Provinsi
Sulawesi Selatan, belum lama ini telah memiliki pemimpin baru, sekaligus memperingati hari jadinya ke-349. Adalah
Prof.Dr.Ir. H.M. Nurdin Abdullah, M.Agr dan Andi Sudirman Sulaiman, ST yang
resmi memimpin pemerintahan Sulawesi Selatan untuk periode 2018-2023. Pasangan
ini mengusung Visi, “Sulawesi Selatan yang inovatif, produktif, kompetitif,
inklusif dan berkarakter.” Misinya, Pertama,
terwujudnya pemerintahan yang bersih, melayani, dan akuntabel. Kedua, mengoptimalkan Sulsel sehat dan
cerdas. Ketiga, mendorong perwujudan
Sulsel terkoneksi. Keempat, mendorong
perwujudan Sulsel mandiri dan sejahtera. Kelima,
mengarahkan perwujudan Sulsel berkepribadian.
Adapun 5
Program Nyata yang dicanangkan adalah: 1). Pemberdayaan ekonomi kerakyatan
melalui hilirisasi komoditas Sulawesi Selatan 2). Pembangunan infrastruktur
yang menjangkau masyarakat desa terpencil 3). Rumah sakit regional di enam
wilayah dan ambulans siaga 4). Birokrasi anti korupsi dan pendidikan masyarakat
madani 5). Destinasi wisata andalan berkualitas internasional.
Dari visi,
misi dan program yang begitu prestisius tersebut, saya tidak melihat di
dalamnya menyinggung satu hal yang sangat penting, yang mesti menjadi perhatian
bagi penyelenggara pemerintahan, dalam proses pembangunan sebuah daerah. Yakni
perihal bidang tata ruang. Padahal bidang tersebut, termasuk urusan
pemerintahan wajib yang terkait pelayanan dasar, seperti tertuang dalam UU. 23
tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Oleh karena itu, tulisan ini
dimaksudkan sebagai catatan ringan bagi pemimpin baru Sulawesi Selatan yang
menakhodai daerah ini untuk beberapa waktu ke depan.
Instrumen Penting
Sebuah
keniscayaan bahwa pembangunan akan terus berlangsung, sesuai dengan kebutuhan
serta pertumbuhan penduduk yang terjadi. Namun, pembangunan tidak bisa
dilakukan semau penguasa dan dibiarkan berjalan sendiri. Oleh karenanya,
rencana penataan ruang mesti disusun untuk dijadikan sebagai acuan dalam
pembangunan.
Ironisnya,
bidang tata ruanglah yang seringkali diabaikan dalam proses pembangunan. Meski
UU.No.26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, telah menyebutkan dengan jelas
bahwa kewenangan penyelenggaraan penataan ruang ada pada pemerintah atau pemerintah
daerah. Namun, masih ada saja kepala daerah yang tidak serius menjadikan tata
ruang sebagai pedoman dalam pembangunan daerahnya.
Ikatan Ahli
Perencanaan Indonesia (IAP), sudah berulangkali menyerukan dan menyampaikan,
agar pemerintah tidak mengabaikan rencana tata ruang yang ada, bahkan
menjadikannya sebagai matra spasial pembangunan. Jika demikian, kita tidak temukan
lagi kebijakan pembangunan yang tidak memperhatikan kebijakan tata ruang yang
sudah ada. Dengan kata lain, pemerintah dalam melakukan proses pembangunan
harus mengikuti ketentuan yang ada dalam rencana tata ruang. Jangan sampai
nanti terjadi bencana atau problematika ruang, barulah pemerintah daerah
menyoal tata ruang.
Integrasi
antara pembangunan dengan tata ruang, merupakan kata kunci yang mesti dilakukan
setiap kepala daerah. Berbagai regulasi telah mengatur hal tersebut. Karenanya,
menjadi pertanyaan besarnya, mengapa bidang tata ruang ini tidak menjadi sebuah
prioritas yang perlu dibenahi. Apakah dianggap sudah tertangani dan telah
berjalan dengan baik?
Padahal,
jika kita perhatikan Perpres No.2 Tahun 2015 tentang RPJMN 2015-2019, ada tiga
isu strategis bidang penataan ruang, yang penting dicermati, yaitu; RTRW belum
dijadikan sebagai acuan pembangunan sektor, belum efektifnya kelembagaan
penataan ruang dan belum efektifnya pengendalian pemanfaatan ruang.
Dalam Perda
No.7 Tahun 2015 tentang RPJPD Provinsi Sulawesi Selatan 2008-2028 pun,
disebutkan kalau tata ruang masuk bagian isu-isu strategis, baik secara
nasional maupun daerah. Semua itu dikarenakan, tata ruang masih menyisakan
sejumlah masalah yang butuh penanganan.
Sistem
Perencanaan Pembangunan dan Sistem Perencanaan Tata Ruang (Spasial) adalah dua
hal mendasar yang perlu disinkronisasi dalam penyelenggaraan pembangunan sebuah
daerah. Permendagri No.86 tahun 2017 menyebut beberapa pendekatan dalam
perencanaan pembangunan daerah yang berorientasi pada substansi.
Salah
satunya adalah pendekatan spasial, yang dilakukan dengan mempertimbangkan
dimensi keruangan dalam perencanaan. Hal ini penting dipahami setiap kepala
daerah, dalam kedudukannya sebagai penyelenggara penataan ruang.
Sebagai
ilustrasi, dalam Permendagri No.115 tahun 2017 mengenai Mekanisme Pengendalian
Pemanfaatan Ruang Daerah, dinyatakan bahwa Gubernur bertanggung jawab terhadap
pengendalian pemanfaatan ruang di daerah provinsi sesuai dengan kewenangannya.
Dengan
demikian, kepala daerah harus memastikan tidak terjadi pelanggaran tata ruang,
agar tertib tata ruang dapat terwujud. Pasal 37 ayat 7 dalam UU.Penataan Ruang
menegaskan; setiap pejabat pemerintah yang berwenang menerbitkan izin
pemanfaatan ruang, dilarang menerbitkan izin yang tidak sesuai dengan rencana
tata ruang.
Artinya,
izin pemanfaatan ruang harus dimiliki sebelum pelaksanaan pemanfaatan ruang
(izin lingkungan dan pembangunan fisik). Terbongkarnya kasus suap megaproyek
Meikarta beberapa waktu lalu, diduga kuat menyangkut penyalahgunaan kewenangan
pemerintah daerah, terkait izin pemanfaatan ruang. Pada konteks kasus ini, tata
ruang berubah menjadi ‘tata uang’.
Dari
sekelumit gambaran di atas, maka mestinya bidang tata ruang dijadikan salah
satu prioritas utama yang perlu menjadi perhatian pemimpin Sulawesi Selatan
yang baru. Pertanyaan krusialnya, apakah 5 program nyata yang telah dicetuskan,
sudah terkoneksi dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Sulawesi Selatan?
Lalu,
bagaimana model sinkronisasi yang akan dilakukan dengan RTRW Kabupaten/Kota, di
mana program-program tersebut akan dialokasikan? Mengapa? Karena dalam RPJPD
Sulawesi Selatan sendiri, disebutkan bahwa masih terjadi inkonsistensi terhadap
penegakan peraturan daerah mengenai rencana tata ruang wilayah.
Jika seperti
itu kenyataannya, mestikah produk tata ruang (RTRW) yang telah menjadi
instrumen pembangunan daerah, akan tunduk kepada keinginan kepala daerah?
Ataukah program-program dari kepala daerahlah yang harus diselaraskan dengan
tata ruang yang sudah dirumuskan lebih awal. Terkait hal ini DPRD Sulsel perlu
mencermatinya pada pembahasan RPJMD Pemprov mendatang. Pemimpin baru boleh saja
merumuskan program baru yang menjadi obsesinya. Namun tak elok bila mengabaikan
bidang tata ruang yang sangat urgen. Benjamin Franklin mendakukan “If you fail to plan, you are planning to
fail.” Kalau Anda salah dalam perencanaan, berarti Anda merencanakan
kesalahan. Wallahu a’lam bisshawab.
Tribun
Timur Makassar, Oktober 2018