Rabu, 28 November 2018

Meletakkan Ulang Visi Kota Makassar (Catatan untuk Wali Kota Makassar)


Kira-kira sekitar tiga tahun lalu, tepatnya Mei 2014, slogan  menjadikan “Makassar Kota Dunia Yang Nyaman Untuk Semua” mulai akrab dan menggema di ‘ruang’ kota Makassar. Sebuah harapan besar yang ditawarkan oleh pemimpin pemerintahan yang baru kepada masyarakatnya kala itu. Visi kota yang terkesan sangat bombastis, tapi sekaligus menjanjikan bangunan masa depan yang lebih baik. Hanya saja, dibalik visi yang menjanjikan itu, bagi saya ada kerancuan yang sangat fundamental yang mesti diperbaiki, terkait dengan visi kota Makassar tersebut. Karena itu, tulisan ini merupakan catatan yang ingin saya ajukan sebagai masukan dan usulan kepada Wali Kota Makassar yang saya hormati.

Berikut ini beberapa hal yang perlu kita cermati bersama, sebagai koreksi serta masukan dalam rangka meletakkan ulang visi kota Makassar pada proporsinya, yaitu antara lain :


Pertama, Visi manakah sesungguhnya yang ingin dicapai oleh Pemerintah Kota Makassar? Pertanyaan ini masih terus mengganjal dalam benak saya. Apakah visi yang ada pada RPJPD (Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah) atau visi yang ada pada RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah). Lebih konkritnya lagi, apakah memilih antara Visi Daerah yang tertuang dalam RPJPD atau Visi Wali Kota terpilih yang diadopsi menjadi RPJMD.


Kedua, RPJPD yang memuat visi daerah, sejatinya merupakan panduan pembangunan yang akan dituju oleh sebuah daerah, dalam rentang waktu 20 tahun. Dalam hal ini, untuk kota Makassar antara 2005 – 2025. Sebab itu, penyusunan visi-misi calon Kepala Daerah dalam sebuah perhelatan pilkada, harusnya mengacu pada RPJPD. Karena, visi-misi Kepala Daerah terpilihlah yang nantinya akan dimasukkan dalam RPJMD. Pada konteks inilah terlihat adanya kerancuan. Perda No.13 Tahun 2006 tentang RPJPD Kota Makassar 2005–2025, menyebutkan bahwa Visi Kota Makassar adalah “Makassar sebagai Kota Maritim, Niaga, Pendidikan, Budaya dan Jasa yang Berorientasi Global, Berwawasan Lingkungan dan paling bersahabat.” Artinya Kota Makassar akan mengarahkan seluruh pembangunannya untuk meraih visi tersebut pada tahun 2025 mendatang. Sementara itu, dalam Perda No.5 tahun  2014 tentang RPJMD Kota Makassar 2014–2019, visinya adalah  “Makassar Kota Dunia yang Nyaman Untuk Semua.” Dengan peletakan visi seperti ini, mengakibatkan Visi Kota Makassar menjadi kabur dan membingungkan. Di mana muatan visi RPJMD lebih global (sifatnya universal) dibandingkan muatan visi dalam RPJPD yang mengerucut pada lima aspek sasaran yaitu, maritim, niaga, pendidikan, budaya dan jasa (sifatnya partikular). Dengan demikian RPJMD tidak lagi mengacu pada RPJPD, yang mana semestinya RPJMD merupakan turunan atau penjabaran dari RPJPD . Padahal dalam Perda No.5/2014 ini  sendiri, dijelaskan bahwa RPJMD 2014-2019 berpedoman pada RPJPD 2005-2025.


Ketiga, Karena kedua rencana pembangunan tersebut bersifat hirarkis, di mana visi RPJPD merupakan ‘visi daerah’ yang akan dicapai pada kurun waktu 20 tahun, sementara visi dalam RPJMD adalah ‘visi antara’ yang diwujudkan pada setiap lima tahunan, maka seperti diutarakan oleh Pakar Tata Kota Unhas Prof.Dr.Ir.Slamet Trisutomo, dalam Dialog Akhir Tahun Harian FAJAR 27 Desember 2016, dengan mengatakan bahwa visi tentang kota dunia ini mestinya menjadi visi jangka panjang. Maka dari itu, revisi yang harus dilakukan seharusnya menempatkan visi “Makassar Menuju Kota Dunia Yang Nyaman Untuk Semua” menjadi Visi RPJPD 2025. Dengan catatan, kata ‘menuju’ dalam visi ini sangat penting disematkan karena kita baru sedang bergerak menuju 2025. Sementara yang tadinya merupakan Visi RPJPD diturunkan menjadi Visi RPJMD sebagai bentuk penjabarannya atau merumuskan ulang skala prioritas pembangunan yang akan dikerjakan oleh pemerintahan sekarang dalam  waktu dua setengah tahun yang tersisa.


Keempat, Solusi yang dapat dilakukan untuk keluar dari kerancuan di atas, adalah menempuh jalan satu-satunya yang memungkinkan, yakni melakukan revisi/perubahan terhadap kedua Perda tersebut, baik terkait RPJPD maupun RPJMD. Jika memperhatikan pemberitaan di Harian FAJAR 25 Desember 2016, maka hal ini sangat terbuka ruang itu, untuk dilakukan oleh Wali Kota Makassar dan DPRD Kota Makassar. Apalagi keduanya sudah masuk dalam daftar usulan Ranperda Perubahan pada Prolegda 2016 yang akan diagendakan kembali pada tahun 2017 ini.


Dengan demikian, melalui cara seperti itu, visi kota Makassar bisa kembali diletakkan pada proporsi yang sebenarnya. Dan, proses perencanaan pembangunan dapat berlangsung sesuai arah dan tujuan yang akan dicapai, sehingga tidak terjadi lagi hal yang paradoks. Semisal, di satu sisi, disebutkan bahwa kunci kota dunia ada pada pelayanan publik, sementara pada sisi yang lain mengabaikan ranperda mengenai transportasi, yang justru merupakan salah satu bentuk pelayanan publik yang sangat vital. Berbagai inovasi pembangunan hanya dapat dilakukan dengan tetap merujuk pada regulasi dan produk perencanaan yang ada, seperti RTRW Kota Makassar.  Sebab itu, membangun kota Makassar tentu tidak bisa dilakukan secara parsial, melainkan dengan pendekatan menyeluruh dan komprehensif.


Oleh karena itu, kalau saja struktur logika peletakan visi kota Makassar ini tidak diperbaiki, maka Ranperda kota dunia menjadi tidak relevan lagi untuk diteruskan pembahasannya. Sebab, bila tetap dilakukan, maka sama saja melanjutkan kesalahan fundamental yang telah dilakukan sebelumnya.


Meletakkan ulang visi kota Makassar pada rel yang sebenarnya, menjadi hal urgen dan mendesak, agar tidak berlarut-larut dalam kekeliruan. Dan, sekiranya upaya ini bisa segera diwujudkan, maka akan menciptakan tertib administrasi dan tata kelola pemerintahan yang baik serta implementasi perencanaan pembangunan yang selaras dan tersinkronisasi. Semoga masukan ini bermanfaat adanya.


FAJAR Makassar, Januari 2017

Pendidikan Planologi dan Tanggung Jawab Terhadap Penataan Ruang


Sekitar lima puluh delapan tahun sudah, pendidikan Perencanaan Wilayah dan Kota menancapkan kukunya di bumi Indonesia, diawali lewat pendirian Jurusan Teknik Planologi di Institut Teknologi Bandung pada tahun 1959. Pada Kawasan Timur Indonesia, khususnya di wilayah Sulawesi dan sekitarnya, bidang Planologi (Perencanaan Wilayah dan Kota) telah berusia lebih dari tiga dekade, yang pada mulanya ditandai dengan dibukanya jurusan tersebut di Universitas “45” Makassar (sekarang Universitas Bosowa) pada tahun 1986. Kemudian disusul di Universitas Hasanuddin (unhas) tahun 2004 serta Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin tahun 2006. Kini, di kawasan Timur ini, jurusan Planologi/PWK telah menyebar ke Sulawesi Tenggara, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Kalimantan Timur dan juga di Tanah Papua.
Pada dasarnya, Ilmu Planologi memang belum dikenal secara luas oleh masyarakat umum. Tetapi belakangan ini, terutama dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, sejak keluarnya UU. No.26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, kebutuhan akan tenaga Perencana atau Planolog (Planner) di berbagai daerah, kian terasa diperlukan. Pertanyaannya, apa sih ilmu Planologi atau Perencanaan itu? Bidang Planologi,  merupakan sebuah ilmu pengetahuan dan profesi di mana memiliki lingkup yang sifatnya multi disipliner, karena di dalamnya terdapat keterkaitan dengan berbagai bidang atau profesi lain. Dalam buku Profil Asosiasi Sekolah Perencanaan Indonesia (ASPI), Conyers & Hills mendefinisikan Perencanaan sebagai suatu proses yang berkesinambungan yang mencakup keputusan-keputusan atau pilihan-pilihan berbagai alternatif penggunaan sumber daya untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu pada masa yang akan datang. Sementara Robinson menyebut Perencanaan sebagai seni membuat keputusan sosial secara rasional.
Terjadinya perkembangan pembangunan yang begitu pesat di berbagai daerah dan wilayah, membuat tuntutan akan peran serta para Planolog (Planner) menjadi sangat penting, demi terlaksananya proses pembangunan pada rel yang benar. Seiring dengan hal itu, maka kebutuhan akan tenaga Perencana/Planolog pun menjadi semakin meningkat. Namun demikian, hingga saat ini kebutuhan tersebut belum juga dapat terpenuhi. Data dari Bidang Sertifikasi dan Layanan Perencana - Ikatan Ahli Perencanaan Indonesia (IAP), menunjukkan bahwa estimasi lulusan dari 52 Program Studi (Prodi) Perencanaan Wilayah dan Kota (PWK) seluruh Indonesia sebanyak 2547 orang setiap tahunnya. Dari jumlah itu, diasumsikan hanya 50% yang berprofesi sebagai Perencana. Artinya hanya 1250 orang tenaga Planolog (Planner) dalam setahun yang siap mengabdikan dirinya sesuai dengan bidang keilmuannya. Sementara kebutuhan Planolog/Perencana setiap tahunnya berkisar 1500-2000 orang untuk sektor publik (public sector), dan ini belum termasuk private sector.
Planolog dan Tanggung Jawabnya
Seiring dengan permintaan tenaga Perencana atau Planolog yang cukup pesat, maka kita pun dihadapkan pada banyaknya permasalahan pembangunan dan perencanaan yang mesti dicermati oleh para Planolog. Sebagai contoh, seringnya terjadi inkonsistensi yang dilakukan oleh pemerintah daerah dalam mengimplementasikan produk-produk tata ruang, sinkronisasi antara kebijakan pembangunan dengan kebijakan spasial yang selalu menghadapi kendala, dilema antara pertumbuhan pembangunan dan pelestarian lingkungan, alih fungsi ruang yang tak terkendali, konflik ruang dan kebutuhan infrastruktur, lemahnya pengendalian pemanfaatan ruang, serta sejumlah permasalahan lainnya. Hal ini, menjadikan institusi pendidikan yang membina jurusan perencanaan wilayah dan kota, harus lebih tanggap untuk segera membenahi diri dalam menghasilkan keluaran yang berkualitas, agar mampu menjawab berbagai tantangan yang sudah pasti akan dihadapi.
Menarik mencermati apa yang pernah disampaikan oleh Prof.Dr.Ir.Djoko Sujarto lewat sebuah tulisannya, dengan mengatakan bahwa produk/keluaran pendidikan Perencanaan Wilayah dan Kota (Planologi) hanya dapat dimanfaatkan secara optimal, apabila pendidikan itu mengacu pada suatu falsafah yang melandasi  tujuan suatu perencanaan. Karena itu, secara subtantif Pendidikan Planologi harus diarahkan pada :
1. Kemampuan memahami permasalahan (problem oriented), yaitu anggapan bahwa perencana akan bekerja dalam lingkungan yang koheren dan perlu mempunyai kemampuan analitik untuk memahami permasalahan wilayah dan kota secara mendasar.
2. Kemampuan memecahkan permasalahan (solution oriented), yaitu lebih ditekankan pada pembinaan kemampuan operasional dan penemuan solusi di dalam situasi yang serba komplek dengan berbagai ragam perilaku masyarakat.
3. Kemampuan menggabungkan kedua orientasi tersebut, yakni mengasah kemampuan dalam meramu, antara kemampuan menganalisis dengan kemampuan menerapkan pemahaman permasalahan untuk memecahkan masalah secara operasional.
Di samping itu, hal lain yang perlu menjadi perhatian dalam pengembangan pendidikan Perencanaan Wilayah dan Kota (Planologi) di Indonesia, bahwa :
Pertama, Dalam beberapa dekade terakhir ini, ada kecenderungan baru dalam  dunia perencanaan yang sedang berkembang, yang mana menunjukkan adanya suatu tuntutan untuk lebih memperhatikan ‘perencanaan dari bawah’ (bottom up) ketimbang ‘perencanaan yang ditentukan dari atas’ (top down), sebagaimana yang banyak dilakukan selama ini. Kecenderungan ini, seperti yang didakukan oleh Michael Fagence melahirkan serta menyebabkan berkembangnya sistem perencanaan seperti; participatory planning, advocacy planning, public intervention in planning process dan lain sebagainya.
Kedua, Perubahan dan perkembangan yang sedang terjadi di masyarakat, menuntut dan berharap adanya sebuah pola pendekatan perencanaan yang lebih memperhatikan pola nilai dan perilaku. Dalam konteks ini, urgensi dan kemampuan dalam memahami teori nilai serta perilaku manusia akan sangat penting dalam program pendidikan Perencanaan Wilayah dan Kota (Planologi).
Lalu, bagaimana dari segi kualitas individu? Perencana seperti apa yang sesungguhnya diharapkan? Terkait hal ini, agaknya masih relevan dengan apa yang pernah diujarkan oleh Prof.Dr. Harijadi P Supangkat, dalam sebuah Forum Nasional Mahasiswa Perencanaan Indonesia, dengan mengatakan, “Suatu dimensi yang harus dimiliki oleh seorang Planolog/Planner, selain berwawasan masa depan adalah peka serta dapat menghayati aspirasi dan keinginan yang hidup dalam masyarakat.” Oleh karena itu, seorang Planolog atau Planner mesti memiliki paling tidak beberapa hal berikut : Pertama, Idealisme. Bahwa dalam menjalankan profesinya, seorang Perencana harus memiliki integritas dan senantiasa terikat oleh kewajiban dalam menerapkan nilai-nilai serta kode etik profesi. Kedua, Komitmen dan konsistensi. Bahwa Perencana atau Planner mesti bersungguh-sungguh dalam memperjuangkan nilai-nilai keprofesian serta secara terus menerus menjaga komitmen tersebut. Ketiga, Kompetensi. Di samping kedua hal sebelumnya, Perencana juga harus terus mengasah kemampuan serta kompetensinya dalam mengembangkan ilmu perencanaan wilayah dan kota yang dimilikinya.
Pada akhirnya, kita berharap institusi pendidikan Perencanaan Wilayah dan Kota (Planologi), mampu melahirkan keluaran-keluaran yang mumpuni dan menjadi seorang Planolog – Planner yang Ideolog. Bukan Planner yang dengan mudah melacurkan profesinya. Bukan pula Planner yang hanya bangga berada pada menara gading keilmuan, namun tidak memiliki kepedulian terhadap problematika ruang dan profesinya. Yang kita butuhkan adalah Planner yang dapat menjalankan tanggung jawab untuk mengembang misi bersama dalam mewujudkan penataan ruang yang aman, nyaman, produktif, berkelanjutan serta juga manusiawi dan berkeadilan. Dengan begitu, para Planolog dapat memberikan kontribusi, pengabdian dan pengkhidmatannya bagi masyarakat secara luas. Wallahu a’lam bisshawab

RADAR Makassar, Mei 2017

Mendaras Kedudukan dan Akhlak Rasulullah SAW (Catatan dalam rangka Maulid Nabi SAW)


sumber: google
Saat kita berbicara tentang Nabi Muhammad, maka yang terbetik dalam ingatan kita adalah kesempurnaan seorang manusia. Pribadi Muhammad SAW yang sempurna ini merupakan teladan hidup tidak hanya bagi kaum Muslim tetapi bagi seluruh umat manusia. Kejujuran, keadilan, kebenaran, kebaikan dan kasih sayangnya merambah pada semua lapisan manusia. pada seorang yang tidak beragama Islam pun, Muhammad akan tetap berlaku adil dan bijaksana. Akhlak Muhammad SAW yang agung ini telah memancar bagi segenap alam. Allah berfirman: “Dan sesungguhnya engkau (Muhammad) memiliki akhlak/budi pekerti yang luhur dan agung.”(QS. Al-Qalam : 4).

Kedudukan Rasulullah SAW dalam Dimensi Spiritual dan Sosial

Sedemikian tingginya kedudukan Rasulullah SAW sehingga bisa dikatakan bahwa tidak ada seorang pun manusia yang dapat menggambarkannya dengan sempurna. Karena itu, jika memang demikian, maka tidak ada cara lain kecuali kita kembali kepada Al-Quran untuk melihat bagaimana Allah SWT memandang Nabi kita Muhammad SAW.

Dalam Al-Quran Allah SWT berfirman : “Dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu.” (QS. Al-A’raf :156). Ketika Allah SWT menyebut Rasul-Nya maka Dia pun menisbatkan rahmat itu padanya, dimana Allah berfirman : “Dan Kami tidak mengutusmu (hai Muhammad) kecuali untuk menjadi rahmat bagi alam semesta.” (QS. Al-Anbiya’: 107). Tentu setiap orang akan merasa heran, sebab maqam rahmat yang merupakan milik Allah ternyata diberikan-Nya juga pada Nabi-Nya. Begitu juga sifat ar-ra’uf ar-rahim yang merupakan sifat Allah, lagi-lagi diberikannya pada Rasul-Nya sebagaimana firman-Nya : “Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.”(QS. At-Taubah : 128).

Sayyid Kamal Haidari menjelaskan secara mendalam dua poin dalam Al-Quran yang sangat penting dan menunjukkan bagaimana sesungguhnya posisi Nabi Muhammad SAW. Pertama, “Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya.”(QS. Al-Baqarah : 31). Kedua, “Kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman:”Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang betul orang-orang yang benar!”(QS. Al-Baqarah : 31). Dua poin dari ayat yang penuh berkah ini menjelaskan kepada kita bahwa Adam belajar langsung dari Allah SWT karena pelaku (fa’il) dalam ayat “wa allama” (mengajarkan) adalah Allah SWT. Sebab poin kedua berbunyi: Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu (anbi’hum biasmaaihim). Jadi antara Allah dan Adam tidak ada perantara (wasithah) tapi Adam-lah yang menjadi perantara antara Allah dan para malaikat. Dalam ayat tersebut terdapat dua kekhususan penting. Pertama, bahwa maujud (eksistensi) ini belajar langsung dari Allah SWT dan tidak diperantarai makhluk lain. Kedua, bahwa maujud ini menjadi perantara antara Allah dan para malaikat.

Hal penting lainnya kata Sayyid Kamal Haidari ialah : siapakah yang dimaksud Adam dalam ayat tersebut? Mungkin sebagian besar kita mengira bahwa Adam yang dimaksud adalah Adam Bapak Manusia (Abul Basyar). Jawabnya sama sekali tidak! Al-Quran Al-Karim ketika mengisyaratkan Adam, maka ia mengisyaratkan kepada dua Adam. Ada Adam fil Mulki atau Adam Abul Basyar, yaitu di alam kita. Namun ada Adam yang disebut Adamul malakuti. Adam ini adalah makhluk yang pertama, namun bukan di alam ini tapi di alam malakut, sebelum alam ini. Bagian terpenting dari penjelasan ini, kita bisa menyingkap hakikat yang fundamental, yaitu bahwa wujud Nabi Terakhir, yakni wujud malakuti atau hakikat nurnya adalah ciptaan yang pertama kali diciptakan oleh Allah SWT. Kemudian Allah mengajarinya dan menjadikannya washithah (perantara) antara Allah dan para makhluknya. Karena itu tidak ada satu ciptaan pun di alam ini kecuali berasal dari “tetesan” Nabi SAW dan tidak ada sesuatu pun yang naik menuju Allah kecuali lewat dari sisi eksistensi Nabi SAW. Jabir bin Abdillah bertanya: “Ya Rasulullah, apa ciptaan yang pertama kali diciptakan oleh Allah? Rasul menjawab: “Wahai Jabir, sesuatu yang pertama kali diciptakan oleh Allah adalah Nur Nabimu, kemudian darinya Dia menciptakan semua kebaikan.” Dalam riwayat juga cukup banyak yang menyatakan bahwa Nabi SAW bersabda: “Aku yang pertama kali diciptakan di antara kalian dan yang paling akhir diutus di antara kalian.” Nabi menyatakan bahwa dari sisi penciptaan, beliau adalah makhluk yang pertama kali diciptakan, namun dari sisi kemunculan di alam materi ini maka beliau adalah nabi yang terakhir diutus. Inilah maqam Nabi Muhammad SAW.

Pada dimensi sosial, Ali Syariati mendakukan bahwa Muhammad SAW telah mendeklarasikan, semua manusia itu satu, satu jenis, satu keluarga dan satu makhluk dari Tuhan yang satu. Berdasarkan prinsip kesamaan inilah beliau membangun masyarakat baru yang berlandaskan pada ideologi yang kuat dan konsep pembangunan ekonomi serta sosial yang kokoh. Oleh karena itu, bukanlah hal yang aneh jika masyarakat Madinah telah mengembalikan Bilal – seorang budak – pada posisi dan kedudukannya sebagai manusia yang mulia. Ini semua merupakan revolusi besar dalam meletakkan arti kemuliaan dan kepemimpinan di tengah masyarakat.

Sayangnya, di negeri tercinta ini, berbagai peristiwa masih saja terjadi dalam aktivitas berbangsa dan bernegara, yang cenderung mencederai suasana kehidupan keberagamaan kita sebagai umat Nabi SAW. Pertama, masih maraknya berbagai penyelewengan dan penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan oleh jajaran penguasa dan pemerintahan, yang tidak menunjukkan adanya perbaikan dan perubahan ke arah yang lebih baik, padahal perayaan Maulid sudah dilakukan pada berbagai strata sosial. Seolah Maulid Nabi tersebut sepertinya tidak dapat mengubah karakter dan moral bangsa ini. Kedua, masih seringnya terjadi kekerasan atas nama agama yang dilakukan oleh sekelompok orang yang mengklaim diri sebagai pemilik kebenaran satu-satunya, yang kesemuanya itu tidak mencerminkan akhlak Nabi SAW.

Akhirnya, pencitraan diri Muhammad Rasulullah SAW di hati kita, akan mengungkap siapa kita sebenarnya. Karena Muhammad yang sesungguhnya adalah sosok manusia agung yang melingkupi semua dimensi kemanusiaan dengan warna-warna Ilahiah. Dan karenanya keberadaannya sama dekatnya dengan nadi kehidupan manusia. Maka sejatinya, pembumian nilai-nilai akhlak muhammadi yang menjadi tema sentral gagasan perubahan peradaban, akan menentukan keselamatan hidup kita nanti. Sebagai pecinta Rasulullah, maka sudah sepantasnya kita semua bertekad menjadikan diri kita sebagaimana Muhammad SAW. Wallahu a’lam bisshawab.


Pare Pos, Desember 2016

Rezim Yang Ambigu dan Problem Lingkungan di Indonesia

Permasalahan lingkungan hidup, telah mendapat perhatian besar di hampir semua negara. Ini terutama terjadi sejak dasawarsa 1970-an setelah d...