Kamis, 15 April 2021

Minimnya Planner Sebagai Intelektual Gadfly (Refleksi 50 Tahun IAP Indonesia)

Pada buku, “Pengkhianatan Kaum Cendekiawan” karya Julien Benda, Wiratmo Soekito menulis kata pengantar yang menceritakan tentang sebuah peristiwa yang disebut “L’Affaire Dreyfus” atau “Peristiwa Dreyfus” di negeri Prancis pada 1894. Perlakuan terhadap Dreyfus yang dianggap bertentangan dengan perikeadilan, memantik reaksi dan respon dari para cerdik-cendekia, lalu menyatukan sikap dengan mengumumkan “Manifesto des Intellectuels”.

Sastrawan dan budayawan D.Zawawi Imron, dalam bukunya “Gumam-Gumam Dari Dusun”,  menyatakan bahwa Kepedulian kaum intelektual pada “Peristiwa Dreyfus” di atas, kemudian dicatat sebagai “sejarah” yang memantapkan kedudukan kaum intelektual sebagai kelompok penting di tengah-tengah masyarakat, baik sebagai pemangku nilai-nilai, penjaga peradaban, perawat kebudayaan maupun sebagai pelindung masyarakat dari kesewenang-wenangan. Kaum intelektual dipercaya sebagai pengemban amanat nurani masyarakat.

13 April 2021, Ikatan Ahli Perencanaan (IAP) Indonesia, genap berusia 50 tahun. Para Planner atau Perencana sebagai sekumpulan kaum terdidik dan profesional yang berhimpun di dalamnya, boleh jadi telah banyak berkiprah dan berkarya dalam pembangunan dan penataan ruang di Indonesia. Namun sayangnya, daya kritis Planner/Perencana terhadap problematika penataan ruang, masih sangat rendah dan perlu dipertanyakan. Mengapa demikian? Karena, kontribusi peran pada aspek ini memang terbilang kurang. Padahal, jika kita cermati “Kode Etik Perencana Indonesia” yang disebut sebagai “kaidah kehormatan” yang berlandaskan nilai-nilai luhur masyarakat dan bangsa Indonesia dengan berdasarkan Falsafah Pancasila dan UUD 45, telah menegaskan tanggung jawab Perencana terhadap publik atau masyarakat yang paling utama, ialah: “Melayani seluruh golongan dan lapisan masyarakat, mendahulukan kepentingan umum di atas kepentingan golongan maupun kepentingan pribadi, dan berdasar keyakinan profesi, berani membela yang benar serta memberikan kritik dan koreksi terhadap hal-hal yang merugikan masyarakat.”

Pertanyaannya, mengapa implementasi kode etik tersebut, sepertinya tidak menampakkan wujudnya yang konkrit? Apa sesungguhnya yang menjadi kendala? Tidak adakah keberanian para Perencana dalam menjalankan peran mulia itu? Sejumlah pertanyaan tersebut kerapkali mengusik nurani saya, apatah lagi ketika menyaksikan berbagai problem-problem planologis dan keruangan, terus saja berlangsung di sekitar kita. Realitas objektif itu, menunjukkan begitu banyak Perencana yang sibuk dengan kerja profesionalnya, tetapi tidak memahami makna terdalam dari profesinya. Punya perhatian besar pada peningkatan kapasitas keilmuan dan kompetensinya, berhitung besaran renumerasi yang mesti diperoleh, mengumpulkan materi untuk mengangkat status sosialnya, namun lupa akan komitmen dan tanggung jawabnya.

Dalam konteks profesi tersebut, hari-hari ini, kita masih disuguhi dengan bermacam problema keruangan yang kurang manusiawi dan tidak berkeadilan.   Sangat memprihatinkan memang, karena keadilan di negeri ini, masih menjadi “barang langka” pada perwujudan dan manifestasinya. Sebab itu, ketidakadilan ruang dan juga berbagai kerancuan lainnya, masih terus kita saksikan dalam proses pembangunan dan penataan ruang kita. Sebagai contoh di Kota Makassar, sejumlah proyek pembangunan yang bersoal dan terkait dengan penataan ruang, yang mestinya disorot oleh para Perencana, di antaranya:  reklamasi mega proyek Makassar New Port (MNP) yang berdampak pada masyarakat nelayan, dibongkarnya bangunan yang memiliki nilai sejarah seperti Stadion Mattoangin yang konon akan disulap menjadi stadion bertaraf internasional, rencana pembangunan gedung perkantoran twin tower di kawasan reklamasi Center Point of Indonesia (CPI), rencana jalan tol pesisir Losari-Tanjung Bira, dan tol layang dalam kota yang telah mengorbankan ribuan pohon, di mana saat hujan turun, mengubah Jalan A.P.Pettarani menjadi sungai dalam kota. Ironisnya, dari semua proyek problematik yang disebutkan, respon serta suara kritis para Planner/Perencana di daerah ini – personal maupun institusional - begitu sangat minim dijumpai, jika tak ingin dikatakan tidak ada sama sekali.

Sebagai Intelektual Gadfly

Bercermin dari fenomena yang telah diuraikan sebelumnya, maka salah satu peran Perencana yang dikemukakan Raws, the planner as reader of and reactor to power structures (Perencana sebagai pembaca dan pemberi respon terhadap struktur kekuasaan), sangat menarik bila dikaitkan dengan tipe “the gadfly” dalam pemikiran Justin E.H.Smith tentang, “Six Types of Philosophers”. Tipe “the gadfly” teramat penting untuk diperankan oleh Planner/Perencana, terutama bila memperhatikan konteks penyelenggaraan penataan ruang yang berlangsung saat ini. Mengapa penting? Karena, inilah sebentuk pengkhidmatan yang dapat berfungsi sebagai sosial kontrol, namun jarang sekali diperankan oleh kalangan Perencana ketika menjalankan praktek keprofesiannya.

Pada kajian virtual “Filsafat sebagai Way of Life”, Dr.Jalaluddin Rakhmat menguraikan tentang Gadfly ini. Gadfly ialah orang yang mengintervensi status quo suatu masyarakat atau komunitas, dengan mengemukakan pertanyaan-pertanyaan baru yang berpotensi ‘mengganggu’, dan biasanya diarahkan kepada pemegang kekuasaan. Gadfly adalah mereka yang aktif dalam aktivitas sosial, dan selalu melakukan kritik pada pemegang otoritas, dengan menyampaikan kebenaran. Sebab itulah, bagi aktivis, filosof dan Gadfly semacam Dr.Cornel West, lantas menegaskan prinsipnya, “There is a price to pay for speaking the truth. There is a bigger price for living a lie.” Memang ada resikonya berkata yang benar. Tapi resiko yang lebih besar saat kita hidup dalam kebohongan. Tampaknya, Cornel West mengikuti jejak pendahulunya sang filsuf besar Socrates. Socrates adalah orang yang pertama menyebut diri sebagai Gadfly. Ia berujar, “I am that gadfly which God has attached to the state, and all day long and in all place am always fastening upon you, arousing and persuading and reproaching you.” Aku adalah lalat pengganggu yang Tuhan telah berikan pada negara, di sepanjang hari dan di semua tempat selalu bersamamu, menggerakkan dan membujukmu tapi juga menjatuhkanmu.

Menjadi Perencana sebagai Intelektual Gadfly, tentu bukanlah peran yang mudah, sebab mesti siap menghadapi berbagai konsekuensi dan resiko. Dengan komitmen dan idealisme yang dimiliki, ia harus konsisten menyuarakan serta mempersoalkan realitas penataan ruang yang problematik. Karena tidak banyak Perencana yang mau melakoni, maka memilih peran Gadfly, ibarat menyusuri jalan sunyi dan terasing. Mungkin inilah sebagian dari konsekuensi yang harus dilalui. Tapi kata Soe Hok Gie: “Lebih baik diasingkan dari pada menyerah pada kemunafikan.”

Sebagai Intelektual Gadfly, seorang Planner/Perencana tidak boleh berdiam diri, tanpa kepekaan, tanpa kepedulian atau sebatas berlaku menjadi the mandarin dan the courtier (dua tipe ini adalah gambaran ilmuwan publik yang mewakili kepentingan elit) seperti dalam kategori Justin Smith. Karena pada dasarnya, sudah menjadi tanggung jawab para intelektual untuk berbicara tentang kebenaran dan mengungkap kebohongan. Begitu lontaran Noam Chomsky, seorang kritikus sosial dan intelektual paling penting pada masa kini. Akhirnya, saat memikirkan profesi ini, saya kadang bertafakkur sembari bertanya, akankah kita temukan lagi Planner yang memilih sebagai Intelektual Gadfly? Sementara dalam realitasnya, kebanyakan Planner lebih terpesona bergerilya “proyek” untuk meneguhkan ketenarannya sendiri! Wallahu a’lam bisshawab.

FAJAR Makassar, April 2021

Rezim Yang Ambigu dan Problem Lingkungan di Indonesia

Permasalahan lingkungan hidup, telah mendapat perhatian besar di hampir semua negara. Ini terutama terjadi sejak dasawarsa 1970-an setelah d...