Dalam sebuah
bukunya, Dr. Jalaluddin Rakhmat bercerita tentang peristiwa pada sebuah
Konferensi di Universitas Michigan, ketika Dr. Benyamin E. Mays dengan lantang
mengatakan, “Kita memiliki orang-orang
terdidik yang jauh lebih banyak sepanjang sejarah. Kita juga memiliki
lulusan-lulusan perguruan tinggi yang sudah banyak. Namun, kemanusiaan kita
adalah kemanusiaan yang berpenyakit. Bukan pengetahuan yang kita butuhkan,
karena itu sudah kita miliki, akan tetapi kemanusiaan sedang membutuhkan
sesuatu yang bersifat spiritual.”
Dengan
ungkapannya itu para peserta konferensi tersentak, karena tersadar bahwa selama
ini perguruan tinggi telah mencetak manusia-manusia yang tidak utuh. Manusia
yang bernalar tinggi tetapi berhati kering dan hampa, sarjana yang meraksasa
dalam berbagai bidang ilmu dan teknologi tapi merayap dalam etik,
intelek-intelek yang pongah dengan pengetahuan tetapi kebingungan menikmati
kehidupan.
Hampir semua
penyakit kemanusiaan timbul karena manusia hanya mempertajam akalnya saja dan
mengesampingkan panggilan hati nuraninya. Karena itu, manusia seringkali diperbudak
oleh kerakusan, iri hati, kebencian, kegersangan emosi dan sebagainya. Oleh
sebab itu, manusia perlu kembali pada fitrahnya yang suci. Lantas, apa yang
harus ditempuh untuk menghidupkan kembali fitrah tersebut? Jalan yang paling
tepat tiada yang lain adalah pembinaan diri melalui penyucian diri.
Pengenalan “Diri Manusia”
Sebelum
sampai pada penyucian diri, maka terlebih dulu kita mengenali diri manusia. Ada
berbagai riwayat yang telah masyhur berkaitan dengan pembahasan kita, di
antaranya disebutkan bahwa, “Barangsiapa
mengenal dirinya maka ia mengenal Tuhannya” dan “Orang yang paling mengenal dirinya di antara kalian adalah yang paling
banyak mengenal Tuhan kalian.” Itulah sebabnya pengenalan “diri manusia”
adalah menjadi sangat penting, karena diri inilah yang ingin kita perbaiki,
kita sucikan dan mengantarkannya ke maqam Kedekatan Ilahi.
Para ulama
menyebutkan empat kekuatan dalam diri manusia yang akan menentukan bentuk wujud
manusia, seperti halnya yang dibahas oleh Sayyid Kamal Haidari dalam bukunya At-Tarbiyyah ar-Ruhiyyah: Buhuts fi Jihad
an-Nafs sebagai berikut :
Pertama, Kekuatan Syahwat (al-quwwah asy-syahwiyyah) yang disebut juga kekuatan bahimiyyah adalah kekuatan yang tidak
muncul darinya selain perbuatan-perbuatan kebinatangan, berupa penyembahan pada
kelamin dan perut, serta keinginan kuat pada hubungan biologis dan makan.
Kedua, Kekuatan Ghadhab (al-quwwah al-ghadhabiyyah) disebut juga kekuatan sabu’iyyah adalah kekuatan yang menjadi
sumber kemunculan perbuatan-perbuatan binatang buas, seperti marah dan benci.
Berbagai bentuk gangguan yang ditimpakan kepada orang lain biasanya dari jenis
kekuatan ini.
Ketiga, Kekuatan Wahmiyyah (al-quwwah al-wahmiyyah) adalah merupakan kekuatan jiwa yang paling
penting, karena kekuatan inilah yang membantu di jalan yang benar atau jalan
yang keliru sehingga mendapatkan berbagai cara untuk merealisasikan apa yang
diinginkan dan dipilihnya. Bila kekuatan ini menghamba kepada kekuatan ghadhab, maka seseorang akan menjadi
tiran di muka bumi sehingga ia akan bersikap sewenang-wenang, menebarkan
kerusakan, mengingkari segala kebaikan dan mengerjakan segala bentuk kejahatan.
Apabila kekuatan wahm ini menghamba
pada kekuatan syahwat, maka ia akan
menyiapkan segala wahana bagi kekuatan tersebut untuk mengantarkan pada
tujuannya. Akan tetapi, jika kekuatan ini tunduk pada kekuatan akal, maka ia
akan mencari cara untuk mengantarkannya pada Kedekatan Ilahi serta jalan-jalan
naik ke tingkatan-tingkatan kesempurnaan.
Keempat, Kekuatan Akal (al-quwwah al-‘aqliyyah) atau dinamai juga kekuatan al-malakiyyah, karena ia membawa manusia
naik ke alam para malaikat, kesucian dan alam kedekatan Ilahi.
Dengan
adanya gambaran seperti di atas, maka manusia bisa lebih mampu untuk menempa
dan menata kualitas dirinya setahap demi setahap. Manusia harus menjadikan keempat
kekuatan tersebut berfungsi secara seimbang, untuk bisa menyempurnakan dirinya.
Penyucian Diri Sebagai Sebuah Jalan
Syaikh
Ibrahim Amini dalam Risalah Tasawuf-nya
menyebutkan bahwa tujuan terbesar para nabi as adalah mendidik dan menyucikan
jiwa manusia. Allah SWT telah berfirman dalam Al-Quran Al-Karim, “Sesungguhnya Allah telah memberi karunia
kepada orang-orang yang beriman ketika
Allah mengutus di antara mereka seorang rasul dari golongan mereka
sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa)
mereka, dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan Hikmah. Dan sesungguhnya
sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang
nyata.” (QS.Ali Imran [3]:164)
Para nabi
datang untuk mengajarkan jalan penyucian diri kepada manusia, dan membantu
serta membimbing mereka di dalam urusan yang amat penting dan menentukan ini.
Para nabi diutus untuk membersihkan jiwa manusia dari akhlak-akhlak yang buruk
dan sifat-sifat kebinatangan serta sebaliknya menumbuhkan akhlak yang baik dan
sifat-sifat yang utama. Rasulullah SAW telah bersabda, “Kalian harus berpegang teguh kepada akhlak yang mulia. Karena dengan
tujuan inilah aku telah diutus Allah SWT.”
Akhirnya, bila
saja setiap Muslim menggunakan momentum Ramadhan untuk melakukan pembinaan dan
penyucian diri masing-masing, maka akan muncul manusia-manusia yang berakhlak
mulia, sehingga tercipta masyarakat yang damai, bahagia dan sejahtera dalam
naungan ridha Ilahi.
Dan di bulan
Ramadhan inilah kesempatan yang sangat baik untuk melatih diri, memperbaiki
diri demi mencapai tujuan tersebut.
Parepare, Juni 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar