Selasa, 27 Juni 2023

PROSES POLITIK dan PENG-ARUSUTAMA-AN TATA RUANG (Catatan untuk Komisioner KPU SulSel & Pemerintah Daerah)

 Pada sekitar awal Mei, tepatnya 7 Mei 2023, Ma’REFAT INSTITUTE (Makassar Research for Advance Transformation) menggelar kegiatan Ma’REFAT INFORMAL MEETING (REFORMING) dengan membincangkan sebuah tema aktual, yakni: “Proses Politik dan Peng-arusutama-an Tata Ruang - Sebuah Ikhtiar Untuk Perbaikan Bangsa”. Hadir sebagai pemantik, Misna M. Attas yang ketika itu masih selaku Komisioner KPU Provinsi Sulawesi Selatan dan saya sendiri sebagai Peneliti dan Pemerhati Tata Ruang Ma’REFAT INSTITUTE.

Seperti diketahui, proses politik menuju pemilu 2024, telah ditentukan jadwal dan tahapannya, yang sebagiannya tengah berlangsung sekarang ini. sayangnya, diskursus yang terbangun, lebih banyak berkisar hal-hal yang bersifat teknis-praktis penyelenggaraan, ketimbang menelisik pada persoalan yang lebih substansial. Padahal, proses politik yang berlangsung secara periodik ini, sangat berkait erat dengan keberlangsungan serta kesinambungan pembangunan di sebuah wilayah atau daerah. Itulah sebabnya, mengapa tema di atas, kami anggap penting untuk terus dipercakapkan.

Karenanya, sekaitan dengan diskusi tentang dua tema besar tersebut, yakni Proses Politik dan Peng-arusutama-an Tata Ruang, maka saya bermaksud menyampaikan beberapa catatan untuk dijadikan perhatian serius, bagi Komisioner KPU Provinsi Sulawesi Selatan yang baru saja dilantik, serta juga Pemerintah Daerah yang akan menyelenggarakan Pilkada serentak di daerahnya. Adapun catatannya antara lain:

Pertama, harus diakui bahwa tingkat literasi terhadap pentingnya dokumen perencanaan, masih tergolong rendah. Terlebih lagi bila dokumen perencanaan tersebut dikaitkan dengan proses politik. Hal ini terjadi, baik di kalangan masyarakat secara umum maupun para pemangku kebijakan seperti eksekutif dan juga penyelenggara pemilu/pilkada.

Kedua, dalam proses politik, salah satu output utama yang diinginkan adalah melahirkan pemimpin untuk menjalankan roda pembangunan. Dan sejatinya, setiap pembangunan meniscayakan adanya pedoman atau panduan dalam pelaksanaannya. Pada konteks ini, perumusan visi, misi dan program calon kontestan pilkada sangat penting dicermati, dan tidak sebatas menjadi syarat administrasi saja. Karena, dengan rumusan itulah, publik dapat memahami apa yang akan dilakukan oleh para calon pemimpinnya.

Ketiga, rumusan visi-misi-program dari kontestan pilkada, mesti dipastikan berpedoman dan berlandaskan pada rencana pembangunan serta rencana tata ruang yang ada, sebagaimana diamanatkan dalam peraturan perundang-undangan. Sebab, jika hal ini diabaikan, akan merupakan titik krusial yang menjadi awal “malapetaka” dalam proses pembangunan.   

Keempat, UU.23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, telah menyebutkan bahwa penataan ruang merupakan salah satu urusan pemerintahan bersifat wajib yang berkaitan dengan pelayanan dasar. Dengan begitu, seluruh pemangku kebijakan, dalam hal ini Pemerintah Daerah dan Penyelenggara Pemilu/Pilkada, sudah semestinya terlibat aktif serta konsisten meng-arusutama-kan tata ruang sebagai “panglima pembangunan” atau “pedoman pembangunan”, agar tidak ada lagi proyek pembangunan yang dilaksanakan tanpa berbasis perencanaan. Selama ini, dokumen tata ruang seakan hanya jadi tumpukan kertas di instansi-instansi terkait, yang seringkali diabaikan dan dilanggar. Sebab, tidak jarang rencana tata ruang harus diubah atau direvisi hanya untuk mengakomodasi dan mewujudkan visi, misi dan janji-janji kampanye kepala daerah saat berkontestasi dalam pilkada. Hal semacam itu merupakan preseden yang sangat buruk dalam dunia perencanaan, di mana tata ruang sebagai pedoman pembangunan mesti menyerah pada kepentingan kekuasaan.

Kelima, membuktikan implementasi pelibatan masyarakat dalam penyelenggaraan penataan ruang, benar-benar terwujud. Tidak hanya sebatas norma yang tertera dalam berbagai regulasi penataan ruang. Konsultasi publik pada produk rencana tata ruang selama ini yang sifatnya formalitas dan seremonial harus diubah. Perlu dibuat lebih terbuka, agar dapat mengakomodasi berbagai pandangan dan masukan dari berbagai lapisan masyarakat. Sehingga produk tata ruang yang dihasilkan tidak menjadi produk elit, melainkan sebagai produk kesepakatan bersama dari berbagai kalangan dan stakeholder, demi terciptanya tata ruang yang manusiawi dan berkeadilan.

Keenam, memastikan sosialisasi Peraturan Daerah (Perda) tentang tata ruang dan penyebarluasan informasi penataan ruang kepada masyarakat, sungguh-sungguh terlaksana serta terkawal secara baik. Karena sampai hari ini, proses tersebut belum pernah berjalan secara optimal. Akibatnya, masyarakat seringkali jadi korban dalam pelaksanaan proyek-proyek pembangunan, karena ketidaktahuannya akan informasi tata ruang.  

Pada akhirnya, jika komitmen dan konsistensi penyelengaraan tata ruang yang benar, serta upaya mengarusutamakan tata ruang, dengan mengawali dari proses politik yang lebih substansial dan berkualitas terus terjaga, maka risiko “bencana pembangunan” dapat dihindari, serta kesinambungan pembangunan memungkinkan untuk kita raih. Semoga!


                                                                                                Harian FAJAR, Juni 2023

Rezim Yang Ambigu dan Problem Lingkungan di Indonesia

Permasalahan lingkungan hidup, telah mendapat perhatian besar di hampir semua negara. Ini terutama terjadi sejak dasawarsa 1970-an setelah d...