Pada awal tahun 2003, telah dilakukan Launching Konsep Pengembangan Kawasan
Mamminasata, yang merupakan pengembangan kawasan interkoneksitas meliputi ;
Makassar, Maros, Sungguminasa dan Takalar. Konsep ini sebetulnya mengikuti
pengembangan kawasan terpadu yang lebih dahulu ada seperti di Jakarta
(Jabotabek), Bandung (Bandung Raya), Surabaya (Gerbang Kertosusilo), dan Medan
(Mebidang).
Gagasan
konsep mamminasata sebetulnya bukanlah ide baru, karena sejak awal tahun
1980-an hal ini sudah diwacanakan. Setidaknya beberapa produk rencana yang
telah disusun pernah dijumpai penulis, seperti ; Rencana Umum Tata Ruang
Minasamaupa Tahun 1984, Review Rencana Umum Tata Ruang Wilayah Metropolitan
Minasamaupa Tahun 1992, Rencana Umum Tata Ruang Kawasan Metropolitan
Minasamaupata, Penyusunan Profil Metropolitan Minasamaupata Tahun 2000, dan mungkin masih ada sejumlah produk rencana
lainnya yang disusun berkaitan dengan program tersebut.
Selain itu, Perubahan
istilah yang digunakan sejak Minasamaupa (Sungguminasa, Maros, Ujungpandang)
kemudian ditambah sebagian wilayah Takalar menjadi Minasamaupata, lalu berubah
lagi menjadi Mamminasata hingga sekarang, dengan kurun waktu yang cukup panjang selama kurang lebih 30 tahun itu, pada akhirnya menyisakan berbagai pertanyaan yang
patut dicermati. Pertama, Apakah konsep semacam Mamminasata ini masih relevan
untuk dilakukan, di saat
issu desentralisasi dan otonomi daerah sementara berhembus demikian kencang. Kedua, Tampaknya terjadi
inkonsistensi dalam perencanaan kawasan tersebut, hal ini terlihat pada
perubahan dalam penentuan wilayah cakupan perencanaan dari 3 daerah kemudian
menjadi 4 daerah (Minasamaupa – Minasamaupata – Mamminasata). Ketiga, Tidak nampak secara
signifikan realisasi dan implementasi dari perencanaan tersebut, padahal
waktunya sudah cukup lama untuk suatu objek rencana yang sama. Keempat, Jangan-jangan ini hanya
romantisme dari para perencana dalam menuangkan obsesi dan mimpi-mimpinya,
ataukah boleh jadi sebuah kolaborasi yang apik antara penentu kebijakan dengan
perencana kota, yang tidak memiliki idealisme keilmuan dalam merancang pekerjaan
atau proyek yang tidak realistis. Kelima,
Perencanaan selama ini terkesan asal dibuat dan asal jadi, karena tidak
terlihat kesinambungan antara produk rencana yang awal dengan produk rencana
berikutnya. Artinya terjadi kontradiksi terhadap konsep pembangunan yang
berkelanjutan yang sering digaungkan. Pada akhirnya produk-produk tersebut
hanya menjadi pajangan di rak-rak buku kantor instansi yang terkait,
sebagaimana kebanyakan produk tata ruang selama ini.
Kesemua
pertanyaan di atas,
berujung pada satu hal yang paling mendasar yakni, apakah memang pemerintah,
dalam hal ini keempat pemerintahan yang tercakup dalam konsep mamminasata
tersebut,
betul-betul ingin secara serius untuk merealisasikan dan mengimplementasikannya
ataukah sebatas wacana yang kemudian mengulang lagi cara kerja serta
problem-problem yang terjadi sebelumnya.
Pada
dasarnya jika dilihat dari segi perkembangannya, Kota Makassar dan daerah
sekitarnya memang perlu mendapatkan perhatian yang lebih serius, bila kita
tidak ingin melihat permasalahan yang lebih rumit lagi pada masa-masa akan
datang. Hal ini berkaitan dengan predikat Makassar
sebagai kota metropolitan dan merupakan pusat dari berbagai aktivitas di dalamnya.
Dalam
merencanakan kota Makassar
seperti sekarang ini, memang tidak bisa lagi dilihat secara berdiri sendiri,
karena antara satu kota/daerah dengan daerah lainnya senantiasa ada hubungan
dan keterkaitan secara timbal balik. Sebab itu, dalam mengatasi persoalan kota Makassar
dan kota-kota sekitarnya mesti dipahami sebagai sebuah kawasan terpadu,
sehingga pada saat direncanakan harus
didekati dengan metode pendekatan yang lebih komprehensif.
Menurut
Friedmann,
dalam perencanaan kawasan secara terpadu, biasanya terlebih dahulu
diidentifikasi antara Wilayah Inti (core) dan Wilayah Sekitar (periphery).
Wilayah inti (core) dapat berupa pusat pertumbuhan atau kutub pertumbuhan yang
merupakan jantung kegiatan dari wilayah tersebut.
Secara
umum, permasalahan pengembangan perkotaan di Indonesia – termasuk Makassar
– dapat ditinjau dari segi makro dan mikro. Dalam pengertian secara makro,
salah satu problem perkotaan yang seringkali muncul adalah kecenderungan
semakin membesarnya beberapa kota metropolitan, yang menyebabkan kurang berfungsinya kota-kota tersebut sebagai
katalisator pengembangan wilayah.
Sementara
pada
sisi lain, kota-kota kecil dan menengah yang berada di sekitar metropolitan
biasanya bukan merupakan kota mandiri (self-sustain atau self-sufficient).
Hal ini dapat dilihat dari sebagain besar penduduk yang tinggal di kota-kota
kecil dan menengah tersebut bekerja di kota inti (metropolitan) dan sekaligus
menikmati berbagai fasilitas pelayanan umum yang tersedia.
Kenyataan
itu menimbulkan permasalahan bagi kota metropolitan, antara lain semakin
tingginya kemacetan lalu lintas terutama pada jam puncak (peak hours),
dan semakin menurunnya fasilitas pelayanan (angkutan umum kota, tempat parkir,
air minum, sampah dan lainnya). Kondisi ini menambah beban pelayanan perkotaan
bagi kota inti, karena selain harus melayani kebutuhan masyarakatnya (internal
demand), juga harus melayani kebutuhan masyarakat kota-kota yang ada di
sekitarnya (external demand).
Akibat selanjutnya yang terjadi ialah apa yang disebut
oleh Myrdal dan Hirschman sebagai bentuk pengaruh penjalaran dari pusat
pertumbuhan ke daerah sekitar. Baik itu berupa pengaruh yang menguntungkan (favourable effects) ataupun pengaruh
yang kurang menguntungkan (unfavourable
effects), dimana keduanya harus menjadi titik perhatian dalam perencanaan.
Dengan memahami realitas yang terjadi sekarang ini, di
mana hubungan interkoneksi antara Makassar dan daerah sekitarnya tidak mungkin lagi
dihindari, maka perencanaan regional secara terpadu menjadi sangat penting dan
urgen. Hanya saja setelah 14 tahun dilaunching,
pertanyaan yang masih muncul adalah, sejauh mana Program Perencanaan
Kawasan Mamminasata tersebut sudah terealisasi dan
diimplementasikan? Ataukah ia sekadar berupa konsep perencanaan yang sifatnya
spekulatif dan manipulatif belaka. Wallahu a’lam bisshawab.
Tribun Timur, Makassar, Februari 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar