Jumat, 18 Januari 2019

Peran Masyarakat Dalam Penataan Ruang, Sudahkah Terealisasi? (Catatan Jelang Hari Tata Ruang Nasional, 8 November 2015)

Tema ini menjadi penting untuk ditelaah, karena sangat terkait dengan bagaimana posisi masyarakat dalam konteks perencanaan dan penataan ruang yang dilakukan selama ini.
Pelibatan Masyarakat dalam Penataan Ruang
Sebetulnya, bila kita memperhatikan serta mencermati beberapa regulasi yang ada, maka akan sangat jelas tergambar usaha untuk mengikutsertakan masyarakat dalam hal penataan ruang ini. Misalnya, dalam UU No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang pada Pasal 65, disebutkan bahwa penyelenggaraan penataan ruang dilakukan oleh pemerintah dengan melibatkan peran masyarakat. Dan peran masyarakat yang dimaksud dilakukan antara lain, melalui: partisipasi dalam penyusunan rencana tata ruang, dalam pemanfaatan ruang dan dalam pengendalian pemanfaatan ruang.
Dari Undang-Undang tersebut, dijabarkan lebih lanjut melalui PP No.68 tahun 2010 tentang Bentuk dan Tata Cara Peran Masyarakat dalam Penataan Ruang. Di situ dijelaskan bahwa peran masyarakat adalah partisipasi aktif dari masyarakat dalam bentuk kegiatan atau aktivitas yang dilakukan pada ketiga tahapan penyelenggaraan penataan ruang yaitu, perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. Tujuan dari pengaturan ini di antaranya adalah mendorong peran masyarakat dalam penataan ruang serta menciptakan masyarakat untuk ikut bertanggung jawab dalam penataan ruang. Jadi, disinilah wujud dari hak masyarakat untuk dapat mengetahui rencana tata ruang.
Dari uraian di atas, dapat dipahami bahwa regulasi yang ada berkaitan dengan peran serta masyarakat, sebetulnya sudah cukup memadai. Persoalannya, hanya terletak pada tahap implementasi dan pelaksanaan dari peraturan tersebut. Selama ini dalam faktanya, pelibatan masyarakat memang masih sangat minim atau bahkan bisa dikatakan tidak sama sekali.
Beberapa Hal dan Persoalan Yang Perlu Dilakukan
Harus diakui bahwa dalam usaha melibatkan masyarakat dalam decision making yang menyangkut masa depan wilayah kehidupan mereka, akan ada konflik-konflik yang mesti dihadapi. Di satu pihak, diinginkan adanya konsultasi dan interaksi yang intensif antara masyarakat dengan badan-badan perencana, yang hal ini tentu saja akan memakan waktu, di lain pihak dibutuhkan perlunya keputusan yang cepat untuk segera mendapatkan hasil-hasil yang konkrit.
Problem yang lain adalah masyarakat atau penduduk biasanya sudah disibukkan oleh persoalan-persoalan sehari-hari, sehingga tidak tertarik lagi untuk mengikuti pertemuan-pertemuan, diskusi atau seminar, apalagi yang bersifat formal, kaku dan ilmiah. Nantilah saat mereka sudah dihadapkan pada kenyataan yang menimpa, misalnya akan kena gusur atau relokasi, barulah menyadari pentingnya pertemuan, diskusi dan seminar tersebut sebagai media dalam menyalurkan pendapat dan aspirasi.
Kurangnya sosialisasi yang dilakukan kepada masyarakat, bukan hanya pada produk penataan ruang tapi juga menyangkut regulasi dan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan penataan ruang serta peran masyarakat di dalamnya.
Dari sejumlah persoalan yang telah dikemukakan, maka setidaknya ada beberapa hal yang perlu dipikirkan untuk dilakukan, antara lain :
·       Memaksimalkan sosialisasi peraturan dan regulasi yang terkait peran serta masyarakat dalam penataan ruang serta produk-produk perencanaan tata ruang yang sementara dikerjakan, lewat media cetak, pemasangan baliho, pamflet, selebaran, dan bentuk-bentuk lainnya di sejumlah tempat yang strategis, sehingga mudah diakses oleh masyarakat secara luas.
·       Memberi sanksi dan teguran keras kepada badan-badan perencana baik pemerintah maupun swasta yang ingin mudahnya saja, sehingga tidak menjadikan regulasi yang ada sebagai acuan serta tidak melakukan sosialisasi akan peran masyarakat, dan tidak mengikutsertakannya dalam tahapan penataan ruang. Karena yang terjadi selama ini, sosialisasi dan pelibatan masyarakat baru dilakukan saat sebuah perencanaan tata ruang sudah akan dilaksanakan. Dengan model pendekatan seperti itu, alih-alih mengundang simpati justru dapat melahirkan resistensi dan penolakan.
·       Memfungsikan kembali secara aktif lembaga non formal yang dapat menjadi wadah bagi masyarakat secara luas dalam menampung aspirasi dan pikirannya berkenaan dengan penataan ruang di wilayahnya. Seperti halnya di inggris, pada tahun 1964 berdiri lembaga semacam itu bernama Planning Advisory Group (PAG) yang berfungsi ganda, di mana selain bertujuan untuk menjamin maksud dari badan-badan perencana bisa terpenuhi, tetapi juga sebagai wadah untuk partisipasi masyarakat dalam proses penyusunan dan penataan ruang. Dalam laporan PAG dinyatakan mutlak perlunya kesepahaman dari masyarakat. Dan kesepahaman ini, hanya akan terjadi kalau masyarakat dilibatkan sejak awal dalam seluruh tahapan penataan ruang yang ada.
Akhirnya, kalau kita meletakkan prinsip penataan ruang adalah untuk kepentingan masyarakat sebagai wujud dari apa yang disebut ‘planning for people’, maka nilai-nilai sosial kultural serta peran serta masyarakat harus setidak-tidaknya  diperhatikan, kalau tidak mau dikatakan sebagai faktor penentu yang dominan dalam proses penataan ruang.
Jika masyarakat merasa ikut berfungsi sebagai penentu pola ruang mereka sendiri, besar kemungkinan mereka akan sepenuh hati mendukung implementasi dari kebijakan yang telah digariskan bersama. Masyarakat harus lebih sering diajak bicara dan sedapat mungkin dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan yang langsung atau tidak langsung menyangkut lingkungan dan kehidupan masa depan mereka. Sehingga pada gilirannya, mereka tidak hanya tinggal di sebuah daerah atau kota, tetapi juga merasa memiliki kota dan daerah tersebut.
FAJAR Makassar, November 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Rezim Yang Ambigu dan Problem Lingkungan di Indonesia

Permasalahan lingkungan hidup, telah mendapat perhatian besar di hampir semua negara. Ini terutama terjadi sejak dasawarsa 1970-an setelah d...