Selasa, 12 Desember 2023

Bisakah Penataan Ruang Diprioritaskan? (Catatan untuk Pj. Gubernur Sulawesi Selatan)

 Setiap tanggal 8 November, diperingati sebagai Hari Tata Ruang Nasional, yang telah dilakukan sejak 15 tahun lalu, tepatnya tahun 2008. Namun di tahun 2023 ini, sebagaimana juga pada tahun–tahun sebelumnya, masih serasa sepi dari aktivitas kegiatan serta pemberitaan. Apakah fenomena ini adalah isyarat makin terpinggirnya dan terabaikannya persoalan tata ruang? Atau jangan-jangan tata ruang memang belum dianggap sesuatu yang penting bagi publik. Tata ruang seakan hanya menjadi perbincangan kalangan elit; para penentu kebijakan, kaum profesional serta akademisi saja. Padahal sejatinya, wacana tata ruang mestinya sudah lebih terbuka serta menjadi konsumsi publik, karena berhubungan dengan aktivitas kehidupan masyarakat sehari-hari. Tata ruang juga merupakan elemen penting dalam proses pembangunan yang sedang berlangsung, seiring dinamika dan problematikanya.

Karenanya, masih dalam momentum tersebut, saya bermaksud menyampaikan beberapa catatan untuk Pj.Gubernur Sulawesi Selatan Bapak Dr. Bahtiar Baharuddin, M.Si mengenai beberapa hal terkait bidang tata ruang. Ini mesti menjadi perhatian serius.

Pertama, UU.23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah telah menyebutkan bahwa penataan ruang merupakan salah satu urusan pemerintahan bersifat wajib yang berkaitan dengan pelayanan dasar. Dengan begitu, Pemprov Sulsel harus konsisten mengarusutamakan tata ruang sebagai “panglima pembangunan” atau “pedoman pembangunan”, agar tidak ada lagi proyek dan program pembangunan, dilaksanakan tanpa berbasis perencanaan. Sebagaimana proyek-proyek dadakan yang kerap kali muncul dan tak jelas tujuannya. Implikasinya, dokumen tata ruang seakan hanya jadi tumpukan kertas di instansi-instansi terkait, yang seringkali diabaikan dan dilanggar. Termasuk yang konsisten harus dijaga adalah soal penganggaran untuk bidang penataan ruang. Agar supaya, tidak dipangkas untuk program yang kurang relevan dengan sasaran pembangunan, sesuai dengan dokumen perencanaan yang menjadi pedoman. Apalagi, ada arahan untuk senantiasa memprioritaskan urusan wajib pelayanan dasar.  

Kedua, Pemprov perlu melakukan langkah-langkah progresif dan strategis, terutama dalam pengendalian pemanfaatan ruang dan pengawasan penataan ruang. Sebab, aspek inilah yang sangat lemah dijalankan dari keseluruhan proses penyelenggaraan penataan ruang, sehingga pelanggaran tata ruang terus berlangsung. Dalam Permendagri No.115 tahun 2017 mengenai Mekanisme Pengendalian Pemanfaatan Ruang Daerah, dinyatakan bahwa Gubernur bertanggung jawab terhadap pengendalian pemanfaatan ruang di daerah provinsi sesuai dengan kewenangannya. Dengan demikian, Pj. Gubernur harus memastikan tidak terjadi pelanggaran tata ruang, agar tertib tata ruang dapat terwujud.

Ketiga, sekadar mengingatkan saja, RPJPD Sulawesi Selatan 2005-2025 yang saat ini berada pada tahapan akhir, dengan jelas menyebutkan kalau masih terjadi inkonsistensi terhadap penegakan Perda RTRW. Hal senada juga tertuang dalam Perda No.1 Tahun 2019 RPJMD Sulsel 2018-2023, yang menyatakan bahwa ketaatan pada RTRW masih rendah. Ini dikarenakan beberapa hal, yaitu; Rencana Tata Ruang (RTR) belum dijadikan sebagai acuan pelaksanaan pembangunan, belum terintegrasinya program prioritas RTR dalam dokumen perencanaan daerah serta belum optimalnya pelaksanaan pengendalian pemanfaatan ruang. Kondisi ini, mengkorfimasi adanya kecenderungan pengabaian tata ruang yang sudah puluhan tahun. Dengan demikian, maka pengawasan penataan ruang mesti dimaksimalkan, demi menjamin terlaksananya penegakan hukum bidang penataan ruang serta juga untuk meningkatkan kualitas penyelenggaraan penataan ruang.

Keempat, dalam regulasi tata ruang, ditegaskan bahwa pengaturan penataan ruang dilakukan untuk mewujudkan ketertiban dalam penyelenggaraan penataan ruang serta mewujudkan keadilan bagi seluruh pemangku kepentingan. Namun faktanya, pelanggaran tata ruang dan ketidakadilan dalam pemanfaatan ruang, masih saja terus terjadi. Pemilik modal dengan kekuatan kapitalnya, sangat mudah menguasai ruang-ruang strategis bahkan tak jarang menggunakannya tidak sesuai peruntukan. Sementara kaum marginal semakin terpinggirkan karena tidak punya kuasa dalam penguasaan ruang. Oleh sebab itu, pemerintah harus mampu menunjukkan upaya konkret dalam meretas persoalan ini.

Kelima, negeri kita, memiliki wilayah yang sangat rentan dengan bencana. Global Climate Risk Index 2021 menempatkan Indonesia dalam rangking 3 dunia untuk risiko bencana. Olehnya itu, pemerintah daerah mesti segera bersiap untuk melakukan langkah pencegahan dan mitigasi terhadap peningkatan potensi bencana hidrometeorologi, khususnya banjir, longsor dan banjir bandang. Dalam konteks pencegahan dan mitigasi terhadap risiko bencana tersebut, maka tata ruang menjadi sangat penting mendapatkan perhatian serius. Ini sejalan pula yang telah ditegaskan dalam UU.24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, bahwa tata ruang merupakan sebuah bentuk mitigasi nonstruktural. Maka sejatinya, Pj.Gubernur mesti  lebih cermat memerhatikan hal itu dan tak melulu mengurusi budidaya pisang, cabai dan sejenisnya. Karena, jika abai dengan kondisi tersebut, maka ancaman bencana banjir tahunan yang terus mengintai Sulawesi Selatan, bisa terjadi lebih parah serta lebih luas lagi ketimbang tahun-tahun sebelumnya.   

Pada akhirnya, komitmen dan konsistensi penyelengaraan penataan ruang yang benar, serta upaya mengarusutamakan tata ruang, sangat penting untuk diprioritaskan oleh Pj. Gubernur melalui perhatian, pengawalan dan pengawasan yang berfungsi efektif. Sehingga, risiko “bencana pembangunan” dapat dihindari, serta kesinambungan pembangunan di Sulawesi Selatan, memungkinkan untuk kita raih. Semoga!

Harian FAJAR, November 2023

Selasa, 27 Juni 2023

PROSES POLITIK dan PENG-ARUSUTAMA-AN TATA RUANG (Catatan untuk Komisioner KPU SulSel & Pemerintah Daerah)

 Pada sekitar awal Mei, tepatnya 7 Mei 2023, Ma’REFAT INSTITUTE (Makassar Research for Advance Transformation) menggelar kegiatan Ma’REFAT INFORMAL MEETING (REFORMING) dengan membincangkan sebuah tema aktual, yakni: “Proses Politik dan Peng-arusutama-an Tata Ruang - Sebuah Ikhtiar Untuk Perbaikan Bangsa”. Hadir sebagai pemantik, Misna M. Attas yang ketika itu masih selaku Komisioner KPU Provinsi Sulawesi Selatan dan saya sendiri sebagai Peneliti dan Pemerhati Tata Ruang Ma’REFAT INSTITUTE.

Seperti diketahui, proses politik menuju pemilu 2024, telah ditentukan jadwal dan tahapannya, yang sebagiannya tengah berlangsung sekarang ini. sayangnya, diskursus yang terbangun, lebih banyak berkisar hal-hal yang bersifat teknis-praktis penyelenggaraan, ketimbang menelisik pada persoalan yang lebih substansial. Padahal, proses politik yang berlangsung secara periodik ini, sangat berkait erat dengan keberlangsungan serta kesinambungan pembangunan di sebuah wilayah atau daerah. Itulah sebabnya, mengapa tema di atas, kami anggap penting untuk terus dipercakapkan.

Karenanya, sekaitan dengan diskusi tentang dua tema besar tersebut, yakni Proses Politik dan Peng-arusutama-an Tata Ruang, maka saya bermaksud menyampaikan beberapa catatan untuk dijadikan perhatian serius, bagi Komisioner KPU Provinsi Sulawesi Selatan yang baru saja dilantik, serta juga Pemerintah Daerah yang akan menyelenggarakan Pilkada serentak di daerahnya. Adapun catatannya antara lain:

Pertama, harus diakui bahwa tingkat literasi terhadap pentingnya dokumen perencanaan, masih tergolong rendah. Terlebih lagi bila dokumen perencanaan tersebut dikaitkan dengan proses politik. Hal ini terjadi, baik di kalangan masyarakat secara umum maupun para pemangku kebijakan seperti eksekutif dan juga penyelenggara pemilu/pilkada.

Kedua, dalam proses politik, salah satu output utama yang diinginkan adalah melahirkan pemimpin untuk menjalankan roda pembangunan. Dan sejatinya, setiap pembangunan meniscayakan adanya pedoman atau panduan dalam pelaksanaannya. Pada konteks ini, perumusan visi, misi dan program calon kontestan pilkada sangat penting dicermati, dan tidak sebatas menjadi syarat administrasi saja. Karena, dengan rumusan itulah, publik dapat memahami apa yang akan dilakukan oleh para calon pemimpinnya.

Ketiga, rumusan visi-misi-program dari kontestan pilkada, mesti dipastikan berpedoman dan berlandaskan pada rencana pembangunan serta rencana tata ruang yang ada, sebagaimana diamanatkan dalam peraturan perundang-undangan. Sebab, jika hal ini diabaikan, akan merupakan titik krusial yang menjadi awal “malapetaka” dalam proses pembangunan.   

Keempat, UU.23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, telah menyebutkan bahwa penataan ruang merupakan salah satu urusan pemerintahan bersifat wajib yang berkaitan dengan pelayanan dasar. Dengan begitu, seluruh pemangku kebijakan, dalam hal ini Pemerintah Daerah dan Penyelenggara Pemilu/Pilkada, sudah semestinya terlibat aktif serta konsisten meng-arusutama-kan tata ruang sebagai “panglima pembangunan” atau “pedoman pembangunan”, agar tidak ada lagi proyek pembangunan yang dilaksanakan tanpa berbasis perencanaan. Selama ini, dokumen tata ruang seakan hanya jadi tumpukan kertas di instansi-instansi terkait, yang seringkali diabaikan dan dilanggar. Sebab, tidak jarang rencana tata ruang harus diubah atau direvisi hanya untuk mengakomodasi dan mewujudkan visi, misi dan janji-janji kampanye kepala daerah saat berkontestasi dalam pilkada. Hal semacam itu merupakan preseden yang sangat buruk dalam dunia perencanaan, di mana tata ruang sebagai pedoman pembangunan mesti menyerah pada kepentingan kekuasaan.

Kelima, membuktikan implementasi pelibatan masyarakat dalam penyelenggaraan penataan ruang, benar-benar terwujud. Tidak hanya sebatas norma yang tertera dalam berbagai regulasi penataan ruang. Konsultasi publik pada produk rencana tata ruang selama ini yang sifatnya formalitas dan seremonial harus diubah. Perlu dibuat lebih terbuka, agar dapat mengakomodasi berbagai pandangan dan masukan dari berbagai lapisan masyarakat. Sehingga produk tata ruang yang dihasilkan tidak menjadi produk elit, melainkan sebagai produk kesepakatan bersama dari berbagai kalangan dan stakeholder, demi terciptanya tata ruang yang manusiawi dan berkeadilan.

Keenam, memastikan sosialisasi Peraturan Daerah (Perda) tentang tata ruang dan penyebarluasan informasi penataan ruang kepada masyarakat, sungguh-sungguh terlaksana serta terkawal secara baik. Karena sampai hari ini, proses tersebut belum pernah berjalan secara optimal. Akibatnya, masyarakat seringkali jadi korban dalam pelaksanaan proyek-proyek pembangunan, karena ketidaktahuannya akan informasi tata ruang.  

Pada akhirnya, jika komitmen dan konsistensi penyelengaraan tata ruang yang benar, serta upaya mengarusutamakan tata ruang, dengan mengawali dari proses politik yang lebih substansial dan berkualitas terus terjaga, maka risiko “bencana pembangunan” dapat dihindari, serta kesinambungan pembangunan memungkinkan untuk kita raih. Semoga!


                                                                                                Harian FAJAR, Juni 2023

Rabu, 01 Maret 2023

“Kota Dunia” dan “Tragedi” Banjir Tahunan

Kota Makassar yang selama ini dibranding sebagai “Kota Dunia”, seolah tak bisa lagi dipisahkan dengan banjir. Karena, setiap tahunnya peristiwa tersebut selalu saja terjadi. Senin 13 Februari 2023 lalu, Kota Makassar kembali diterjang banjir besar yang mengakibatkan hampir seluruh wilayah Makassar terendam serta melumpuhkan sebagian besar aktivitas perkotaan. Kejadian ini terus berulang dalam satu dasawarsa terakhir, hingga mengubah bencana banjir Makassar menjadi “tragedi” tahunan.  

Kejadian yang menimpa Kota Makassar sekitar dua pekan lalu, menunjukkan ada problem serius dalam proses pembangunan yang dilakukan, menyebabkan daya resiliensi kotanya semakin melorot. Peristiwa tersebut menegaskan sinyalemen tentang masih berlangsungnya apa yang disebut JO Simmonds dengan istilah ecological suicide atau “bunuh diri ekologis” serta urban suicide atau “bunuh diri Perkotaan”. Mengapa disebut bunuh diri? Guru saya dalam kajian kritis perkotaan dan tata ruang, Prof. Ir. Eko Budihardjo, M.Sc mendaku, karena tokoh-tokoh yang yang notabene dipercaya rakyat untuk mengelola kota justru yang “melukai” dan “membunuh” kotanya dengan aneka kebijakan yang merusak keseimbangan, antara alam, manusia dan lingkungan binaan. Seolah membenarkan firman Tuhan, “Telah nampak kerusakan di daratan dan lautan, akibat perbuatan tangan manusia….” (QS. Ar-Rum: 41).

Dalam realitasnya memang, bencana banjir, longsor dan banjir bandang, umumnya diakibatkan oleh keteledoran manusia. Biasanya terjadi disebabkan karena pengabaian pada dua faktor, yaitu tata ruang dan lingkungan. Yang keduanya sangat terkait antara satu dengan lainnya. Demikian halnya banjir yang dialami Kota Makassar dari tahun ke tahun, merupakan masalah yang sudah begitu lama dan berlarut-larut tanpa penanganan sungguh-sungguh, yang berakar pada kedua faktor utama tersebut. Tata ruang sebagai pedoman pembangunan atau “panglima” pembangunan, tidak diarusutamakan dalam proses-proses pembangunan. Perda No.4 tahun 2015 tentang RTRW Kota Makassar 2015-2034, belum secara efektif dijalankan dan dipedomani. Diperparah lagi, karena belum kelarnya proses penyusunan RDTR (Rencana Detail Tata Ruang) Kota Makassar, yang telah dianggarkan dengan biaya sangat besar di dua periode kekuasaan Wali Kota secara terpisah. Padahal, dengan RDTR itulah, struktur ruang serta pola ruang Kota Makassar bisa dilihat secara lebih rinci dan jelas.

Akibatnya, berbagai macam problem perkotaan bermunculan dan salah satunya adalah banjir tahunan. Itu sebabnya, jika Makassar mengalami banjir, bukan lagi sesuatu yang mengagetkan, karena kondisinya saat ini, sangat memungkinkan hal itu terjadi. Beberapa variabel yang semestinya dapat mencegah atau paling tidak meminimalisir dampak terjadinya banjir, sudah sangat kurang dimiliki Makassar. Sebagai contoh; Daerah Resapan Air dan Ruang Terbuka Hijau (RTH).

Pertama, daerah resapan air telah banyak beralihfungsi menjadi perumahan, permukiman, ruko dan lainnya. Namun, kata Eko Rusdianto, seorang jurnalis lingkungan, anehnya ada juga sejumlah daerah resapan air yang beralih fungsi menjadi kompleks perumahan elit, tapi tidak kebanjiran. Perumahan mewahnya boleh jadi tidak kebanjiran, karena dilengkapi dengan infrastruktur yang memadai, sebab pengembangnya memiliki modal besar. Kendati begitu, keberadaan kompleks tersebutlah yang menyebabkan kawasan permukiman di sekitarnya terkena dampak. Nah, alih fungsi semacam inilah yang dapat dikategorikan sebagai proses gentrifikasi, yaitu pencaplokan ruang atas nama kuasa. Fenomena ini bisa mengarah pada terciptanya segregasi sosial dan spasial. Jika hal tersebut, dibiarkan terus menerus berlangsung, maka suatu ketika, konflik sosial pun tidak menutup kemungkinan akan terjadi.

Kedua, kondisi RTH Kota Makassar, masih sangat minim, belum mencapai 10 persen. Padahal, UU Penataan Ruang mensyaratkan 20 persen untuk publik dan 10 persen privat. Karena itu, Makassar belum mampu menjadi Kota yang berwawasan lingkungan. Padahal, dalam Visi Kota Makassar (Visi Daerah) yang tertuang dalam RPJPD-nya 2005-2025 menegaskan hal tersebut, yakni “Makassar sebagai kota maritim, niaga, pendidikan, budaya dan jasa yang berorientasi global, dan berwawasan lingkungan.”

Rendahnya kesadaran ekologis di kalangan elit serta penguasa dalam mengelola kota dan daerahnya, menunjukkan ada kesalahan mendasar yang terjadi atas hubungan manusia dengan alam. Bagi Prof. Seyyed Hossein Nasr, krisis ekologis dan pelbagai jenis kerusakan bumi, yang telah berlangsung sejak lama, berakar pada krisis spiritual dan eksistensial manusia modern. Dalam “Man and Nature: The Spiritual Crisis in Modern Man”, Hossein Nasr menyebutkan bahwa pada pandangan modernisme, kosmos telah mati dan hanyalah sebagai kumpulan onggokan benda mati, materi yang tidak bernyawa, tak berperasaan, tidak bernilai, kecuali semata-mata nilai keuntungan ekonomis. Ia juga menulis, “Krisis lingkungan bisa dikatakan bahwa penyebabnya karena penolakan manusia untuk melihat Tuhan sebagai “Lingkungan” yang nyata, yang mengelilingi manusia dan memelihara kehidupannya. Kerusakan lingkungan merupakan akibat dari upaya manusia modern dalam memandang lingkungan alam sebagai tatanan realitas yang secara ontologis berdiri sendiri, terpisah dari Lingkungan Ilahiah yang tanpa berkah pembebasan-Nya lingkungan menjadi sekarat dan mati.”

Oleh sebab itu, karena banjir Makassar sudah menjelma menjadi “tragedi”, maka warga Kota Makassar, perlu mempertanyakan serta menagih janji Wali Kota terkait penyelesaian banjir, yang tertuang dalam RPJMD Kota Makassar, sejak Periode Pertama 2014-2019 maupun Periode Kedua sekarang 2021-2026. Ironisnya, belum lagi persoalan banjir tahunan tertangani, ancaman banjir ROB yang dapat terjadi setiap saat, kini sudah di depan mata. Fenomena pemanasan global, perubahan iklim (climate change) dan berbagai bencana lingkungan, sudah semestinya mendorong pengelola kota untuk berpikir ulang menata ruang kota dan kehidupan warganya secara lebih progresif.

Perjumpaan antara land subsidence (penurunan muka tanah) di satu sisi dengan sea level rise (kenaikan muka laut) di sisi lainnya, sewaktu-waktu akan menghampiri dan menjadi bencana besar bagi kehidupan warga kota, khususnya yang berada di sekitar wilayah pesisir. Sayangnya, alih-alih berpikir strategis, terencana, komprehensif serta responsif, penguasa kota justru kerap kali melakukan cultural suicide (“bunuh diri budaya”), ketika “memaksakan” kebenaran tunggal atas pandangannya terkait “tragedi” banjir tahunan ini. Di mana, pengelola kota tak mau mendengar dan menerima masukan apalagi kritikan dari warga masyarakat, yang tidak sejalan dengan keinginan dan pemikirannya. Kurangnya sensitivitas, kepekaan serta pola komunikasi yang kurang tepat dari penguasa terhadap rakyatnya, akan menjadi malapetaka bagi kehidupan warga kota yang sudah tertimpa berbagai kesulitan.

Akhirnya, sebagai warga Kota Makassar, sekiranya menyaksikan kinerja Pemkot Makassar, belum terlihat serius dan sungguh-sungguh menangani “tragedi” banjir ini, maka tampaknya setelah melewati peristiwa tahun ini, warga kota juga tetap harus memikirkan upaya serta langkah-langkah yang diperlukan guna menghadapi problem yang sama pada tahun-tahun mendatang. Di samping itu, kita semua mesti terus mencermati proses pembangunan yang dilakukan oleh penguasa, sembari mengingat warning dari Guru Besar Perkotaan dan Arsitektur Prof. Eko Budihardjo, “Jangan dibiarkan kota-kota kita rusak, hanya karena kita beri keleluasaan pada penguasa lalim dan pengusaha hitam, merajalela membangun kota dengan seenaknya.”

                                                                                   Harian FAJAR, Akhir Februari 2023

Rabu, 04 Januari 2023

Problem Penataan Ruang Kota Makassar, Akankah Tertangani? (Catatan Awal Tahun untuk Wali Kota Makassar)

Dalam satu dekade terakhir, Kota Makassar telah mengalami perkembangan yang begitu pesat, terutama jika memerhatikan secara fisik pembangunan kotanya. Sayangnya, kemajuan tersebut tidak dibarengi dengan perhatian serius pada aspek penataan ruangnya. Fenomena ini akan terasa menemukan konteksnya, saat kita menelaah permasalahan tata ruang yang tercantum dalam RPJPD maupun RPJMD Sulawesi Selatan, di mana disebutkan bahwa; masih terjadi inkonsistensi terhadap penegakan Perda RTRW serta ketaatan pada Perda Tata Ruang yang masih rendah.   

Pengabaian dalam meng-arusutama-kan penataan ruang membuat prinsip-prinsip livable city tak terpenuhi dengan optimal di Kota Makassar, seperti: ketersediaan kebutuhan dasar, ketersediaan fasum-fasos, ketersediaan ruang publik sebagai wadah interaksi antar komunitas, kualitas lingkungan, dukungan fungsi sosial, ekonomi dan budaya kota, keamanan dan keselamatan serta partisipasi masyarakat dalam pembangunan.

Konsekuensinya, pada tahun 2017, saat Ikatan Ahli Perencanaan (IAP) Indonesia melakukan survey kelayakhunian kota atau Most Livable City Index (MLCI) terhadap 26 Kota di Indonesia, Makassar berada pada nilai indeks paling rendah dalam  kategori Bottom Tier Cities (Kota-kota dengan nilai index livability di bawah rata-rata). Tampaknya, Kota Makassar masih harus berjuang menuju kota layak huni, sebagaimana kota-kota metropolitan lainnya, sebab masih banyak warga kota yang merasa tidak nyaman tinggal di kotanya. Jika kita mau jujur, maka hasil survey yang didapatkan dari MLCI pada sekitar lima tahun lalu itu, sepertinya masih terjadi juga hingga saat ini. Dan hal tersebut, terkonfirmasi pula dalam rilis yang dikeluarkan Celebes Research Center (CRC) baru-baru ini, yakni pada Akhir Desember 2022, di mana menunjukkan di antara masalah utama yang perlu diselesaikan, masih terdapat soal  banjir (20,5 persen) dan kemacetan (18,0 persen), disamping masalah lapangan kerja (24,5 persen) serta perekonomian yang semakin sulit (6,0 persen). Sehingga, pandangan masyakarat dari hasil survey tersebut, menyatakan bahwa sebagian dari program mendesak untuk dibenahi ialah penanganan banjir (51,5 persen), mengatasi kemacetan (35,3 persen) serta perbaikan infrastruktur jalan (33,3 persen)

Karenanya, mungkin benar yang disampaikan Prof. Eko Budihardjo dalam bukunya Reformasi Perkotaan, bahwa kenyataan menunjukkan, kota-kota di Tanah Air kita cenderung kian tidak manusiawi, tidak nyaman, tidak menyenangkan untuk kehidupan manusia berbudaya. Fenomena dehumanisasi kota di Indonesia antara lain karena perhatian para pengelola dan pembangunannya lebih tercurah pada aspek fisik dan pergulatan kepentingan ekonomi. Padahal, nilai PAD yang tinggi di sebuah kota/daerah, ternyata tidak secara otomatis menjamin kelayakhunian sebuah kota.  Itulah salah satu temuan menarik dari survey MLCI 2017.

Nah, berbagai problem penataan ruang Kota Makassar tersebut yang selama ini dirasakan oleh warga Makassar, boleh jadi disebabkan karena beberapa hal, antara lain:

Pertama, Rencana kota yang selama ini dibuat umumnya lebih berorientasi pada proyek (project oriented), daripada pemecahan masalah (problem solving oriented). Gagasan pemikiran dan konsep yang ditawarkan cenderung bombastis dan tidak ground-up, tetapi sedikit banyak utopian, sehingga tidak relevan dengan problema nyata yang dihadapi masyarakat.

Kedua, Rencana yang dibuat dan disusun, lebih banyak bersifat parsial serta sporadis, dibuat sendiri berdasarkan selera, obsesi dan khayalan penguasa kota. Sehingga akibatnya, perencanaan secara terpadu, integral, holistik dan menyeluruh sulit untuk diwujudkan.

Ketiga, Kurangnya koreksi dan evaluasi yang bersifat kritis terhadap jalannya pembangunan kota, berkaitan dengan rencana yang telah dibuat, untuk mendeteksi apa yang sesungguhnya berlangsung dan penyimpangan serta kesalahan apa yang timbul. Hal ini terjadi karena fungsi pengawasan legislatif yang kurang maksimal serta stakeholder yang bergerak di bidang perencanaan kota dan tata ruang – baik akademisi, profesional maupun mahasiswanya - tidak menjalankan tanggung jawab moral dan intelektualnya, dalam memberikan respon dan tanggapan terhadap persoalan-persoalan perkotaan yang ada. 

Dengan memperhatikan hal di atas, serta mempertimbangkan masa waktu kepemimpinan Wali Kota dan Wakilnya yang tidak lama lagi, maka sangat penting memilih program yang lebih diprioritaskan untuk diselesaikan. Bagi saya, ada empat program yang mendesak dan mesti lebih difokuskan, di antara delapan program utama yang terkait penataan ruang, dalam RPJMD 2021-2026, yaitu: 1). Penataan total sistem persampahan, 2). Pembenahan total sistem penanganan banjir dan pencegahan kemacetan, 3). Peningkatan jejaring smart pedestrian dan koridor hijau kota, serta 4). Percepatan Makassar menjadi liveable city dan resilient city. 

Terkait program resilient city, karena Kota Makassar sangat rentan belakangan ini, maka pertanyaan paling mengemuka yang penting diajukan untuk direspon ialah apa langkah-langkah konkret, yang telah disiapkan oleh Pemkot Makassar menghadapi ‘tragedi’ banjir tahunan, yang terus terjadi hingga sekarang ini dan mungkin beberapa waktu ke depan, serta bagaimana upaya mitigasi bencana terhadap dampak  perubahan iklim (climate change) yang semakin nyata, seperti kenaikan muka laut dan ancaman datangnya banjir Rob.

Pada akhirnya, problem penataan ruang di Kota Makassar, rasanya akan sulit terpecahkan, bila tak ada ikhtiar yang sungguh-sungguh serta political will yang kuat dari Wali Kota untuk menanganinya. Apalagi jika perhatian hanya difokuskan pada proyek-proyek pembangunan mercusuar, dalam rangka membangun “monumen diri” demi pembentukan citra, menuju jenjang kekuasaan yang lebih tinggi. Wallahu a’lam bisshawab.


Harian FAJAR, Januari 2023


Rezim Yang Ambigu dan Problem Lingkungan di Indonesia

Permasalahan lingkungan hidup, telah mendapat perhatian besar di hampir semua negara. Ini terutama terjadi sejak dasawarsa 1970-an setelah d...