Tanggal 8 November lalu, diperingati Hari Tata Ruang Nasional seperti
biasa pada setiap tahunnya. Namun kali ini, serasa sepi pemberitaan.
Media-media mainstream pun tidak ada yang meliputnya. Pada momentum tersebut,
kampus-kampus pengampuh jurusan Planologi/Perencanaan Wilayah dan Kota (PWK),
tampaknya juga miskin ide dan gagasan-gagasan yang transformatif serta kritis
dalam merespon berbagai persoalan yang terkait dengan bidang tata ruang. Apakah
fenomena ini adalah isyarat makin terpinggirnya dan terabaikannya persoalan
tata ruang? Atau jangan-jangan tata ruang memang belum dianggap sesuatu yang
penting bagi publik. Tata ruang seolah hanya menjadi perbincangan kalangan
elit; para penentu kebijakan, kaum profesional serta akademisi saja.
Padahal sejatinya, wacana tata ruang mestinya sudah lebih terbuka serta
menjadi konsumsi publik, karena berhubungan dengan aktivitas kehidupan
masyarakat sehari-hari. Tata ruang juga merupakan elemen penting dalam proses
pembangunan yang sedang berlangsung, seiring dinamika dan problematikanya.
Termasuk dalam hal ini, menyangkut persoalan kebencanaan yang terus
menghantui.
Dunia saat ini dihadapkan pada ancaman bencana sebagai dampak dari
perubahan iklim. Dalam laporan Enviromental Research Letters, menurut
para peneliti, air laut akan naik dalam waktu berabad-abad mendatang, yang
menyebabkan kota-kota akan terendam air laut. Penulis utama laporan tersebut
yang juga merupakan Kepala ilmuwan dari Climate Central, Ben Strauss
menyebutkan sekitar 5% dari populasi dunia saat ini, tinggal di daratan di
bawah permukaan laut. Yang mana tingkat air pasang diperkirakan akan meningkat
karena karbondioksida yang telah ditambahkan ke atmosfer oleh aktivitas
manusia. Hal ini dipertegas oleh survey bahwa lebih dari 99,9 persen makalah
ilmiah setuju bahwa manusia menyebabkan perubahan iklim. Menurut Strauss,
konsentrasi CO2 sekarang 50% lebih tinggi dari tahun 1800. Sementara suhu
rata-rata permukaan bumi juga terus meningkat 1,1 derajat celcius.
Conservation Internasional Indonesia menuliskan publikasi Jurnal
Frontiers 15 April 2021 lalu yang menyimpulkan, hanya 3% daratan di Bumi
masih utuh secara ekologis (ecologically intact). Keutuhan ekologis ini
diukur dari tiga parameter yaitu integritas habitat, integritas fauna dan
integritas fungsional, yang dipakai untuk menilai pengaruh manusia terhadap
lahan. Dari persentase tersebut, kawasan konservasi dan lindung hanya
menyumbang 11%, dan itupun bisa bertahan karena sebagian besar dikelola oleh
masyarakat adat di seluruh dunia.
Sekarang ini, kita telah memasuki musim hujan. Ancaman bencana terus
saja hadir di hadapan kita. BNPB menyebutkan, selama 20 tahun terakhir, 98%
kejadian bencana di Indonesia adalah bencana hidrometeorologi. Bencana
hidrometeorologi khususnya banjir, longsor dan banjir bandang, kini silih
berganti terjadi di berbagai daerah dalam beberapa bulan terakhir di tanah air.
Bahkan di Kalimantan Barat, air menggenangi lebih 35.000 rumah warga selama
sebulan. Dan tragisnya, kejadian serupa seakan sudah menjadi pemandangan rutin
tahunan. Lantas, apakah rentetan peristiwa tersebut mengejutkan kita? Rasanya
tidak lagi. Yang justru mengagetkan, jika masih ada yang terkejut dengan
bencana tahunan itu. Sebab, telah menjadi ‘kelaziman’ negeri kita selama ini.
Demikian itulah realitasnya, sebagai konsekuensi logis dari rusak parahnya
ekologi dan lingkungan kita dalam waktu yang sudah begitu lama.
Negeri kita ini, memang memiliki wilayah yang sangat rentan dengan
bencana. Global Climate Risk Index 2021 menempatkan Indonesia
dalam rangking 3 dunia untuk risiko bencana. Olehnya itu, pemerintah daerah
mesti segera bersiap untuk melakukan langkah pencegahan dan mitigasi terhadap
peningkatan potensi bencana hidrometeorologi, khususnya banjir, longsor dan
banjir bandang. Dalam konteks pencegahan dan mitigasi terhadap risiko bencana
tersebut, maka tata ruang menjadi sangat penting mendapatkan perhatian serius.
Hal ini sejalan pula yang telah ditegaskan dalam UU.24 Tahun 2007 tentang
Penanggulangan Bencana, bahwa tata ruang merupakan sebuah bentuk mitigasi
nonstruktural.
Bencana banjir, longsor dan banjir bandang, umumnya terjadi karena
degradasi ekologis dan lingkungan, di mana kerusakan tersebut disebabkan oleh
aktivitas eksploitasi seperti alih fungsi lahan, deforestasi dan lain-lainnya,
yang kesemuanya berujung pada pengabaian tata ruang. Bencana yang terus melanda
adalah konsekuensi logis dari perubahan tata ruang akibat pembangunan yang tak
berkelanjutan dan tanpa pengendalian. Saat banjir besar melanda Kalsel,
Direktur Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan KLHK
Karliansyah, menyebut jumlah penurunan hutan di Kalimantan Selatan cukup
drastis, yakni selama periode 1990 hingga 2019 sebesar 62,8 persen.
Ironisnya, pernyataan Menteri KLHK Siti Nurbaya beberapa waktu lalu yang
menyatakan ‘pembangunan besar-besaran era Presiden Jokowi tidak boleh berhenti
atas nama emisi karbon atau atas nama deforestasi’, seakan menyentak kesadaran
kita. Apakah ini contoh ecological suicide yang yang diujarkan JO
Simmonds? Karena, para pemimpin yang seharusnya bertugas menjaga kelestarian
alam dan lingkungan, justru merusaknya dengan berbagai kebijakannya. Menukil
istilah Prof.Dr.Supriyoko, mereka yang mestinya menjadi Pembina (lingkungan),
malah menjadi pembinasa (lingkungan).
Political will
pemerintah dalam mengarusutamakan tata ruang dan lingkungan sepertinya belum
terasa. Memang sangat disayangkan, bahwa masih begitu rendahnya kadar
kecerdasan planologis dan ekologis para elit di puncak kekuasaan. Prof.Eko
Budihardjo mendaku bahwa pembangunan wilayah dan kota selama ini cenderung
mengabaikan daya dukung dan daya tampung lingkungan serta menafikan kajian
jejak ekologis (ecological footprint). Akibatnya, bencana terus saja
melanda seolah tanpa henti. Semoga saja ada perubahan berarti dan perbaikan
sungguh-sungguh di waktu mendatang!
Koran SINDO, Desember 2021