Rabu, 01 Maret 2023

“Kota Dunia” dan “Tragedi” Banjir Tahunan

Kota Makassar yang selama ini dibranding sebagai “Kota Dunia”, seolah tak bisa lagi dipisahkan dengan banjir. Karena, setiap tahunnya peristiwa tersebut selalu saja terjadi. Senin 13 Februari 2023 lalu, Kota Makassar kembali diterjang banjir besar yang mengakibatkan hampir seluruh wilayah Makassar terendam serta melumpuhkan sebagian besar aktivitas perkotaan. Kejadian ini terus berulang dalam satu dasawarsa terakhir, hingga mengubah bencana banjir Makassar menjadi “tragedi” tahunan.  

Kejadian yang menimpa Kota Makassar sekitar dua pekan lalu, menunjukkan ada problem serius dalam proses pembangunan yang dilakukan, menyebabkan daya resiliensi kotanya semakin melorot. Peristiwa tersebut menegaskan sinyalemen tentang masih berlangsungnya apa yang disebut JO Simmonds dengan istilah ecological suicide atau “bunuh diri ekologis” serta urban suicide atau “bunuh diri Perkotaan”. Mengapa disebut bunuh diri? Guru saya dalam kajian kritis perkotaan dan tata ruang, Prof. Ir. Eko Budihardjo, M.Sc mendaku, karena tokoh-tokoh yang yang notabene dipercaya rakyat untuk mengelola kota justru yang “melukai” dan “membunuh” kotanya dengan aneka kebijakan yang merusak keseimbangan, antara alam, manusia dan lingkungan binaan. Seolah membenarkan firman Tuhan, “Telah nampak kerusakan di daratan dan lautan, akibat perbuatan tangan manusia….” (QS. Ar-Rum: 41).

Dalam realitasnya memang, bencana banjir, longsor dan banjir bandang, umumnya diakibatkan oleh keteledoran manusia. Biasanya terjadi disebabkan karena pengabaian pada dua faktor, yaitu tata ruang dan lingkungan. Yang keduanya sangat terkait antara satu dengan lainnya. Demikian halnya banjir yang dialami Kota Makassar dari tahun ke tahun, merupakan masalah yang sudah begitu lama dan berlarut-larut tanpa penanganan sungguh-sungguh, yang berakar pada kedua faktor utama tersebut. Tata ruang sebagai pedoman pembangunan atau “panglima” pembangunan, tidak diarusutamakan dalam proses-proses pembangunan. Perda No.4 tahun 2015 tentang RTRW Kota Makassar 2015-2034, belum secara efektif dijalankan dan dipedomani. Diperparah lagi, karena belum kelarnya proses penyusunan RDTR (Rencana Detail Tata Ruang) Kota Makassar, yang telah dianggarkan dengan biaya sangat besar di dua periode kekuasaan Wali Kota secara terpisah. Padahal, dengan RDTR itulah, struktur ruang serta pola ruang Kota Makassar bisa dilihat secara lebih rinci dan jelas.

Akibatnya, berbagai macam problem perkotaan bermunculan dan salah satunya adalah banjir tahunan. Itu sebabnya, jika Makassar mengalami banjir, bukan lagi sesuatu yang mengagetkan, karena kondisinya saat ini, sangat memungkinkan hal itu terjadi. Beberapa variabel yang semestinya dapat mencegah atau paling tidak meminimalisir dampak terjadinya banjir, sudah sangat kurang dimiliki Makassar. Sebagai contoh; Daerah Resapan Air dan Ruang Terbuka Hijau (RTH).

Pertama, daerah resapan air telah banyak beralihfungsi menjadi perumahan, permukiman, ruko dan lainnya. Namun, kata Eko Rusdianto, seorang jurnalis lingkungan, anehnya ada juga sejumlah daerah resapan air yang beralih fungsi menjadi kompleks perumahan elit, tapi tidak kebanjiran. Perumahan mewahnya boleh jadi tidak kebanjiran, karena dilengkapi dengan infrastruktur yang memadai, sebab pengembangnya memiliki modal besar. Kendati begitu, keberadaan kompleks tersebutlah yang menyebabkan kawasan permukiman di sekitarnya terkena dampak. Nah, alih fungsi semacam inilah yang dapat dikategorikan sebagai proses gentrifikasi, yaitu pencaplokan ruang atas nama kuasa. Fenomena ini bisa mengarah pada terciptanya segregasi sosial dan spasial. Jika hal tersebut, dibiarkan terus menerus berlangsung, maka suatu ketika, konflik sosial pun tidak menutup kemungkinan akan terjadi.

Kedua, kondisi RTH Kota Makassar, masih sangat minim, belum mencapai 10 persen. Padahal, UU Penataan Ruang mensyaratkan 20 persen untuk publik dan 10 persen privat. Karena itu, Makassar belum mampu menjadi Kota yang berwawasan lingkungan. Padahal, dalam Visi Kota Makassar (Visi Daerah) yang tertuang dalam RPJPD-nya 2005-2025 menegaskan hal tersebut, yakni “Makassar sebagai kota maritim, niaga, pendidikan, budaya dan jasa yang berorientasi global, dan berwawasan lingkungan.”

Rendahnya kesadaran ekologis di kalangan elit serta penguasa dalam mengelola kota dan daerahnya, menunjukkan ada kesalahan mendasar yang terjadi atas hubungan manusia dengan alam. Bagi Prof. Seyyed Hossein Nasr, krisis ekologis dan pelbagai jenis kerusakan bumi, yang telah berlangsung sejak lama, berakar pada krisis spiritual dan eksistensial manusia modern. Dalam “Man and Nature: The Spiritual Crisis in Modern Man”, Hossein Nasr menyebutkan bahwa pada pandangan modernisme, kosmos telah mati dan hanyalah sebagai kumpulan onggokan benda mati, materi yang tidak bernyawa, tak berperasaan, tidak bernilai, kecuali semata-mata nilai keuntungan ekonomis. Ia juga menulis, “Krisis lingkungan bisa dikatakan bahwa penyebabnya karena penolakan manusia untuk melihat Tuhan sebagai “Lingkungan” yang nyata, yang mengelilingi manusia dan memelihara kehidupannya. Kerusakan lingkungan merupakan akibat dari upaya manusia modern dalam memandang lingkungan alam sebagai tatanan realitas yang secara ontologis berdiri sendiri, terpisah dari Lingkungan Ilahiah yang tanpa berkah pembebasan-Nya lingkungan menjadi sekarat dan mati.”

Oleh sebab itu, karena banjir Makassar sudah menjelma menjadi “tragedi”, maka warga Kota Makassar, perlu mempertanyakan serta menagih janji Wali Kota terkait penyelesaian banjir, yang tertuang dalam RPJMD Kota Makassar, sejak Periode Pertama 2014-2019 maupun Periode Kedua sekarang 2021-2026. Ironisnya, belum lagi persoalan banjir tahunan tertangani, ancaman banjir ROB yang dapat terjadi setiap saat, kini sudah di depan mata. Fenomena pemanasan global, perubahan iklim (climate change) dan berbagai bencana lingkungan, sudah semestinya mendorong pengelola kota untuk berpikir ulang menata ruang kota dan kehidupan warganya secara lebih progresif.

Perjumpaan antara land subsidence (penurunan muka tanah) di satu sisi dengan sea level rise (kenaikan muka laut) di sisi lainnya, sewaktu-waktu akan menghampiri dan menjadi bencana besar bagi kehidupan warga kota, khususnya yang berada di sekitar wilayah pesisir. Sayangnya, alih-alih berpikir strategis, terencana, komprehensif serta responsif, penguasa kota justru kerap kali melakukan cultural suicide (“bunuh diri budaya”), ketika “memaksakan” kebenaran tunggal atas pandangannya terkait “tragedi” banjir tahunan ini. Di mana, pengelola kota tak mau mendengar dan menerima masukan apalagi kritikan dari warga masyarakat, yang tidak sejalan dengan keinginan dan pemikirannya. Kurangnya sensitivitas, kepekaan serta pola komunikasi yang kurang tepat dari penguasa terhadap rakyatnya, akan menjadi malapetaka bagi kehidupan warga kota yang sudah tertimpa berbagai kesulitan.

Akhirnya, sebagai warga Kota Makassar, sekiranya menyaksikan kinerja Pemkot Makassar, belum terlihat serius dan sungguh-sungguh menangani “tragedi” banjir ini, maka tampaknya setelah melewati peristiwa tahun ini, warga kota juga tetap harus memikirkan upaya serta langkah-langkah yang diperlukan guna menghadapi problem yang sama pada tahun-tahun mendatang. Di samping itu, kita semua mesti terus mencermati proses pembangunan yang dilakukan oleh penguasa, sembari mengingat warning dari Guru Besar Perkotaan dan Arsitektur Prof. Eko Budihardjo, “Jangan dibiarkan kota-kota kita rusak, hanya karena kita beri keleluasaan pada penguasa lalim dan pengusaha hitam, merajalela membangun kota dengan seenaknya.”

                                                                                   Harian FAJAR, Akhir Februari 2023

Rezim Yang Ambigu dan Problem Lingkungan di Indonesia

Permasalahan lingkungan hidup, telah mendapat perhatian besar di hampir semua negara. Ini terutama terjadi sejak dasawarsa 1970-an setelah d...