Kamis, 02 September 2021

Kemerdekaan dan Nasib Hutan Indonesia

Peringatan 76 tahun usia kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) telah kita rayakan. Namun, setiap kali momentum itu datang, selalu saja memunculkan pertanyaan. Sungguhkah masyarakat kita merasakan dan menikmati kemerdekaan itu? Berbagai pertanyaan semacamnya, terus mengiringi perayaan kemerdekaan Indonesia pada setiap tahunnya. Budayawan Radhar Panca Dahana pernah mendakukan, ketika teriakan-teriakan “merdeka!” itu terserukan di banyak mimbar, serangkaian pawai berderak, bendera dikibarkan, panggung dibuka dan segala kemeriahan dilakukan dalam peringatan kemerdekaan, sesungguhnya dalam waktu yang bersamaan kita bingung -bahkan tak tahu- apa makna kemerdekaan itu. Dan berlawanan dengan semangat globalisasi, universalitas makna kemerdekaan kini luntur, laiknya warna sepuhan.

Kemerdekaan akan mengalami pengikisan makna, saat berbagai kebijakan dan penyelenggaraan pembangunan tidak sungguh-sungguh diorientasikan pada pencapaian kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Meskipun, selalu didengungkan bahwa pembangunan adalah upaya untuk mengisi kemerdekaan di era sekarang ini. Masalahnya, apakah pembangunan tersebut betul-betul diperuntukkan bagi kepentingan seluruh rakyat Indonesia? Di antara yang dapat menjadi faktor pemicu lunturnya makna kemerdekaan itu, ialah seringnya soal ekologi lingkungan dan ruang hidup rakyat tidak dijadikan prioritas penting dalam pembangunan. Padahal, Prof.Otto Soemarwoto menegaskan dalam bukunya, “Ekologi Lingkungan Hidup dan Pembangunan” bahwa pembangunan mempengaruhi dan dipengaruhi oleh lingkungan hidup. Dan karenanya, pembangunan tidak saja menghasilkan manfaat, melainkan juga membawa risiko. Namun sayangnya, ekologi pembangunan yang merupakan interaksi antara pembangunan dan lingkungan hidup, sangat minim untuk dicermati secara holistik. Di sinilah paradoksnya. Satu sisi dikampanyekan tentang pembangunan berkelanjutan, tetapi di sisi lain, pengabaian terhadap lingkungan hidup masih saja terus berlangsung. 

Dalam konteks percepatan pembangunan yang sementara dilakukan, tentu kita masih ingat dengan lahirnya Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK). Mungkin inilah satu-satunya UU yang paling banyak menuai sorotan dan kontroversi dari masyarakat. Sejak mahasiswa, kalangan buruh, kelompok masyarakat sipil, akademisi, hingga ormas keagamaan seperti NU, Muhammadiyah dan MUI, secara serentak bereaksi. Tetapi eksekutif-legislatif ketika itu, tetap saja tak bergeming. Para pemerhati hukum menyebutnya sebagai ‘tren buruk’ pembentukan legislasi di negeri merdeka ini.

Seperti sebelumnya telah diprediksi banyak kalangan bahwa produk hukum tersebut, akan menimbulkan berbagai dampak. Maka belakangan, turunan kebijakannya pun satu per satu mulai bersoal. Dan yang ingin dicermati dalam kaitan ini, ialah lahirnya PP 23/2021 tentang Penyelengaraan Kehutanan, yang oleh berbagai kalangan  dinilai tidak pro terhadap lingkungan serta upaya menjaga hutan tetap lestari. Sementara, aspek lingkungan adalah salah satu pilar utama dalam konsep pembangunan berkelanjutan. Jika pembangunan tidak memprioritaskan aspek keberlanjutan, maka akibatnya akan berefek pada rusaknya lingkungan sebagai sebuah ekosistem. Prof.Oekan S.Abdullah mengatakan, salah satu persoalan lingkungan yang kita hadapi selama ini ialah cara kita memperlakukan lingkungan atau lebih tepatnya cara kita menempatkan lingkungan dalam kerangka pembangunan berkelanjutan. Lingkungan seringkali hanya dilihat dan diperlakukan sekadar sebagai ruang dan sumber daya yang dapat dieksploitasi sedemikian rupa demi kepentingan-kepentingan yang terbatas dan berjangka pendek. Dengan cara pandang seperti itu, maka tidak mengherankan jika kerusakan lingkungan terjadi di mana-mana serta memberi dampak yang begitu besar. Hal ini sudah seringkali terjadi, terutama pada sektor strategis, seperti kehutanan, kelautan, pertanian, dan juga pertambangan. 

Hutan adalah merupakan elemen penting dalam menjaga kelestarian lingkungan. Itu sebabnya, mengapa banyak kalangan yang menyorot turunan UUCK tentang kehutanan tersebut. Greenpeace Indonesia menyebut PP 23/2021 berpotensi meningkatkan  deforestasi. Ini bisa saja terjadi, karena hilangnya ketentuan mengenai kewajiban pemerintah menetapkan dan mempertahankan luas kawasan hutan minimal 30 persen dari luas Daerah Aliran Sungai (DAS) dan/atau pulau dengan sebaran yang proporsional. Sebelumnya, aturan ini ada pada Pasal 18 ayat (2) UU No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK), sebetulnya juga telah menghapus ketentuan senada dalam UU No.26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Dengan tidak diaturnya batas minimal yang dibarengi kemudahan pemberian hak pengelolaan di sektor hutan ini, memungkinkan luasan kawasan hutan di tiap daerah akan terus mengalami penyusutan di masa akan datang. 

Laporan KPK Direktorat Penelitian dan Pengembangan - Bidang Pencegahan, menggambarkan bahwa penelitian tentang deforestasi nasional yang dilakukan oleh Margono dkk di tahun 2014, menemukan adanya pembukaan hutan sebesar 6,02 juta hektar (ha) hutan primer alami dan terdegradasi, selama periode tahun 2000–2012. Laju kehilangan hutan primer selama periode ini meningkat rata-rata sebesar 47.000 hektar per tahun (ha/tahun) sehingga pada tahun 2012 mencapai seluas 840.000 ha. Menurut Margono dkk, sebagian besar konversi hutan ini berlangsung di hutan primer yang telah terdegradasi, yang secara umum disebabkan oleh penebangan untuk tujuan komersial. Sebagian yang cukup besar dari hilangnya tutupan hutan itu (40%) terjadi di wilayah yang ditetapkan sebagai hutan lindung atau lahan gambut yang menurut peraturan perundang-undangan di Indonesia dilarang atau dibatasi secara ketat untuk dilakukan pembukaan hutan.

Hal lain yang juga mengkhawatirkan, adalah menyangkut penggunaan kawasan hutan, di mana terjadi perubahan kebijakan. Pada peraturan sebelumnya, PP 24/2010 tentang Penggunaan Kawasan Hutan, disebutkan “Penggunaan Kawasan Hutan melalui Izin Pinjam Pakai (IPPKH)”. Sementara pada PP 23/2021 diubah menjadi “Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan (PPKH)”. Pertanyaannya, tidakkah hal ini semakin memudahkan para pemodal dalam menguasai hutan? Lalu, bagaimana kaitan PPKH ini dengan KKPR (Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang) dan Persetujuan Lingkungan yang diatur dalam UUCK sendiri? Disamping itu, juga menyangkut nilai Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari PPKH yang kompensasinya hanya berkisar antara Rp.11,5 juta – Rp.15,5 juta per hektar. Sementara, sebuah kerugian negara yang begitu besar ditunjukkan dari laporan kajian KPK akibat PNBP yang tidak dipungut. Selama tahun 2003 sampai 2014, Pemerintah memungut PNBP dengan agregat sebesar Rp. 31,0 trilyun dari Dana Reboisasi (DR) dan komponen hutan alam dari Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH). Namun, menurut model perhitungan dalam kajian, Pemerintah seharusnya memungut penerimaan agregat sebesar Rp. 93,9–118,0 trilyun dari DR dan PSDH selama tahun 2003–2014. Angka-angka tersebut menunjukkan bahwa total kerugian negara akibat pemungutan penerimaan DR dan PSDH yang kurang maksimal, mencapai Rp. 62,8–86,9 trilyun atau rata-rata sebesar Rp. 5,24–7,24 trilyun per tahun. 

Pada gilirannya, konsep “ruang” direduksi menjadi sekadar ruang investasi yang dapat diperdagangkan. Konsentrasi penguasaan ruang untuk investasi akan semakin cepat dan massif. Di saat yang sama, penyingkiran ruang-ruang hidup rakyat mungkin terus terjadi. Padahal, kata seorang geografer, Doreen Massey, “Ruang dan wilayah (Space and Place) merupakan bagian penting dalam kehidupan masyarakat. Tapi, kini kita berada di Era Kapital (Capitalocene) ujar Suraya A. Afiff, Akademisi Departemen Antropologi Universitas Indonesia. Era di mana kehidupan dipengaruhi cara pandang dominan yang menempatkan relasi manusia dengan alam dan makhluk lainnya dalam logika kapitalisme. Menurut Suraya, logika kapitalisme memandang alam dan manusia sebagai dua entitas terpisah, ecologies without humans, and humans relations without ecologies. Pemisahan ini membuat alam dijadikan sekedar objek/target yang dihargai oleh manusia secara murah. Lewat cara pandang seperti itulah kapital/modal dapat bekerja secara efektif.

Tampaknya, orientasi perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup kita telah mengalami pergeseran paradigma, yang sepertinya mengangkangi tujuannya yang tertera pada UU.32/2009 (UU-PPLH), demi kepentingan ekonomi atau investasi. Hal ini, sekaligus pula menegaskan betapa pembangunan berkelanjutan (sustainable development) di negeri ini, sungguh-sungguh masih sebatas jargon dan retorika. Mungkin benar yang dikatakan Fritjof Capra bahwa kegagalan pembangunan berkelanjutan yang terjadi saat ini, sebagian besar bersumber pada perilaku manusia yang tidak bertanggung jawab dan hanya mementingkan diri sendiri.

Itulah sekelumit problem yang sempat disorot dari PP 23/2021, dengan sebuah pertanyaan yang menyertai, akankah hutan Indonesia tetap lestari dan terjaga? Akhirnya, bila kebijakan yang dilahirkan oleh penguasa negeri ini masih terus tidak senafas dengan nilai-nilai yang terekam pada konstitusi dan falsafah negara, maka  kemerdekaan Indonesia yang diperingati setiap tahunnya, akan terus memantik tanya karena telah mengalami degradasi makna.

                                                         FAJAR Makassar, Awal September 2021


Rezim Yang Ambigu dan Problem Lingkungan di Indonesia

Permasalahan lingkungan hidup, telah mendapat perhatian besar di hampir semua negara. Ini terutama terjadi sejak dasawarsa 1970-an setelah d...