Pembangunan adalah proses yang dinamis. Sebuah proses yang
bergulir dari waktu ke waktu, tidak pernah berhenti. Sebab, pembangunan
meniscayakan sebuah perubahan, sementara perubahan itu sendiri senantiasa terus
berlangsung.
Pada buku “Bunga Rampai
Perencanaan Pembangunan Indonesia”, Budhy Tjahjati S. Soegijoko menyebutkan
bahwa: Pembangunan di Indonesia, dicirikan dengan terjadinya perkembangan
penduduk yang pesat, meningkatnya jumlah penduduk perkotaan, bergesernya
struktur kegiatan ekonomi yang pada awalnya bertumpu pada kegiatan pertanian
menjadi kegiatan industri dan munculnya permasalahan yang berkaitan dengan
penataan ruang. Permasalahan ini antara lain meliputi penurunan mutu lingkungan
hidup, akibat pemanfaatan lahan yang melampaui daya dukung lingkungan. Ditambah
lagi, dengan tidak adanya upaya-upaya intervensi melalui pemanfaatan teknologi
yang tepat, pembangunan pada wilayah konservasi, tumpang tindih pemanfaatan
lahan, pembangunan di wilayah baru yang kurang mempertimbangkan kondisi sosial
budaya atau kurang melibatkan masyarakat setempat, sehingga mengakibatkan
terbentuknya struktur enclave di
lokasi proyek-proyek pembangunan.
Sejalan dengan meningkatnya laju pertumbuhan pada berbagai sektor,
dan juga berlangsungnya transformasi demografi dan sosial ekonomi, maka
tampaknya kemampuan pemerintah di berbagai daerah, dalam melaksanakan
pembangunan di wilayahnya juga semakin meningkat. Dengan begitu, percepatan
pembangunan tak bisa lagi dielakkan. Tetapi, yang harus diingat dan menjadi
perhatian semua pihak bahwa pembangunan bukanlah praktik tanpa pedoman.
Pedoman pembangunan ini menjadi krusial karena sejak awal kita
telah memutuskan untuk ‘melakukan pembangunan’. Oleh sebab itu, perencanaan
pembangunan harus selalu merupakan penjabaran dari konstitusi serta regulasi
yang ada. Perencanaan secara operasional diturunkan dari premis dan asumsi
dasar, sebagai nilai yang dipergunakan untuk melihat kondisi hari ini dan
proyeksi masa depan. Mungkin berbeda dengan masa lalu, perencanaan pembangunan
masa kini berusaha memadukan antara masukan dari bawah dan dari atas.
Pembangunan hari ini, mesti mengacu pada keperluan, potensi dan kebutuhan dari
rakyat sendiri.
Salah satu yang menjadi perhatian adalah pembangunaan
perkotaan. Mengapa? Karena pada dasarnya
wilayah perkotaan dipandang sebagai lokasi yang paling efisien dan efektif
untuk kegiatan-kegiatan produktif, sehubungan dengan ketersediaan sarana dan
prasarana, tenaga kerja terampil, tersedianya dana sebagai modal, dan
sebagainya. Bila usaha diversifikasi ekonomi kota semakin dipacu, peranan kota
akan semakin meningkat pula dan urbanisasi merupakan suatu konsekuensi yang
perlu dihadapi. Di satu sisi, kota akan semakin dituntut agar dapat berfungsi
secara lebih efisien, namun di lain sisi, jumlah penduduk yang semakin
meningkat serta munculnya permasalahan-permasalahan perkotaan lainnya yang
semakin rumit dan kompleks, tidak dapat dihindari. Dengan demikian, perkotaan
telah menjadi bagian yang sangat penting dalam pembangunan daerah, sebab
kota-kota akan merupakan titik-titik simpul yang diharapkan mampu menjawab dua
hal. Pertama, kota harus mampu menjawab permasalahan
internalnya, untuk pengembangan kehidupan masyarakat kota. Kedua, kota diharuskan pula mampu berfungsi sebagai akselerator
pembangunan wilayah belakangnya/sekitarnya, guna mencapai pertumbuhan dan
keseimbangan pembangunan antar wilayah.
Namun, di tengah upaya pemerintah melakukan percepatan
pembangunan, khususnya di berbagai daerah serta kota-kota besar, terjadi sebuah
paradoks dalam pembangunan. Yakni tidak terjalinnya sinkronisasi antara proyek
pembangunan yang akan dikerjakan dengan rencana pembangunan yang sudah ada.
Sebagai contoh, penerapan UU No.26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, yang salah
satunya berwujud rencana tata ruang, seringkali terabaikan dan tidak lagi
dijadikan acuan, di setiap tingkatannya. Mulai pada tingkat pusat sampai di
daerah-daerah. Akibatnya, muncul berbagai persoalan dalam pekerjaan proyek
pembangunan yang ada. Apa yang terjadi pada proyek pembangunan jalur kereta
cepat Jakarta – Bandung, reklamasi teluk Jakarta, serta proyek-proyek reklamasi
lainnya di berbagai kota dan daerah adalah merupakan sebagian kecil, fakta dan
bukti atas implikasi yang ditimbulkan dari paradoks pembangunan tersebut.
Karena itulah pada awal April 2016 lalu, dalam Forum Rakornas,
Ikatan Ahli Perencanaan Indonesia (IAP), menyerukan agar pemerintah tidak
mengabaikan rencana tata ruang yang ada, bahkan menjadikannya sebagai matra
spasial pembangunan, sehingga tidak ada lagi kebijakan pembangunan yang tidak
memperhatikan kebijakan tata ruang yang sudah ada.
Adalah suatu hal yang logis, bila penataan ruang dijadikan sebagai
piranti pembangunan berkelanjutan. Sebab, penataan ruang diselenggarakan dengan
menjamin kelestarian serta kelangsungan daya dukung dan daya tampung lingkungan,
dengan memperhatikan kepentingan generasi mendatang. Maka tak pelak lagi, sebuah
rencana tata ruang mesti disusun dengan perspektif menuju ke keadaan pada masa
depan yang diharapkan.
Untuk menghindari terjadinya paradoks pembangunan di waktu yang
akan datang, maka upaya sinkronisasi, keterpaduan dan keselarasan, dengan cara
mengintegrasikan berbagai kebijakan pembangunan, mutlak harus dilakukan.
Sehingga percepatan pembangunan yang dilakukan tidak lagi menempuh jalan pintas
atau menabrak kebijakan dan regulasi pembangunan yang lain.
Dan bila harmonisasi dalam upaya percepatan pembangunan tersebut
berjalan dengan semestinya, maka tujuan yang sama dari pembangunan dan penataan
ruang bisa terwujud dan dirasakan bersama, yaitu untuk sebesar-besar kemakmuran
rakyat Indonesia. Wallahu a’lam bisshawab.
FAJAR Makassar, Juni 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar