Kala itu, di sekitar awal tahun 2015, Panitia Khusus
(Pansus) Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Makassar telah terbentuk.
Sejumlah kalangan berharap, pembahasan RTRW kali ini, bisa berjalan dengan
lancar dan menghasilkan produk yang berkualitas untuk menjadi sebuah Peraturan
Daerah (Perda). Betapa tidak, karena Perda tersebut akan sangat menentukan
bagaimana orientasi dan arah pembangunan dan perencanaan Kota Makassar di waktu
yang akan datang, paling tidak untuk 15-20 tahun ke depan. Berbagai
sorotan bermunculan berkenaan dengan konsep tata ruang yang ada, seperti
Makassar sebagai kota ruko, kota sampah, kota semrawut, kota tanpa master
plan. Karena,
konon hanya pada masa Bapak Dg.Patompo sebagai Walikota, Makassar memiliki master
plan.
Terlepas
benar tidaknya berbagai julukan itu, pernyataan-pernyataan tersebut cukup
mengusik untuk dicermati,
sekaligus juga memunculkan berbagai pertanyaan. Lantas selama ini, bagaimana peran Pemerintah Kota dan
kemana para Perencana Kota
(Planner) selama ini,
serta apa saja yang
mereka kerjakan? Bukankah setiap
Walikota memiliki tim ahli tata ruang kota,
yang dibentuk untuk ditugasi menata kota ini? Lalu dimana pertanggungjawaban
mereka secara moral dan intelektual? Semua itu harus dijawab oleh pemerintah kota dan para
perencana sendiri yang terkait dengan persoalan ini.
Fenomena
tentang wacana tata ruang kota yang dipersoalkan oleh berbagai kalangan, sebetulnya
merupakan hal yang positif, karena itu menunjukkan perhatian masyarakat yang
sudah mulai tumbuh terhadap masalah tata ruang, dimana sekian lama tidak pernah
digubris kecuali oleh sekelompok orang saja yang bersentuhan secara langsung
dengan pekerjaan tata ruang. Masalahnya sekarang bagaimana Pemerintah Kota (Walikota) serta para
perencana kota dalam menanggapi ini semua, sebagai orang yang memiliki
kompetensi terhadap wacana yang sementara diperbincangkan tersebut.
Tantangan
Makassar
sebagai Kota Metropolitan (dari segi penduduk) dan merupakan salah satu Pusat
Pengembangan di Kawasan Timur Indonesia (KTI), memang sudah perlu menata diri
dalam mengantisipasi perkembangan perkotaan yang demikian pesat. Hal ini tidak
mungkin dihindari sebagai konsekuensi logis dari perkembangan dan kemajuan yang
dicapai oleh Kota Makassar.
Perkembangan yang demikian cepat, terjadi karena dua hal. Pertama,
Pertambahan Penduduk, baik perkembangan penduduk secara alamiah maupun lewat
migrasi atau urbanisasi yang terjadi. Kedua,
Aktifitas Sosial Ekonomi, yang semakin hari semakin meningkat dan berkembang.
Perkembangan
dari kedua faktor tersebut menyebabkan faktor-faktor lainnya juga ikut
berkembang, seperti; perkembangan kebutuhan perumahan, fasilitas dan utilitas
kota, transportasi dan lalu lintas kota,
komunikasi dan hubungan fungsionil antar kota. Namun, masalah dasar yang timbul
adalah bahwa perkembangan suatu kota akan ditandai oleh semakin bertambahnya kebutuhan akan ruang, guna menampung
lebih banyak kegiatan-kegiatan serta fasilitas-fasilitas yang dibutuhkan oleh
masyarakat/penduduk dalam melaksanakan kegiatan hidupnya.
Hal
ini juga disebabkan oleh kenyataan bahwa perkembangan penduduk pada umumnya
disertai dengan pertambahan areal fisik kota, termasuk di dalamnya pertambahan
jumlah bangunan (baik legal maupun illegal) yang biasanya menunjukkan
ketidakseimbangan dengan kebutuhan yang berkembang.
Pemusatan
dan pembauran berbagai kegiatan di Kota Makassar, pada akhirnya melahirkan
masalah baru,
berupa terjadinya konsentrasi penduduk yang cukup besar, diakibatkan oleh
derasnya arus penduduk pendatang. Hal ini dapat dimaklumi karena dalam lingkup
Provinsi Sulawesi Selatan, Kota Makassar merupakan kota terbesar, yang kegiatannya
berkembang sangat pesat,
sehingga menjadi pusat orientasi atau daya tarik bagi penduduk dari luar Kota Makassar.
Sebagai sistem yang
dinamis, kota – sebagaimana juga Makassar – akan selalu berkembang, di mana dalam proses
perkembangannya itu akan memperlihatkan fenomena mengenai kekompetitifan
penggunaan ruang (lahan),
untuk berbagai aktivitas yang ditampungnya. Hal ini menjadi embrio permasalahan
kota di kemudian hari,
yang biasanya diperlihatkan dalam bentuk permasalahan fisik kota. Pada sisi
lain, usaha-usaha penanganan masalah tersebut serta kegiatan pembangunan kota
yang dilakukan, berlangsung tanpa atau kurang memperhatikan aspek dan
nilai-nilai sosial budaya yang merupakan perwujudan karakteristik kota itu,
sehingga ciri ataupun identitas kota menjadi sirna.
Akhirnya muncul
pertanyaan, kota ini milik siapa sebenarnya? Pertanyaan tersebut menjadi wajar,
karena ada suatu kesan umum bahwa kota-kota di Indonesia – termasuk Kota Makassar –
direncanakan dengan ‘selera elit’ dan untuk kepentingan masyarakat kota lapisan
atas saja. Hal ini lebih jelas lagi bila dikaitkan dengan kenyataan faktual di
sekitar kita,
yang telah menimbulkan kesan tersebut, seperti pembongkaran pasar-pasar
tradisional milik rakyat kecil, untuk memberikan tempat bagi shopping centre
dan mall, yang jauh lebih keren dan ‘bonafide’ milik kelompok
ekonomi kuat. Para pedagang kaki lima, di kejar-kejar oleh para Petugas
Ketertiban dan Keindahan Kota, dengan alasan klasik yang sering dikemukakan
bahwa kehadiran mereka menganggu serta merusak wajah kota.
Dalam konteks
seperti inilah, para perencana kota dituntut tanggung jawab moral, intelektual
dan profesionalismenya,
untuk mengambil peran yang tepat dalam merumuskan dan menyusun sebuah
perencanaan. Hal ini merupakan koreksi dan kritikan bagi perencana kota, yang selama ini
tidak mampu mengakomodasi berbagai kepentingan masyarakat, dalam penyusunan
sebuah rencana, karena memang pada umumnya dalam perencanaan kota, masyarakat
seringkali hanya dilihat sekadar sebagai konsumen yang pasif. Mungkin mereka
diberi tempat untuk beraktivitas dalam kehidupannya, akan tetapi kurang diberi peluang untuk ikut serta dalam proses
penentuan kebijakan dan perencanaannya.
Pada galibnya,
perencanaan kota dibuat oleh para perencana swasta (konsultan) atau pemerintah,
sementara keterlibatan masyarakat,
diwujudkan dalam bentuk kehadiran
di seminar hasil perencanaan kota pada tahap akhir. Itupun
hanya diwakili oleh segelintir orang. Dengan demikian, persepsi dan aspirasi
masyarakat atau penduduk kota,
nyaris tidak terwadahi dalam tata ruang kota.
Setelah
memahami problema perkotaan tersebut, pertanyaannya kemudian, di mana urgensi dari
rencana tata ruang kota? Secara singkat bisa dijelaskan bahwa, sesungguhnya
sebuah kota dapat saja berkembang dengan sendirinya secara alamiah tanpa
direncanakan, namun bisa dipastikan perkembangan yang berlangsung tidak akan
terkendali dan terarah. Karena itu, rencana tata ruang kota pada dasarnya
berfungsi untuk mengendalikan, mengarahkan serta menata perkembangan yang
dialami oleh suatu kota, terutama dalam hal optimalisasi pemanfaatan ruang yang
tersedia agar dapat digunakan untuk penyediaan berbagai macam fasilitas dalam
menampung kegiatan dan aktivitas perkotaan yang dibutuhkan oleh masyarakat
secara luas. Pada dimensi inilah kehadiran para perencana kota (planner atau
planolog) menjadi signifikan, untuk memberikan kontribusinya dengan tetap
berlandaskan pada idealisme, intelektualisme dan profesionalismenya.
Bagi
seorang perencana kota, menghadapi kompleksitas permasalahan seperti sekarang
ini adalah tantangan yang tidak mudah dan ringan. Seorang Planner harus
memiliki kemampuan dan kejelian dalam menangkap berbagai isyarat-isyarat
perubahan yang sementara berlangsung, sehingga
dapat menyesuaikan dirinya dengan akselerasi perkembangan kota yang
demikian pesat dan cepat.
Lontaran
pemikiran semacam ini,
semestinya dijadikan semacam koreksi total dan sekaligus sebagai tantangan bagi
para perencana kota untuk berkiprah secara lebih baik dan benar dengan memahami
betul filosofi sebuah perencanaan.
Berikut
ini adalah beberapa catatan yang patut dicermati serta mendapatkan perhatian
dari Penentu Kebijakan (Pemerintah Kota) dan para Perencana Kota (Planner),
dalam rangka meminimalisir berbagai kesalahan dalam penyusunan rencana tata
ruang kota :
Pertama,
Rencana kota yang selama ini dibuat umumnya lebih berwawasan pada tujuan yang
ideal (goals oriented),
daripada pemecahan masalah (problem solving oriented). Gagasan pemikiran
dan konsep yang ditawarkan tidak ground-up, tetapi sedikit banyak utopian,
sehingga tidak relevan dengan problema nyata yang dihadapi masyarakat.
Kedua,
Tidak adanya evaluasi terhadap jalannya pembangunan kota, berkaitan dengan
rencana yang telah dibuat, untuk mendeteksi apa yang sesungguhnya berlangsung
dan penyimpangan serta kesalahan apa yang timbul. Hal ini terjadi karena para
perencana kota yang ada,
memahami tanggung jawab mereka secara intelektual, berakhir seiring dengan berakhirnya
masa proyek pekerjaan yang diterima. Karena itu, dari kalangan terdidik ini
tidak pernah kita dengarkan,
mereka terpanggil untuk mengkritisi berbagai penyimpangan pelaksanaan
pembangunan kota. Fenomena inilah yang disebut oleh Julien Benda sebagai
“Pengkhianatan Kaum Intelektual”. Bahwasanya kaum intelektual telah berkhianat
terhadap tanggung jawab moralnya, dengan mengabdikan diri pada
kepentingan-kepentingan khusus,
demi kemapanan kelas-kelas tertentu di dalam masyarakat.
Ketiga,
Rencana yang dibuat dan disusun,
juga lebih banyak bersifat parsial, dibuat sendiri secara terpisah. Sehingga akibatnya, perencanaan secara
terpadu, integral, holistik dan menyeluruh sulit untuk diwujudkan.
Keempat,
Pemecahan masalah perkotaan tidak boleh hanya dipercayakan dan menjadi
monopoli para perencana kota serta
penentu kebijakan, karena banyak bukti
menunjukkan bahwa warga kota,
sering lebih mengetahui permasalahan sesungguhnya dari kotanya, dan bahkan juga
mampu memberikan ide-ide kreatif.
Penduduk
kota harus lebih sering diajak bicara, dan sejauh mungkin dilibatkan dalam
proses pengambilan keputusan,
yang langsung atau tidak langsung menyangkut lingkungan dan kehidupan serta
masa depan mereka. Dengan demikian mereka tidak hanya sekadar tinggal di kota, tetapi juga ikut
merasa memiliki kota, sehingga dapat diharapkan peran sertanya dalam
pelaksanaan pembangunan perkotaan.
Kelima,
Sosialisasi secara umum terhadap berbagai produk rencana tata ruang kota yang
telah dibuat,
hampir tak pernah dilakukan, sehingga masyarakat tidak pernah tahu rencana yang ada.
Pada
akhirnya, dalam membenahi Kota Makassar harus dipandang dari berbagai
perspektif dan dimensi. Pembenahan kota tidak boleh hanya menyentuh aspek
fisiknya saja, melainkan yang lebih penting adalah bagaimana meningkatkan
kesejahteraan penduduknya. Hanya dengan demikianlah maka Kota Makassar akan berkembang
dengan sehat, bukan kota metropolis yang diplesetkan menjadi miseropolis
(kota menyengsarakan).
Harian FAJAR
Makassar, Februari 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar