Pada buku,
“Pengkhianatan Kaum Cendekiawan” karya Julien Benda, Wiratmo Soekito menulis
kata pengantar yang menceritakan tentang sebuah peristiwa yang disebut “L’Affaire Dreyfus” atau “Peristiwa
Dreyfus” di negeri Prancis pada 1894. Perlakuan terhadap Dreyfus yang dianggap bertentangan
dengan perikeadilan, memantik reaksi dan respon dari para cerdik-cendekia, lalu
menyatukan sikap dengan mengumumkan “Manifesto
des Intellectuels”.
Sastrawan
dan budayawan D.Zawawi Imron, dalam bukunya “Gumam-Gumam Dari Dusun”, menyatakan bahwa Kepedulian kaum intelektual
pada “Peristiwa Dreyfus” di atas, kemudian dicatat sebagai “sejarah” yang
memantapkan kedudukan kaum intelektual sebagai kelompok penting di
tengah-tengah masyarakat, baik sebagai pemangku nilai-nilai, penjaga peradaban,
perawat kebudayaan maupun sebagai pelindung masyarakat dari
kesewenang-wenangan. Kaum intelektual dipercaya sebagai pengemban amanat nurani
masyarakat.
13 April
2021, Ikatan Ahli Perencanaan (IAP) Indonesia, genap berusia 50 tahun. Para
Planner atau Perencana sebagai sekumpulan kaum terdidik dan profesional yang
berhimpun di dalamnya, boleh jadi telah banyak berkiprah dan berkarya dalam
pembangunan dan penataan ruang di Indonesia. Namun sayangnya, daya kritis
Planner/Perencana terhadap problematika penataan ruang, masih sangat rendah dan
perlu dipertanyakan. Mengapa demikian? Karena, kontribusi peran pada aspek ini
memang terbilang kurang. Padahal, jika kita cermati “Kode Etik Perencana
Indonesia” yang disebut sebagai “kaidah kehormatan” yang berlandaskan
nilai-nilai luhur masyarakat dan bangsa Indonesia dengan berdasarkan Falsafah
Pancasila dan UUD 45, telah menegaskan tanggung jawab Perencana terhadap publik
atau masyarakat yang paling utama, ialah: “Melayani
seluruh golongan dan lapisan masyarakat, mendahulukan kepentingan umum di atas
kepentingan golongan maupun kepentingan pribadi, dan berdasar keyakinan
profesi, berani membela yang benar serta memberikan kritik dan koreksi terhadap
hal-hal yang merugikan masyarakat.”
Pertanyaannya,
mengapa implementasi kode etik tersebut, sepertinya tidak menampakkan wujudnya
yang konkrit? Apa sesungguhnya yang menjadi kendala? Tidak adakah keberanian
para Perencana dalam menjalankan peran mulia itu? Sejumlah pertanyaan tersebut
kerapkali mengusik nurani saya, apatah lagi ketika menyaksikan berbagai
problem-problem planologis dan keruangan, terus saja berlangsung di sekitar
kita. Realitas objektif itu, menunjukkan begitu banyak Perencana yang sibuk
dengan kerja profesionalnya, tetapi tidak memahami makna terdalam dari
profesinya. Punya perhatian besar pada peningkatan kapasitas keilmuan dan
kompetensinya, berhitung besaran renumerasi yang mesti diperoleh, mengumpulkan
materi untuk mengangkat status sosialnya, namun lupa akan komitmen dan tanggung
jawabnya.
Dalam
konteks profesi tersebut, hari-hari ini, kita masih disuguhi dengan bermacam
problema keruangan yang kurang manusiawi dan tidak berkeadilan. Sangat memprihatinkan memang, karena
keadilan di negeri ini, masih menjadi “barang langka” pada perwujudan dan
manifestasinya. Sebab itu, ketidakadilan ruang dan juga berbagai kerancuan
lainnya, masih terus kita saksikan dalam proses pembangunan dan penataan ruang
kita. Sebagai contoh di Kota Makassar, sejumlah proyek pembangunan yang bersoal
dan terkait dengan penataan ruang, yang mestinya disorot oleh para Perencana,
di antaranya: reklamasi mega proyek Makassar New Port (MNP) yang berdampak
pada masyarakat nelayan, dibongkarnya bangunan yang memiliki nilai sejarah
seperti Stadion Mattoangin yang konon akan disulap menjadi stadion bertaraf
internasional, rencana pembangunan gedung perkantoran twin tower di kawasan reklamasi Center
Point of Indonesia (CPI), rencana jalan tol pesisir Losari-Tanjung Bira,
dan tol layang dalam kota yang telah mengorbankan ribuan pohon, di mana saat
hujan turun, mengubah Jalan A.P.Pettarani menjadi sungai dalam kota. Ironisnya,
dari semua proyek problematik yang disebutkan, respon serta suara kritis para
Planner/Perencana di daerah ini – personal maupun institusional - begitu sangat
minim dijumpai, jika tak ingin dikatakan tidak ada sama sekali.
Sebagai Intelektual Gadfly
Bercermin
dari fenomena yang telah diuraikan sebelumnya, maka salah satu peran Perencana
yang dikemukakan Raws, the planner as
reader of and reactor to power structures (Perencana sebagai pembaca dan
pemberi respon terhadap struktur kekuasaan), sangat menarik bila dikaitkan
dengan tipe “the gadfly” dalam pemikiran
Justin E.H.Smith tentang, “Six Types of
Philosophers”. Tipe “the gadfly” teramat
penting untuk diperankan oleh Planner/Perencana, terutama bila memperhatikan
konteks penyelenggaraan penataan ruang yang berlangsung saat ini. Mengapa
penting? Karena, inilah sebentuk pengkhidmatan yang dapat berfungsi sebagai
sosial kontrol, namun jarang sekali diperankan oleh kalangan Perencana ketika
menjalankan praktek keprofesiannya.
Pada kajian
virtual “Filsafat sebagai Way of Life”,
Dr.Jalaluddin Rakhmat menguraikan tentang Gadfly
ini. Gadfly ialah orang yang
mengintervensi status quo suatu
masyarakat atau komunitas, dengan mengemukakan pertanyaan-pertanyaan baru yang
berpotensi ‘mengganggu’, dan biasanya diarahkan kepada pemegang kekuasaan. Gadfly adalah mereka yang aktif dalam
aktivitas sosial, dan selalu melakukan kritik pada pemegang otoritas, dengan
menyampaikan kebenaran. Sebab itulah, bagi aktivis, filosof dan Gadfly semacam Dr.Cornel West, lantas
menegaskan prinsipnya, “There is a price
to pay for speaking the truth. There is a bigger price for living a lie.”
Memang ada resikonya berkata yang benar. Tapi resiko yang lebih besar saat kita
hidup dalam kebohongan. Tampaknya, Cornel West mengikuti jejak pendahulunya
sang filsuf besar Socrates. Socrates adalah orang yang pertama menyebut diri
sebagai Gadfly. Ia berujar, “I am that gadfly which God has attached to
the state, and all day long and in all place am always fastening upon you,
arousing and persuading and reproaching you.” Aku adalah lalat pengganggu
yang Tuhan telah berikan pada negara, di sepanjang hari dan di semua tempat
selalu bersamamu, menggerakkan dan membujukmu tapi juga menjatuhkanmu.
Menjadi
Perencana sebagai Intelektual Gadfly,
tentu bukanlah peran yang mudah, sebab mesti siap menghadapi berbagai konsekuensi
dan resiko. Dengan komitmen dan idealisme yang dimiliki, ia harus konsisten
menyuarakan serta mempersoalkan realitas penataan ruang yang problematik.
Karena tidak banyak Perencana yang mau melakoni, maka memilih peran Gadfly, ibarat menyusuri jalan sunyi dan
terasing. Mungkin inilah sebagian dari konsekuensi yang harus dilalui. Tapi
kata Soe Hok Gie: “Lebih baik diasingkan
dari pada menyerah pada kemunafikan.”
Sebagai Intelektual
Gadfly, seorang Planner/Perencana
tidak boleh berdiam diri, tanpa kepekaan, tanpa kepedulian atau sebatas berlaku
menjadi the mandarin dan the courtier (dua tipe ini adalah gambaran
ilmuwan publik yang mewakili kepentingan elit) seperti dalam kategori
Justin Smith. Karena pada dasarnya, sudah menjadi tanggung jawab para
intelektual untuk berbicara tentang kebenaran dan mengungkap kebohongan. Begitu
lontaran Noam Chomsky, seorang kritikus sosial dan intelektual paling penting
pada masa kini. Akhirnya, saat memikirkan profesi ini, saya kadang bertafakkur
sembari bertanya, akankah kita temukan lagi Planner yang memilih sebagai
Intelektual Gadfly? Sementara dalam
realitasnya, kebanyakan Planner lebih terpesona bergerilya “proyek” untuk meneguhkan
ketenarannya sendiri! Wallahu a’lam
bisshawab.
FAJAR Makassar, April 2021