Selasa, 22 Desember 2020

Pentingnya Tata Ruang dan Lingkungan Dalam Mitigasi Bencana

Fenomena La Nina yang berdampak pada meningkatnya intensitas curah hujan, telah memicu terjadinya banjir, longsor, puting beliung, dan banjir bandang di sejumlah daerah. Sekitar pertengahan November lalu, banjir melanda Kabupaten Cilacap Jawa Tengah, lalu tanah longsor dan banjir bandang di Banyumas Jawa Tengah, dan Bahorok Kabupaten Langkat, Sumatera Utara. Sementara Desember ini, banjir paling tidak sudah melanda Aceh Utara, Gresik Jawa Timur, Grobogan Jawa Tengah, dan Makassar Sulawesi Selatan.  

Kepala BMKG, Prof. Dwikorita Karnawati, dalam sebuah presentasinya menyampaikan prakiraan BMKG, yaitu: bulan Oktober-Desember 2020, sebagian besar wilayah Indonesia diprakirakan akan mendapatkan hujan kategori menengah hingga tinggi dan sangat tinggi. Demikian juga pada Januari-Maret 2021 masih diprakirakan dengan kondisi yang sama. Sementara puncak musim hujan, masing-masing di Pulau Sumatera terjadi mulai bulan November, Jawa-Bali-Nusa Tenggara terjadi pada Januari hingga Februari 2021, Kalimantan diprakirakan dari Desember hingga Januari, Sulawesi terjadi mulai Januari dan April serta Maluku-Papua mulai Januari dan Maret 2021. 

Ancaman bencana hidrometeorologi sepertinya akan terus meningkat akhir tahun 2020 ini hingga 2021 mendatang, seiring masih kurangnya kesiapsiagaan daerah dalam mengantisipasinya. Seolah lupa bila negeri ini berada pada kawasan rawan bencana. Padahal, 60 persen wilayah Indonesia terletak pada daerah rawan bencana alam geologi. Indeks risiko bencana tahun 2019 saja menunjukkan: 315 Kabupaten/Kota daerah rawan banjir, 233 Kabupaten/Kota rawan tsunami, 274 daerah rawan longsor dan 295 titik rawan gempa. Belum lagi potensi Megathrust yang berada pada 16 titik, juga menghantui Indonesia berdasar sumber dari BPPT dan BNPB. Megathrust adalah mekanisme gerak lempeng yang bisa memicu gempa dengan tsunami besar.

Untuk menghadapi situasi kebencanaan yang menunjukkan tren peningkatan dari tahun ke tahun, maka penting mencermati sejumlah masalah terkait kebencanaan. Bagi Prof. Adi Maulana, Kepala Puslitbang Studi Kebencanaan Unhas, ada beberapa isu utama kebencanaan di Indonesia yang mesti jadi perhatian bersama, yaitu: literasi kebencanaan, riset kebencanaan, rezim finansial, ketahanan infrastruktur, kelembagaan, dan tata kelola kebencanaan serta komitmen politik atas isu kebencanaan.

Jika memerhatikan sejumlah isu tersebut, maka yang sangat mendasar, krusial, dan paling bersoal adalah menyangkut literasi kebencanaan. Saking rendahnya literasi kebencanaan kita, sampai-sampai dalam sistem perencanaan pun, belum sepenuhnya berbasis pada kebencanaan. Baik pada sistem perencanaan pembangunan (Development Planning) maupun sistem perencanaan tata ruang (Spatial Planning). Dengan kata lain, pada kebanyakan dokumen rencana jangka panjang, rencana jangka menengah serta juga rencana tata ruang, aspek kebencanaan belum terjelaskan secara optimal dan memadai. Terlebih lagi dalam urusan pelaksanaan dan implementasinya.

Salah satu kegiatan penting dalam manajemen bencana ialah mitigasi. UU.24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, menyebut mitigasi merupakan serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun melalui penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana. Ada dua bentuk mitigasi yang dimaksud. Mitigasi struktural dan nonstruktural. Dan tata ruang adalah sebuah bentuk mitigasi nonstruktural yang disebutkan.

Sayangnya, penyelenggaraan tata ruang masih tidak sepenuhnya ditegakkan. Sebagai ilustrasi, tengok saja RPJPD Sulawesi Selatan 2005-2025, yang dengan gamblang mengakui kalau masih terjadi inkonsistensi terhadap penegakan Perda RTRW. Hal senada juga tertuang dalam RPJMD Sulsel 2018-2023 yang menyatakan bahwa ketaatan pada RTRW masih rendah. Ini dikarenakan beberapa hal, yaitu; Rencana Tata Ruang (RTR) belum dijadikan sebagai acuan pelaksanaan pembangunan, belum terintegrasinya program prioritas RTR dalam dokumen perencanaan daerah serta belum optimalnya pelaksanaan pengendalian pemanfaatan ruang.

Hal yang sama juga terjadi terhadap persoalan lingkungan yang kurang serius ditangani, sehingga menyebabkan kerusakan lingkungan di berbagai daerah. Ini memperkuat sinyalemen tentang masih berlangsungnya ecological suicide sebagaimana diistilahkan JO Simmonds dalam buku Earthscape. Mengapa disebut bunuh diri ekologis? Karena pemimpin daerah – gubernur, walikota, bupati – yang sejatinya bertugas menjaga kelestarian alam, justru merusaknya.

Prof. Eko Budihardjo menulis tentang seorang reporter New York Times bernama Daniel Goleman yang menerbitkan buku berjudul “Ecological Intelligence”. Ia mengingatkan bahwa perilaku dan tindakan manusia di segenap pelosok dunia telah mengakibatkan bencana, berupa defisit ekologis yang sangat membahayakan eksistensi planet kita dengan segala isinya.

Tata ruang dan lingkungan merupakan instrumen yang sangat efektif dalam mencegah dan memitigasi terjadinya bencana, sepanjang penegakan aturan tentang keduanya konsisten dijalankan. Lalu, bagaimana tindakan konkrit Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan dan Pemerintah Kota Makassar menghadapi ancaman bencana karena fenomena La Nina? Wallahu a’lam bisshawab.

Rezim Yang Ambigu dan Problem Lingkungan di Indonesia

Permasalahan lingkungan hidup, telah mendapat perhatian besar di hampir semua negara. Ini terutama terjadi sejak dasawarsa 1970-an setelah d...