Jumat, 11 Januari 2019

Minasamaupa, Minasamaupata, Hingga Mamminasata


Pada awal tahun 2003, telah dilakukan Launching Konsep Pengembangan Kawasan Mamminasata, yang merupakan pengembangan kawasan interkoneksitas meliputi ; Makassar, Maros, Sungguminasa dan Takalar. Konsep ini sebetulnya mengikuti pengembangan kawasan terpadu yang lebih dahulu ada seperti di Jakarta (Jabotabek), Bandung (Bandung Raya), Surabaya (Gerbang Kertosusilo), dan Medan (Mebidang).

Gagasan konsep mamminasata sebetulnya bukanlah ide baru, karena sejak awal tahun 1980-an hal ini sudah diwacanakan. Setidaknya beberapa produk rencana yang telah disusun pernah dijumpai penulis, seperti ; Rencana Umum Tata Ruang Minasamaupa Tahun 1984, Review Rencana Umum Tata Ruang Wilayah Metropolitan Minasamaupa Tahun 1992, Rencana Umum Tata Ruang Kawasan Metropolitan Minasamaupata, Penyusunan Profil Metropolitan Minasamaupata Tahun 2000, dan mungkin masih ada sejumlah produk rencana lainnya yang disusun berkaitan dengan program tersebut.

Selain itu, Perubahan istilah yang digunakan sejak Minasamaupa (Sungguminasa, Maros, Ujungpandang) kemudian ditambah sebagian wilayah Takalar menjadi Minasamaupata, lalu berubah lagi menjadi Mamminasata hingga sekarang, dengan  kurun waktu yang cukup panjang selama kurang lebih 30 tahun itu, pada akhirnya menyisakan berbagai pertanyaan yang patut dicermati.  Pertama, Apakah konsep semacam Mamminasata ini masih relevan untuk dilakukan, di saat issu desentralisasi dan otonomi daerah sementara berhembus demikian kencang. Kedua, Tampaknya terjadi inkonsistensi dalam perencanaan kawasan tersebut, hal ini terlihat pada perubahan dalam penentuan wilayah cakupan perencanaan dari 3 daerah kemudian menjadi 4 daerah (Minasamaupa – Minasamaupata – Mamminasata). Ketiga, Tidak nampak secara signifikan realisasi dan implementasi dari perencanaan tersebut, padahal waktunya sudah cukup lama untuk suatu objek rencana yang sama. Keempat, Jangan-jangan ini hanya romantisme dari para perencana dalam menuangkan obsesi dan mimpi-mimpinya, ataukah boleh jadi sebuah kolaborasi yang apik antara penentu kebijakan dengan perencana kota, yang tidak memiliki idealisme keilmuan dalam merancang pekerjaan atau proyek yang tidak realistis. Kelima, Perencanaan selama ini terkesan asal dibuat dan asal jadi, karena tidak terlihat kesinambungan antara produk rencana yang awal dengan produk rencana berikutnya. Artinya terjadi kontradiksi terhadap konsep pembangunan yang berkelanjutan yang sering digaungkan. Pada akhirnya produk-produk tersebut hanya menjadi pajangan di rak-rak buku kantor instansi yang terkait, sebagaimana kebanyakan produk tata ruang selama ini.

Kesemua pertanyaan di atas, berujung pada satu hal yang paling mendasar yakni, apakah memang pemerintah, dalam hal ini keempat pemerintahan yang tercakup dalam konsep mamminasata tersebut, betul-betul ingin secara serius untuk merealisasikan dan mengimplementasikannya ataukah sebatas wacana yang kemudian mengulang lagi cara kerja serta problem-problem yang terjadi sebelumnya.

Pada dasarnya jika dilihat dari segi perkembangannya, Kota Makassar dan daerah sekitarnya memang perlu mendapatkan perhatian yang lebih serius, bila kita tidak ingin melihat permasalahan yang lebih rumit lagi pada masa-masa akan datang. Hal ini berkaitan dengan predikat Makassar sebagai kota metropolitan dan merupakan pusat dari berbagai aktivitas di dalamnya.

Dalam merencanakan kota Makassar seperti sekarang ini, memang tidak bisa lagi dilihat secara berdiri sendiri, karena antara satu kota/daerah dengan daerah lainnya senantiasa ada hubungan dan keterkaitan secara timbal balik. Sebab itu, dalam mengatasi persoalan kota Makassar dan kota-kota sekitarnya mesti dipahami sebagai sebuah kawasan terpadu, sehingga pada saat  direncanakan harus didekati dengan metode pendekatan yang lebih komprehensif.

Menurut Friedmann, dalam perencanaan kawasan secara terpadu, biasanya terlebih dahulu diidentifikasi antara Wilayah Inti (core) dan Wilayah Sekitar (periphery). Wilayah inti (core) dapat berupa pusat pertumbuhan atau kutub pertumbuhan yang merupakan jantung kegiatan dari wilayah tersebut.

Secara umum, permasalahan pengembangan perkotaan di Indonesia – termasuk Makassar – dapat ditinjau dari segi makro dan mikro. Dalam pengertian secara makro, salah satu problem perkotaan yang seringkali muncul adalah kecenderungan semakin membesarnya beberapa kota metropolitan, yang menyebabkan kurang berfungsinya kota-kota tersebut sebagai katalisator pengembangan wilayah.

Sementara pada sisi lain, kota-kota kecil dan menengah yang berada di sekitar metropolitan biasanya bukan merupakan kota mandiri (self-sustain atau self-sufficient). Hal ini dapat dilihat dari sebagain besar penduduk yang tinggal di kota-kota kecil dan menengah tersebut bekerja di kota inti (metropolitan) dan sekaligus menikmati berbagai fasilitas pelayanan umum yang tersedia.

Kenyataan itu menimbulkan permasalahan bagi kota metropolitan, antara lain semakin tingginya kemacetan lalu lintas terutama pada jam puncak (peak hours), dan semakin menurunnya fasilitas pelayanan (angkutan umum kota, tempat parkir, air minum, sampah dan lainnya). Kondisi ini menambah beban pelayanan perkotaan bagi kota inti, karena selain harus melayani kebutuhan masyarakatnya (internal demand), juga harus melayani kebutuhan masyarakat kota-kota yang ada di sekitarnya (external demand).

Akibat selanjutnya yang terjadi ialah apa yang disebut oleh Myrdal dan Hirschman sebagai bentuk pengaruh penjalaran dari pusat pertumbuhan ke daerah sekitar. Baik itu berupa pengaruh yang menguntungkan (favourable effects) ataupun pengaruh yang kurang menguntungkan (unfavourable effects), dimana keduanya harus menjadi titik perhatian dalam perencanaan.

Dengan memahami realitas yang terjadi sekarang ini, di mana hubungan interkoneksi antara Makassar dan daerah sekitarnya tidak mungkin lagi dihindari, maka perencanaan regional secara terpadu menjadi sangat penting dan urgen. Hanya saja setelah 14 tahun dilaunching,  pertanyaan yang masih muncul adalah, sejauh mana Program Perencanaan Kawasan Mamminasata tersebut sudah terealisasi dan diimplementasikan? Ataukah ia sekadar berupa konsep perencanaan yang sifatnya spekulatif dan manipulatif belaka. Wallahu a’lam bisshawab. 

Tribun Timur, Makassar, Februari 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Rezim Yang Ambigu dan Problem Lingkungan di Indonesia

Permasalahan lingkungan hidup, telah mendapat perhatian besar di hampir semua negara. Ini terutama terjadi sejak dasawarsa 1970-an setelah d...