Meski masih
setahun lebih, bursa nama-nama balon Wali Kota Makassar periode 2020-2025,
mulai mewarnai pemberitaan media belakangan ini. Sejumlah nama bermunculan,
untuk menghadapi kontestasi akan datang.
Ini merupakan hal yang positif, karena bisa menyuguhkan banyak pilihan
kepada masyarakat.
Peranan
seorang pemimpin, memang sangat menentukan dalam mengembangkan dan memajukan
sebuah daerah. Karenanya, posisi
pemimpin menjadi sangat vital, untuk menentukan arah dan bagaimana masa depan
daerah tersebut. Demikian halnya yang akan dihadapi warga Kota Makassar, di
fase akhir pembangunan jangka panjang daerahnya.
Mencari
pemimpin untuk Kota Metropolitan seperti Makassar, yang dihuni lebih dari 1,5
juta jiwa, tentu bukanlah perkara gampang. Apalagi sejumlah persoalan
pembangunan yang terjadi, membutuhkan penanganan serius dan segera. Sebab itu,
diharapkan muncul calon pemimpin Makassar, yang memiliki kemampuan untuk
memutuskan langkah-langkah strategis dalam menata Makassar.
Salah satu
data awal yang bisa menjadi masukan para bakal calon, terkait survey kelayak
hunian kota atau Most Livable City Index
(MLCI) 2017, yang pernah dirilis oleh Ikatan Ahli Perencanaan Indonesia
(PN-IAP). Survey ini, telah dilakukan IAP
sebanyak empat kali, yaitu; tahun 2009 (12 kota), 2011 (15 kota), 2014
(18 kota) dan 2017 (26 kota). Nilai index
livability dibagi atas tiga kategori, yaitu; Top Tier Cities (Di Atas Rata-Rata), Average Tier Cities (Rata-Rata) serta Bottom Tier Cities (Di Bawah Rata-Rata).
Hasil survey
tersebut menunjukkan, kota-kota besar tidak ada yang masuk pada Top Tier Cities. Artinya, kota
metropolitan Jakarta, Medan, Surabaya, Bandung dan Makassar, masih berjuang
menuju kota layak huni. Makassar sendiri, terus menurun dari tahun ke tahun.
Tahun 2011 sempat berada pada nilai index livability di atas rata-rata,
kemudian 2014 turun ke index rata-rata, dan pada 2017 nilai indexnya turun lagi
di bawah rata-rata. Tentu ini menjadi tantangan yang harus dipikirkan bagi
pemimpin Makassar nantinya.
Berikutnya,
beberapa aspek yang perlu menjadi perhatian para bakal calon Wali Kota, antara
lain:
Pertama, Aspek
Regulasi dan Aturan Standar. Setiap bakal calon Wali Kota Makassar
(Kepala Daerah), perlu memiliki pemahaman yang baik, tentang regulasi terkait
kedudukan dua dokumen perencanaan yang ada, agar tidak terjadi kerancuan dalam
meletakkan “Visi Daerah” dan Visinya sebagai kepala daerah saat terpilih. Dua
dokumen dimaksud adalah Dokumen Perencanaan Pembangunan (RPJPD-Rencana Pembangunan
Jangka Panjang Daerah) dan Dokumen Perencanaan Spasial (RTRW-Rencana Tata Ruang
Wilayah). Dalam UU. No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, pada pasal
265, disebutkan bahwa, “RPJPD menjadi
pedoman dalam perumusan visi, misi dan program calon kepala daerah.” Hal
ini sangat penting menjadi perhatian bakal calon, dalam menyusun visi, misi dan
programnya, supaya memiliki pijakan yang jelas, sehingga tidak mengaburkan arah
dan orientasi daerah yang akan dipimpinnya. Harus diingat oleh para bakal calon
Wali Kota, bahwa Pilwalkot yang akan datang, merupakan tahapan akhir dari Perda
No.13/2006 tentang RPJPD Kota Makassar 2005-2025. Di dalamnya, tertera Visi
Daerah, yaitu: “Makassar sebagai kota maritim,
niaga, pendidikan, budaya dan jasa yang berorientasi global, berwawasan
lingkungan dan paling bersahabat.” Di lain sisi, RTRW merupakan acuan untuk
penyusunan rencana jangka panjang dan penyusunan rencana jangka menengah.
Dengan demikian, sinkronisasi dan integrasi antar dokumen perencanaan menjadi
sebuah kemestian, sebagaimana diamanatkan UU. No 25 Tahun 2004 tentang Sistem
Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN).
Kedua, Aspek
Sejarah dan Kebudayaan. Setiap bakal calon, hendaknya berusaha memahami
unsur kesejarahan Kota Makassar serta kebudayaan yang hidup dan berkembang di
tengah masyarakat Makassar, lalu berupaya menghubungkan dengan kondisi pada
saat ini. Dan selanjutnya, diproyeksi ke masa yang akan datang, sesuai kecenderungan arah perkembangan kota
Makassar. Dalam konteks ini, bila meminjam teori ‘Openness of Being’ atau Keterbukaan Eksistensi dari Martin
Heidegger, maka eksistensi kota Makassar dan warganya, sejatinya terhubung
dengan seluruh ruang dan waktu, yakni sebelum, hari ini dan masa depan.
Ketiga, Aspek
Ekologi dan Lingkungan. Pada proses pembangunan, perhatian terhadap
ekologi dan lingkungan hidup, masih sangat rendah bahkan seringkali terlihat
abai. Padahal, jika diperhatikan Sustainable
Development Goals (SDGs), sejumlah poin di sana sangat terkait dengan aspek
ini. Sebut saja, air bersih dan sanitasi layak, energi bersih dan terjangkau,
kota dan komunitas berkelanjutan, penanganan perubahan iklim, ekosistem laut,
ekosistem daratan serta industri, inovasi dan infrastruktur. Untuk masalah
ekologi dan lingkungan, Makassar sementara bersoal dengan proyek reklamasi dan
darurat ruang terbuka hijau yang mengemuka belakangan ini.
Keempat, Aspek
Kebencanaan. Dalam hal ini, problem mendasar yang dihadapi adalah bahwa
sistem perencanaan kita belum berbasis kebencanaan. Artinya, pada kebanyakan
dokumen perencanaan, baik dalam Sistem Perencanaan Pembangunan (Development Planning) maupun Sistem
Perencanaan Tata Ruang (Spatial Planning),
aspek kebencanaan tidak menjadi perhatian serius untuk dijelaskan secara lebih
terperinci. Jika pun sudah terakomodasi dalam dokumen-dokumen perencanaan
tersebut, maka tahap implementasinya masih menjadi problem.
Kelima, Aspek
Sarana dan Prasarana. Untuk masalah ini, paling tidak, ada tiga hal
yang mendesak untuk dilakukan pembenahan. Kemacetan, kurangnya area parkir, dan
minimnya fasilitas pejalan kaki, adalah sebagian dari problem transportasi yang
kini semakin dirasakan setiap saat.
Pemenuhan kebutuhan air bersih terutama pada musim kemarau, serta maksimalisasi
fungsi drainase perkotaan dan sanitasi lingkungan.
Catatan-catatan
di atas, merupakan sebagian dari berbagai hal yang harus dicermati oleh setiap
bakal calon Wali Kota Makassar. Dahulu, Filosof Muslim Al-Farabi mensyaratkan
kualitas pemimpin, yang mampu mewujudkan konsep “Kota Utama-nya” (Al-Madinah Al-Fadhilah) ialah, “Pemimpin tertinggi yang benar-benar memiliki berbagai ilmu dan
setiap jenis pengetahuan … Ia mampu memahami dengan baik segala yang harus
dilakukannya. Ia mampu membimbing dengan baik, sehingga orang melakukan apa
yang diperintahkannya. Ia mampu memanfaatkan orang-orang yang memiliki
kemampuan. Ia mampu menentukan, mendefinisikan dan mengarahkan
tindakan-tindakan ke arah kebahagiaan.”
Lalu, apakah
Kota Makassar akan ditakdirkan mendapatkan Wali Kota sebagaimana kualifikasi
Al-Farabi, pada Pilwalkot 2020 mendatang? Wallahu
a’lam bisshawab.