Kamis, 10 Januari 2019

Tata Ruang Makassar Tidak Jelas

Kala itu, di sekitar awal tahun 2015, Panitia Khusus (Pansus) Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Makassar telah terbentuk. Sejumlah kalangan berharap, pembahasan RTRW kali ini, bisa berjalan dengan lancar dan menghasilkan produk yang berkualitas untuk menjadi sebuah Peraturan Daerah (Perda). Betapa tidak, karena Perda tersebut akan sangat menentukan bagaimana orientasi dan arah pembangunan dan perencanaan Kota Makassar di waktu yang akan datang, paling tidak untuk 15-20 tahun ke depan. Berbagai sorotan bermunculan berkenaan dengan konsep tata ruang yang ada, seperti Makassar sebagai kota ruko, kota sampah, kota semrawut, kota tanpa master plan. Karena, konon hanya pada masa Bapak Dg.Patompo sebagai Walikota, Makassar memiliki master plan.
Terlepas benar tidaknya berbagai julukan itu, pernyataan-pernyataan tersebut cukup mengusik untuk dicermati, sekaligus juga memunculkan berbagai pertanyaan. Lantas selama ini, bagaimana peran Pemerintah Kota dan kemana para Perencana Kota (Planner) selama ini, serta apa saja yang mereka kerjakan? Bukankah setiap Walikota memiliki tim ahli tata ruang kota, yang dibentuk untuk ditugasi menata kota ini? Lalu dimana pertanggungjawaban mereka secara moral dan intelektual? Semua itu harus dijawab oleh pemerintah kota dan para perencana sendiri yang terkait dengan persoalan ini.
Fenomena tentang wacana tata ruang kota yang dipersoalkan oleh berbagai kalangan, sebetulnya merupakan hal yang positif, karena itu menunjukkan perhatian masyarakat yang sudah mulai tumbuh terhadap masalah tata ruang, dimana sekian lama tidak pernah digubris kecuali oleh sekelompok orang saja yang bersentuhan secara langsung dengan pekerjaan tata ruang. Masalahnya sekarang bagaimana Pemerintah Kota (Walikota) serta para perencana kota dalam menanggapi ini semua, sebagai orang yang memiliki kompetensi terhadap wacana yang sementara diperbincangkan tersebut.

Tantangan 

Makassar sebagai Kota Metropolitan (dari segi penduduk) dan merupakan salah satu Pusat Pengembangan di Kawasan Timur Indonesia (KTI), memang sudah perlu menata diri dalam mengantisipasi perkembangan perkotaan yang demikian pesat. Hal ini tidak mungkin dihindari sebagai konsekuensi logis dari perkembangan dan kemajuan yang dicapai oleh Kota Makassar. Perkembangan yang demikian cepat, terjadi karena dua hal. Pertama, Pertambahan Penduduk, baik perkembangan penduduk secara alamiah maupun lewat migrasi atau urbanisasi yang terjadi. Kedua, Aktifitas Sosial Ekonomi, yang semakin hari semakin meningkat dan berkembang.    
Perkembangan dari kedua faktor tersebut menyebabkan faktor-faktor lainnya juga ikut berkembang, seperti; perkembangan kebutuhan perumahan, fasilitas dan utilitas kota, transportasi dan lalu lintas  kota, komunikasi dan hubungan fungsionil antar kota. Namun, masalah dasar yang timbul adalah bahwa perkembangan suatu kota akan ditandai oleh semakin bertambahnya kebutuhan akan ruang, guna menampung lebih banyak kegiatan-kegiatan serta fasilitas-fasilitas yang dibutuhkan oleh masyarakat/penduduk dalam melaksanakan kegiatan hidupnya.
Hal ini juga disebabkan oleh kenyataan bahwa perkembangan penduduk pada umumnya disertai dengan pertambahan areal fisik kota, termasuk di dalamnya pertambahan jumlah bangunan (baik legal maupun illegal) yang biasanya menunjukkan ketidakseimbangan dengan kebutuhan yang berkembang.
Pemusatan dan pembauran berbagai kegiatan di Kota Makassar, pada akhirnya melahirkan masalah baru, berupa terjadinya konsentrasi penduduk yang cukup besar, diakibatkan oleh derasnya arus penduduk pendatang. Hal ini dapat dimaklumi karena dalam lingkup Provinsi Sulawesi Selatan, Kota Makassar merupakan kota terbesar, yang kegiatannya berkembang sangat pesat, sehingga menjadi pusat orientasi atau daya tarik bagi penduduk dari luar Kota Makassar. 
Sebagai sistem yang dinamis, kota – sebagaimana juga Makassar –  akan selalu berkembang, di mana dalam proses perkembangannya itu akan memperlihatkan fenomena mengenai kekompetitifan penggunaan ruang (lahan), untuk berbagai aktivitas yang ditampungnya. Hal ini menjadi embrio permasalahan kota di kemudian hari, yang biasanya diperlihatkan dalam bentuk permasalahan fisik kota. Pada sisi lain, usaha-usaha penanganan masalah tersebut serta kegiatan pembangunan kota yang dilakukan, berlangsung tanpa atau kurang memperhatikan aspek dan nilai-nilai sosial budaya yang merupakan perwujudan karakteristik kota itu, sehingga ciri ataupun identitas kota menjadi sirna.
Akhirnya muncul pertanyaan, kota ini milik siapa sebenarnya? Pertanyaan tersebut menjadi wajar, karena ada suatu kesan umum bahwa kota-kota di Indonesia – termasuk Kota Makassar – direncanakan dengan ‘selera elit’ dan untuk kepentingan masyarakat kota lapisan atas saja. Hal ini lebih jelas lagi bila dikaitkan dengan kenyataan faktual di sekitar kita, yang telah menimbulkan kesan tersebut, seperti pembongkaran pasar-pasar tradisional milik rakyat kecil, untuk memberikan tempat bagi shopping centre dan mall, yang jauh lebih keren dan ‘bonafide’ milik kelompok ekonomi kuat. Para pedagang kaki lima, di kejar-kejar oleh para Petugas Ketertiban dan Keindahan Kota, dengan alasan klasik yang sering dikemukakan bahwa kehadiran mereka menganggu serta merusak wajah kota.
Dalam konteks seperti inilah, para perencana kota dituntut tanggung jawab moral, intelektual dan profesionalismenya, untuk mengambil peran yang tepat dalam merumuskan dan menyusun sebuah perencanaan. Hal ini merupakan koreksi dan kritikan bagi perencana kota, yang selama ini tidak mampu mengakomodasi berbagai kepentingan masyarakat, dalam penyusunan sebuah rencana, karena memang pada umumnya dalam perencanaan kota, masyarakat seringkali hanya dilihat sekadar sebagai konsumen yang pasif. Mungkin mereka diberi tempat untuk beraktivitas dalam kehidupannya, akan tetapi kurang  diberi peluang untuk ikut serta dalam proses penentuan kebijakan dan perencanaannya.
Pada galibnya, perencanaan kota dibuat oleh para perencana swasta (konsultan) atau pemerintah, sementara keterlibatan masyarakat,  diwujudkan dalam bentuk kehadiran di seminar hasil perencanaan kota pada tahap akhir. Itupun hanya diwakili oleh segelintir orang. Dengan demikian, persepsi dan aspirasi masyarakat atau penduduk kota, nyaris tidak terwadahi dalam tata ruang kota.
Setelah memahami problema perkotaan tersebut, pertanyaannya kemudian, di mana urgensi dari rencana tata ruang kota? Secara singkat bisa dijelaskan bahwa, sesungguhnya sebuah kota dapat saja berkembang dengan sendirinya secara alamiah tanpa direncanakan, namun bisa dipastikan perkembangan yang berlangsung tidak akan terkendali dan terarah. Karena itu, rencana tata ruang kota pada dasarnya berfungsi untuk mengendalikan, mengarahkan serta menata perkembangan yang dialami oleh suatu kota, terutama dalam hal optimalisasi pemanfaatan ruang yang tersedia agar dapat digunakan untuk penyediaan berbagai macam fasilitas dalam menampung kegiatan dan aktivitas perkotaan yang dibutuhkan oleh masyarakat secara luas. Pada dimensi inilah kehadiran para perencana kota (planner atau planolog) menjadi signifikan, untuk memberikan kontribusinya dengan tetap berlandaskan pada idealisme, intelektualisme dan profesionalismenya.
Bagi seorang perencana kota, menghadapi kompleksitas permasalahan seperti sekarang ini adalah tantangan yang tidak mudah dan ringan. Seorang Planner harus memiliki kemampuan dan kejelian dalam menangkap berbagai isyarat-isyarat perubahan yang sementara berlangsung, sehingga  dapat menyesuaikan dirinya dengan akselerasi perkembangan kota yang demikian pesat dan cepat.
Lontaran pemikiran semacam ini, semestinya dijadikan semacam koreksi total dan sekaligus sebagai tantangan bagi para perencana kota untuk berkiprah secara lebih baik dan benar dengan memahami betul filosofi sebuah perencanaan.
Berikut ini adalah beberapa catatan yang patut dicermati serta mendapatkan perhatian dari Penentu Kebijakan (Pemerintah Kota) dan para Perencana Kota (Planner), dalam rangka meminimalisir berbagai kesalahan dalam penyusunan rencana tata ruang kota :
Pertama, Rencana kota yang selama ini dibuat umumnya lebih berwawasan pada tujuan yang ideal (goals oriented), daripada pemecahan masalah (problem solving oriented). Gagasan pemikiran dan konsep yang ditawarkan tidak ground-up, tetapi sedikit banyak utopian, sehingga tidak relevan dengan problema nyata yang dihadapi masyarakat.
Kedua, Tidak adanya evaluasi terhadap jalannya pembangunan kota, berkaitan dengan rencana yang telah dibuat, untuk mendeteksi apa yang sesungguhnya berlangsung dan penyimpangan serta kesalahan apa yang timbul. Hal ini terjadi karena para perencana kota yang ada, memahami tanggung jawab mereka secara intelektual, berakhir seiring dengan berakhirnya masa proyek pekerjaan yang diterima. Karena itu, dari kalangan terdidik ini tidak pernah kita dengarkan, mereka terpanggil untuk mengkritisi berbagai penyimpangan pelaksanaan pembangunan kota. Fenomena inilah yang disebut oleh Julien Benda sebagai “Pengkhianatan Kaum Intelektual”. Bahwasanya kaum intelektual telah berkhianat terhadap tanggung jawab moralnya, dengan mengabdikan diri pada kepentingan-kepentingan khusus, demi kemapanan kelas-kelas tertentu di dalam masyarakat.
Ketiga, Rencana yang dibuat dan disusun, juga lebih banyak bersifat parsial, dibuat sendiri secara terpisah. Sehingga akibatnya, perencanaan secara terpadu, integral, holistik dan menyeluruh sulit untuk diwujudkan.
Keempat, Pemecahan masalah perkotaan tidak boleh hanya dipercayakan dan menjadi monopoli  para perencana kota serta penentu kebijakan, karena  banyak bukti menunjukkan bahwa warga kota, sering lebih mengetahui permasalahan sesungguhnya dari kotanya, dan bahkan juga mampu memberikan ide-ide kreatif.
Penduduk kota harus lebih sering diajak bicara, dan sejauh mungkin dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan, yang langsung atau tidak langsung menyangkut lingkungan dan kehidupan serta masa depan mereka. Dengan demikian mereka tidak hanya sekadar tinggal di kota, tetapi juga ikut merasa memiliki kota, sehingga dapat diharapkan peran sertanya dalam pelaksanaan pembangunan perkotaan.
Kelima, Sosialisasi secara umum terhadap berbagai produk rencana tata ruang kota yang telah dibuat, hampir tak pernah dilakukan, sehingga masyarakat tidak pernah tahu rencana  yang ada.
Pada akhirnya, dalam membenahi Kota Makassar harus dipandang dari berbagai perspektif dan dimensi. Pembenahan kota tidak boleh hanya menyentuh aspek fisiknya saja, melainkan yang lebih penting adalah bagaimana meningkatkan kesejahteraan penduduknya. Hanya dengan demikianlah maka Kota Makassar akan berkembang dengan sehat, bukan kota metropolis yang diplesetkan menjadi miseropolis (kota menyengsarakan). 
Harian FAJAR Makassar, Februari 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Rezim Yang Ambigu dan Problem Lingkungan di Indonesia

Permasalahan lingkungan hidup, telah mendapat perhatian besar di hampir semua negara. Ini terutama terjadi sejak dasawarsa 1970-an setelah d...