Selasa, 22 Desember 2020

Pentingnya Tata Ruang dan Lingkungan Dalam Mitigasi Bencana

Fenomena La Nina yang berdampak pada meningkatnya intensitas curah hujan, telah memicu terjadinya banjir, longsor, puting beliung, dan banjir bandang di sejumlah daerah. Sekitar pertengahan November lalu, banjir melanda Kabupaten Cilacap Jawa Tengah, lalu tanah longsor dan banjir bandang di Banyumas Jawa Tengah, dan Bahorok Kabupaten Langkat, Sumatera Utara. Sementara Desember ini, banjir paling tidak sudah melanda Aceh Utara, Gresik Jawa Timur, Grobogan Jawa Tengah, dan Makassar Sulawesi Selatan.  

Kepala BMKG, Prof. Dwikorita Karnawati, dalam sebuah presentasinya menyampaikan prakiraan BMKG, yaitu: bulan Oktober-Desember 2020, sebagian besar wilayah Indonesia diprakirakan akan mendapatkan hujan kategori menengah hingga tinggi dan sangat tinggi. Demikian juga pada Januari-Maret 2021 masih diprakirakan dengan kondisi yang sama. Sementara puncak musim hujan, masing-masing di Pulau Sumatera terjadi mulai bulan November, Jawa-Bali-Nusa Tenggara terjadi pada Januari hingga Februari 2021, Kalimantan diprakirakan dari Desember hingga Januari, Sulawesi terjadi mulai Januari dan April serta Maluku-Papua mulai Januari dan Maret 2021. 

Ancaman bencana hidrometeorologi sepertinya akan terus meningkat akhir tahun 2020 ini hingga 2021 mendatang, seiring masih kurangnya kesiapsiagaan daerah dalam mengantisipasinya. Seolah lupa bila negeri ini berada pada kawasan rawan bencana. Padahal, 60 persen wilayah Indonesia terletak pada daerah rawan bencana alam geologi. Indeks risiko bencana tahun 2019 saja menunjukkan: 315 Kabupaten/Kota daerah rawan banjir, 233 Kabupaten/Kota rawan tsunami, 274 daerah rawan longsor dan 295 titik rawan gempa. Belum lagi potensi Megathrust yang berada pada 16 titik, juga menghantui Indonesia berdasar sumber dari BPPT dan BNPB. Megathrust adalah mekanisme gerak lempeng yang bisa memicu gempa dengan tsunami besar.

Untuk menghadapi situasi kebencanaan yang menunjukkan tren peningkatan dari tahun ke tahun, maka penting mencermati sejumlah masalah terkait kebencanaan. Bagi Prof. Adi Maulana, Kepala Puslitbang Studi Kebencanaan Unhas, ada beberapa isu utama kebencanaan di Indonesia yang mesti jadi perhatian bersama, yaitu: literasi kebencanaan, riset kebencanaan, rezim finansial, ketahanan infrastruktur, kelembagaan, dan tata kelola kebencanaan serta komitmen politik atas isu kebencanaan.

Jika memerhatikan sejumlah isu tersebut, maka yang sangat mendasar, krusial, dan paling bersoal adalah menyangkut literasi kebencanaan. Saking rendahnya literasi kebencanaan kita, sampai-sampai dalam sistem perencanaan pun, belum sepenuhnya berbasis pada kebencanaan. Baik pada sistem perencanaan pembangunan (Development Planning) maupun sistem perencanaan tata ruang (Spatial Planning). Dengan kata lain, pada kebanyakan dokumen rencana jangka panjang, rencana jangka menengah serta juga rencana tata ruang, aspek kebencanaan belum terjelaskan secara optimal dan memadai. Terlebih lagi dalam urusan pelaksanaan dan implementasinya.

Salah satu kegiatan penting dalam manajemen bencana ialah mitigasi. UU.24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, menyebut mitigasi merupakan serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun melalui penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana. Ada dua bentuk mitigasi yang dimaksud. Mitigasi struktural dan nonstruktural. Dan tata ruang adalah sebuah bentuk mitigasi nonstruktural yang disebutkan.

Sayangnya, penyelenggaraan tata ruang masih tidak sepenuhnya ditegakkan. Sebagai ilustrasi, tengok saja RPJPD Sulawesi Selatan 2005-2025, yang dengan gamblang mengakui kalau masih terjadi inkonsistensi terhadap penegakan Perda RTRW. Hal senada juga tertuang dalam RPJMD Sulsel 2018-2023 yang menyatakan bahwa ketaatan pada RTRW masih rendah. Ini dikarenakan beberapa hal, yaitu; Rencana Tata Ruang (RTR) belum dijadikan sebagai acuan pelaksanaan pembangunan, belum terintegrasinya program prioritas RTR dalam dokumen perencanaan daerah serta belum optimalnya pelaksanaan pengendalian pemanfaatan ruang.

Hal yang sama juga terjadi terhadap persoalan lingkungan yang kurang serius ditangani, sehingga menyebabkan kerusakan lingkungan di berbagai daerah. Ini memperkuat sinyalemen tentang masih berlangsungnya ecological suicide sebagaimana diistilahkan JO Simmonds dalam buku Earthscape. Mengapa disebut bunuh diri ekologis? Karena pemimpin daerah – gubernur, walikota, bupati – yang sejatinya bertugas menjaga kelestarian alam, justru merusaknya.

Prof. Eko Budihardjo menulis tentang seorang reporter New York Times bernama Daniel Goleman yang menerbitkan buku berjudul “Ecological Intelligence”. Ia mengingatkan bahwa perilaku dan tindakan manusia di segenap pelosok dunia telah mengakibatkan bencana, berupa defisit ekologis yang sangat membahayakan eksistensi planet kita dengan segala isinya.

Tata ruang dan lingkungan merupakan instrumen yang sangat efektif dalam mencegah dan memitigasi terjadinya bencana, sepanjang penegakan aturan tentang keduanya konsisten dijalankan. Lalu, bagaimana tindakan konkrit Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan dan Pemerintah Kota Makassar menghadapi ancaman bencana karena fenomena La Nina? Wallahu a’lam bisshawab.

Selasa, 10 November 2020

Quo Vadis Tata Ruang Indonesia? (Refleksi Hari Tata Ruang Nasional)

Tanggal 8 November 2020, kembali diperingati Hari Tata Ruang Nasional. Agenda tersebut mulai digelar sejak tahun 1949 bertepatan dengan Hari Tata Kota se-dunia (World Town Planning Day). Di Indonesia, mulai diperingati pada tahun 2008, setelah terbitnya payung hukum penataan ruang berupa UU.24 Tahun 1992 kemudian diperbaharui lewat UU.26 Tahun 2007. Beberapa tahun setelahnya, Presiden Republik Indonesia menetapkan tanggal 8 November sebagai Hari Tata Ruang Nasional, melalui Kepres No.28 tahun 2013. Hal itu dimaksudkan sebagai wujud komitmen negara untuk secara terus menerus meningkatkan  kesadaran dan peran serta masyarakat di bidang penataan ruang.

Ironisnya, penataan ruang Indonesia hingga saat ini, seakan tak memiliki arah dan orientasi yang jelas. Terlalu mudah ‘diaduk-aduk’ oleh kepentingan kekuasaan. Paling mutakhir, adalah dengan berlakunya UU.11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang berdampak pada perubahan skema penataan ruang di Indonesia.  Lantas, mau kemana sesungguhnya penataan ruang kita?

 

Tata Ruang dan Nilai-Nilai Pancasila

Pada bukunya “Wawasan Pancasila” Dr.Yudi Latif  menulis, dalam pidatonya di Perserikatan Bangsa-Bangsa, pada 30 September 1960, saat memperkenalkan Pancasila kepada dunia, Soekarno mengingatkan pentingnya konsepsi dan cita-cita bagi suatu bangsa. Jika mereka tak memilikinya atau jika konsepsi dan cita-cita itu menjadi kabur dan usang, maka bangsa itu sedang dalam bahaya. Sebab itu, jauh sebelumnya sejak 18 Agustus 1945, Pancasila telah menjadi dasar falsafah negara (Philosophische grondslag), pandangan hidup (Weltanschauung) bangsa, dan ideologi negara Indonesia. Sayangnya, dalam realitas kehidupan kebangsaan kita, implementasinya masih sangat minim. 

Sebagai falsafah dan ideolog negara, Sang Proklamator menyatakan bahwa Pancasila adalah isi jiwa bangsa Indonesia, sekaligus dimaknai sebagai nilai-nilai yang menjadi cita-cita normatif dalam penyelenggaraan negara. Maka sejatinya, nilai-nilai pada setiap butir Pancasila, sepatutnya dijadikan pedoman dasar dalam melangsungkan kehidupan bernegara. Karenanya, harus mewarnai setiap rumusan kebijakan dan aturan apapun – termasuk regulasi mengenai penataan ruang - yang akan diterapkan kepada seluruh rakyat Indonesia.

Lalu, bagaimana mengaitkan tata ruang dengan nilai-nilai Pancasila? Dalam buku “Reformasi Perkotaan”, Prof.Eko Budihardjo menyatakan kalau sudah beberapa dekade silam Koes Hadinoto merumuskan lima unsur dasar dalam perencanaan kota, yang disebutnya dengan predikat “Pancasila Perencanaan Kota”, yaitu Wisma (perumahan), Karya (lapangan kerja), Marga (jaringan jalan), Suka (rekreasi, taman) dan Prasarana (air bersih, listrik, drainase, persampahan).

Pertanyaannya, mengapa nilai-nilai Pancasila yang merupakan modal bangsa, tidak dijadikan spirit penataan ruang kita? Untuk itu, lima prinsip utama atau nilai dasar Pancasila yang oleh Yudi Latif disebut sebagai titik temu, titik tumpu, titik tuju, negara-bangsa Indonesia, saya coba untuk internalisasikan secara sederhana menjadi dasar filosofis penataan ruang, sebagai berikut:

Pertama, Tata Ruang Indonesia mesti diletakkan pada fondasi yang paling fundamental, di atas kerangka konsep Ilahiah/ketuhanan. Dengan keyakinan bahwa alam atau ruang merupakan tajalli dan manifestasi Ilahiah. Karena itu, seharusnya dikelola secara baik dan benar, berlandaskan pada nilai-nilai kebenaran dan kesucian.

Kedua, Penyelenggaraan tata ruang adalah sebentuk penghambaan sekaligus pengkhidmatan manusia sebagai khalifah. Sebab itu, meniscayakan dilakukan secara manusiawi, dengan menekankan pada aspek-aspek mendasar kebutuhan manusia dalam menciptakan peradaban.

Ketiga, Penataan Ruang di Indonesia harus mampu menjadi unsur pemersatu yang menghimpun seluruh wilayah dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Bukan sebaliknya, menciptakan disparitas dan kesenjangan, baik antar wilayah, antar desa-kota serta antar berbagai keragaman yang ada.

Keempat, Sangat penting menjadikan perhatian bahwa dalam penataan ruang harus betul-betul mengakomodasi secara luas pelibatan masyarakat/rakyat. Tidak dilakukan hanya sebatas formalitas. Kenyataan menunjukkan bahwa kurang lebih 80% produk perencanaan yang telah disusun, ternyata tidak terlaksana sebagaimana yang direncanakan. Kesenjangan yang lebar antara idealisme-pragmatisme, harapan-kenyataan, teori-praktek/implementasinya, merupakan masalah utama dalam tata ruang. Bagi Prof.Eko Budihardjo penyebab pokok dari masalah tersebut antara lain karena kurangnya peran serta aktif dari masyarakat luas dalam proses pembangunan dan penataan ruang.

Kelima, Penataan Ruang sudah seyogyanya dijalankan secara berkeadilan. Sebab selama ini, sangat banyak contoh bagaimana kuasa-modal seringkali melakukan ‘perampasan’ ruang yang menyebabkan terjadinya gentrifikasi dan segregasi spasial dalam pemanfaatan ruang. 

Proses internalisasi dan implementasi nilai-nilai Pancasila dalam upaya penyelenggaraan penataan ruang, kiranya dapat memberi arah dan orientasi yang lebih jelas dalam rangka menatap masa depan tata ruang Indonesia di waktu mendatang. Sehingga kita tak perlu lagi bertanya, Quo Vadis Tata Ruang Indonesia?

Wallahu a’lam bisshawab.

 

Kamis, 01 Oktober 2020

Sengkarut Tata Ruang dan Lingkungan Hidup dalam RUU Cipta Kerja

Tampaknya Pemerintah dan DPR bersikukuh untuk segera mengesahkan RUU (Rancangan Undang-Undang) Cipta Kerja dalam waktu dekat meski gelombang penolakan dari kelompok masyarakat masih terus berlanjut terhadap pembahasan dan rencana pengesahan Cipta Kerja yang problematik tersebut. Menjadi problematik karena baik substansi maupun proses perumusannya mengandung banyak persoalan sehingga menyebabkan munculnya berbagai reaksi dari berbagai kalangan di masyarakat.

RUU Cipta Kerja ini mungkin satu di antara RUU yang mendapat keistimewaan perlakuan dari Pemerintah-DPR. Seakan menegaskan upaya mengejar target untuk segera disahkan sehingga dalam masa reses dan pandemi pun DPR tetap melanjutkan pembahasannya. Bandingkan dengan RUU Masyarakat Adat yang sudah sekian lama tertunda pembahasannya, padahal telah diajukan sejak 2009. Ini mengesankan bahwa pemerintah seringkali abai terhadap hak-hak masyarakat adat, padahal negara sudah banyak mengambil keuntungan dan sumber daya dari masyarakat adat. Ditambah lagi, mereka sering kali mengalami perampasan wilayah, diskriminasi, kriminalisasi, hingga pelanggaran hak asasi.

Omnibus Law RUU Cipta Kerja menjadi perhatian dan mengundang reaksi berbagai komponen masyarakat karena RUU yang berisi 174 pasal ini menyisir 1200-an aturan pada 79 undang-undang multisektor. Hal ini disinyalir akan memberi dampak begitu luas dalam kehidupan masyarakat. Mengapa RUU ini menyebabkan gelombang penolakan yang cukup besar? Salah satunya karena ruang diskursus wacana sebagai bentuk keterbukaan dan partisipasi masyarakat yang diperintahkan dalam Pasal 5 dan Pasal 96 UU No.12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UUP3) tidak terakomodasi secara baik sehingga nyaris tak ada partisipasi, transparansi, dan terkesan terburu-buru. Akibatnya, problem-problem yang muncul di berbagai sektor tidak kunjung menemukan titik temu.

Sebagai contoh pada bidang pertanahan atau agraria. Menurut Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika, RUU ini akan memangkas tujuan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) tahun 1960, dengan menciptakan norma baru yang memberi seperangkat kemudahan dan keistimewaan kepada investor. Sementara di sisi lain, perlindungan kepada masyarakat rentan sangat minim. RUU ini juga merevisi aturan dalam UU No.41 tahun 2009 tentang perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan, mengubah peraturan dalam UUPA dengan mempersilahkan perusahaan untuk mengantongi hak atas tanah berupa hak guna usaha (HGU) langsung selama 90 tahun sejak permohonan awal, padahal sebelumnya dibatasi paling lama 25-30 tahun yang hanya boleh diperpanjang jika memenuhi syarat. Oleh sebab itu, Akademisi Sekolah Kajian Stratejik dan Global UI, Mia Siscawati, menyebut konsep ‘ruang’ dalam RUU Cipta kerja disempitkan menjadi ruang investasi yang memerlukan dua komponen, yaitu pengadaan lahan dan kawasan ekonomi.

 

Ironi Tata Ruang dan Lingkungan Hidup

Dari 79 Undang-Undang multisektor yang disasar, tata ruang dan lingkungan hidup adalah bidang yang terkena dampak RUU Cipta kerja yang menimbulkan polemik tersebut. Keduanya merupakan urusan pemerintahan yang bersifat wajib, tetapi seringkali terabaikan dalam berbagai aspeknya.

Dalam UU.26/2007 tentang Penataan Ruang, setidaknya ada sekitar 40-an pasal atau ketentuan yang terdampak RUU tersebut. Ada beberapa ketentuan yang sifatnya problematik, antara lain: Pertama, pada pasal 3 UU.26/2007 disebutkan bahwa tujuan penyelenggaraan penataan ruang adalah untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan berlandaskan wawasan nusantara dan ketahanan nasional. Pertanyaannya, mengapa ketentuan tentang kawasan perdesaan mesti dihapus pada RUU ini? Apakah perdesaan bukan bagian dari nusantara dan wilayah nasional sehingga tidak dianggap penting untuk ditata ruangnya sebagaimana wilayah lainnya.

Kedua, tampaknya RUU ini kurang senafas dengan prinsip desentralisasi, dekonsentrasi, dan otonomi daerah pada UU.23/2014 yang sudah berlangsung selama ini dengan menarik kewenangan pemerintah daerah terkait penyelenggaraan penataan ruang. Pasal 9 UU.26/2007 menyebutkan bahwa penyelenggaraan penataan ruang dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat. Dan yang dimaksud Pemerintah Pusat adalah Presiden Republik Indonesia sesuai pasal 1 poin 7.  Akibatnya, tugas dan wewenang penyelenggaraan penataan ruang berupa pengaturan, pembinaan, pelaksanaan, dan pengawasan tidak lagi dimiliki oleh pemerintah provinsi maupun kabupaten/kota dengan dihapusnya ketentuan pasal 10 dan 11. Bisa dibayangkan akan seperti apa persoalan tata ruang di berbagai daerah nantinya.

Ketiga, hal yang sangat krusial dalam RUU Cipta Kerja menyangkut perizinan sebab kluster ini terkait berbagai hal, di antaranya tata ruang, lingkungan hidup, kehutanan, pertanahan, dan lain sebagainya. Dalam bidang tata ruang, perizinan merupakan salah satu instrumen pengendalian pemanfaatan ruang yang pada RUU ini diubah menjadi kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang. Di antara potensi masalah yang akan muncul pada RUU sekaitan dengan perizinan adalah pasal 15 ayat 5 yang mengatur bahwa pelaku usaha dapat langsung melakukan kegiatan usahanya setelah mendapat kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang. Lalu pasal 18 angka 21 menyebut bahwa kewenangan persetujuan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang diberikan kepada Pemerintah Pusat. Pertanyaannya, lalu di mana proses partisipasi publik/masyarakat? Instrumen pengendalian lainnya yang tak kalah problematik ialah melemahnya penerapan sanksi terhadap pelanggaran tata ruang dengan menghilangkan sanksi pidananya. Padahal, di aturan sebelumnya yang diberlakukan adalah sanksi administrasi dan sanksi pidana penjara secara bersamaan. Dengan kenyataan seperti itu, rasanya kita sulit berharap tertib tata ruang dapat diwujudkan.

Keempat, salah satu alasan yang sering disebut mengapa diperlukan RUU ini ialah keinginan melakukan harmonisasi regulasi yang tumpang tindih. Namun, faktanya  sinkronisasi di antara beberapa ketentuan dalam UU.26/2007 tentang Penataan Ruang ini saja tidak berhasil dilakukan. Apalagi jika bermaksud melakukan harmonisasi 79 UU berbagai sektor hanya dengan sebuah Undang-Undang. Misalnya pasal 5 yang masih menyebut penataan ruang kawasan perdesaan. Padahal, ketentuan tentang perdesaan telah dihapus di pasal 1. Demikian halnya kewenangan penyelenggaraan penataan ruang untuk Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota yang dicabut di pasal 10 dan 11, tapi masih muncul di pasal 7 ayat 2, pasal 13 ayat 3 dan pasal 55 ayat 3. Perizinan yang diubah pada pasal 35 masih juga disebut di pasal 73 ayat 1.  

Pada aspek lingkungan hidup, tidak jauh berbeda dengan permasalahan yang muncul dalam penataan ruang. Sebab itu, Direktur Eksekutif Nasional WALHI, Nur Hidayati, mengatakan bahwa politik hukum kita memang belum berpihak pada lingkungan hidup. Baginya, UU.32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) merupakan salah satu UU yang progresif di Indonesia karena meletakkan prinsip-prinsip perlindungan dan pengelolaan Lingkungan Hidup yang cukup baik. Sayangnya, regulasi ini kemudian dikebiri pada RUU Cipta Kerja. Di antaranya dengan menghapus izin lingkungan serta mekanisme penilaian Amdal, minimnya partisipasi publik, pengawasan yang sentralistik, dan dihilangkannya pertanggungjawaban (sanksi) pidana korporasi. Lalu, ada indikasi kemudahan usaha dan investasi yang membolehkan pengabaian terhadap masalah lingkungan. Pengabaian ini menjadi kontradiktif dengan upaya pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB/SDGs) yang senantiasa digaungkan selama ini. Padahal, aspek lingkungan hidup merupakan salah satu dari pilar utama dalam implementasi TPB tersebut.

Dari fenomena seperti disebutkan, tidak heran bila Akademisi dan Pakar Hukum UGM, Dr. Zainal Arifin Mochtar, menyebutkan bahwa memang ada pertanyaan besar, terutama tentang politik hukum yang juga ada hubungannya dengan paradigma negara dalam mengusung RUU ini. Sementara itu, Pakar Aliansi Kebangsaan, Dr. Yudi Latif, berpandangan bahwa “Krisis yang terjadi saat ini karena kehidupan negara berjalan sebatas mengikuti rutinitas prosedur dan administrasi tanpa kejelasan arah dan tujuan. Banyak RUU dibuat dengan penalaran yang kusut; makin banyak peraturan makin meluas penyalahgunaan, elit negeri berlomba mengkhianati negara dan sesamanya yang membuat rasa saling percaya pudar. Hal itu mencerminkan terjadinya degenerasi dalam kapasitas nalar-etis bangsa kita”.

Jika karpet merah betul-betul digelar untuk para investor melalui RUU Cipta Kerja nantinya, maka konflik antara korporasi dan komunitas/masyarakat seperti yang terjadi belum lama ini pada Masyarakat Adat Laman Kinipan Kalimantan Tengah dan Masyarakat Nelayan Pulau Kodingareng di Perairan Sangkarrang Makassar, boleh jadi akan terus kita saksikan. Peristiwa ini menunjukkan telah terjadi perampasan ruang penghidupan masyarakat. Pertanyaannya, apakah negara mesti terus berhadapan dengan rakyatnya sendiri?

Sepertinya, para penguasa negeri ini, di semua tingkatan perlu membaca kitab “Nahjul Balaghah” dan belajar dari Sayyidina Ali bin Abi Thalib KW. Saat Sang Imam/Khalifah Rasulullah memberi tuntunan lewat surat perintahnya kepada Gubernur Mesir, Malik Asytar, tentang bagaimana mengelola dan menjalankan sistem pemerintahan yang baik dan benar, manusiawi, serta berkeadilan.

Wallahu a’lam bisshawab.


Jumat, 07 Agustus 2020

Ciri dan Watak Dakwah Islam

Sejak permulaan, Al-Quran diturunkan Allah SWT sebagai kitab dakwah. Yakni, ajakan untuk menuju Allah SWT dan mengikuti jejak Rasul-Nya, Nabi Muhammad SAW. Itu bermakna, ajakan untuk menaati dan mengikuti ajaran Islam yang dikehendaki oleh Allah untuk dipedomani oleh umat manusia.
Allah SWT menghendaki agar ajaran Islam yang sarat dengan petunjuk bagi manusia, manjadi jalan yang akan menyelamatkannya. Itu berarti, Al-Quran hidup di lingkungan realitas dakwah. Al-Quran menegaskan mengenai tujuan yang hendak dicapai dalam dakwah, di samping itu pula menampakkan berbagai metode dakwah. Pada saat yang sama, Al-Quran juga membina pribadi para juru dakwah dan menguatkan batin atau mentalitas mereka, juga mengarahkan mereka ke langkah-langkah yang benar dan lurus, serta tidak menyimpang dari jalan yang telah ditetapkan.
Secara sederhana, dakwah bermakna seruan, ajakan atau panggilan. Dakwah Islamiah artinya menyampaikan seruan Islam, mengajak dan memanggil umat manusia agar menerima dan mempercayai keyakinan dan pandangan hidup Islam. Islam adalah agama dakwah. Karena itu, banyak ayat Al-Quran dan Hadis Nabi yang memerintahkan pemeluknya menghadapi dunia dan manusia ini dengan jalan dakwah.
Islam adalah agama aktif dan positif, di mana ajaran yang dibawanya penuh dengan dinamika dan militansi. Karena, seluruh ajaran Islam memerintahkan umatnya untuk giat, beramal, bertindak dan berjuang. Menjadi seorang Muslim otomatis menjadi Juru Dakwah, menjadi Muballigh, bila dan di mana saja, di segala bidang dan ruang. “Ballighuu annii walau aayah.” Sampaikan dari padaku walaupun satu ayat, demikian perintah Rasulullah kepada umatnya.
Pada kesempatan lain Allah berfirman dalam surah Ali Imran: 104, “Dan hendaklah di antara kamu ada sekelompok orang yang menyeru kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar. Dan mereka itulah yang mendapat keberuntungan.” Dengan demikian, kedudukan ganda yang diberikan Islam kepada pemeluknya, menjadi seorang Muslim merangkap menjadi juru dakwah atau muballigh, memberikan suatu pesan bagi seluruh umat Islam, bahwa agama dan keyakinan ini tidak akan tegak dan berkembang, jika para pemeluknya pasif dan statis, serta tidak mampu menyampaikan ajaran dan seruan Islam kepada manusia dan dunia.
Dari sekian banyak ayat Al-Quran yang mengungkap masalah dakwah, maka ada satu ayat yang memuat prinsip-prinsip dasar dalam menjalankan tugas dakwah. Ayat tersebut terdapat dalam surah An-Nahl: 125 yang berbunyi :
“Ajaklah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah (kebijaksanaan), nasihat/pelajaran yang baik, dan debatlah mereka dengan cara yang lebih baik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dia-lah yang lebih mengetahui tentang orang yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia lebih mengetahui tentang orang-orang yang mendapat petunjuk.”
Begitu pentingnya ayat ini untuk kepentingan dakwah, sehingga kita perlu sedikit memahaminya. Penggalan pertama“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah (bijaksana) dan nasihat yang baik (mau’izhah hasanah).” Dari sini, ada dua terma yang penting yaitu; al-hikmah dan al-mau’izhah al-hasanah. Di kalangan para etimolog, kata al-hikmah, ada yang mengartikan “meletakkan sesuatu pada tempatnya”, atau “kebenaran suatu perkara.” Dengan demikian, kita dapat memahami pemaknaan al-hikmah sebagai “perkataan yang sesuai dengan kebenaran” dengan menganggapnya sebagai mengembalikan sesuatu pada asalnya, atau meletakkan kebenaran pada proporsinya.
Dengan kerangka seperti itulah, kita dapat memahami hikmah dalam pandangan Allah SWT dalam ayat, “Siapa yang diberi hikmah, maka sesungguhnya ia telah diberi kebaikan yang banyak.” Jika demikian keadannya, maka al-hikmah merupakan pemberian atau karunia dari Allah SWT, yang mempunyai nilai yang sangat tinggi yang diberikan kepada hamba-hamba-Nya dan – khususnya – kepada para nabi-Nya.
Menurut Syeikh Zamakhsyari dalam al-Kasysyaf-nya menyebutkan, “Al-Hikmah adalah perkataan yang pasti benar. Ia adalah dalil yang menjelaskan kebenaran dan menghilangkan keraguan atau kesamaran.”  Sedangkan al-Mau’izhah al-Hasanah adalah sesuatu yang dapat masuk ke dalam kalbu dengan penuh kasih sayang dan ke dalam perasaan dengan penuh kelembutan. Sebab, kelemahlembutan dalam menasihati seringkali dapat meluluhkan hati yang keras dan menjinakkan kalbu yang liar.
Lebih daripada itu, sesungguhnya lemah lembut dan sikap penuh kasih dan sayang – dalam konteks dakwah – dapat membuat seseorang merasa dihargai kemanusiaannya, sehingga membangkitkan perasaan seperti itu pula dalam dirinya. Ia akan sangat tersentuh, karena rasa cinta dan sayang yang diperlihatkan juru dakwah dapat menghidupkan semangatnya untuk menjadi mukmin yang baik.
Penggalan kedua“Dan debatlah mereka  dengan cara yang lebih baik.” Hal ini mungkin bisa dianggap sebagai petunjuk tentang metode konfrontasi juru dakwah dengan reaksi sasaran dakwah terhadap apa yang disampaikannya. Seolah Al-Quran melakukan suatu upaya untuk melatih pribadi Muballigh/Da’i dan memperluas wawasan pemikirannya. Al-Quran mengajak juru dakwah untuk keluar dari kerangka dirinya menuju kerangka realitas yang lebih luas. Hal ini mengajarkan para juru dakwah supaya menjauhkan diri dari sifat sombong yang penuh kebohongan.
Karena itu, tugas juru dakwah bukan meraih kemenangan atas musuh untuk memuaskan ambisi kesombongan diri. Tugas juru dakwah adalah menyadarkan orang lain untuk mengikuti dimensi kemanusiaannya, dan mengingatkannya akan perbudakan (teologis) yang menjeratnya, lalu membantunya untuk mengikuti jalan yang benar.
Sehingga, ia bisa jadi akan menjadi sahabat dalam menyukseskan dakwah menuju Allah. Dengan sikap seperti itulah, akan terjadi perdebatan dengan metode yang lebih baik. Metode debat seperti itu merupakan cara praktis yang ideal untuk mencapai cita-cita mulia yang diharapkan.
Demikianlah tafsiran singkat dari ayat 125 surah An-Nahl, yang pernah diuraikan oleh Sayyid Muhammad Husain Fadhlullah dalam bukunya Uslub ad-Da’wah fi al-Quran. Itulah ciri dan watak dakwah Islam. Sebab itu, bila dakwah disampaikan dengan cara kekerasan, kebohongan, fitnah, prasangka serta menyulut kebencian sesama manusia, maka itu sudah pasti tidak berpijak pada nilai-nilai yang diajarkan Al-Quran dan tidak pula dicontohkan oleh Baginda Rasulullah SAW.
Mari kita lihat sekilas ulasan berkaitan dengan peranan nabi Muhammad SAW sebagai juru dakwah. Al-Quran menyebutkan, “Katakan (olehmu Muhammad), inilah jalan hidupku. Aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) menuju Allah dengan penglihatan yang terang. Maha suci Allah, dan aku tidak termasuk orang-orang yang musyrik.” (QS.Yusuf:108).
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Turmudzi, Rasulullah SAW berkata, “Sesungguhnya Allah mengutusku sebagai muballigh”, dalam redaksi yang lain dari Ibnu Majah disebutkan, “Sesungguhnya, aku diutus sebagai pendidik.” Merujuk nash-nash tersebut, maka sejatinya para pendakwah mesti mengikuti dan meneladani Rasulullah sebagai pendakwah sejati dan paling paripurna.
Beliau telah berhasil merealisasikan seluruh idealita ajaran Islam, sehingga disebut sebagai Al-Quran yang berjalan. Artinya semua nilai-nilai kemuliaan dan akhlak agung sudah menjelma dalam dirinya. Dan karena itulah, sebagai model untuk orang yang sudah mencapai tingkat kesempurnaan, Allah menjadikannya sebagai uswatun hasanah (QS.Al-Ahzab:21). Dakwah merupakan tugas Nabi dan pengikut para Nabi. Berkiprah dalam dakwah adalah sebuah usaha besar dalam rangka membentuk peradaban manusia.
Makassar, April 2015

Jumat, 31 Juli 2020

Memaknai (Kembali) Perjalanan Haji

Islam adalah agama yang mencakup seluruh aspek kehidupan manusia, yang datang dari Allah SWT. Ia merupakan ajaran yang membawa semua bentuk kesempurnaan bagi manusia. Ajaran Islam dapat diterapkan di seluruh tempat serta mampu memberikan manfaat bagi manusia di atas muka bumi ini. Atas dasar ini, agama Islam membawa keberuntungan bagi umat manusia di sepanjang masa dan sejarah, serta menjunjung tinggi nilai-nilai kesempurnaan insan.
Ibadah haji bagi kaum Muslim, merupakan sebuah peristiwa yang sangat dirindukan. Sebab, haji yang merupakan salah satu pilar Rukun Islam yang lima, juga sekaligus menjadi jalan menuju kesempurnaan ibadah. Allah SWT berfirman, “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah.” Itulah saat-saat yang begitu dinantikan seluruh kaum Muslimin.
Bahkan di negeri kita ini, masyarakat rela antri puluhan tahun untuk menunaikan ibadah yang satu ini. Sebuah pertemuan akbar sedunia untuk menunjukkan kebesaran Islam. Inilah sisi-sisi politik yang merupakan salah satu makna dari ibadah haji yang tidak sama dengan ibadah-ibadah lain. Dari aspek ini, yang jika dipahami secara cermat, dapat menjadi kesempatan terbaik bagi umat Islam, untuk bertatap muka dan membahas berbagai persoalan dan problematika umat, serta membentuk kesatuan dalam menghadapi musuh-musuh kaum Muslimin.
Jamaah haji dari bermacam-macam bangsa dan negara, berzikir dengan bahasa yang sama. Pakaian mereka adalah pakaian ihram yang sama. Tak ada beda raja dengan hamba sahaya, pembesar dengan rakyat jelata, ilmuwan dengan orang biasa. Semua gelar yang membanggakan, sekarang ditinggalkan; segala pakaian atau kekayaan yang sering ditampakkan, kini dilepaskan; seluruh pangkat kebesaran yang sering ditonjolkan, sekarang dilepaskan. Semua sama di hadapan Allah Rabbul Alamin, semua kecil di depan penguasa Alam Semesta. Suatu konfigurasi kekuatan raksasa yang menakjubkan, mencerminkan kesatuan ummah yang berpadu dalam akidah dan ibadah.
Abul A’la al-Maududi dalam makna haji lainnya menulis bahwa di dunia ini, manusia biasanya melakukan dua jenis perjalanan. Perjalanan pertama dilakukan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Perjalanan kedua adalah yang dikerjakan untuk kesenangan dan melihat keindahan alam. Dalam kedua perjalanan tersebut, manusia dituntut melakukannya disebabkan kebutuhan dan keinginan-keinginannya. Dia meninggalkan rumah, menghabiskan waktu atau sejumlah uang demi maksudnya serta kebutuhan-kebutuhannya sendiri.
Namun, kedudukan perjalanan haji, sangat berbeda dengan perjalanan-perjalanan lainnya. Perjalanan ini sama sekali tidak dimaksudkan untuk meraih tujuan serta hasrat-hasrat seseorang. Ia ditujukan hanya untuk Allah, dan untuk melaksanakan kewajiban yang telah ditetapkan Allah. Karena itu, tidak seorang pun dapat mempersiapkan dirinya, untuk melaksanakan perjalanan haji kecuali ia telah memiliki cinta kepada Allah, dan merasakan dengan sangat bahwa tugas yang dicanangkan Allah adalah wajib atasnya.
Oleh karenanya, bagi yang merencanakan untuk berhaji, dengan berpisah dari keluarganya untuk suatu periode waktu tertentu, meninggalkan bisnis dan usahanya, membelanjakan harta serta menanggung lelahnya perjalanan, maka dengan pengorbanannya itu, menunjukkan suatu bukti bahwa di dalam hatinya ada ketakwaan kepada Allah dan cinta untuk-Nya.
Ibadah haji bukanlah sebuah perjalanan biasa untuk tujuan-tujuan duniawi. Ia merupakan perjalanan menuju Allah. Mereka tengah berangkat menuju Rumah Allah. Olehnya itu, semua yang dikerjakan haruslah dilakukan dengan sempurna. Seperti halnya orang-orang suci yang berangkat menuju Allah sepanjang hidup mereka, di mana tidak satu pun langkah yang menyimpang dari yang telah disiapkan, sebagai suatu program untuk berhubungan dengan Allah.
Para jamaah haji, kini dalam statusnya “Kembali kepada Allah”. Pada tempat di mana mereka pergi, yaitu ‘miqat’ mereka melantunkan labbaik kepada Allah yang itu berarti, mereka menjawab panggilan-Nya. Sejatinya, ketika melaksanakan ibadah haji, seseorang mesti menyadari bahwa haji merupakan sebuah panggilan untuk merendahkan diri di hadapan Allah. Ini termanifestasi dengan jelas dalam ritual-ritual haji, yang menunjukkan bentuk penghambaan kepada Allah serta menolak penghambaan kepada selain-Nya.
Namun, sebuah ironi yang sekaligus kenyataan yang ada dalam masyarakat kita, bahwa kehajian mereka tidak identik dengan perilaku mereka. Haji seringkali menjadi ternoda disebabkan sifat buruk dan tangan-tangan yang kotor dengan urusan duniawi. Berapa banyak manusia yang telah pergi haji, tetapi kelakuan mereka sama seperti mereka belum berhaji. Orang-orang seperti ini, telah pergi menunaikan ibadah haji tapi sayangnya belum menjadi haji. Karena, dalam diri mereka masih mengutamakan kepentingan-kepentingan dunia dibandingkan akhirat.
Dalam bukunya “Reformasi Sufistik”, Dr. Jalaluddin Rakhmat mengingatkan kita akan beberapa hal, antara lain:
Pertama, orang tidak boleh dengan mudah terpesona melihat kesalehan dalam ibadat. Tidak jarang kesalehan seperti itu menyembunyikan kepribadian yang tercela. Ia menjadikan kesalehan sebagai kosmetik untuk menghias wajahnya yang bercacat. Orang yang dipuji sebagai orang saleh, seringkali merasa diri paling utama, paling benar dan paling baik dari orang-orang di sekitarnya.
Kedua, ibadah ritual hanyalah wajah lahiriah dari keberagamaan orang. Ia adalah bagian eksoteris yang mudah dilihat dan karena itu, mudah dimanipulasi untuk memberikan kesan yang diharapkan. Dengan ibadah ritual, seseorang dapat memperoleh keuntungan sosial, finansial atau politik.
Ketiga, inti keberagamaan seseorang adalah akhlaknya. Ritus-ritus peribadatan ditetapkan untuk mengantarkan orang kepada ketinggian akhlak.
Terkait hal itu, pada suatu hari, para sahabat membincangkan seseorang yang mereka kenal sangat saleh dan rajin beribadah. Mereka gambarkan sifat-sifatnya di hadapan Nabi SAW. Beliau diam. Belum selesai membicarakannya, orang itu muncul. Sahabat berteriak. “Itulah orangnya! Nabi SAW bersabda, “Kalian telah membicarakan seseorang yang tampak di wajahnya sentuhan setan.”
Ketika orang itu mendekat, Rasulullah bertanya kepadanya. “Demi Allah, apakah Anda berkata dalam hati saat berdiri di depan majelis ini, “Tidak ada seorang pun di sini yang lebih utama dan lebih baik dari diriku.” Ia menjawab, “Memang benar begitu.” Segera ia meninggalkan majelis Nabi. Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya, orang ini dan kelompoknya membaca Al-Quran, tetapi bacaan mereka hanya sampai pada tenggorokannya saja. Mereka terlepas dari agama, seperti terlepasnya anak panah dari busurnya. Sekiranya orang ini tiada, maka tidak seorang pun di antara umatku akan pecah.”
Ibadah haji sesungguhnya mengungkapkan inti ajaran Islam: tauhidul ibadah dan tauhidul ummah, mempersatukan pengabdian dan mempersatukan ummah. Demikian istilah Jalaluddin Rakhmat dalam bukunya yang lain. Kita bisa bayangkan, setiap hari jutaan manusia beribadah dengan cara yang sama dan membaca dengan bacaan yang sama.
Karenanya, dari kesatuan ibadah inilah lahir kesatuan ummah. Islam bukan saja mengajarkan bahwa semua manusia adalah sama di hadapan Allah, tetapi Islam juga mengutuk sikap yang melebihkan satu kelompok manusia atas kelompok yang lain. Merasa mempunyai derajat yang lebih tinggi daripada orang lain karena keturunan, kekuasaan, pengetahuan dan yang lainnya.
Akhirnya, harapan kita semua, seorang yang telah berhaji sudah semestinya adalah manusia yang menjadikan Allah sebagai tujuan hidupnya. Mereka yang menyadari bahwa jalan Allah adalah jalan umat manusia. Sehingga haji mabrur adalah mereka yang menunaikan haji dengan niat yang tulus, mensucikan diri ketika berangkat, dan saat kembali hatinya telah bersih, condong kepada keadilan, kebenaran, kemanusiaan serta persatuan. Wallahu a’lam bisshawab.
Makassar, September 2015

Rezim Yang Ambigu dan Problem Lingkungan di Indonesia

Permasalahan lingkungan hidup, telah mendapat perhatian besar di hampir semua negara. Ini terutama terjadi sejak dasawarsa 1970-an setelah d...