Kota Makassar yang selama ini dibranding
sebagai “Kota Dunia”, seolah tak bisa lagi dipisahkan dengan banjir. Karena,
setiap tahunnya peristiwa tersebut selalu saja terjadi. Senin 13 Februari 2023
lalu, Kota Makassar kembali diterjang banjir besar yang mengakibatkan hampir
seluruh wilayah Makassar terendam serta melumpuhkan sebagian besar aktivitas
perkotaan. Kejadian ini terus berulang dalam satu dasawarsa terakhir, hingga
mengubah bencana banjir Makassar menjadi “tragedi” tahunan.
Kejadian yang menimpa Kota Makassar sekitar dua pekan lalu,
menunjukkan ada problem serius dalam proses pembangunan yang dilakukan,
menyebabkan daya resiliensi kotanya semakin melorot. Peristiwa tersebut
menegaskan sinyalemen tentang masih berlangsungnya apa yang disebut JO Simmonds
dengan istilah ecological suicide atau “bunuh diri ekologis” serta urban
suicide atau “bunuh diri Perkotaan”. Mengapa disebut bunuh diri? Guru saya
dalam kajian kritis perkotaan dan tata ruang, Prof. Ir. Eko Budihardjo, M.Sc
mendaku, karena tokoh-tokoh yang yang notabene dipercaya rakyat untuk mengelola
kota justru yang “melukai” dan “membunuh” kotanya dengan aneka kebijakan yang
merusak keseimbangan, antara alam, manusia dan lingkungan binaan. Seolah
membenarkan firman Tuhan, “Telah nampak
kerusakan di daratan dan lautan, akibat perbuatan tangan manusia….” (QS.
Ar-Rum: 41).
Dalam realitasnya memang, bencana banjir, longsor dan banjir bandang, umumnya diakibatkan oleh keteledoran manusia. Biasanya terjadi disebabkan karena pengabaian pada dua faktor, yaitu tata ruang dan lingkungan. Yang keduanya sangat terkait antara satu dengan lainnya. Demikian halnya banjir yang dialami Kota Makassar dari tahun ke tahun, merupakan masalah yang sudah begitu lama dan berlarut-larut tanpa penanganan sungguh-sungguh, yang berakar pada kedua faktor utama tersebut. Tata ruang sebagai pedoman pembangunan atau “panglima” pembangunan, tidak diarusutamakan dalam proses-proses pembangunan. Perda No.4 tahun 2015 tentang RTRW Kota Makassar 2015-2034, belum secara efektif dijalankan dan dipedomani. Diperparah lagi, karena belum kelarnya proses penyusunan RDTR (Rencana Detail Tata Ruang) Kota Makassar, yang telah dianggarkan dengan biaya sangat besar di dua periode kekuasaan Wali Kota secara terpisah. Padahal, dengan RDTR itulah, struktur ruang serta pola ruang Kota Makassar bisa dilihat secara lebih rinci dan jelas.
Akibatnya, berbagai macam problem
perkotaan bermunculan dan salah satunya adalah banjir tahunan. Itu sebabnya,
jika Makassar mengalami banjir, bukan lagi sesuatu yang mengagetkan, karena
kondisinya saat ini, sangat memungkinkan hal itu terjadi. Beberapa variabel
yang semestinya dapat mencegah atau paling tidak meminimalisir dampak
terjadinya banjir, sudah sangat kurang dimiliki Makassar. Sebagai contoh;
Daerah Resapan Air dan Ruang Terbuka Hijau (RTH).
Pertama, daerah resapan air telah banyak beralihfungsi menjadi perumahan,
permukiman, ruko dan lainnya. Namun, kata Eko Rusdianto, seorang jurnalis
lingkungan, anehnya ada juga sejumlah daerah resapan air yang beralih fungsi
menjadi kompleks perumahan elit, tapi tidak kebanjiran. Perumahan mewahnya
boleh jadi tidak kebanjiran, karena dilengkapi dengan infrastruktur yang
memadai, sebab pengembangnya memiliki modal besar. Kendati begitu, keberadaan
kompleks tersebutlah yang menyebabkan kawasan permukiman di sekitarnya terkena
dampak. Nah, alih fungsi semacam inilah yang dapat dikategorikan sebagai proses
gentrifikasi, yaitu pencaplokan ruang atas nama kuasa. Fenomena ini bisa
mengarah pada terciptanya segregasi sosial dan spasial. Jika hal tersebut,
dibiarkan terus menerus berlangsung, maka suatu ketika, konflik sosial pun tidak
menutup kemungkinan akan terjadi.
Kedua, kondisi RTH Kota Makassar, masih sangat minim, belum mencapai 10
persen. Padahal, UU Penataan Ruang mensyaratkan 20 persen untuk publik dan 10
persen privat. Karena itu, Makassar belum mampu menjadi Kota yang berwawasan
lingkungan. Padahal, dalam Visi Kota Makassar (Visi Daerah) yang tertuang dalam
RPJPD-nya 2005-2025 menegaskan hal tersebut, yakni “Makassar sebagai kota
maritim, niaga, pendidikan, budaya dan jasa yang berorientasi global, dan
berwawasan lingkungan.”
Rendahnya kesadaran ekologis di
kalangan elit serta penguasa dalam mengelola kota dan daerahnya, menunjukkan
ada kesalahan mendasar yang terjadi atas hubungan manusia dengan alam. Bagi
Prof. Seyyed Hossein Nasr, krisis ekologis dan pelbagai jenis kerusakan bumi,
yang telah berlangsung sejak lama, berakar pada krisis spiritual dan eksistensial
manusia modern. Dalam “Man and Nature:
The Spiritual Crisis in Modern Man”, Hossein Nasr menyebutkan bahwa pada
pandangan modernisme, kosmos telah mati dan hanyalah sebagai kumpulan onggokan
benda mati, materi yang tidak bernyawa, tak berperasaan, tidak bernilai,
kecuali semata-mata nilai keuntungan ekonomis. Ia juga menulis, “Krisis lingkungan bisa dikatakan bahwa
penyebabnya karena penolakan manusia untuk melihat Tuhan sebagai “Lingkungan”
yang nyata, yang mengelilingi manusia dan memelihara kehidupannya. Kerusakan
lingkungan merupakan akibat dari upaya manusia modern dalam memandang
lingkungan alam sebagai tatanan realitas yang secara ontologis berdiri sendiri,
terpisah dari Lingkungan Ilahiah yang
tanpa berkah pembebasan-Nya lingkungan menjadi sekarat dan mati.”
Oleh sebab itu, karena banjir
Makassar sudah menjelma menjadi “tragedi”, maka warga Kota Makassar, perlu
mempertanyakan serta menagih janji Wali Kota terkait penyelesaian banjir, yang
tertuang dalam RPJMD Kota Makassar, sejak Periode Pertama 2014-2019 maupun
Periode Kedua sekarang 2021-2026. Ironisnya, belum lagi persoalan banjir
tahunan tertangani, ancaman banjir ROB yang dapat terjadi setiap saat, kini
sudah di depan mata. Fenomena pemanasan global, perubahan iklim (climate
change) dan berbagai bencana lingkungan, sudah semestinya mendorong
pengelola kota untuk berpikir ulang menata ruang kota dan kehidupan warganya
secara lebih progresif.
Perjumpaan antara land
subsidence (penurunan muka tanah) di satu sisi dengan sea level rise
(kenaikan muka laut) di sisi lainnya, sewaktu-waktu akan menghampiri dan
menjadi bencana besar bagi kehidupan warga kota, khususnya yang berada di
sekitar wilayah pesisir. Sayangnya, alih-alih berpikir strategis, terencana, komprehensif
serta responsif, penguasa kota justru kerap kali melakukan cultural suicide
(“bunuh diri budaya”), ketika “memaksakan” kebenaran tunggal atas pandangannya
terkait “tragedi” banjir tahunan ini. Di mana, pengelola kota tak mau mendengar
dan menerima masukan apalagi kritikan dari warga masyarakat, yang tidak sejalan
dengan keinginan dan pemikirannya. Kurangnya sensitivitas, kepekaan serta pola
komunikasi yang kurang tepat dari penguasa terhadap rakyatnya, akan menjadi
malapetaka bagi kehidupan warga kota yang sudah tertimpa berbagai kesulitan.
Akhirnya, sebagai warga Kota Makassar, sekiranya menyaksikan kinerja Pemkot Makassar, belum terlihat serius dan sungguh-sungguh menangani “tragedi” banjir ini, maka tampaknya setelah melewati peristiwa tahun ini, warga kota juga tetap harus memikirkan upaya serta langkah-langkah yang diperlukan guna menghadapi problem yang sama pada tahun-tahun mendatang. Di samping itu, kita semua mesti terus mencermati proses pembangunan yang dilakukan oleh penguasa, sembari mengingat warning dari Guru Besar Perkotaan dan Arsitektur Prof. Eko Budihardjo, “Jangan dibiarkan kota-kota kita rusak, hanya karena kita beri keleluasaan pada penguasa lalim dan pengusaha hitam, merajalela membangun kota dengan seenaknya.”
Harian FAJAR, Akhir Februari 2023