Pelibatan Masyarakat
dalam Penataan Ruang
Sebetulnya, bila kita memperhatikan serta
mencermati beberapa regulasi yang ada, maka akan sangat jelas tergambar usaha
untuk mengikutsertakan masyarakat dalam hal penataan ruang ini. Misalnya, dalam
UU No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang pada Pasal 65, disebutkan bahwa penyelenggaraan
penataan ruang dilakukan oleh pemerintah dengan melibatkan peran masyarakat.
Dan peran masyarakat yang dimaksud dilakukan antara lain, melalui: partisipasi
dalam penyusunan rencana tata ruang, dalam pemanfaatan ruang dan dalam
pengendalian pemanfaatan ruang.
Dari Undang-Undang tersebut, dijabarkan lebih
lanjut melalui PP No.68 tahun 2010 tentang Bentuk dan Tata Cara Peran
Masyarakat dalam Penataan Ruang. Di situ dijelaskan bahwa peran masyarakat
adalah partisipasi aktif dari masyarakat dalam bentuk kegiatan atau aktivitas
yang dilakukan pada ketiga tahapan penyelenggaraan penataan ruang yaitu,
perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang.
Tujuan dari pengaturan ini di antaranya adalah mendorong
peran masyarakat dalam penataan ruang serta menciptakan masyarakat untuk ikut
bertanggung jawab dalam penataan ruang. Jadi, disinilah wujud dari hak
masyarakat untuk dapat mengetahui rencana tata ruang.
Dari uraian di
atas, dapat dipahami bahwa regulasi yang ada berkaitan dengan peran serta
masyarakat, sebetulnya sudah cukup memadai. Persoalannya, hanya terletak pada
tahap implementasi dan pelaksanaan dari peraturan tersebut. Selama ini dalam
faktanya, pelibatan masyarakat memang masih sangat minim atau bahkan bisa
dikatakan tidak sama sekali.
Beberapa Hal dan Persoalan Yang Perlu Dilakukan
Harus diakui bahwa dalam usaha melibatkan
masyarakat dalam decision making yang
menyangkut masa depan wilayah kehidupan mereka, akan ada konflik-konflik yang
mesti dihadapi. Di satu pihak, diinginkan adanya konsultasi dan interaksi yang
intensif antara masyarakat dengan badan-badan perencana, yang hal ini tentu
saja akan memakan waktu, di lain pihak dibutuhkan perlunya keputusan yang cepat
untuk segera mendapatkan hasil-hasil yang konkrit.
Problem yang lain adalah masyarakat atau
penduduk biasanya sudah disibukkan oleh persoalan-persoalan sehari-hari,
sehingga tidak tertarik lagi untuk mengikuti pertemuan-pertemuan, diskusi atau
seminar, apalagi yang bersifat formal, kaku dan ilmiah. Nantilah saat mereka
sudah dihadapkan pada kenyataan yang menimpa, misalnya akan kena gusur atau
relokasi, barulah menyadari pentingnya pertemuan, diskusi dan seminar tersebut
sebagai media dalam menyalurkan pendapat dan aspirasi.
Kurangnya sosialisasi yang dilakukan kepada
masyarakat, bukan hanya pada produk penataan ruang tapi juga menyangkut
regulasi dan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan penataan ruang
serta peran masyarakat di dalamnya.
Dari sejumlah persoalan yang telah
dikemukakan, maka setidaknya ada beberapa hal yang perlu dipikirkan untuk
dilakukan, antara lain :
· Memaksimalkan sosialisasi peraturan dan
regulasi yang terkait peran serta masyarakat dalam penataan ruang serta
produk-produk perencanaan tata ruang yang sementara dikerjakan, lewat media
cetak, pemasangan baliho, pamflet, selebaran, dan bentuk-bentuk lainnya di
sejumlah tempat yang strategis, sehingga mudah diakses oleh masyarakat secara
luas.
· Memberi sanksi dan teguran keras kepada
badan-badan perencana baik pemerintah maupun swasta yang ingin mudahnya saja,
sehingga tidak menjadikan regulasi yang ada sebagai acuan serta tidak melakukan
sosialisasi akan peran masyarakat, dan tidak mengikutsertakannya dalam tahapan
penataan ruang. Karena yang terjadi selama ini, sosialisasi dan pelibatan
masyarakat baru dilakukan saat sebuah perencanaan tata ruang sudah akan
dilaksanakan. Dengan model pendekatan seperti itu, alih-alih mengundang simpati
justru dapat melahirkan resistensi dan penolakan.
· Memfungsikan kembali secara aktif lembaga non
formal yang dapat menjadi wadah bagi masyarakat secara luas dalam menampung
aspirasi dan pikirannya berkenaan dengan penataan ruang di wilayahnya. Seperti
halnya di inggris, pada tahun 1964 berdiri lembaga semacam itu bernama Planning Advisory Group (PAG) yang
berfungsi ganda, di mana selain bertujuan untuk menjamin maksud dari
badan-badan perencana bisa terpenuhi, tetapi juga sebagai wadah untuk
partisipasi masyarakat dalam proses penyusunan dan penataan ruang. Dalam
laporan PAG dinyatakan mutlak perlunya kesepahaman dari masyarakat. Dan
kesepahaman ini, hanya akan terjadi kalau masyarakat dilibatkan sejak awal
dalam seluruh tahapan penataan ruang yang ada.
Akhirnya, kalau kita meletakkan prinsip
penataan ruang adalah untuk kepentingan masyarakat sebagai wujud dari apa yang
disebut ‘planning for people’, maka
nilai-nilai sosial kultural serta peran serta masyarakat harus
setidak-tidaknya diperhatikan, kalau
tidak mau dikatakan sebagai faktor penentu yang dominan dalam proses penataan
ruang.
Jika masyarakat merasa ikut berfungsi sebagai
penentu pola ruang mereka sendiri, besar kemungkinan mereka akan sepenuh hati
mendukung implementasi dari kebijakan yang telah digariskan bersama. Masyarakat
harus lebih sering diajak bicara dan sedapat mungkin dilibatkan dalam proses
pengambilan keputusan yang langsung atau tidak langsung menyangkut lingkungan
dan kehidupan masa depan mereka. Sehingga pada gilirannya, mereka tidak hanya
tinggal di sebuah daerah atau kota, tetapi juga merasa memiliki kota dan daerah
tersebut.
FAJAR Makassar, November 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar