata kunci yang sangat penting. Karena,
pembangunan merupakan salah satu konsep yang paling banyak digunakan, tetapi
sekaligus juga diperdebatkan dalam upaya mengembangkan kehidupan manusia.
Perdebatan yang muncul sangat beragam, mulai dari isu menentukan tolok ukur
keberhasilan pembangunan, menetapkan prioritas, strategi dan tahapan
pembangunan, pemberdayaan dan partisipasi masyarakat, hingga topik kelangsungan
hidup generasi mendatang. Dr.Jalaluddin Rakhmat menyebut Pembangunan (development) adalah sejenis rekayasa
sosial yang juga dapat dimaknai sebagai perubahan sosial yang direncanakan. Di
negara-negara dunia ketiga, rekayasa sosial model pembangunan ini, memang
terjadi secara besar-besaran setelah era 1970-an.
Perubahan
sosial pasca Gerakan Reformasi 1998 yang berhasil menumbangkan rezim Orde Baru,
tampaknya belum banyak mengubah wajah pembangunan nasional. Beberapa persoalan
seperti; struktur ekonomi masyarakat yang timpang, kesenjangan pembangunan
antarwilayah, pembangunan yang hanya berorientasi pertumbuhan, terlalu
mengandalkan eksploitasi sumber daya alam untuk ekspor bahan mentah, dan
ketergantungan pada utang luar negeri yang besar untuk membiayai pembangunan.
Semuanya itu belum dapat diselesaikan, bahkan ada kecenderungan terus berlanjut.
Kesemua
persoalan tersebut berhimpitan dengan problem utama pembangunan yang
menghinggapi negara-negara dunia ketiga, seperti Indonesia, ialah tergerusnya
“kemandirian” dan “kedaulatan” sebagai sebuah bangsa. Secara bersamaan, terjadi
penguasaan kapital oleh negara-negara maju dari masa penjajahan hingga saat
ini. Dalam konteks ini, salah satu model penguasaan dimaksud adalah kehadiran
lembaga-lembaga donor internasional. Lembaga-lembaga tersebut tiada lain
merupakan kepanjangan tangan dari kepentingan kapitalis-kapitalis asing yang
ada di negara maju. Seperti dikatakan John Perkins dalam bukunya Confession of an Economic Hit Man, tidak
ada niat sedikit pun dari negara maju untuk membuat kalian berkembang dan maju,
tetapi justru mereka berupaya terus untuk mendorong para pemimpin dunia ketiga
agar menjadi jaringan luas yang mengutamakan kepentingan komersial negara maju.
Lalu,
bagaimana dengan pembangunan yang berlangsung hari-hari ini? Untuk memahami
seperti apa pembangunan ke depan, maka penting kiranya mencermati apa yang
ingin diraih sesuai Visi Indonesia 2045, yakni: 1. Indonesia, menjadi negara maju, dengan ekonomi berkelanjutan. 2. Perekonomian Indonesia masuk 5 Besar ekonomi dunia. 3. Indonesia
telah keluar dari jebakan Negara Berpendapatan Menengah (Middle Income Trap) 4. Tingkat kemiskinan mendekati 0 persen. 5. PDB mencapai USD 7 Trilliun, peringkat ke-4 PDB dunia. 6. Tenaga
kerja berkualitas.
Jika kita
memerhatikan apa yang dicanangkan dari enam poin tersebut, maka sepertinya paradigma
serta orientasi pembangunan kita, masih juga berada pada pusaran pertumbuhan
ekonomi. Masalahnya kemudian, terbebaskah kita dari problem utama pembangunan
seperti yang sudah diuraikan? Atau sebaliknya, justru negeri ini makin terjerat
oleh beban yang mesti dipikulnya. Bagi Perkins, tolok ukur perekonomian
nasional terbukti tak bisa dipercaya. Seperti yang sering terjadi, nilai tukar
uang yang stabil, neraca perdagangan yang bagus, inflasi yang rendah, dan angka
pertumbuhan GDP Indonesia yang mengesankan, semua itu hanya mencerminkan
kondisi sebagian kecil penduduknya yang kaya. Sementara sebagian besarnya
terpinggirkan dari arus utama perekonomian yang terukur. Merekalah yang
menanggung beban luar biasa berat. Krisis yang terjadi mengirimkan sebuah pesan
kuat bahwa niat sejati IMF dan Bank Dunia bukanlah untuk mengelola
perekonomian, melainkan lebih untuk memperkaya korporatokrasi dengan
mengorbankan orang lain.
Bila
demikian halnya, jangan-jangan, apa yang diceritakan Wartawan Senior Harian
Kompas Budiarto Shambazy, dalam kata pengantar buku “Pengakuan Bandit Ekonomi”,
betul-betul juga terjadi dan menjadi kenyataan. Ia mengisahkan saat Charlie
Illingworth (Bos Perkins) mengingatkan John Perkins bahwa Presiden AS Richard
Nixon menginginkan kekayaan alam Indonesia diperas sampai kering. Jika betul
seperti itu, maka konsekuensinya, dampak pada berbagai aspek dan dimensi
kehidupan kebangsaan yang kita jalani, tentu saja akan terus mengintai. Salah
satu dampak yang sangat dikhawatirkan, ialah terjadinya degradasi ekologis dan
lingkungan hidup.
David
Goldblatt dalam “Analisa Ekologi Kritis” mengatakan bahwa institusi-institusi
kapitalisme merupakan penyebab-penyebab struktural utama yang menimbulkan
degradasi lingkungan, sementara industrialisme, sebagaimana yang dipahami oleh
Anthony Giddens, merupakan penyebab langsung dari degradasi. Meski begitu,
Goldblatt percaya bahwa dalam transisi historis dari pertanian-kapitalis ke
industrialisme-kapitalis, adalah pantas untuk menyebut industrialisme sebagai
suatu penyebab struktural dari degradasi lingkungan ketimbang semata-mata
sebagai suatu penyebab langsung. Fenomena ini juga merupakan sebuah indikator
nyata bahwa tidak adanya political will
dan lemahnya bargaining position
pemerintah sebuah negara berkembang terhadap kapitalisme global, turut andil
memperparah krisis lingkungan.
Isu pembangunan dan lingkungan
memang sudah menjadi agenda penting masyarakat dunia di forum regional serta
internasional. Namun sayangnya, di negeri ini kadar kesadaran ekologis para elit
kekuasaan, masih sangat rendah. Padahal kenyataannya, menurut Prof.Otto
Soemarwoto, pembangunan mempengaruhi dan dipengaruhi oleh lingkungan hidup.
Keteledoran selama ini berakibat, bencana banjir, tanah longsor dan banjir
bandang yang terjadi di berbagai daerah sejak Desember 2020 hingga saat ini,
terus saja berulang dan telah menjelma menjadi “tragedi” tahunan.
Data Kementerian Lingkungan Hidup
dan Kehutanan (KLHK) menyebutkan bahwa di Kalimantan Selatan terjadi penurunan
drastis luas hutan selama periode 1990 hingga 2019 sebesar 62,8 persen.
Eksploitasi sumber daya alam dan lingkungan secara besar-besaran yang terjadi
di negeri ini, menyebabkan kerusakan ekologis terus menerus meningkat. Ini
isyarat alam yang begitu nyata, dengan memberi indikasi kuat bahwa
aktivitas-aktivitas selama ini sudah melampaui daya dukung dan daya tampung
lingkungannya. Hal tersebut merupakan sebentuk pembangkangan pada konstitusi
UUD 1945 Pasal 28H, yang dengan jelas menyebutkan, “Setiap orang berhak hidup
sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup
yang baik dan sehat…….” Seolah
menegaskan firman Tuhan, “Telah nampak
kerusakan di daratan dan lautan, akibat perbuatan tangan manusia….” (QS.
Ar-Rum: 41). Tuhan pun sudah mengingatkan, betapa Dia tidak senang pada
orang-orang yang sering membuat kerusakan, “Dan
mereka berbuat kerusakan di muka bumi, sementara Allah tidak menyukai
orang-orang yang berbuat kerusakan.” (QS. Al-Maidah: 64).
Selama paradigma pembangunan yang
dianut terlalu menekankan pada pembangunan ekonomi semata, sementara aspek
lingkungan dan sosial kurang diprioritaskan, maka pembangunan berkelanjutan
hanya sebatas slogan dan pada saat yang sama degradasi ekologis akan terus
terjadi. Mungkin karena itu, Dr. Mansour Fakih dalam buku “Runtuhnya Teori
Pembangunan dan Globalisasi”, berpendapat bahwa developmentalisme sejak diciptakan juga telah menjadi bagian dari
masalah lingkungan hidup. Jalan keluar yang ditawarkan, yakni pembangunan
berkelanjutan, tidak memuaskan karena bertentangan dengan ide pertumbuhan dan
keuntungan yang melekat pada dasar ideologinya. Akibatnya developmentalisme akan menjadi bagian dari masalah lingkungan hidup
daripada sebagai jalan keluar. Dan ironisnya, yang sering kali tidak disadari
oleh para pemimpin pemerintahan di berbagai tempat, ialah apa yang pernah
didakukan Joseph E.Stiglitz, “Development
is about transforming the lives of people, not just transforming economies.” Pembangunan
itu adalah mentransformasi kehidupan masyarakat/rakyat, bukan sekadar melakukan
transformasi ekonomi. Wallahu a’lam
bisshawab.
FAJAR Makassar, Maret 2021