Jumat, 10 Desember 2021

Bencana Hidrometeorologi dan Pengabaian Tata Ruang

Tanggal 8 November lalu, diperingati Hari Tata Ruang Nasional seperti biasa pada setiap tahunnya. Namun kali ini, serasa sepi pemberitaan. Media-media mainstream pun tidak ada yang meliputnya. Pada momentum tersebut, kampus-kampus pengampuh jurusan Planologi/Perencanaan Wilayah dan Kota (PWK), tampaknya juga miskin ide dan gagasan-gagasan yang transformatif serta kritis dalam merespon berbagai persoalan yang terkait dengan bidang tata ruang. Apakah fenomena ini adalah isyarat makin terpinggirnya dan terabaikannya persoalan tata ruang? Atau jangan-jangan tata ruang memang belum dianggap sesuatu yang penting bagi publik. Tata ruang seolah hanya menjadi perbincangan kalangan elit; para penentu kebijakan, kaum profesional serta akademisi saja. 

Padahal sejatinya, wacana tata ruang mestinya sudah lebih terbuka serta menjadi konsumsi publik, karena berhubungan dengan aktivitas kehidupan masyarakat sehari-hari. Tata ruang juga merupakan elemen penting dalam proses pembangunan yang sedang berlangsung, seiring dinamika dan problematikanya. Termasuk dalam hal ini, menyangkut persoalan kebencanaan yang terus menghantui. 

Dunia saat ini dihadapkan pada ancaman bencana sebagai dampak dari perubahan iklim. Dalam laporan Enviromental Research Letters, menurut para peneliti, air laut akan naik dalam waktu berabad-abad mendatang, yang menyebabkan kota-kota akan terendam air laut. Penulis utama laporan tersebut yang juga merupakan Kepala ilmuwan dari Climate Central, Ben Strauss menyebutkan sekitar 5% dari populasi dunia saat ini, tinggal di daratan di bawah permukaan laut. Yang mana tingkat air pasang diperkirakan akan meningkat karena karbondioksida yang telah ditambahkan ke atmosfer oleh aktivitas manusia. Hal ini dipertegas oleh survey bahwa lebih dari 99,9 persen makalah ilmiah setuju bahwa manusia menyebabkan perubahan iklim. Menurut Strauss, konsentrasi CO2 sekarang 50% lebih tinggi dari tahun 1800. Sementara suhu rata-rata permukaan bumi juga terus meningkat 1,1 derajat celcius. 

Conservation Internasional Indonesia menuliskan publikasi Jurnal Frontiers 15 April 2021 lalu yang menyimpulkan, hanya 3% daratan di Bumi masih utuh secara ekologis (ecologically intact). Keutuhan ekologis ini diukur dari tiga parameter yaitu integritas habitat, integritas fauna dan integritas fungsional, yang dipakai untuk menilai pengaruh manusia terhadap lahan.  Dari persentase tersebut, kawasan konservasi dan lindung hanya menyumbang 11%, dan itupun bisa bertahan karena sebagian besar dikelola oleh masyarakat adat di seluruh dunia.

Sekarang ini, kita telah memasuki musim hujan. Ancaman bencana terus saja hadir di hadapan kita. BNPB menyebutkan, selama 20 tahun terakhir, 98% kejadian bencana di Indonesia adalah bencana hidrometeorologi. Bencana hidrometeorologi khususnya banjir, longsor dan banjir bandang, kini silih berganti terjadi di berbagai daerah dalam beberapa bulan terakhir di tanah air. Bahkan di Kalimantan Barat, air menggenangi lebih 35.000 rumah warga selama sebulan. Dan tragisnya, kejadian serupa seakan sudah menjadi pemandangan rutin tahunan. Lantas, apakah rentetan peristiwa tersebut mengejutkan kita? Rasanya tidak lagi. Yang justru mengagetkan, jika masih ada yang terkejut dengan bencana tahunan itu. Sebab, telah menjadi ‘kelaziman’ negeri kita selama ini. Demikian itulah realitasnya, sebagai konsekuensi logis dari rusak parahnya ekologi dan lingkungan kita dalam waktu yang sudah begitu lama.

Negeri kita ini, memang memiliki wilayah yang sangat rentan dengan bencana. Global Climate Risk Index 2021 menempatkan Indonesia dalam rangking 3 dunia untuk risiko bencana. Olehnya itu, pemerintah daerah mesti segera bersiap untuk melakukan langkah pencegahan dan mitigasi terhadap peningkatan potensi bencana hidrometeorologi, khususnya banjir, longsor dan banjir bandang. Dalam konteks pencegahan dan mitigasi terhadap risiko bencana tersebut, maka tata ruang menjadi sangat penting mendapatkan perhatian serius. Hal ini sejalan pula yang telah ditegaskan dalam UU.24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, bahwa tata ruang merupakan sebuah bentuk mitigasi nonstruktural. 

Bencana banjir, longsor dan banjir bandang, umumnya terjadi karena degradasi ekologis dan lingkungan, di mana kerusakan tersebut disebabkan oleh aktivitas eksploitasi seperti alih fungsi lahan, deforestasi dan lain-lainnya, yang kesemuanya berujung pada pengabaian tata ruang. Bencana yang terus melanda adalah konsekuensi logis dari perubahan tata ruang akibat pembangunan yang tak berkelanjutan dan tanpa pengendalian. Saat banjir besar melanda Kalsel, Direktur Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan KLHK Karliansyah, menyebut jumlah penurunan hutan di Kalimantan Selatan cukup drastis, yakni selama periode 1990 hingga 2019 sebesar 62,8 persen. 

Ironisnya, pernyataan Menteri KLHK Siti Nurbaya beberapa waktu lalu yang menyatakan ‘pembangunan besar-besaran era Presiden Jokowi tidak boleh berhenti atas nama emisi karbon atau atas nama deforestasi’, seakan menyentak kesadaran kita. Apakah ini contoh ecological suicide yang yang diujarkan JO Simmonds? Karena, para pemimpin yang seharusnya bertugas menjaga kelestarian alam dan lingkungan, justru merusaknya dengan berbagai kebijakannya. Menukil istilah Prof.Dr.Supriyoko, mereka yang mestinya menjadi Pembina (lingkungan), malah menjadi pembinasa (lingkungan). 

Political will pemerintah dalam mengarusutamakan tata ruang dan lingkungan sepertinya belum terasa. Memang sangat disayangkan, bahwa masih begitu rendahnya kadar kecerdasan planologis dan ekologis para elit di puncak kekuasaan. Prof.Eko Budihardjo mendaku bahwa pembangunan wilayah dan kota selama ini cenderung mengabaikan daya dukung dan daya tampung lingkungan serta menafikan kajian jejak ekologis (ecological footprint). Akibatnya, bencana terus saja melanda seolah tanpa henti. Semoga saja ada perubahan berarti dan perbaikan sungguh-sungguh di waktu mendatang! 

Koran SINDO, Desember 2021

Rezim Yang Ambigu dan Problem Lingkungan di Indonesia

Permasalahan lingkungan hidup, telah mendapat perhatian besar di hampir semua negara. Ini terutama terjadi sejak dasawarsa 1970-an setelah d...