Minggu, 10 Februari 2019

TATA RUANG, TAK PERLUKAH DIPRIORITASKAN? (Catatan untuk Pemimpin Baru Sulawesi Selatan)


Provinsi Sulawesi Selatan, belum lama ini telah memiliki pemimpin baru, sekaligus  memperingati hari jadinya ke-349. Adalah Prof.Dr.Ir. H.M. Nurdin Abdullah, M.Agr dan Andi Sudirman Sulaiman, ST yang resmi memimpin pemerintahan Sulawesi Selatan untuk periode 2018-2023. Pasangan ini mengusung Visi, “Sulawesi Selatan yang inovatif, produktif, kompetitif, inklusif dan berkarakter.” Misinya, Pertama, terwujudnya pemerintahan yang bersih, melayani, dan akuntabel. Kedua, mengoptimalkan Sulsel sehat dan cerdas. Ketiga, mendorong perwujudan Sulsel terkoneksi. Keempat, mendorong perwujudan Sulsel mandiri dan sejahtera. Kelima, mengarahkan perwujudan Sulsel berkepribadian.
Adapun 5 Program Nyata yang dicanangkan adalah: 1). Pemberdayaan ekonomi kerakyatan melalui hilirisasi komoditas Sulawesi Selatan 2). Pembangunan infrastruktur yang menjangkau masyarakat desa terpencil 3). Rumah sakit regional di enam wilayah dan ambulans siaga 4). Birokrasi anti korupsi dan pendidikan masyarakat madani 5). Destinasi wisata andalan berkualitas internasional.
Dari visi, misi dan program yang begitu prestisius tersebut, saya tidak melihat di dalamnya menyinggung satu hal yang sangat penting, yang mesti menjadi perhatian bagi penyelenggara pemerintahan, dalam proses pembangunan sebuah daerah. Yakni perihal bidang tata ruang. Padahal bidang tersebut, termasuk urusan pemerintahan wajib yang terkait pelayanan dasar, seperti tertuang dalam UU. 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Oleh karena itu, tulisan ini dimaksudkan sebagai catatan ringan bagi pemimpin baru Sulawesi Selatan yang menakhodai daerah ini untuk beberapa waktu ke depan.
Instrumen Penting
Sebuah keniscayaan bahwa pembangunan akan terus berlangsung, sesuai dengan kebutuhan serta pertumbuhan penduduk yang terjadi. Namun, pembangunan tidak bisa dilakukan semau penguasa dan dibiarkan berjalan sendiri. Oleh karenanya, rencana penataan ruang mesti disusun untuk dijadikan sebagai acuan dalam pembangunan.
Ironisnya, bidang tata ruanglah yang seringkali diabaikan dalam proses pembangunan. Meski UU.No.26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, telah menyebutkan dengan jelas bahwa kewenangan penyelenggaraan penataan ruang ada pada pemerintah atau pemerintah daerah. Namun, masih ada saja kepala daerah yang tidak serius menjadikan tata ruang sebagai pedoman dalam pembangunan daerahnya. 
Ikatan Ahli Perencanaan Indonesia (IAP), sudah berulangkali menyerukan dan menyampaikan, agar pemerintah tidak mengabaikan rencana tata ruang yang ada, bahkan menjadikannya sebagai matra spasial pembangunan. Jika demikian, kita tidak temukan lagi kebijakan pembangunan yang tidak memperhatikan kebijakan tata ruang yang sudah ada. Dengan kata lain, pemerintah dalam melakukan proses pembangunan harus mengikuti ketentuan yang ada dalam rencana tata ruang. Jangan sampai nanti terjadi bencana atau problematika ruang, barulah pemerintah daerah menyoal tata ruang.
Integrasi antara pembangunan dengan tata ruang, merupakan kata kunci yang mesti dilakukan setiap kepala daerah. Berbagai regulasi telah mengatur hal tersebut. Karenanya, menjadi pertanyaan besarnya, mengapa bidang tata ruang ini tidak menjadi sebuah prioritas yang perlu dibenahi. Apakah dianggap sudah tertangani dan telah berjalan dengan baik?
Padahal, jika kita perhatikan Perpres No.2 Tahun 2015 tentang RPJMN 2015-2019, ada tiga isu strategis bidang penataan ruang, yang penting dicermati, yaitu; RTRW belum dijadikan sebagai acuan pembangunan sektor, belum efektifnya kelembagaan penataan ruang dan belum efektifnya pengendalian pemanfaatan ruang.
Dalam Perda No.7 Tahun 2015 tentang RPJPD Provinsi Sulawesi Selatan 2008-2028 pun, disebutkan kalau tata ruang masuk bagian isu-isu strategis, baik secara nasional maupun daerah. Semua itu dikarenakan, tata ruang masih menyisakan sejumlah masalah yang butuh penanganan.
Sistem Perencanaan Pembangunan dan Sistem Perencanaan Tata Ruang (Spasial) adalah dua hal mendasar yang perlu disinkronisasi dalam penyelenggaraan pembangunan sebuah daerah. Permendagri No.86 tahun 2017 menyebut beberapa pendekatan dalam perencanaan pembangunan daerah yang berorientasi pada substansi.
Salah satunya adalah pendekatan spasial, yang dilakukan dengan mempertimbangkan dimensi keruangan dalam perencanaan. Hal ini penting dipahami setiap kepala daerah, dalam kedudukannya sebagai penyelenggara penataan ruang.
Sebagai ilustrasi, dalam Permendagri No.115 tahun 2017 mengenai Mekanisme Pengendalian Pemanfaatan Ruang Daerah, dinyatakan bahwa Gubernur bertanggung jawab terhadap pengendalian pemanfaatan ruang di daerah provinsi sesuai dengan kewenangannya.
Dengan demikian, kepala daerah harus memastikan tidak terjadi pelanggaran tata ruang, agar tertib tata ruang dapat terwujud. Pasal 37 ayat 7 dalam UU.Penataan Ruang menegaskan; setiap pejabat pemerintah yang berwenang menerbitkan izin pemanfaatan ruang, dilarang menerbitkan izin yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang.
Artinya, izin pemanfaatan ruang harus dimiliki sebelum pelaksanaan pemanfaatan ruang (izin lingkungan dan pembangunan fisik). Terbongkarnya kasus suap megaproyek Meikarta beberapa waktu lalu, diduga kuat menyangkut penyalahgunaan kewenangan pemerintah daerah, terkait izin pemanfaatan ruang. Pada konteks kasus ini, tata ruang berubah menjadi ‘tata uang’.
Dari sekelumit gambaran di atas, maka mestinya bidang tata ruang dijadikan salah satu prioritas utama yang perlu menjadi perhatian pemimpin Sulawesi Selatan yang baru. Pertanyaan krusialnya, apakah 5 program nyata yang telah dicetuskan, sudah terkoneksi dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Sulawesi Selatan?
Lalu, bagaimana model sinkronisasi yang akan dilakukan dengan RTRW Kabupaten/Kota, di mana program-program tersebut akan dialokasikan? Mengapa? Karena dalam RPJPD Sulawesi Selatan sendiri, disebutkan bahwa masih terjadi inkonsistensi terhadap penegakan peraturan daerah mengenai rencana tata ruang wilayah.
Jika seperti itu kenyataannya, mestikah produk tata ruang (RTRW) yang telah menjadi instrumen pembangunan daerah, akan tunduk kepada keinginan kepala daerah? Ataukah program-program dari kepala daerahlah yang harus diselaraskan dengan tata ruang yang sudah dirumuskan lebih awal. Terkait hal ini DPRD Sulsel perlu mencermatinya pada pembahasan RPJMD Pemprov mendatang. Pemimpin baru boleh saja merumuskan program baru yang menjadi obsesinya. Namun tak elok bila mengabaikan bidang tata ruang yang sangat urgen. Benjamin Franklin mendakukan “If you fail to plan, you are planning to fail.” Kalau Anda salah dalam perencanaan, berarti Anda merencanakan kesalahan. Wallahu a’lam bisshawab.   
Tribun Timur Makassar, Oktober 2018

Keadilan Ruang untuk Kebangkitan Nasional


Hal krusial dalam kehidupan bermasyarakat pada ideologi dan dasar negara kita, yang terkait dengan kemakmuran dan kesejahteraan adalah Sila Kelima Pancasila, “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.” Di tempat lain, penjelasan UUD 1945 Pasal 33, pun dengan lugas disebutkan; Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya adalah pokok-pokok kemakmuran rakyat. Sebab itu harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Relasi keduanya, secara eksplisit bisa dimaknai bahwa proses pembangunan yang dilakukan, harus dapat dirasakan dan dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat.   Namun begitu, sudah jamak kita dengarkan sejumlah informasi yang terungkap ke publik, bahwa justru yang terjadi adalah mayoritas sumber daya alam kita masih dikuasai oleh segelintir orang di negeri ini. lantas, bagaimana implementasi dari Sila Kelima itu?
Pertanyaan mendasarnya, apa makna dari ‘keadilan’ tersebut? Dan akankah prinsip ‘keadilan’ ini bisa diwujudkan di negeri ini? Masalah keadilan menjadi begitu penting, karena disamping menjadi sesuatu yang tidak mudah diwujudkan, juga banyak bersinggungan dengan kehidupan sehari-hari masyarakat. Secara teologi Islam pun, keadilan merupakan salah satu prinsip yang sangat mendasar untuk diterapkan. Tuhan dengan tegas berfirman pada Surah An-Nahl 90, “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu berlaku adil dan berbuat kebajikan….”  Lalu, apa arti keadilan itu? Salah satu pengertian yang sederhana dari keadilan ialah meletakkan sesuatu pada tempat yang seharusnya. Atau keadaan sesuatu yang seimbang dan proporsional. Jadi, bila suatu masyarakat tertentu ingin tetap bertahan dan berlangsung secara baik, maka masyarakat tersebut harus berada dalam keadaan seimbang, di mana segala sesuatu yang ada di dalamnya harus eksis  dengan kadar yang semestinya, bukan dengan kadar yang sama. Oleh karena itu, jika sistem pemerintahan yang kita anut ini ditujukan untuk terciptanya keadilan sosial, maka dengan merujuk berbagai aturan yang ada, proses pembangunan yang dijalankan mesti dipastikan memberikan kesempatan yang adil kepada seluruh rakyat Indonesia. Tidak boleh ada, individu, golongan atau kelompok tertentu yang memiliki keistimewaan dalam penguasaan serta pemilikan sumber daya alam yang ada. 
Sejumlah fakta menunjukkan bahwa berbagai sumber daya alam kita, seperti sektor kehutanan, perkebunan, pertambangan, pertanahan dan lainnya, justru dikuasai oleh hanya beberapa korporasi serta pemilik modal besar. Ironisnya, data dari Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional pada 2017, menyebutkan bahwa di antara masalah pertanahan yang dihadapi adalah ketersediaan tanah untuk pembangunan sangat terbatas serta terjadinya ketimpangan kepemilikan tanah. Hal ini menegaskan, ternyata, keadilan terhadap ruang pun, nampaknya juga belum terjadi. Padahal UU.26 tahun 2007 Pasal 7, telah mengamanatkan penyelenggaraan penataan ruang untuk kepentingan kemakmuran rakyat. Yang terjadi, penguasaan dan penggunaan ruang oleh sekelompok korporasi dan pemilik modal justru begitu massif. Ketidakadilan dalam pemanfaatan ruang, akan menyebabkan timbulnya disparitas, yang pada gilirannya dapat melahirkan konflik dan perebutan ruang.
Dalam konteks teori Marxis, perebutan ruang dapat diartikan sebagai perebutan alat-alat produksi, antara kaum borjuis dengan kaum proletar. McKenzie menyebut proses perebutan ruang tersebut sebagai invasi atas ruang. Gesekan yang terjadi untuk mendapatkan dan menggunakan ruang, umumnya melibatkan berbagai unsur yang berkepentingan atas ruang tersebut. Menurut Patrick McAuslan, setidaknya melibatkan kepentingan pemerintah, korporasi dan rakyat. Ramlan Surbakti merinci pengelompokan pola perebutan ruang menjadi beberapa kategori, dalam tulisannya yang dikutip oleh Purnawan Basundoro pada buku “Merebut Ruang Kota”, antara lain: 1. Pemerintah dengan warga yang timbul karena perubahan peruntukan tanah yang tidak transparan, 2. Pemerintah dengan perusahaan swasta, akibat perusahaan menyerobot tanah milik pemerintah, 3. Warga dengan investor, 4. Pemerintah dengan warga karena pembangunan fasilitas umum, 5. Pemerintah dengan legislatif karena pengalihan lahan tanpa persetujuan kedua belah pihak, 6. Warga, investor dan pemerintah, 7. Warga dengan pengembang terkait pembangunan fasilitas umum di pemukiman, 8. Perebutan ruang karena prosedur administrasi yang salah. 
Bila ‘ruang’ sudah menjadi komoditas, maka yang diuntungkan sudah pasti adalah para kapitalis atau pemilik modal. Pertanyaannya, apakah akan kita biarkan hal ini terus berlangsung di depan mata kita? Mungkinkah Kebangkitan Nasional terjadi bila keadilan ruang tidak diwujudkan? Padahal, Tuhan telah menyuruh kita untuk menegakkan keadilan. Wallahu a’lam bisshawab.
FAJAR Makassar, Mei 2018

Menyoal [Kembali] Tata Ruang Kota Makassar


Dalam buku “Mewariskan Kota Layak Huni” yang disusun oleh Nirwono Yoga, disebutkan bahwa, Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs 2030) secara eksplisit telah mengakui pentingnya peran perkotaan. Karenanya, pada Konferensi Habitat III di Quito, Ekuador tahun 2016, menegaskan kembali komitmen negara-negara di dunia, dalam pembangunan perkotaan yang layak huni dan berkelanjutan, melalui kesepakatan Agenda Baru Perkotaan (New Urban Agenda/NUA) sampai dengan 2036. Konferensi Habitat adalah Konferensi PBB tentang perumahan dan pembangunan kota, yang diselenggarakan setiap 20 tahun.
                             
Tata Ruang, Seriuskah Dilakukan?

Pada 9 November 2018 lalu, saat Kota Makassar genap berusia 411 tahun, setidaknya 167 penghargaan skala nasional maupun internasional, telah berhasil ditorehkan oleh Pemerintah Kota dibawah kepemimpinan Ir. H. Moh. Ramdhan Pomanto dan Dr. H. Syamsu Rizal MI, S.Sos, M.Si. Keberhasilan ini tentu patut diapresiasi, sebagai hasil dari kerja keras yang dilakukan selama ini, dalam memajukan Kota Makassar. Namun begitu, euforia akan capaian tersebut, tidak boleh juga menutup mata kita, dalam melihat berbagai hal yang masih membutuhkan perbaikan atau pembenahan. Yang mendasar memunculkan tanya, apakah penghargaan-penghargaan tersebut berkorelasi langsung terhadap penataan ruang kota Makassar yang lebih baik? Seriuskah pemerintah kota dalam penyelenggaraan penataan ruang kota ini? Oleh karenanya, tulisan ini dimaksudkan untuk menyampaikan beberapa catatan terkait masalah tata ruang Kota Makassar, yang butuh perhatian dari pemerintah kota.

Pertama, Pada Peraturan Daerah (Perda) Nomor 4 Tahun 2015 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Makassar 2015-2034, dinyatakan bahwa RTRW Kota Makassar, berperan sebagai alat untuk mewujudkan keseimbangan pembangunan antar wilayah dan kesinambungan pemanfaatan ruang di Kota Makassar. Pertanyaannya, sudahkah peran tersebut dijalankan oleh pemerintah kota sebagaimana mestinya? Sebab, yang terjadi justru sebaliknya, di mana kecenderungan pada disparitas pembangunan antar wilayah dalam kota Makassar, begitu nampak serta kasak mata.

Kedua, Dalam periode musim hujan seperti sekarang ini, dengan mudah publik akan melihat dampak dari penataan ruang kota yang problematik. Pada musim hujan tahun lalu, Kota Makassar paling tidak, dua kali dilanda banjir yang cukup besar. Penyebabnya, tentu bukan hanya karena curah hujan yang begitu tinggi, tetapi juga karena faktor lainnya, seperti semakin minimnya daerah resapan dan kurangnya ruang terbuka hijau, serta sistem jaringan drainase yang tidak berfungsi secara optimal.

Ketiga, Hal penting dalam Kota Makassar yang tak kalah menimbulkan persoalan adalah masalah transportasi. Terjadinya pertumbuhan jumlah kendaraan yang tak terkendali serta pergerakan penduduk dalam kota yang dari waktu ke waktu semakin meningkat, menyebabkan kemacetan tidak dapat dihindarkan. Hal ini diperparah lagi, karena kurangnya area parkir pada pusat-pusat aktivitas, sehingga membuat sebagian ruas jalan terambil dan berubah wajah menjadi tempat parkir kendaraan. Tidak jarang, fenomena tersebut bukan hanya menjadi sumber kemacetan, tapi juga telah merampas hak publik bagi pengguna pedestrian atau trotoar. Di samping itu, pelayanan publik berupa transportasi umum/massal tampaknya juga belum diseriusi. Ironisnya, justru muncul proyek ‘aneh’ berupa tol layang dalam kota, yang saat ini dimulai pengerjaannya. Ajaibnya, proyek besar ini sudah dilaksanakan, padahal tidak tertera dalam berbagai dokumen perencanaan, seperti RTRW Kota Makassar. Selain itu, sosialisasinya pun dipandang sangat minim kepada publik dan masyarakat luas.  

Dari sekelumit gambaran persoalan di atas, maka tampaknya, siapa pun yang akan memimpin Kota Makassar pada periode-periode mendatang, tentu harus siap dan serius menghadapi berbagai tantangan dan problem tata ruang yang begitu pelik dan kompleks. Sebab, persoalan penataan ruang dan pemanfaatan ruang perkotaan sudah menjadi salah satu isu strategis dalam penyusunan Indonesia New Urban Action (INUAct) sebagai penjabaran New Urban Agenda (NUA). Tantangan lain yang juga perlu perhatian, terkait hasil survey tentang Most Livable City Indeks (MLCI) 2017 yang dirilis oleh Ikatan Ahli Perencanaan Indonesia (PN-IAP) beberapa waktu lalu, di mana menunjukkan Kota Makassar masih tergolong salah satu kota dengan indeks layak huni dibawah standar rata-rata.

Paradoks pembangunan akan selalu terjadi, manakala pembangunan dilakukan secara sporadis tanpa melalui perencanaan yang matang. Apalagi, jika hanya didasari untuk mengejar prestise dan penghargaan, serta semata mengandalkan jargon bombastis yang terkadang tidak realistis.

Pada waktu mendatang, dibutuhkan pemimpin Makassar yang mampu mencermati paradigma pembangunan perkotaan, yang tidak terlepas dari pengembangan kewilayahan. Demikian pula, perlu memperhatikan serta merespon berbagai kecenderungan yang berkembang dan berpengaruh (emerging trends) pada pembangunan di era global. Dan tentu saja, tidak mengabaikan berbagai dokumen dan produk perencanaan yang ada, baik terkait perencanaan pembangunan maupun perencanaan spasial atau keruangan. Akhirnya buat warga Makassar, saya kutipkan ungkapan Prof. Ir. Eko Budihardjo, MSc, “Jangan biarkan kota-kota kita rusak. Metropolis kita menjadi ‘miseropolis’(kota yang menyengsarakan), hanya karena kita biarkan The Big Boys (penguasa lalim dan pengusaha hitam) merajalela membangun kota dengan seenaknya.” Wallahu a’lam bisshawab.

FAJAR Makassar, April 2018

Tertib Tata Ruang Ciptakan Pembangunan yang Lebih Baik


Suatu saat di bulan Desember 2017, Badan Eksekutif Himpunan Mahasiswa Pengembangan Wilayah dan Kota (BE-HMPWK) Fakultas Teknik Unhas, menggelar seminar bertajuk “Nawacita untuk Pembangunan Indonesia Yang Lebih Baik” sebagai rangkaian kegiatan “Plano Debate Competition”. Dalam acara tersebut, saya diminta oleh panitia, membahas sub tema seminar, terkait masalah tertib tata ruang, sebagaimana yang menjadi judul dari tulisan ini.
Sebuah kemajuan, di era pemerintahan sekarang ini, karena untuk kali pertama bidang tata ruang dicantumkan dalam nomenklatur sebuah kementerian. Hal tersebut memberikan harapan dan seolah menggambarkan perhatian pemerintah akan pentingnya bidang tata ruang. 
Namun dalam implementasinya, tujuan dari penyelenggaraan Penataan Ruang untuk mewujudkan ruang yang aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan, tidak serta merta dapat dicapai.  Pada kenyataannya, problematika penataan ruang masih terjadi pada hampir semua tahapan, terutama pada aspek pengendalian pemanfaatan ruang. Secara sederhana, bisa kita katakan bahwa tujuan yang diinginkan dalam penyelenggaraan penataan ruang, masih akan sulit untuk diraih selama tertib tata ruang belum tercipta. Tertib tata ruang sesungguhnya adalah taat aturan, taat asas, yang membuat sistem berjalan dengan baik. Berkata Sayyidina Ali Kw, “Kota (tempat) terbaik bagi kamu adalah tempat di mana kehidupan dirimu diatur secara sistem.”
Secara normatif, sistem perundang-undangan penataan ruang beserta penjabarannya, sudah begitu memadai. Sebagai contoh, PP No. 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang. Di dalamnya, meliputi kegiatan pengaturan, pembinaan, pelaksanaan serta pengawasan penataan ruang. Pada aspek pelaksanaan penataan ruang, terbagi atas perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. Nah, ‘Pengendalian Pemanfaatan Ruang’ inilah yang berfungsi untuk menciptakan tertib tata ruang. Benar kata Prof. Ir. Bakti Setiawan, MA, PhD, bahwa “Proses dan produk perencanaan ruang, masih cenderung terjebak sekadar memenuhi formalitas serta legalitas proses pembangunan.”
Walau begitu, untuk menuju tertib tata ruang, tentu saja dibutuhkan sejumlah perangkat/instrumen yang dapat digunakan. Pada UU. 26/2007 tentang Penataan Ruang, disebutkan beberapa instrumen dalam pengendalian pemanfaatan ruang, yaitu; peraturan zonasi, perizinan, pemberian insentif-disinsentif serta pengenaan sanksi. Tiga instrumen awal merupakan bentuk-bentuk pencegahan sebagai tindakan preventif agar tidak terjadi pelanggaran atau mengurangi kemungkinan terjadinya pelanggaran pemanfaatan ruang. Sedangkan instrumen yang terakhir adalah bentuk penindakan yang dilakukan setelah pelanggaran terjadi (post factum).
Dari keempat perangkat tersebut, secara operasional, peraturan zonasi menjadi acuan dalam penerapan instrumen lainya. Pasal 36 poin 1 UU. 26/2007 menyebut Peraturan Zonasi sebagai pedoman pengendalian pemanfaatan ruang. Demikian pula, dalam Peratutan Menteri Pekerjaan Umum No. 20/PRT/M/2011 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) dan Peraturan Zonasi Kabupaten/Kota, dijelaskan bahwa Peraturan Zonasi (PZ) berfungsi sebagai acuan dalam pemberian izin, acuan dalam pemberian insentif-disinsentif, acuan dalam pengenaan sanksi serta rujukan teknis dalam pengembangan atau pemanfaatan lahan.
Dari sejumlah aturan dan regulasi yang disebutkan di atas, lantas mengapa tertib tata ruang begitu rumit dan sulit untuk diwujudkan? Pertanyaan ini menemukan konteksnya, ketika kita menyaksikan berbagai pelanggaran tata ruang yang terjadi di sekitar kita. Di Kota Makassar, apalagi pada saat musim hujan terjadi, dengan mudah masyarakat merasakan akibat dari tertib tata ruang yang tidak berjalan efektif. Kurangnya ruang terbuka hijau, taman kota serta daerah resapan yang semakin langka, menjadikan banjir dan genangan dengan mudah terjadi. Prasarana dan sarana transportasi yang belum tertata secara baik, pembangunan yang tidak sesuai dengan lahan peruntukannya, dan berbagai persoalan lainnya.
Karena itu, agar tidak mengulang terus pelanggaran dan supaya tertib tata ruang dapat kita wujudkan, maka beberapa hal berikut bisa dijadikan bahan pertimbangan bersama, antara lain :
Pertama, Memastikan penegakan hukum dan aturan-aturan yang ada terkait pengendalian pemanfaatan ruang, agar betul-betul dijalankan dan diimplementasikan, untuk memberikan kepastian hukum dan rasa keadilan di tengah-tengah masyarakat.
Kedua, Pemerintah yang diberikan kewenangan oleh undang-undang sebagai penyelenggara penataan ruang harus berkomitmen secara serius menciptakan tertib tata ruang. Pada konteks ini, mental para penyelenggara penataan ruang akan diuji konsistensinya. Pengajar Filsafat, Karlina Supelli mengatakan, “Ciri kematangan seseorang adalah ketika seseorang sanggup menjalankan suatu pekerjaan bukan karena ia suka tetapi karena dia berkomitmen.”
Ketiga, Meningkatkan peran masyarakat sebagai kontrol sosial dalam penyelenggaraan penataan ruang, khususnya dalam aspek pengendalian pemanfaatan ruang, agar tertib tata ruang bisa diciptakan secara bersama-sama oleh berbagai komponen dalam masyarakat. Namun tentu saja, informasi mengenai hak dan kewajiban masyarakat dalam penataan ruang, sebagaimana diatur dalam regulasi/aturan perundangan, lebih dahulu mesti disosialisasikan, agar supaya masyarakat tahu apa yang harus dilakukan.
Pada akhirnya, pencapaian pembangunan yang lebih baik, akan sangat tergantung pada keinginan serta kemauan yang sungguh-sungguh dari pemerintah sendiri, selaku penyelenggara pembangunan dan penataan ruang dalam mewujudkan tertib tata ruang.
FAJAR Makassar, Desember 2017

Rezim Yang Ambigu dan Problem Lingkungan di Indonesia

Permasalahan lingkungan hidup, telah mendapat perhatian besar di hampir semua negara. Ini terutama terjadi sejak dasawarsa 1970-an setelah d...